Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sering kita melihat di bulan Ramadhan
terutama di saat-saat mudik lebaran, banyak orang yang bersafar tidak
menjalankan puasa. Yang mereka pahami bahwa kalau bersafar sah-sah saja
tidak puasa. Jika memang kesulitan ketika safar untuk menjalankan puasa,
lantas ia tidak puasa, maka itu dibolehkan berdasarkan kesepakatan
ulama. Namun bagaimanakah jika safar tersebut tidak ada kesulitan
apa-apa, dari rumah saja memakai mobil ber-AC, lantas ia pun menaiki
pesawat yang hanya duduk satu jam dan sama sekali tidak ada kesulitan
apa-apa ketika safar. Bagaimanakah kondisi yang terakhir ini? Apakah
lebih baik berpuasa karena tidak ada kesulitan apa-apa ketika safar
ataukah lebih baik berbuka (tidak berpuasa)? Mudah-mudahan pembahasan
ini akan semakin mencerahkan bagi siapa saja yang ingin mengambil
pelajaran.
Perlu diketahui bahwa musafir yang
melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk
mengqoshor shalat dibolehkan untuk tidak berpuasa. Dalil dari hal ini
adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Apakah jika seorang musafir berpuasa, puasanya dianggap sah?
Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.
Ada riwayat dari Abu Hurairah, Ibnu
‘Abbas dan Ibnu ‘Umar yang menyatakan bahwa berpuasa ketika safar
tidaklah sah dan tetap wajib mengqodho’. Ada yang mengatakan bahwa
seperti ini dimakruhkan.
Namun pendapat mayoritas ulama lebih kuat sebagaimana dapat dilihat dari dalil-dalil yang nanti akan kami sampaikan.
Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak?
Para ulama dalam hal ini berselisih
pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam
dalil, dapat kita katakan bahwa musafir ada tiga kondisi.
Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa
atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama
untuk tidak berpuasa. Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam hadits
Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan,
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً
قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ .
فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada
seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang
yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia
bersafar”.[1] Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa
dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada
saat ini lebih utama untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana dicontohkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau masih tetap
berpuasa ketika safar.
Dari Abu Darda’, beliau berkata,
خَرَجْنَا مَعَ
النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ
حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ
الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ – صلى
الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ
“Kami pernah keluar bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup
terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya
karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa.
Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang
berpuasa ketika itu.”[2]
Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika
safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya
kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa
dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa
sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.
Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى
رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ
ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ
إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ
قَدْ صَامَ فَقَالَ « أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di
bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di
Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang
ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas
air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau.
Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal
tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap
berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan,
“Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang
durhaka”.”[3] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela keras karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.
Kapan waktu diperbolehkan tidak berpuasa bagi musafir?
Dalam hal ini, kita mesti melihat beberapa keadaan:
Pertama, jika safar
dimulai sebelum terbit fajar atau ketika fajar sedang terbit dan dalam
keadaan bersafar, lalu diniatkan untuk tidak berpuasa pada hari itu;
untuk kondisi semacam ini diperbolehkan untuk tidak berpuasa berdasarkan
kesepakatan para ulama. Alasannya, pada kondisi semacam ini sudah
disebut musafir karena sudah adanya sebab yang memperbolehkan untuk
tidak berpuasa.
Kedua, jika safar
dilakukan setelah fajar (atau sudah di waktu siang), maka menurut
pendapat Imam Ahmad yang lain, juga pendapat Ishaq dan Al Hasan Al
Bashri, dan pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
boleh berbuka (tidak berpuasa) di hari itu. Inilah pendapat yang lebih
kuat.
Dalil dari pendapat terakhir ini adalah keumuman firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dan juga hadits Jabir sebagaimana telah disebutkan di atas: “Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul
Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu
berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah
antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa.
Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau
mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau
pun meminum air tersebut. …
Begitu pula yang menguatkan hal ini adalah dari Muhammad bin Ka’ab. Dia mengatakan,
أَتَيْتُ أَنَسَ
بْنَ مَالِكٍ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ
رَاحِلَتُهُ وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ
فَقُلْتُ لَهُ سُنَّةٌ قَالَ سُنَّةٌ. ثُمَّ رَكِبَ.
“Aku pernah mendatangi Anas bin Malik
di bulan Ramadhan. Saat ini itu Anas juga ingin melakukan safar. Dia
pun sudah mempersiapkan kendaraan dan sudah mengenakan pakaian untuk
bersafar. Kemudian beliau meminta makanan, lantas beliau pun
memakannya. Kemudian aku mengatakan pada Annas, “Apakah ini termasuk
sunnah (ajaran Nabi)?” Beliau mengatakan, “Ini termasuk sunnah.” Lantas
beliau pun berangkat dengan kendaraannya.”[4] Hadits ini merupakan dalil bahwa musafir boleh berbuka sebelum dia pergi bersafar.
Ketiga, jika berniat
puasa padahal sedang bersafar, kemudian karena suatu sebab di tengah
perjalanan berbuka, maka hal ini diperbolehkan. Alasannya adalah dalil
yang telah kami sebutkan pada kondisi kedua dari hadits Abu Darda: “Kami
pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa
safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang
meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di
antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”[5]
Kapan berakhirnya keringanan untuk tidak berpuasa bagi musafir?
Berakhirnya keringanan (rukhsoh) bagi musafir untuk tidak berpuasa adalah dalam dua keadaan:
(1) ketika berniat untuk bermukim, dan
(2) jika telah kembali ke negerinya.
Jika orang yang bersafar tersebut kembali
ke negerinya pada malam hari, maka keesokan harinya dia wajib berpuasa
tanpa ada perselisihan ulama dalam hal ini.
Sedangkan apabila dia kembali pada siang
hari, sedangkan sebelumnya tidak berpuasa, apakah ketika dia sampai di
negerinya, dia jadi ikut berpuasa hingga berbuka?
Untuk kasus yang satu ini ada dua
pendapat. Pendapat yang lebih tepat adalah dia tidak perlu menahan diri
dari makan dan minum. Jadi boleh tidak berpuasa hingga waktu berbuka.
Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i dan Imam Malik. Terdapat perkataan yang
shohih dari Ibnu Mas’ud,
مَنْ أَكَلَ أَوَّلَ النَّهَارِ فَلْيَأْكُلْ آخِرَهُ
“Barangsiapa yang makan di awal siang, maka makanlah pula di akhir siang.”[6] Jadi, jika di pagi harinya tidak berpuasa, maka di siang atau sore harinya pun tidak perlu berpuasa.[7]
Demikian sajian singkat tentang puasa bagi musafir. Semoga semakin mencerahkan.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Cuplikan Buku Panduan Ramadhan
[1] HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115.
[2] HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122.
[3] HR. Muslim no. 1114.
[4] HR. Tirmidzi no. 799. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[5] HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122
[6] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnaf-nya 2/286. Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/120-125.
http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2658-puasanya-musafir.html