Oleh:Abu Ibrahim Muhammad Ali
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling menzhalimi
satu dengan yang lainnya, Allah dengan tegas mengharamkan perbuatan
zhalim atas diri-Nya, juga atas segenap makhluk-Nya. [1] Kezhaliman
dengan berbagai ragamnya telah menyebar dan berlangsung turun temurun
dari generasi ke generasi, dan ini merupakan salah satu tanda akan
datangnya hari kiamat sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda.
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّا س زَمَانٌ لاَيُبَاليَّ الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَ منْ حَلاَل أَم منْ حَرَام
“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak
peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang
haram” [HR Bukhari kitab Al-Buyu : 7]
Di antara bentuk kezhaliman yang hampir merata di tanah air kita adalah
diterapkannya sistem perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat secara
umum, terutama kaum muslimin, dengan alasan harta tersebut dikembalikan
untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama. Untuk itulah, akan kami
jelaskan masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal berkaitan
dengan pajak tersebut, di antaranya ialah sikap kaum muslimin yang
harus taat kepada pemerintah dalam masalah ini. Mudah-mudahan
bermanfaat.
DEFINISI PAJAK
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama الْعُشْرُ (Al-Usyr)
[2] atau الْمَكْسُ (Al-Maks), atau bisa juga disebut لضَّرِيْبَةُ
(Adh-Dharibah), yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat
oleh para penarik pajak” [3]. Atau suatu ketika bisa disebut الْخَرَاجُ
(Al-Kharaj), akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk
pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus.[4]
Sedangkan para pemungutnya disebut صَاحِبُ الْمَكْسِ (Shahibul Maks) atau الْعَشَّارُ (Al-Asysyar).
Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang
dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang
dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan
umum”[5]
MACAM-MACAM PAJAK
Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah :
1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
2. Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
4. Pajak Barang dan Jasa
5. Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
6. Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
7. Pajak Transit/Peron dan sebagainya.
ADAKAH PAJAK BUMI/KHARAJ ( الْخَرَاجُ) DALAM ISLAM?
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121)
menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam.
1. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan,
seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang
yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai
mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah,
sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap
mereka yang masih kafir saja.
2. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan,
sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut,
dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu
tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir
maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut,
diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah
wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan
berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak
hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.
HUKUM PAJAK DAN PEMUNGUTNYA MENURUT ISLAM
Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang
jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.
Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-Nisa : 29]
Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta
sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah
satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan
keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau
berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai
oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits
ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin
Sa’id Al-Mishri”.
Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.
عَنْ أَبِيْ الْخَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ
مَخْلَّدٍ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَرُوَ ُيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ
اللَّهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُوْرَ فَقَالَ إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ
فِيْ النَّارِ
“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin
Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas
penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia
berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di
neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah jelas keabsahan
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku
tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah
Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if
At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib” [7]
Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali
hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya
hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah
wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid
Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke
arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid
marah sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
مَهْلاً يَا خَالِدُ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ
تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا
فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ
“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya,
sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut
pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan
jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu
dikuburkan” [HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud
4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal.
715-716]
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat
beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak
termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan
(pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan
tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti” [Lihat : Syarah Shahih
Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi]
KESEPAKATAN ULAMA ATAS HARAMNYA PAJAK
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya,
Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para
pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang
wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan
apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas
barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya
maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu)
termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan
fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat
barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya,
dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang
memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar
jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang
yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka
sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut,
(sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu
semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua,
kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan
ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja” [8]
PAJAK BUKAN ZAKAT
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani
Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus
kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum
muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian
beliau melanjutkan : “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban
zakat..” [9]
Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya.
1. Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan
oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya
[10]. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan
oleh penguasaa di suatu tempat.
2. Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat
berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita
katakan kepada orang kafir [11] karena orang kafir tidak akan menjadi
suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku
bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin
3. Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa
ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak,
karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh
imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak.
[12].
4. Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang dicontohkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan
sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh
para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah
menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang
melalui/melewati daerah kekuasannya. [Lihat Al-Amwal oleh Abu Ubaid
Al-Qasim]
PERSAKSIAN PARA SALAFUSH SHALIH TENTANG PAJAK
1. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya apakah Umar bin
Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin.
Beliau menjawab : “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya” [Syarh Ma’anil
Atsar 2/31]
2. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada
Adi bin Arthah, di dalamnya ia berkata : “Hapuskan dari manusia (kaum
muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar
pajak saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah
difirmankan oleh Allah.
وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
“…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak
mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat
kerusakan” [Hud : 85]
Kemudian beliau melanjutkan : “Maka barangsiapa yang menyerahkan
zakatnya (kepada kita), terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak
menunaikannya, maka cukuplah Allah yang akan membuat perhitungan
dengannya” [Ahkam Ahli Dzimmah 1/331]
3. Imam Ahmad rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum
muslimin, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam
kitab Jami’ul Ulum wal Hikam [13]
4. Imam Al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an
(4/366) : “Yang ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dari pungutan sepersepuluh adalah pajak yang biasa dipungut
oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, sesungguhnya ia bukanlah pajak. Zakat
termasuk bagian dari harta yang wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh
imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang yang berhak)”
5. Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarh As-Sunnah
(10/61) :” Yang dimaksud dengan sebutan (صَاحِبُ الْمَكْسِ )Shahibul
Maks, adalah mereka yang biasa memungut pajak dari para pedagang yang
berlalu di wilayah mereka dengan memberi nama Al-Usyr (الْعَشَّارُ).
Adapun para petugas yang bertugas mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau
yang bertugas memungut upeti dari para ahli dzimmah atau yang telah
mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka hal ini memang ada
dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas dalam hal itu.
Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan berbuat
zhalim. Wallahu a’lam.
6. Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Nailul Authar (4/279)
mengatakan : “Kata Shahibul Maks (صَاحِبُ الْمَكْسِ )adalah para
pemungut pajak dari manusia tanpa haq”.
7. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war
Ra’iyyah, mengatakan : “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak,
maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.
PEMERINTAH BERHAK ATAS RAKYATNYA
Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya, Al-Muhalla (4/281) ;
“Orang-orang kaya ditempatnya masing-masing mempunyai kewajiban
menolong orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu
berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-miskin) apabila
tidak ditegakkan/dibayar zakat kepada fakir-miskin..”
Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah.
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan ….” [Al-Isra : 26]
Dalam ayat di atas dan nash-nash semisalnya, seperti Al-Qur’an surat
An-Nisa ; 36, Muhammad : 42-44 dan hadits yang menunjukkan bahwa :
“Siapa yang tidak mengasihi orang lain maka dia tidak dikasihi oleh
Allah” [HR Muslim : 66], semuanya menunjukkan bahwa orang-orang fakir
dan miskin mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang-orang kaya.
Dan barangsiapa (di antara orang kaya melihat ada orang yang sedang
kelaparan kemudian tidak menolongnya, maka dia tidak akan dikasihi oleh
Allah: [16]
BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?
Setelah jelas bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kezhaliman yang
nyata, timbul pertanyaan : “Apakah seorang muslim menolak dan menghindar
dari praktek pajak yang sedang berjalan atau sebaliknya?”
Jawabnya.
Setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam
kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu
kemaksiatan. Memang, pajak termasuk kezhaliman yang nyata. Akan tetapi,
kezhaliman yang dilakukan pemipimpin tidak membuat ketaatan rakyat
kepadanya gugur/batal, bahkan setiap muslim tetap harus taat kepada
pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya bukan kepada kemaksiatan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para
sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para
pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau ditanya tentang sikap kaum
muslimin : “Bolehkah melawan/memberontak?”. Lalu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih
menjalankan shalat” [15]
Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta telah
dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana seharusnya
rakyat menyikapinya. Dalam sebuah hadits yang shahih, setelah berwasiat
kepada kaum muslimin agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya
selalu mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu
seorang hamba sahaya (selagi dia muslim). [16]
Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang
zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman
Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai
pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab.
اِسْمَعْ وَأطِعْ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ ؤَأَخَذَ مَالَكَ
“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu
dan mengambil (paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847]
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang
sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan : “Melawan pemimpin
pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas
kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan
mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas
lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan
kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang
sedang berpecah dan tidak bersatu) [17]
DIANTARA SUMBER PEMASUKAN NEGARA
Di antara sumber pemasukan negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ialah.
1. Zakat, yaitu kewajiban setiap muslim yang mempunyai harta hingga
mencapai nishabnya. Di samping pemilik harta berhak mengeluarkan sendiri
zakatnya dan diberikan kepada yang membutuhkan, penguasa juga mempunyai
hak untuk menarik zakat dari kaum muslimin yang memiliki harta,
lebih-lebih apabila mereka menolaknya, kemudian zakat itu dikumpulkan
oleh para petugas zakat (amil) yang ditugaskan oleh pemimpinnya, dan
dibagikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam
Al-Qur’an surat At-Taubah : 60. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya
amil-amil zakat yang ditugaskan oleh pemimpin kaum muslimin baik yang
terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ataupun
generasi berikutnya.
2. Harta warisan yang tidak habis terbagi. Di dalam ilmu waris (faraidh)
terdapat pembahasan harta yang tidak terbagi. Ada dua pendapat yang
masyhur di kalangan para ahli faraidh. Pendapat yang pertama, harus
dikembalikan kepada masing-masing ahli waris disesuaikan dengan
kedekatan mereka kepada mayit, kecuali salah satu dari istri atau suami.
Pendapat kedua mengatakan, semua harta yang tidak terbagi/kelebihan,
maka dikembalikan ke baitul mal/kas negara. Walau demikian, suatu ketika
harta yang berlebihan itu tidak bisa dikembalikan kepada masing-masing
ahli waris, semisal ada seorang meninggal dan ahli warisnya seorang
janda saja, maka janda tersebut mendapat haknya 1/6, dan sisanya –mau
tidak mau- harus dikembalikan ke baitul mal. [18]
3. Jizyah, adalah harta/upeti yang diambil dari orang-orang kafir yang
diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya. [19]
4. Ghanimah dan fai’. Ghanimah adalah harta orang kafir (al-harbi) yang
dikuasai oleh kaum muslimin dengan adanya peperangan. Sedangkan fai’
adalah harta orang kafir al-harbi yang ditinggalkan dan dikuasai oleh
kaum muslimin tanpa adanya peperangan. Ghanimah sudah ditentukan oleh
Allah pembagiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal : 41, yaitu 4/5 untuk
pasukan perang sedangkan 1/5 yang tersisa untuk Allah, RasulNya, kerabat
Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya
melalui baitul mal. Sedangkan fai’ pembagiannya sebagaimana dalam
Al-Qur’an surat Al-Hasyr : 7, yaitu semuanya untuk Allah, RasulNya,
kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan
penyalurannya (juga) melalui mal.
5. Kharaj, hal ini telah kami jelaskan dalam point : Adakah Pajak Bumi Dalam Islam?”, diatas.
6. Shadaqah tathawwu, yaitu rakyat menyumbang dengan sukarela kepada negara yang digunakan untuk kepentingan bersama.
7. Hasil tambang dan semisalnya.
Atau dari pemasukan-pemasukan lain yang dapat menopang anggaran
kebutuhan pemerintah, selain pemasukan dengan cara kezhaliman semisal
badan usaha milik negara.
PENUTUP
Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kita mengingat
kembali bahwa kemiskinan, kelemahan, musibah yang silih berganti,
kekalahan, kehinaan, dan lainnya ; di antara sebabnya yang terbesar
tidak lain ialah dari tangan-tangan manusia itu sendiri. [Ar-Rum : 41]
Di antara manusia ada yang terheran-heran ketika dikatakan pajak adalah
haram dan sebuah kezhaliman nyata. Mereka mengatakan mustahil suatu
negara akan berjalan tanpa pajak.
Maka hal ini dapat kita jawab : Bahwa Allah telah menjanjikan bagi
penduduk negeri yang mau beriman dan bertaqwa (yaitu dengan menjalankan
perintah dan menjauhi laranganNya), mereka akan dijamin oleh Allah
mendapatkan kebaikan hidup mereka di dunia, lebih-lebih di akhirat
kelak, sebagaimana Allah berfirman.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Seandainya penduduk suatu negeri mau beriman dan beramal shalih,
niscaya Kami limpahkan kepada merka berkah (kebaikan yang melimpah) baik
dari langit atau dari bumi, tetapi mereka mendustakan (tidak mau
beriman dan beramal shalih), maka kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya” [Al-A’raf : 96]
Ketergantungan kita kepada diterapkannya pajak, merupakan salah satu
akibat dari pelanggaran ayat di atas, sehingga kita disiksa dengan pajak
itu sendiri. Salah satu bukti kita melanggar ayat di atas adalah betapa
banyak di kalangan kita yang tidak membayar zakatnya terutama zakat
mal. Ini adalah sebuah pelanggaran. Belum terhitung
pelanggaran-pelanggaran lain, baik yang nampak atau yang samara.
Kalau manusia mau beriman dan beramal shalih dengan menjalankan semua
perintah (di antaranya membayar zakat sebagaimana mestinya) dan menjauhi
segala laranganNya (di antaranya menanggalkan beban pajak atas kaum
muslimin), niscaya Allah akan berikan janji-Nya yaitu keberkahan yang
turun dari langit dan dari bumi.
Bukankah kita menyaksikan beberapa negeri yang kondisi alamnya kering
lagi tandus, tetapi tatkala mereka mengindahkan sebagian besar perintah
Allah, maka mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah berupa
berkah/kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi, mereka dapat
merasakan semua kenikmatan dunia. Sebaliknya, betapa banyak negeri yang
kondisi alamnya sangat strategis untuk bercocok tanam dan sangat subur,
tetapi tatkala penduduknya ingkar kepada Allah dan tidak mengindahkan
sebagian besar perintah-Nya, maka Allah hukum mereka dengan ketiadaan
berkah dari langit dan bumi mereka, kita melihat hujan sering turun,
tanah mereka subur nan hijau, tetapi mereka tidk pernah merasakan berkah
yang mereka harapkan. Allahu A’lam.
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya'ban 1427/2006.
Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat :
Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Footnote
[1]. Lihat Ali-Imran : 117 dan HR Muslim 2578 dari jalan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu.
[2]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182
[3]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats
Al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan
Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab Al-Arabi
[4]. Lihat Al-Mughni 4/186-203
[5]. Dinukil definisi pajak ini dari buku Nasehat Bijak Tuk Para
Pemungut Pajak oleh Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, dan sebagai amanah
ilmiah kami katakan bahwa tulisan ini banyak mengambil faedah dari buku
tersebut.
[6]. Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa
Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.
[7]. Lihat Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani
[8]. Lihat Nasehat Bijak hal. 75-77 oleh Ibnu Saini, dan Al-washim wal Qawashim hal. 49 oleh Dr Rabi Al-Madkhali.
[9]. Lihat Nasehat Bijak Tuk Pemungut Pajak hal. 88 oleh Ibnu Saini
[10]. Lihat At-Taubah : 60
[11]. Lihat Al-Mughni 4/200
[12]. Asal perkataan ini diucapkan oleh Al-Jashshah dalam Ahkamul Qur’an 4/366
[13]. Lihat Iqadh Al-Himmam Al-muntaqa Jami’ Al-Ulum wal Hikam hal. 157
[14]. Asal perkataan ini dinukil dari perkataan Ibnu Hazm rahimahullah,
dengan penyesuaian. (Lihat. Al-Muhalla bil-Atsar dengan tahqiq Dr Abdul
Ghaffar Sulaiman Al-Bandari 4/281-282
[15]. HR Muslim : 1855 dari jalan Auf bin Malik Al-Asyja’i Radhiyallahu ‘anhu
[16]. Hadits no. 28 dalam kitab Al-Arbaun An-Nawawi diriwayatkan oleh Abu Dawud no 2676, dan Ahmad 4/126.
[17]. Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93
[18]. Lihat Al-Khulashoh Fi Ilmi Al-Faro’idh hal. 375-385
[19]. Lihat Lisan Al-Arab 2/280/281 cetakan Dar Ihya At-Turots
http://almanhaj.or.id/content/2437/slash/0/pajak-dalam-islam/