Oleh:Ustadz Abu Riyadl Nurcholis bin Mursidi
Status ekonomi yang berbeda, merupakan bagian dari realita kehidupan
yang tidak bisa dipungkiri. Kondisi ini mestinya tidak mengganggu
keharmonisan hubungan antara individu masyarakat yang berbeda status
ekonominya, asal masing-masing mengerti hak dan kewajibannya. Karena,
mereka sebenarnya saling membutuhkan; si miskin butuh si kaya, begitu
sebaliknya. Disamping juga, tidak ada jaminan bahwa kondisi itu akan
berlangsung selamanya. Terkadang bisa berubah seratus delapan puluh
derajat, si miskin menjelma menjadi orang kaya sementara si kaya
terpuruk menjadi si miskin. Ini alasan lain, kenapa si miskin dan si
kaya selalu saling membutuhkan. Namun sangat disayangkan, betapa banyak
orang yang tidak mengerti, pura-pura tidak tahu atau memang tidak mau
tahu masalah ini. Akibatnya berbagai macam permasalahan bermunculan.
Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin mengatur hubungan antara yang
kaya dan yang miskin, agar terjalin rasa kasih sayang diantara sesama.
Zakat yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan atas orang kaya lalu diberikan
kepada orang-orang yang berhak menerimanya, merupakan salah satu dari
cara Islam mengatur hubungan antara si kaya dan si miskin. Dengan ini,
si kaya akan menyadari bahwa dalam harta mereka ada bagian untuk
orang-orang miskin atau tidak mampu. Allâh Subhanahu wa Ta'ala berfirman
:
"Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian (maksudnya orang miskin yang
tidak meminta-minta)". [adz-Dzariyât/51:19]
Diantara yang berhak menerima zakat dari orang kaya adalah al-ghârim
(orang yang terlilit hutang). Namun penerima zakat yang satu ini harus
memenuhi beberapa kriteria sehingga zakat yang dikeluarkan oleh
orang-orang kaya tepat sasaran dan tidak berpotensi menyuburkan
ketamakan. Dengan demikian, hikmah zakat akan dirasakan oleh semua
lapisan masyarakat. Yang berhak menerima, merasa terbantu dan tidak
berpikir untuk melakukan tindakan negatif.. Sementara si kaya merasa
tenang dan nyaman karena sudah melaksanakan syari'at dengan benar dan
akan mendapatkan limpahan do'a dari si miskin. Disamping juga, dia
terlepas dari rencana negatif sebagian orang yang mungkin dengan dalih
terpaksa melakukan kejahatan.
DEFINISI AL-GHARIM (BANGKRUT)
Dalam mendefinisikan al-ghârim, para Ulama' berbeda-beda. Ada yang
mengatakan, al-ghârim adalah orang yang terlilit hutang. Ada juga yang
menambahkan definisi ini dengan menyertakan penyebabnya. Mujâhid
rahimahullah mengatakan al-ghârim adalah orang yang menanggung hutang
karena rumahnya terbakar, atau hartanya terseret banjir, atau untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya [1].
Ibnu Atsîr rahimahullah menambahkan, al-ghârim adalah orang yang
menjamin pelunasan hutang orang lain, atau orang yang bangkrut guna
mencukupi kebutuhan hidup, tidak untuk berbuat maksiat atau berlaku
boros (tabdzîr) [2].
Berdasarkan ini, Ulama' fiqh menentukan kriteria tertentu bagi al-ghârim
yang berhak menerima zakat ditinjau dari faktor penyebab pailit atau
terlilit hutang.
FAKTOR-FAKTOR PAILIT ATAU TERLILIT HUTANG
Secara garis besar, ada dua jenis penyebab seseorang terlilit hutang atau menjadi al-ghârim:
1. Ghârim limaslahati nafsihi (Terlilit hutang demi kemaslahatan atau kebutuhan dirinya)
2. Ghârim li ishlâhi dzatil bain ( Terlilit hutang karena mendamaikan manusia, qabilah atau suku)
Kedua jenis al-ghârim diatas berhak menerima zakat tetapi dengan syarat
tambahan pada ghârim linafsihi yaitu harus dalam keadaan miskin.
Sedangkan untuk ghârim li ishlâhi dzatil bain maka boleh diberi zakat
meski dia kaya.
I. GHARIM LI MASHLAHATI NAFSIHI
Pada jenis ini ulama mendefinisikan kriteria al-gharîm yang berhak
menerima zakat, yaitu mereka yang terjerat hutang untuk maslahat dirinya
dan keluarganya, seperti orang yang berhutang untuk makan, pakaian,
tempat tinggal atau berobat dsb.
Al-Ba'li rahimahullah berkata, "Al-ghârim adalah orang yang berhutang
untuk menafkahi diri dan keluarganya atau untuk berpakaian."[3]
Juga termasuk kategori al-ghârim jenis ini adalah orang yang terkena
bencana alam atau musibah lainnya yang mengakibatkan hartanya habis,
contohnya : banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran, pencurian dan
sebagainya yang mengakibatkan mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan
pokok. Sehingga mereka termasuk fuqara' (orang-orang fakir). Inilah yang
disabdakan Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam potongan
hadits yang panjang dari shahabat Qabishah Radhiyallahu 'anhu :
وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ
"Dan seorang yang tertimpa bencana sehingga hartanya musnah. Orang ini
dihalalkan meminta-minta sampai kembali mendapat harta untuk hidup".[4]
Apakah Hutang Karena Kafarat Atau Fidyah (Hutang Yang Menyangkut Hak Allâh) Termasuk Ghârim Yang Berhak Diberi Zakat ?
Ada dua pendapat tentang ghârim yang seperti ini :
Pertama : pendapat Ulama' Hanafiyyah dan Mâlikiyyah yang menyatakan
mereka tidak berhak mendapat zakat dari baitul mal. Karena hutang yang
dibantu adalah hutang yang berkaitan dengan (hak) manusia, sedangkan
hutang kepada Allâh Azza wa Jalla seperti pembayaran kafarat atau zakat
yang tertunda maka tidak bisa diambilkan dari uang zakat.
Kedua : Pendapat sebagian Ulama' Hanabilah, mereka membolehkan pemberian
zakat dari baitul mal untuk al-ghârim jenis ini, dengan dalil bahwa
hutang kepada Allâh Azza wa Jalla adalah hutang yang paling berhak untuk
dibayar.
Pendapat yang râjih, wallahu A'lam adalah pendapat pertama. Karena
sebagian kafarat memiliki pengganti kafarat lainnya yang tidak mesti
dengan harta, misalnya dengan puasa. Apabila seseorang tidak mampu
membayar kafarat, sesungguhnya rahmat Allâh Azza wa Jalla sangat luas.
sehingga bagi yang memiliki hutang dan beniat mengembalikannya niscaya
Allâh Azza wa Jalla akan menutupinya hari qiamat, maka bagaimana dengan
orang yang tidak mampu bayar kafarat ? Sedangkan ia telah berniat
membayar kafarat namun tidak mampu. Oleh karenanya uang zakat tidak
diberikan untuk membayar kafarat-kafarat tersebut.[5]
Bagaimana Jika Seseorang Meninggal Dalam Keadaan Pailit?
Jika seseorang mati meninggalkan hutang yang lebih banyak dari harta warisannya. Apakah boleh dilunasi dengan uang zakat ?
Dalam masalah ini Ulama' berbeda pendapat, ada yang melarangnya dan ada
yang membolehkannya. Pendapat yang melarang adalah pendapat Ulama'
Hanafiyyah dan Hanabilah serta salah satu pendapat Imam Syâfi'i
rahimahullah. Sedangkan yang membolehkannya adalah pendapat Mâlikiyyah
dan dirâjihkan oleh syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah. Inilah
yang rajah berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh imam Bukhâri :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ إِلَّا وَأَنَا
أَوْلَى بِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ {
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ }فَأَيُّمَا
مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا
وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلَاهُ
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anmhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, "Tiada seorang mukmin pun kecuali aku lebih berhak
padanya di dunia dan akhirat, bacalah firman Allâh Azza wa Jalla (yang
artinya) " Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari
diri mereka sendiri" [6], maka mukmin manapun yang mati dan
meninggalkan harta maka ahli warisnya yang mewarisi hartanya.
Barangsiapa mati meninggalkan hutang atau barang yang hilang maka
hendaklah ia mendatangiku karena aku adalah tuannya".[7]
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa hujah (dasar pijakan)
pendapat yang menyatakan mayit termasuk dalam kategori al-ghârim lebih
kuat. Ditambah lagi pendapat yang menolak memasukkan mayit sebagai
al-ghârim tidak memiliki dalil yang jelas.[8]
II. GHARIM LI ISHLAHI DZATIL BAYYIN
Perselisihan antar suku seringkali berujung peperangan dan mengakibatkan
korban yang tidak sedikit. Kondisi ini terkadang menggerakkan hati
orang-orang yang berjiwa sosial dan dermawan untuk berupaya memadamkan
api permusuhan dengan menjadi penengah. Terkadang upaya yang dilakukan
memaksanya merogoh kocek dalam-dalam karena membutuhkan dana besar.
Hutang pun terpaksa ditempuh demi menggapai tujuan mulia yaitu
menghentikan pertikaian. Orang seperti inilah yang disebut al-ghârim li
ishlahi dzâtil bayyin.
Ketika memaparkan pengertian al-ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, Imam
Nawawi rahimahullah dalam Kitâbul Majmû' menyatakan, "Yaitu seorang yang
berhutang untuk mendamaikan pertikaian, seperti jika dikhawatirkan
terjadi peperangan antara dua suku atau dua orang yang berselisih, lalu
hutang tersebut digunakan untuk memadamkan api permusuhan [9].
Diantara al-ghârim jenis yang kedua yaitu orang yang menghabiskan
hartanya untuk membantu saudara seiman yang tertimpa bencana atau
musibah. Imam al Murdawai rahimahullah berkata, "Jika seseorang
menanggung kerugian orang lain disebabkan harta bendanya musnah atau
korban perampokan maka boleh baginya mendapat uang zakat." [10]
Menurut pandapat jumhur Ulama', ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh
menerima zakat walaupun dia kaya atau mampu. Imam Ibnu Abdil Bar t dalam
kitab al-Istidkâr mengatakan, "Tiga imam yaitu imam Mâlik rahimahullah,
Syâfi'i rahimahullah, Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan para pengikut
mereka menyatakan bahwa ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh mengambil
zakat walaupun dia kaya." [11] Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu
'alaihi wa sallam:
لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ
اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ
فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ
"Harta sedekah (zakat) itu tidak halal buat orang kaya kecuali lima
golongan, yaitu orang yang berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla, amil
zakat, ghârim (pailit) , seseorang yang membeli barang zakat dengan
hartanya, atau seorang yang memiliki tetangga miskin kemudian ia
bersedekah kepadanya, kemudian si miskin tersebut menghadiahkan sedekah
tadi kepada orang kaya". [12]
Syarat-Syarat Ghârim Boleh Menerima Zakat
1. Beragama Islam
Ghârim berhak menerima zakat kalau dia beragama Islam, begitu pula
penerima zakat lainnya. Ibnu Mundzir rahimahullah mengatakan, "Para
Ulama' telah bersepakat bahwa zakat itu tidak sah bila diberikan kepada
seorang ahli dzimmah ( non muslim)."[13]
2. al-Faqr (Miskin)
Syarat ini berlaku pada ghârim limaslahati nafsihi (untuk kebutuhan
pribadi), sedangkan pada ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, syarat ini
tidak berlaku. Artinya, dia boleh menerima zakat meskipun dia kaya.
3. Hutang Bukan Karena Untuk Maksiat
Jika hutang tersebut disebabkan maksiat seperti judi, minum khamr,
berbuat tabdzîr dan boros, maka ia tidak diberi uang zakat. Imam Nawawi
rahimahullah menjelaskan, "Saya tidak pernah mendapati satu pendapat
ahli ilmu yang membolehkan zakat diberikan kepada orang yang terbelit
hutang dalam rangka berbuat maksiat, sebelum ia bertaubat, kecuali
pendapat lemah dari sebagian kecil Syâfi'iyyah, seperti al-Hanathi dan
ar-Râfi'y, yang memandang mereka boleh diberi karena Ghârim.[14].
Bagaimana Hukum Orang Yang Terbelit Hutang Ribawi?
Riba merupakan dosa besar dan termasuk maksiat yang telah banyak menalan
korban. Karena termasuk maksiat, maka yang terlilit hutang ribawi, ia
tidak boleh diberi zakat untuk melunasinya, kecuali jika bertaubat. Akan
tetapi bagi yang terpaksa berhutang dengan system riba untuk kebutuhan
pokok, seperti sandang papan atau pangan, maka baitul mal boleh
memberikannya zakat. Hukum darurat ini diukur sesuai kebutuhan.[15]
4. Tidak Mampu Mencari Penghasilan Lagi
Ulama' berselisih dalam masalah ini. Sebagian Ulama syâfi’iyah dan
sebagian hanabilah memperbolehkan pemberian zakat pada orang yang masih
mampu bekerja. Menurut penyusun kitab Abhâtsun fi Qadâyâz Zakât, hukum
yang benar dalam masalah ini yaitu bila hutangnya banyak dan dia
kesulitan sekali untuk melunasinya maka ia boleh menerima zakat walaupun
ia masih mampu bekerja. Akan tetapi sebaliknya, jika hutangnya sedikit
atau pihak pemberi hutangan memberikan tambahan waktu maka hendaknya ia
tidak mengambil zakat dan berusaha untuk melunasinya (sendiri). [16]
5. Bukan Keturunan Bani Hâsyîm (Keturunan Kerabat Rasûlullâh Shallallahu Alaihi Wa Sallam)
Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِىَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ
"Sesungguhnya sedekah ini adalah kotoran manusia [17], dan ia tidak
halal untuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga keluarga
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam". [18]
6. Waktu Pelunasan Sudah Jatuh Tempo
Jatuh tempo merupakan syarat yang diperselisihkan oleh para Ulama'. Ibnu
Muflih rahimahullah berpendapat, "Hukum yang nampak dari hadits
Qabishah Radhiyallahu 'anhu, bahwa ghârim boleh mengambil zakat walaupun
belum jatuh tempo."[19]
Namun Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa ghârim tidak boleh diberi zakat kecuali setelah jatuh Tempo. [20]
Dr. Sulaiman al-Asqar menguatkan pendapat pertama dengan catatan, baitul
mal boleh mengeluarkan zakat untuk ghârim tersebut, apabila jatuh tempo
tinggal beberapa bulan atau sudah masuk dalam tahun jatuh tempo. Jika
temponya masih beberapa tahun atau lebih dari satu tahun maka tidak
berhak menerima zakat untuk melunasi hutang, kecuali kondisi orang yang
memberikan hutangan dalam keadaan sakit atau membutuhkan. Wallahu A'lam.
[21]
7. Ghârim Bukan Termasuk Dalam Tanggungan Muzakki (Orang Yang Berzakat)
Apabila gharîm berada dalam tanggungan muzakki seperti istri atau
kerabat lain, maka zakat yang diberikan kepada orang-orang ini tidak
sah. Karena seolah-olah dia membelanjakan harta untuk dirinya sendiri.
Oleh karena itu, apa yang dikeluarkan ini tidak bisa dinamakan zakat,
namun dianggap sebagai nafkah yang diberikan oleh kepala rumah tangga
untuk keluarganya. Orang-orang yang termasuk dalam tanggungan muzakki
adalah istri, anak dan keturunannya dan Bapak serta kakek keatas. [22]
KADAR ZAKAT YANG DIBERIKAN KEPADA GHARIM
Harta zakat dari baitul mal yang diberikan kepada ghârim yaitu seukuran
hutang yang harus dilunasi. Karena tujuan penyaluran zakat untuk ghârim
hanya sebatas untuk tujuan ini.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, "Ghârim diberi zakat untuk menutup hutangnya walaupun sangat banyak"[23]
Ibnu Rusyd rahimahullah, penyusun kitab Bidâyatul Mujtahid menyatakan,
"Ghârim diberi dari zakat sejumlah hutangnya jika hutangnya bukan karena
maksiat" [24]
Dalam hal ini, sering terkumpul dua sifat yaitu faqir dan ghârim pada
seseorang, maka boleh baginya menerima zakat untuk kemiskinannya dan
melunasi hutangnya sehingga ia mendapat dua jatah. [25]
Bila kita amati dengan cermat, syariat Islam yang sempurna ini ternyata
merupakan solusi terbaik dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi
umat, di samping niat yang utama adalah dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allâh Azza wa Jalla dan menjalin ukhuwah Islamiyah di antara kaum
Muslimin.
Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat bagi kita dan menumbuhkan
semangat dalam bersedekah tidak hanya di bulan suci Ramadhan semata.
Wallahu a'lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 04-05/Tahun XIV/1431/2010M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Jâmi'ul Bayân 'an Ta'wîlil Qur'ân, Ibnu Jarîr at-Thabari t ,
10/164, cet. Maktabh Mushthafa al Bâby al-Halaby, Mesir Th. 1373 H
[2]. Jâmi'ul Ushûl fi ahâditsi Rasûl, Ibnu Atsîr, 4/663, revisi Syuaib al-Arnauth, cet. Maktabah Al halwani, Th 1349H
[3]. Al-Muthli' 'Ala Abwâbil Muqni', Imam abu Abdillah Syamsuddin Muh.
bin abi Fath al-Ba'ly al Hanbaly, 2/421, cet. Ke-3, al-Maktabul Islamy -
Bairut Th. 1421H/ 2000M
[4]. HR. Muslim, Shahih Muslim bi Syarh Imam Nawawi No.1044, Kitâbuz
Zakât., cet. Ke-4, Th. 1422H/ 2001M , Darul Hadîts . Kairo Mesir
[5]. Abhatsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu'âshirah, 3/91
[6]. al-Ahzâb/33:6
[7]. HR. Bukhâri no. 2224, Bâbus Shalât ala man Taraka Dainan
[8]. Lihat Abhatsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu'âshirah, 3/93
[9]. Al-Majmû' Syarhul Muhadzab li Syairâzi , Imam Nawawi, edisi revisi
Muhammad Najib al Muthi'i, 6/191-192. Cet. Maktabatul Irsyad, KSA
[10]. Al-Inshâf fi Ma'rifatir Râjih minal Khilâf 'ala Madzhab Imam
Ahmad, Ali bin Sulaiman al-Murdawai, 3/233. Cet. Dar Ihyâ' at Turats al
'Aroby, Bairut
[11]. Al-Istidzkâr, Ibnu Abdil Bar, 9/202, Dar Qutaibah Bairut. Cet pertama.
[12]. HR. Abu Dâwud No. 1635 dan Ibnu Mâjah No. 1841. Hadits ini
dishahihkan al-Albâni dalam tahqîq Sunan Abu Dâwud, hlm. 284 cet.
Maktabatul Maarif, Riyadl
[13]. Al-Ijmâ', Abu Bakr Muhmmad bin Ibrâhim Ibnu Mundzir an Naisabury,
no. 136 hlm 56. Cet. Ke-2, Maktabah al-Furqân, Uni Emirat Arab, Th. 1420
H/ 1999M
[14]. Al-Majmû' Syarhul Muhadzab li Syairâzi , Imam Nawawi, edisi revisi
Muhammad Najib al Muthi'I, 6/192, cet. Maktabatul Irsyâd, KSA
[15]. Lihat Abhâtsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu'âshirah, Prof. Dr. Sulaiman al-Asyqar, 3/100
[16]. Ibid, hlm 101
[17]. Disebut kotoran karena dengan mengeluarkan zakat, harta yang
dimiliki seseorang menjadi bersih dan suci begitu juga jiwa orang yang
mengeluarkannya.
[18]. HR. Muslim, Shahîh Muslim bi Syarh Imam Nawawi, no.1072, 4/190,
Kitâbuz Zakâti, Bâb Tarku Isti'mâl Alin Nabi fi Shadaqât, cet. Ke 4, Th.
1422H/ 2001M , Darul Hadits . Kairo Mesir
[19]. Al-Mubdi' Syarhl Muqni', Abu Ishaq Burhanuddin bin Muflih
al-Hanbali, 2/410, cet. I Darul Kutubil Ilmiyyah, Th. 1418H/ 1997M.
[20]. Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, 6/192
[21]. Lihat Abhâtsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu'âshirah, 3/102
[22]. Lihat al-Fiqhul Islâmy wa Adillatuhu, DR. Wahbah Az-Zuhaily, 2/885. Dar Fikr, cet. Kedua Th.1405 H / 1985 M ,
[23]. Al-Mugni, al-Muwaffaq, Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisy
al-Jama'ily, 4/130, Cet. Ke-3 Dar Alimil Kutub KSA, Th. 1417 H /1997 M.
[24]. Bidâyatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Muhammad bin ahmad Ibn
Rusyd al Qurthuby, hlm. 221, Darul Kitab 'Aroby, cet. Pertama, Th.
1424H/ 2004M
[25]. Lihat Abhâtsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu'âshirah, 3/97
http://almanhaj.or.id/content/2796/slash/0/kriteria-gharimin-penerima-zakat/