Jumat, 11 April 2014

Risalah Talak (12), Talak Ketika Haid


Ada talak sunni (yang sesuai tuntunan), ada pula talak bid’iy (yang tidak sesuai tuntunan). Talak bid’iy ini menyelisihi ajaran Rasul dari sisi waktu dijatuhkannya talak atau dari sisi jumlah talak yang dijatuhkan. Talak bid’iy ini mencakup mentalak wanita ketika haid, mentalak wanita ketika suci setelah disetubuhi, mentalak wanita dengan tiga kali talak sekaligus. Talak seperti ini adalah talak haram dan pelakunya terkena dosa sebagaimana pendapat kebanyakan ulama. 

Apakah talak bid’iy teranggap jatuh talak?
Kalau talak bid’iy dari sisi jumlah sudah dipaparkan dalam artikel sebelumnya disini Simpulannya, talak tiga dalam sekali ucap dianggap satu kali talak.

Sedangkan dari sisi waktu dijatuhkannya talak, yaitu talak bid’iy yang dijatuhkan ketika haid atau ketika suci setelah sebelumya disetubuhi (berhubungan intim), maka apakah jatuh talak ataukah tidak, di sini para ulama berselisih pendapat. Menurut mayoritas ulama (ulama empat madzhab), talak tersebut tetap jatuh. Di antara alasannya:

1- Dalam hadits Ibnu ‘Umar, kala itu ‘Umar mengadukan kasus anaknya (Ibnu ‘Umar) lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا

Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali.” [1] Perintah rujuk itu karena talak telah teranggap jatuh.

2- Didukung pula oleh riwayat,

عَنْ أَنَسِ بْنِ سِيرِينَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ قَالَ طَلَّقَ ابْنُ عُمَرَ امْرَأَتَهُ وَهْىَ حَائِضٌ ، فَذَكَرَ عُمَرُ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « لِيُرَاجِعْهَا » . قُلْتُ تُحْتَسَبُ قَالَ « فَمَهْ »

Dari Anas bin Sirin, ia berkata, “Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata bahwa ia telah mentalak istrinya dalam keadaan haid. Lantas ‘Umar mengadukan hal ini pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Suruh ia untuk rujuk.” Aku (Anas berkata pada Ibnu ‘Umar), “Apakah hal itu dianggap jatuh talak?” Ibnu ‘Umar menjawab, “Kalau tidak teranggap, lalu apa?”[2]

3- Riwayat lainnya,

عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ يُونُسَ بْنَ جُبَيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ طَلَّقْتُ امْرَأَتِى وَهْىَ حَائِضٌ فَأَتَى عُمَرُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « لِيُرَاجِعْهَا. فَإِذَا طَهَرَتْ فَإِنْ شَاءَ فَلْيُطَلِّقْهَا ». قَالَ فَقُلْتُ لاِبْنِ عُمَرَ أَفَاحْتَسَبْتَ بِهَا قَالَ مَا يَمْنَعُهُ. أَرَأَيْتَ إِنْ عَجَزَ وَاسْتَحْمَقَ

Dari Qotadah, ia berkata bahwa ia mendengar Yunus bin Jubair berkata, “Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata bahwa ia pernah mentalak istrinya dalam keadaan haid. Lalu ‘Umar mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengadukan perihal anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintah ia untuk rujuk pada istrinya. Jika istrinya telah suci dan ia mau, ia bisa mentalaknya.” Yunus berkata pada Ibnu ‘Umar, “Apakah engkau menganggap jatuh talak?” Ibnu ‘Umar menjawab, “Apa yang menghalanginya? Talak tersebut tidak terhalang walau karena kelemahan atau kebodohannya.”[3]

4- Riwayat lainnya menyebutkan,

عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ حُسِبَتْ عَلَىَّ بِتَطْلِيقَةٍ

Dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Hal itu dihukumi sekali talak.”[4]
5- Riwayat di atas semakin dikuatkan dengan hadits,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِىَ حَائِضٌ فَأَتَى عُمَرُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَجَعَلَهَا وَاحِدَةً

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia telah mentalak istrinya ketika haid. Lalu ‘Umar mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengadukan hal tersebut. Kemudian beliau menganggapnya satu kali talak.[5]

Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa talak ketika haid tidak teranggap. Inilah pendapat ulama Zhohiriyah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Namun pendapat jumhur ulama yang menyatakan talak ketika haid itu teranggap dinilai lebih kuat karena riwayat-riwayat yang telah disampaikan di atas.[6]

Jika mentalak dengan talak bid’iy, wajibkah rujuk?
Sebagaimana diterangkan dalam riwayat Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk rujuk. Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad menyatakan bahwa perintah rujuk tersebut dihukumi sebagai anjuran atau sunnah (bukan wajib). Sedangkan Imam Malik menilainya wajib.[7]

Tulisan ini masih bersambung pada pembahasan talak bersyarat. Semoga Allah memudahkan dalam penyusunannya. Wallahu waliyyut taufiq.

Silakan simak pembahasan talak sebelumnya dari Web Rumaysho.com:












@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSA, 17 Dzulhijjah 1433 H

http://rumaysho.com/keluarga/risalah-talak-12-talak-ketika-haid-2938

Tidak ada komentar: