WAJIBNYA MENCINTAI DAN
MENGAGUNGKAN NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM SERTA LARANGAN GHULUW
(BERLEBIH-LEBIHAN)[1]
Oleh:l-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah wal Jama’ah
sepakat tentang wajibnya mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam melebihi kecintaan dan pengagungan terhadap seluruh makhluk
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi dalam mencintai dan mengagungkan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak boleh melebihi apa yang telah ditentukan
syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam seluruh perkara agama
akan menyebabkan kebinasaan.
A. Wajibnya
Mencintai Dan Mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Pertama-tama,
wajib bagi setiap hamba mencintai Allah dan ini merupakan bentuk ibadah yang
paling agung. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada
Allah.” [Al-Baqarah:165]
Ahlus Sunnah mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan mengagungkannya sebagaimana para Sahabat Radhiyallahu anhum
mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dari kecintaan mereka
kepada diri dan anak-anak mereka, sebagaimana yang terdapat dalam kisah ‘Umar
bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah
bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia berkata:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِدٌ
بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، َلأَنْتَ
أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ
إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عَمَرُ: فَإِنَّهُ اْلآنَ، وَاللهِ، َلأَنْتَ
أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اْلآنَ يَا عُمَرُ.
“Kami mengiringi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan
beliau menggandeng tangan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Kemudian
‘Umar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: ‘Wahai Rasulullah,
sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apa pun selain diriku.’ Maka Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: ‘Tidak, demi yang jiwaku berada di
tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar
berkata kepada beliau: ‘Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat
aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‘Sekarang (engkau benar), wahai ‘Umar.’” [2]
Berdasarkan hadits di atas, maka mencintai Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah wajib dan harus didahulukan daripada
kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan kepada Allah, sebab mencintai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mengikuti sekaligus keharusan
dalam mencintai Allah. Mencintai Rasulullah adalah cinta karena Allah. Ia
bertambah dengan bertambahnya kecintaan kepada Allah dalam hati seorang mukmin,
dan berkurang dengan berkurangnya kecintaan kepada Allah.
Orang yang beriman akan merasakan manisnya iman apabila hanya
Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ،
مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ
بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ.
“Ada tiga
perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan
mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia
cintai dari selain keduanya. (2) Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya
mencintainya karena Allah. (3) Ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran
setelah Allah menyelamatkannya, sebagai-mana ia tidak mau untuk dilemparkan ke
dalam api.” [3]
Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengharuskan adanya penghormatan, ketundukan dan keteladanan kepada beliau
serta mendahulukan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam atas segala
ucapan makhluk, serta mengagungkan Sunnah-sunnahnya.
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Setiap
kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanya dibolehkan dalam rangka
mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Seperti mencintai dan
mengagungkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya ia adalah
penyempurna kecintaan dan pengagungan kepada Rabb yang mengutusnya. Ummatnya
mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam karena Allah telah
memuliakannya. Maka kecintaan ini adalah karena Allah sebagai konsekuensi dalam
mencintai Allah.” [4]
Maksudnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala meletakkan
kewibawaan dan kecintaan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena itu
tidak ada seorang manusia pun yang lebih dicintai dan disegani dalam hati para
Sahabat kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.[5]
‘Amr bin al-‘Ash -sebelum ia masuk Islam- berkata:
“Sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun yang lebih aku benci dari-pada
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Namun setelah ia masuk Islam, tidak
ada seorang manusia pun yang lebih ia cintai dan lebih ia agungkan daripada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia mengatakan: “Seandainya aku diminta
untuk menggambarkan pribadi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kalian
tentu aku tidak mampu melakukannya sebab aku tidak pernah menajamkan
pandanganku kepada beliau sebagai pengagunganku kepada beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam.”
‘Urwah bin Mas’ud berkata kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku,
demi Allah, aku telah diutus ke Kisra, kaisar dan raja-raja, namun aku tidak
pernah melihat seorang raja pun yang diagungkan oleh segenap rakyatnya melebihi
pengagungan para Sahabat Radhiyallahu anhum kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Demi Allah, mereka tidak memandang dengan tajam kepada beliau
sebagai bentuk pengagungan mereka kepadanya Shallallahu 'alaihi wa sallam,
serta tidaklah beliau berdahak kecuali ditadah dengan telapak tangan salah
seorang dari mereka, kemudian dilumurkan pada wajah dan dadanya. Lalu tatkala
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu’, maka hampir saja mereka saling
membunuh karena berebut sisa air bekas wudhu’ beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam.” [6]
B. Konsekuensi
Dan Tanda-Tanda Cinta Kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. 1.
Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharuskan adanya
pengagungan, memuliakan, meneladani beliau dan mendahulukan sabda beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk serta mengagungkan
Sunnah-sunnahnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah
dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesung-guhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” [Al-Hujuraat: 1]
2. Mentaati apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
perintahkan.
Allah memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah untuk taat
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena dengan taat kepada
beliau menjadi sebab seseorang masuk Surga. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir
di dalamnya sungai sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah
kemenangan yang besar.” [An-Nisaa': 13]
3. Membenarkan apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
sampaikan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berkata menurut
hawa nafsunya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰإِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
[An-Najm: 3-4]
4. Menahan diri dari apa yang dilarang dan dicegah oleh beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al-Hasyr: 7]
5. Beribadah sesuai dengan apa yang beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam syari’atkan, atau dengan kata lain ittiba’ kepada beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan tidak
boleh dikurangi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala untuk mengajarkan ummat Islam tentang bagaimana cara yang
benar dalam beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah menyampaikan semuanya. Oleh karena itu, ummat Islam wajib ittiba’ kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar mereka mendapatkan kecintaan
Allah Subhanahu wa Ta'ala, kejayaan dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya.
Ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
hukumnya adalah wajib, dan ittiba’ menunjukkan kecintaan seorang hamba kepada
Allah Azza wa Jalla.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [Ali ‘Imran: 31]
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H): “Ayat
ini adalah pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun
tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka orang
itu dusta dalam pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama
yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan
perbuatannya.” [7]
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum
Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari
orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk
bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.[8]
Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan menjelaskan
dalam kitabnya: “Termasuk mengagungkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah mengagungkan Sunnahnya dan berkeyakinan tentang wajibnya mengamalkan
Sunnah tersebut, dan meyakini bahwa Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah menduduki kedudukan kedua setelah Al-Qur-anul Karim dalam hal kewajiban
mengagungkan dan mengamalkannya, sebab As-Sunnah merupakan wahyu dari Allah.
Karena itu tidak boleh membuat keragu-raguan di dalamnya,
apalagi melecehkannya. Dan tidak boleh membicarakan keshahihan dan
kedha’ifannya, baik dari segi jalan, sanad atau penjelasan makna-maknanya
kecuali berdasarkan ilmu dan kehati-hatian. Pada zaman ini banyak orang-orang
bodoh yang melecehkan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, terutama dari
kalangan anak-anak muda yang baru dalam tahap awal belajar. Mereka dengan
mudahnya menshahihkan atau mendha’ifkan hadits-hadits, dan menilai cacat para
perawi tanpa ilmu kecuali dari membaca beberapa buku. Sungguh hal tersebut
berbahaya bagi mereka dan ummat. Karena itu hendaknya mereka bertaqwa kepada
Allah dan menahan diri pada batasannya.[9]
C. Wajibnya
Mentaati Dan Meneladani Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.[10] Kita
wajib mentaati Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menjalankan apa yang
diperintahkannya dan meninggalkan apa yang dilarangnya. Hal ini merupakan
konsekuensi dari syahadat (kesaksian) bahwa beliau adalah Rasul (utusan) Allah.
Dalam banyak ayat Al-Qur-an, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kita untuk
mentaati Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antaranya ada yang
diiringi dengan perintah taat kepada Allah, sebagaimana firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya...” [An-Nisaa': 59]
Dan masih banyak lagi contoh yang lain. Di samping itu
terkadang perintah tersebut disampaikan dalam bentuk tunggal, tidak dibarengi
kepada perintah yang lain, sebagaimana dalam firman-Nya:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah
mentaati Allah.” [An-Nisaa': 80]
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan taatlah kepada Rasul supaya kamu diberi rahmat.”
[An-Nuur: 56]
Tekadang pula Allah mengancam orang yang mendurhakai Rasul-Nya,
sebagaimana dalam firman-Nya:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ
فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang melanggar perintah Rasul
takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nuur: 63]
Artinya hendaknya mereka takut jika hatinya ditimpa fitnah
kekufuran, nifaq, bid’ah atau siksa pedih di dunia, baik berupa pembunuhan,
had, pemenjaraan atau siksa-siksa lain yang dise-gerakan. Allah telah
menjadikan ketaatan dan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagai sebab hamba mendapatkan kecintaan Allah dan ampunan atas dosa-dosanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan ketaatan kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai petunjuk dan mendurhakainya sebagai suatu
kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat
petunjuk.” [An-Nuur: 54]
Allah mengabarkan bahwa pada diri Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik bagi segenap ummatnya. Allah
berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Nama Allah.” [Al-Ahzaab: 21]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia
ini adalah pokok yang agung tentang meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya. Untuk itu, Allah
تَبَارَكَ وَتَعَالَى memerintahkan manusia untuk meneladani sifat sabar,
keteguhan, kepahlawanan, perjuangan dan kesabaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam menanti pertolongan dari Rabb-nya k ketika perang Ahzaab. Semoga
Allah senantiasa mencurahkan shalawat kepada beliau hingga hari Kiamat.”[11]
Dalam Al-Qur-an, Allah telah menyebutkan ketaatan kepada Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan meneladaninya sebanyak 40 kali. Demikianlah,
karena jiwa manusia lebih membutuhkan untuk mengetahui apa yang Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bawa dan mengikutinya daripada kebutuhan kepada
makanan dan minuman, sebab jika seorang tidak mendapatkan makanan dan minuman,
ia hanya berakibat mati di dunia sementara jika tidak mentaati dan mengikuti
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka akan mendapat siksa dan
kesengsaraan yang abadi.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar kita
mengikutinya dalam melakukan berbagai ibadah dan hendaknya ibadah itu dilakukan
sesuai dengan cara yang beliau contohkan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي.
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.” [12]
Juga sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam:
خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُم.
“Ambillah dariku manasik (haji)mu.” [13]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَن عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أَمرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan
perintah kami, maka amalan itu tertolak.” [14]
Dan sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَن رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي.
“Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukan termasuk
golonganku.” [15]
Dan masih banyak dalil-dalil lain yang menunjukkan perintah
mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan larangan menyelisihinya.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah,
Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta ,
Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 148-151) oleh Dr. Shalih
bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid oleh
Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, Syarah Ushuul ats-Tsalaatsah oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-‘Urwatul Wutsqa fii Dhauil Kitaab
was Sunnah oleh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, dan kitab-kitab
lainnya.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 6632), dari Sahabat ‘Abdullah bin
Hisyam Radhiyallahu anhu.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43 (67)),
at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VIII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033), dari
hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[4]. Jalaa’ul Afhaam fii Fadhlish Shalaati was Salaam ‘alaa
Muhammad Khairil Anaam (hal. 297-298), tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
[5]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 149), oleh Dr. Shalih al-Fauzan.
[6]. Perkataan ‘Urwah bin Mas’ud z ini diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari dalam Shahiihnya (no. 2731, 2732), Kitaabusy Syuruut bab Syuruuth
fil Jihaad.
[7]. Tafsiir Ibni Katsiir (I/384), cet. Daarus Salam.
[8]. Sebagian contoh-contoh bid’ah yang masih dilakukan kaum
Muslimin seperti: Perayaan dan peringatan Maulid Nabi j, perayaan Isra’ Mi’raj,
tawassul dengan orang mati, membangun kubur, dan yang lainnya. Semua ini tidak
pernah di-lakukan oleh Nabi j dan para Sahabatnya.
[9]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 154).
[10]. Diringkas dari ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 155-157).
[11]. Tafsiir Ibni Katsir (III/522-523), cet. Daarus Salaam.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 631)
[13]. HR. Muslim (no. 1297) dan lainnya.
[14]. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1719 (18)).
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 5063) dan Muslim (no. 1401).
http://almanhaj.or.id/content/3220/slash/0/wajibnya-mencintai-dan-mengagungkan-nabi-muhammad-wajibnya-mentaati-dan-meneladani-nabi/
D.
Anjuran Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.[1] Di
antara hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disyari’atkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala atas ummatnya adalah agar mereka mengucapkan shalawat dan
salam untuk beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para Malaikat-Nya telah
bershalawat kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Allah Subhanahu wa
Ta'ala memerintahkan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan taslim
kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi
dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56]
Diriwayatkan bahwa makna shalawat Allah kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pujian Allah atas beliau di hadapan para
Malaikat-Nya, sedang shalawat Malaikat berarti mendo’akan beliau, dan shalawat
ummatnya berarti permohonan ampun bagi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan tentang kedudukan
hamba dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tempat yang
tertinggi, bahwasanya Dia memujinya di hadapan para Malaikat yang terdekat, dan
bahwa para Malaikat pun mendo’akan untuknya, lalu Allah memerintahkan segenap
penghuni alam ini untuk mengucapkan shalawat dan salam atasnya, sehingga
bersatulah pujian untuk beliau di alam yang tertinggi dengan alam terendah
(bumi).
Adapun makna: “Ucapkanlah salam untuknya” adalah berilah
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam penghormatan dengan penghormatan Islam.
Dan jika bershalawat kepada Nabi Muhammad hendaklah seseorang menghimpunnya
dengan salam untuk beliau. Karena itu hendaknya tidak membatasi dengan salah
satunya saja. Misalnya dengan mengucapkan: “Shallallaahu ‘alaih (semoga
shalawat dilimpahkan untuknya)” atau hanya mengucapkan: “‘alaihis salaam
(semoga dilimpahkan untuknya keselamatan).” Hal itu karena Allah memerintahkan
untuk mengucapkan keduanya.
Mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
diperintahkan oleh syari’at pada waktu-waktu yang dipentingkan, baik yang
hukumnya wajib atau sunnah muakkadah. Dalam kitab Jalaa’ul Afhaam, Ibnul Qayyim
rahimahullah menyebutkan 41 waktu (tempat). Beliau rahimahullah memulai dengan
sesuatu yang paling penting yakni ketika shalat di akhir tasyahhud. Di waktu
tersebut para ulama sepakat tentang disyari’atkannya bershalawat untuk Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun mereka berselisih tentang hukum wajibnya.
Di antara waktu lain yang beliau sebutkan adalah di akhir Qunut, kemudian saat
khutbah, seperti khutbah Jum’at, hari raya dan istisqa’, kemudian setelah
menjawab muadzdzin, ketika berdo’a, ketika masuk dan keluar dari masjid, juga
ketika menyebut nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan
kepada kaum Muslimin tentang tatacara mengucapkan shalawat. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat
kepadanya pada hari Jum’at.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَكْثِرُوا الصَّلاَةَ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ،
فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا.
“Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan
malam Jum’at, barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali niscaya Allah
bershalawat kepadanya sepuluh kali.”[2]
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa
manfaat dari mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
dimana beliau menyebutkan ada 40 manfaat. Di antara manfaat itu adalah:
1. Shalawat merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah.
2. Mendapatkan 10 kali shalawat dari Allah bagi yang
bershalawat sekali untuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3. Diharapkan dikabulkannya do’a apabila didahului dengan
shalawat tersebut.
4. Shalawat merupakan sebab mendapatkan syafa’at dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika ketika mengucapkan shalawat diiringi dengan
permohonan kepada Allah agar memberikan wasilah (kedudukan yang tinggi) kepada
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Kiamat.
5. Shalawat merupakan sebab diampuninya dosa-dosa.
6. Shalawat merupakan sebab sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam menjawab orang yang mengucapkan shalawat dan salam kepadanya.[3]
Tetapi tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu
dalam bershalawat dan memuji beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali
berdasarkan dalil shahih dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Para ulama Ahlus Sunnah
telah banyak meriwayatkan lafazh-lafazh shalawat yang shahih, sebagaimana yang
telah diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya
Radhiyallahu anhum.
Di antaranya adalah:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ
بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad,
sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Ya Allah, berikanlah berkah
kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah
kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi
Maha-mulia.” [4]
Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada
Nabi yang mulia ini, juga bagi keluarga beliau, para Sahabat, dan orang-orang
yang mengikuti jejak beliau hingga hari Kiamat.
E. Larangan
Ghuluw Dan Berlebih-Lebihan Dalam Memuji Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Ghuluw
artinya melampaui batas. Dikatakan: “ غَلاَ يَغْلُو غُلُوًّا ,” jika ia
melampaui batas dalam ukuran. Allah berfirman:
لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ
“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” [An-Nisaa':
171]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ
كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.
“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam
agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang
sebelum kalian.” [5]
Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah
sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali,
maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a
kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.
Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan)
dalam memuji serta berbohong karenanya. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam
hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah melampaui batas dalam
menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan
Rasul (utusan) Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat
Ilahiyyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada
beliau, tawassul dengan beliau, atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan
beliau, bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain
Allah Subhanahu wa Ta'ala, perbuatan ini adalah syirik.
Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah
melarang hal tersebut melalui sabda beliau:
لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا
أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku,
sebagai-mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera
Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka kata-kanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu
(hamba Allah dan Rasul-Nya).’”[6]
Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan
janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang
telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissallam, sehingga
mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku
sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allah dan
Rasul (utusan)-Nya.” [7]
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata, “Ketika
aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penguasa)
kami!” Spontan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.
“Sayyid (penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama
dan paling agung kebaikannya.” Serta merta beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengatakan:
قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ
الشَّيْطَانُ.
“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian
katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian
terseret oleh syaithan.” [8]
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Sebagian orang
berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara
kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera
sayyid kami!’ Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ
الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ
فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.
“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian
ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaithan, aku (tidak lebih) adalah
Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat
(menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku.”
[9]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membenci jika orang-orang
memujinya dengan berbagai ungkapan seperti: “Engkau adalah sayyidku, engkau
adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama
di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.” Padahal
sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara
mutlak. Meskipun demikian, beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari
sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau
dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di
dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat itu
adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka disanjung
melebihi dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan dan Allah ridhai.
Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan
kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak
boleh diminta kecuali kepada Allah. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan
ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dalam kasidah atau
anasyid, di mana mereka tidak membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta'ala
dengan hak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam
kasidah nuniyyah-nya berkata:
ِللهِ حَقٌّ لاَ يَكُوْنُ لِغَيْرِهِ
وَلِعَبْدِهِ حَقٌّ هُمَا حَقَّانِ
لاَ تَجْعَلُوا الْحَقَّيْنِ حَقًّا وَاحِدًا
مِنْ غَيْرِ تَمْيِيْزٍ وَلاَ فُرْقَانِ
“Allah memiliki hak yang tidak dimiliki selain-Nya,
bagi hamba pun ada hak, dan ia adalah dua hak yang berbeda.
Jangan kalian jadikan dua hak itu menjadi satu hak,
tanpa memisahkan dan tanpa membedakannya.” [10]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah,
Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Bahasan tentang shalawat selengkapnya dapat dilihat pada
kitab Jalaa-ul Afhaam fii Fadhlish Shalaah was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil
Anaam (hal. 453-556), karya al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dengan ta’liq
dan takhrij Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.
[2]. HR. Al-Baihaqi (III/249) dari Anas bin Malik Radhiyallahu
anhu, sanad hadits ini hasan. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no.
1407) oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.
[3]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 158-159).
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 3370/Fat-hul Baari (VI/408)), Muslim
(no. 406), Abu Dawud (no. 976, 977, 978), at-Tirmidzi (no. 483), an-Nasa-i
(III/47-48), Ibnu Majah (no. 904), Ahmad (IV/243-244) dan lain-lain, dari
Sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu.
Untuk mengetahui lafazh-lafazh shalawat lainnya yang
diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat
dilihat dalam buku Do’a dan Wirid (hal. 178-180), oleh penulis, cet. VI/
Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta, th. 2006 H.
[5]. HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah
(no. 3029), Ibnu Khu-zaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu anhuma. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan
oleh Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam
Mukhtasharusy Syamaa-il al-Mu-hammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55),
ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu anhu.
[7]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 151).
[8]. HR. Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari
dalam al-Adabul Mufrad (no 211/ Shahiihul Adabil Mufrad no 155), an-Nasai dalam
‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani
berkata: “Rawi-rawi-nya shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli hadits).”
(Fat-hul Baari V/179)
[9]. HR. Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasa-i dalam ‘Amalul
Yaum wal Lailah (no. 249, 250) dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad
Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 2675). Sanadnya shahih dari Sahabat Anas bin
Malik Radhiyallahu anhu.
[10]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 152) oleh Syaikh Shalih bin
Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.
http://almanhaj.or.id/content/3219/slash/0/anjuran-bershalawat-kepada-nabi-larangan-ghuluw-dan-berlebih-lebihan-dalam-memuji-nabi/
j�$cl�?��_�33"
style="font-weight: normal;">‘Urwah bin Mas’ud berkata kepada kaum
Quraisy: “Wahai kaumku, demi Allah, aku telah diutus ke Kisra, kaisar dan
raja-raja, namun aku tidak pernah melihat seorang raja pun yang diagungkan oleh
segenap rakyatnya melebihi pengagungan para Sahabat Radhiyallahu anhum kepada
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demi Allah, mereka tidak memandang
dengan tajam kepada beliau sebagai bentuk pengagungan mereka kepadanya
Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta tidaklah beliau berdahak kecuali ditadah
dengan telapak tangan salah seorang dari mereka, kemudian dilumurkan pada wajah
dan dadanya. Lalu tatkala beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu’, maka
hampir saja mereka saling membunuh karena berebut sisa air bekas wudhu’ beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [6]
B. Konsekuensi Dan Tanda-Tanda Cinta Kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. 1. Mencintai Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharuskan adanya pengagungan, memuliakan,
meneladani beliau dan mendahulukan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
atas segala ucapan makhluk serta mengagungkan Sunnah-sunnahnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesung-guhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Hujuraat: 1]
2. Mentaati apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam perintahkan.
Allah memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena dengan taat kepada beliau menjadi sebab seseorang masuk Surga. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” [An-Nisaa': 13]
3. Membenarkan apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berkata menurut hawa nafsunya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰإِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]
4. Menahan diri dari apa yang dilarang dan dicegah oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al-Hasyr: 7]
5. Beribadah sesuai dengan apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam syari’atkan, atau dengan kata lain ittiba’ kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk mengajarkan ummat Islam tentang bagaimana cara yang benar dalam beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan semuanya. Oleh karena itu, ummat Islam wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar mereka mendapatkan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, kejayaan dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya.
Ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hukumnya adalah wajib, dan ittiba’ menunjukkan kecintaan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [Ali ‘Imran: 31]
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H): “Ayat ini adalah pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka orang itu dusta dalam pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.” [7]
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.[8]
Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan menjelaskan dalam kitabnya: “Termasuk mengagungkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mengagungkan Sunnahnya dan berkeyakinan tentang wajibnya mengamalkan Sunnah tersebut, dan meyakini bahwa Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menduduki kedudukan kedua setelah Al-Qur-anul Karim dalam hal kewajiban mengagungkan dan mengamalkannya, sebab As-Sunnah merupakan wahyu dari Allah.
Karena itu tidak boleh membuat keragu-raguan di dalamnya, apalagi melecehkannya. Dan tidak boleh membicarakan keshahihan dan kedha’ifannya, baik dari segi jalan, sanad atau penjelasan makna-maknanya kecuali berdasarkan ilmu dan kehati-hatian. Pada zaman ini banyak orang-orang bodoh yang melecehkan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, terutama dari kalangan anak-anak muda yang baru dalam tahap awal belajar. Mereka dengan mudahnya menshahihkan atau mendha’ifkan hadits-hadits, dan menilai cacat para perawi tanpa ilmu kecuali dari membaca beberapa buku. Sungguh hal tersebut berbahaya bagi mereka dan ummat. Karena itu hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah dan menahan diri pada batasannya.[9]
C. Wajibnya Mentaati Dan Meneladani Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.[10] Kita wajib mentaati Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menjalankan apa yang diperintahkannya dan meninggalkan apa yang dilarangnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari syahadat (kesaksian) bahwa beliau adalah Rasul (utusan) Allah. Dalam banyak ayat Al-Qur-an, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kita untuk mentaati Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antaranya ada yang diiringi dengan perintah taat kepada Allah, sebagaimana firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya...” [An-Nisaa': 59]
Dan masih banyak lagi contoh yang lain. Di samping itu terkadang perintah tersebut disampaikan dalam bentuk tunggal, tidak dibarengi kepada perintah yang lain, sebagaimana dalam firman-Nya:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” [An-Nisaa': 80]
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan taatlah kepada Rasul supaya kamu diberi rahmat.” [An-Nuur: 56]
Tekadang pula Allah mengancam orang yang mendurhakai Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang melanggar perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nuur: 63]
Artinya hendaknya mereka takut jika hatinya ditimpa fitnah kekufuran, nifaq, bid’ah atau siksa pedih di dunia, baik berupa pembunuhan, had, pemenjaraan atau siksa-siksa lain yang dise-gerakan. Allah telah menjadikan ketaatan dan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai sebab hamba mendapatkan kecintaan Allah dan ampunan atas dosa-dosanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan ketaatan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai petunjuk dan mendurhakainya sebagai suatu kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” [An-Nuur: 54]
Allah mengabarkan bahwa pada diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik bagi segenap ummatnya. Allah berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Nama Allah.” [Al-Ahzaab: 21]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya. Untuk itu, Allah تَبَارَكَ وَتَعَالَى memerintahkan manusia untuk meneladani sifat sabar, keteguhan, kepahlawanan, perjuangan dan kesabaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menanti pertolongan dari Rabb-nya k ketika perang Ahzaab. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat kepada beliau hingga hari Kiamat.”[11]
Dalam Al-Qur-an, Allah telah menyebutkan ketaatan kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan meneladaninya sebanyak 40 kali. Demikianlah, karena jiwa manusia lebih membutuhkan untuk mengetahui apa yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bawa dan mengikutinya daripada kebutuhan kepada makanan dan minuman, sebab jika seorang tidak mendapatkan makanan dan minuman, ia hanya berakibat mati di dunia sementara jika tidak mentaati dan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka akan mendapat siksa dan kesengsaraan yang abadi.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar kita mengikutinya dalam melakukan berbagai ibadah dan hendaknya ibadah itu dilakukan sesuai dengan cara yang beliau contohkan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي.
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.” [12]
Juga sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam:
خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُم.
“Ambillah dariku manasik (haji)mu.” [13]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَن عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أَمرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” [14]
Dan sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَن رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي.
“Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” [15]
Dan masih banyak dalil-dalil lain yang menunjukkan perintah mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan larangan menyelisihinya.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340AJakarta , Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 148-151) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, Syarah Ushuul ats-Tsalaatsah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-‘Urwatul Wutsqa fii Dhauil Kitaab was Sunnah oleh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, dan kitab-kitab lainnya.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 6632), dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43 (67)), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VIII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033), dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[4]. Jalaa’ul Afhaam fii Fadhlish Shalaati was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam (hal. 297-298), tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
[5]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 149), oleh Dr. Shalih al-Fauzan.
[6]. Perkataan ‘Urwah bin Mas’ud z ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahiihnya (no. 2731, 2732), Kitaabusy Syuruut bab Syuruuth fil Jihaad.
[7]. Tafsiir Ibni Katsiir (I/384), cet. Daarus Salam.
[8]. Sebagian contoh-contoh bid’ah yang masih dilakukan kaum Muslimin seperti: Perayaan dan peringatan Maulid Nabi j, perayaan Isra’ Mi’raj, tawassul dengan orang mati, membangun kubur, dan yang lainnya. Semua ini tidak pernah di-lakukan oleh Nabi j dan para Sahabatnya.
[9]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 154).
[10]. Diringkas dari ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 155-157).
[11]. Tafsiir Ibni Katsir (III/522-523), cet. Daarus Salaam.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 631)
[13]. HR. Muslim (no. 1297) dan lainnya.
[14]. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1719 (18)).
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 5063) dan Muslim (no. 1401).
B. Konsekuensi Dan Tanda-Tanda Cinta Kepada Rasulullah Shallallahu '
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesung-guhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Hujuraat: 1]
2. Mentaati apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam perintahkan.
Allah memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena dengan taat kepada beliau menjadi sebab seseorang masuk Surga. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” [An-Nisaa': 13]
3. Membenarkan apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berkata menurut hawa nafsunya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰإِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]
4. Menahan diri dari apa yang dilarang dan dicegah oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al-Hasyr: 7]
5. Beribadah sesuai dengan apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam syari’atkan, atau dengan kata lain ittiba’ kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk mengajarkan ummat Islam tentang bagaimana cara yang benar dalam beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan semuanya. Oleh karena itu, ummat Islam wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar mereka mendapatkan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, kejayaan dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya.
Ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hukumnya adalah wajib, dan ittiba’ menunjukkan kecintaan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [Ali ‘Imran: 31]
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H): “Ayat ini adalah pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka orang itu dusta dalam pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.” [7]
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.[8]
Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan menjelaskan dalam kitabnya: “Termasuk mengagungkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mengagungkan Sunnahnya dan berkeyakinan tentang wajibnya mengamalkan Sunnah tersebut, dan meyakini bahwa Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menduduki kedudukan kedua setelah Al-Qur-anul Karim dalam hal kewajiban mengagungkan dan mengamalkannya, sebab As-Sunnah merupakan wahyu dari Allah.
Karena itu tidak boleh membuat keragu-raguan di dalamnya, apalagi melecehkannya. Dan tidak boleh membicarakan keshahihan dan kedha’ifannya, baik dari segi jalan, sanad atau penjelasan makna-maknanya kecuali berdasarkan ilmu dan kehati-hatian. Pada zaman ini banyak orang-orang bodoh yang melecehkan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, terutama dari kalangan anak-anak muda yang baru dalam tahap awal belajar. Mereka dengan mudahnya menshahihkan atau mendha’ifkan hadits-hadits, dan menilai cacat para perawi tanpa ilmu kecuali dari membaca beberapa buku. Sungguh hal tersebut berbahaya bagi mereka dan ummat. Karena itu hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah dan menahan diri pada batasannya.[9]
C. Wajibnya Mentaati Dan Meneladani Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.[10] Kita wajib mentaati Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menjalankan apa yang diperintahkannya dan meninggalkan apa yang dilarangnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari syahadat (kesaksian) bahwa beliau adalah Rasul (utusan) Allah. Dalam banyak ayat Al-Qur-an, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kita untuk mentaati Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antaranya ada yang diiringi dengan perintah taat kepada Allah, sebagaimana firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya...” [An-Nisaa': 59]
Dan masih banyak lagi contoh yang lain. Di samping itu terkadang perintah tersebut disampaikan dalam bentuk tunggal, tidak dibarengi kepada perintah yang lain, sebagaimana dalam firman-Nya:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” [An-Nisaa': 80]
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan taatlah kepada Rasul supaya kamu diberi rahmat.” [An-Nuur: 56]
Tekadang pula Allah mengancam orang yang mendurhakai Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang melanggar perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nuur: 63]
Artinya hendaknya mereka takut jika hatinya ditimpa fitnah kekufuran, nifaq, bid’ah atau siksa pedih di dunia, baik berupa pembunuhan, had, pemenjaraan atau siksa-siksa lain yang dise-gerakan. Allah telah menjadikan ketaatan dan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai sebab hamba mendapatkan kecintaan Allah dan ampunan atas dosa-dosanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan ketaatan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai petunjuk dan mendurhakainya sebagai suatu kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” [An-Nuur: 54]
Allah mengabarkan bahwa pada diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik bagi segenap ummatnya. Allah berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Nama Allah.” [Al-Ahzaab: 21]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya. Untuk itu, Allah تَبَارَكَ وَتَعَالَى memerintahkan manusia untuk meneladani sifat sabar, keteguhan, kepahlawanan, perjuangan dan kesabaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menanti pertolongan dari Rabb-nya k ketika perang Ahzaab. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat kepada beliau hingga hari Kiamat.”[11]
Dalam Al-Qur-an, Allah telah menyebutkan ketaatan kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan meneladaninya sebanyak 40 kali. Demikianlah, karena jiwa manusia lebih membutuhkan untuk mengetahui apa yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bawa dan mengikutinya daripada kebutuhan kepada makanan dan minuman, sebab jika seorang tidak mendapatkan makanan dan minuman, ia hanya berakibat mati di dunia sementara jika tidak mentaati dan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka akan mendapat siksa dan kesengsaraan yang abadi.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar kita mengikutinya dalam melakukan berbagai ibadah dan hendaknya ibadah itu dilakukan sesuai dengan cara yang beliau contohkan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي.
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.” [12]
Juga sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam:
خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُم.
“Ambillah dariku manasik (haji)mu.” [13]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَن عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أَمرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” [14]
Dan sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَن رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي.
“Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” [15]
Dan masih banyak dalil-dalil lain yang menunjukkan perintah mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan larangan menyelisihinya.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A
_______
Footnote
[1]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 148-151) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, Syarah Ushuul ats-Tsalaatsah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-‘Urwatul Wutsqa fii Dhauil Kitaab was Sunnah oleh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, dan kitab-kitab lainnya.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 6632), dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43 (67)), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VIII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033), dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[4]. Jalaa’ul Afhaam fii Fadhlish Shalaati was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam (hal. 297-298), tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
[5]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 149), oleh Dr. Shalih al-Fauzan.
[6]. Perkataan ‘Urwah bin Mas’ud z ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahiihnya (no. 2731, 2732), Kitaabusy Syuruut bab Syuruuth fil Jihaad.
[7]. Tafsiir Ibni Katsiir (I/384), cet. Daarus Salam.
[8]. Sebagian contoh-contoh bid’ah yang masih dilakukan kaum Muslimin seperti: Perayaan dan peringatan Maulid Nabi j, perayaan Isra’ Mi’raj, tawassul dengan orang mati, membangun kubur, dan yang lainnya. Semua ini tidak pernah di-lakukan oleh Nabi j dan para Sahabatnya.
[9]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 154).
[10]. Diringkas dari ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 155-157).
[11]. Tafsiir Ibni Katsir (III/522-523), cet. Daarus Salaam.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 631)
[13]. HR. Muslim (no. 1297) dan lainnya.
[14]. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1719 (18)).
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 5063) dan Muslim (no. 1401).