Senin, 12 Mei 2014

Riwayat-Riwayat Shahih tentang Wafatnya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam

Prolog : Artikel berikut merupakan paparan kisah seputar hari-hari wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang diambil dari riwayat-riwayat yang valid. Seleksi validitas riwayat dinukil dari telaahan Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umari hafidhahullah dalam bukunya : As-Siirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah : Muhaawalatun li-Tathbiiqi Qawaaidil-Muhadditsiin fii Naqdi Riwaayaati As-Siirah An-Nabawiyyah. Di akhir pembahasan kami lengkapi dengan penjelasan Mamduh Farhan Al-Buhairi mengenai syubuhaat Syi’ah yang mengklaim bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak wafat di pangkuan ’Aisyah, tapi di pangkuan ’Ali bin Abi Thalib.

Sekitar tiga bulan sepulang menunaikan haji wada’, beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menderita sakit yang cukup serius.[1] Beliau pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Ummul-Mukminin Maimunah radliyallaahu ’anhaa[2]. Beliau sakit selama 10 hari,[3] dan akhirnya wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul-Awwal[4] pada usia 63 tahun.[5] Dan telah shahih (satu riwayat yang menyatakan) bahwa sakit beliau tersebut telah dirasakan semenjak tahun ketujuh pasca penaklukan Khaibar, yaitu setelah beliau mencicipi sepotong daging panggang yang telah dibubuhi racun yang disuguhkan oleh istri Sallaam bin Masykam Al-Yahudiyyah. Walaupun beliau sudah memuntahkannya dan tidak sampai menelannya, namun pengaruh racun tersebut masih tersisa.[6] Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam meminta ijin kepada istri-istrinya agar diperbolehkan untuk dirawat di rumah ’Aisyah Ummul-Mukminiin.[7] Ia (’Aisyah) mengusap-usapkankan tangan beliau pada badan beliau sambil membacakan surat Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas).
[8]

Ketika beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dalam keadaan kritis, beliau berkata kepada para shahabat :
هلموا أكتب لكم كتابًَا لا تضلوا بعده
”Kemarilah, aku ingin menulis untuk kalian yang dengan itu kalian tidak akan tersesat setelahnya”.

Terjadi perselisihan di antara mereka. Sebagian berkeinginan memberikan alat-alat tulis (sebagaimana permintaan beliau), sebagian yang lain tidak setuju karena khawatir hal itu justru akan memberatkan beliau. Belakangan menjadi jelas bahwa perintah untuk menghadirkan alat tulis itu bukan merupakan hal yang wajib, namun merupakan sebuah pilihan. Ketika mendengar ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu mengatakan : (حسبنا كتاب الله) ”Kami telah cukup dengan Kitabullah”; maka beliau tidak mengulangi permintaannya tersebut. Seandainya hal itu merupakan satu kewajiban, tentu beliau akan menyampaikannya dalam bentuk pesan. Sebagaimana pada saat itu beliau berpesan secara langsung kepada mereka agar mengeluarkan orang-orang musyrik dari Jazirah ’Arab dan agar memuliakan rombongan delegasi yang datang ke Madinah.[9] Sebuah riwayat shahih menyebutkan bahwa beliau meminta alat tulis tersebut pada hari Kamis, 4 hari sebelum beliau wafat. «Seandainya permintaan tersebut wajib, niscaya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak akan meninggalkannya karena adanya perselisihan para shahabat pada waktu waktu itu. Beliau tidak mungkin meninggalkan tabligh (atas risalah) meskipun ada yang menyelisihi. Para shahabat sudah biasa mengkonfirmasi kepada beliau dalam beberapa perkara yang ada perintah secara pasti».

Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil Fathimah radliyallaahu ’anhaa yang kemudian membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah menangis. Beliau memanggil kembali dan membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah tersenyum. Setelah wafat, Fathimah menjelaskan bahwa ia menangis karena dibisiki bahwa beliau akan wafat, dan ia tersenyum karena dibisiki bahwa ia merupakan anggota keluarganya yang pertama yang akan menyusul beliau.[10] Dan salah satu tanda nubuwwah tersebut akhirnya terbukti.

Sakit yang beliau derita semakin bertambah berat sehingga beliau tidak sanggup keluar untuk shalat bersama para shahabat. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
مروا أبا بكر فليصل بالناس
”Suruhlah Abu Bakr agar shalat mengimami manusia”.

’Aisyah berusaha agar beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menunjuk orang lain saja karena khawatir orang-orang akan berprasangka yang bukan-bukan kepada ayahnya (Abu Bakr). ’Aisyah berkata :
إن أبا بكر رجل رقيق ضعيف الصوت كثير البكاء إذا قرأ القرآن
”Sesungguhnya Abu Bakr itu seorang laki-laki yang fisiknya lemah, suaranya pelan, mudah menangis ketika membaca Al-Qur’an”.[11]

Namun beliau tetap bersikeras dengan perintahnya tersebut. Akhirnya Abu Bakr maju menjadi imam shalat bagi para shahabat.[12] Pada satu hari, Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam keluar dengan dipapah oleh Ibnu ’Abbas dan ’Ali radliyallaahu ’anhuma untuk shalat bersama para shahabat, dan kemudian beliau berkhutbah. Beliau memuji-muji serta menjelaskan keutamaan Abu Bakr radliyallaahu ’anhu dalam khutbahnya tersebut dimana ia (Abu Bakr) disuruh memilih oleh Allah antara dunia dan akhirat, namun ia memilih akhirat.[13]

Khutbah terakhir yang beliau sampaikan tersebut adalah 5 hari sebelum wafat beliau. Beliau berkata di dalamnya :
إن عبدًا عرضت عليه الدنيا وزينتها فاختار الآخرة
”Sesungguhnya ada seorang hamba yang ditawari dunia dan perhiasannya, namun justru ia memilih akhirat”.

Abu Bakr paham bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Ia pun menangis. Melihat hal tersebut, orang-orang merasa heran karena mereka tidak paham apa yang dirasakan oleh Abu Bakr.[14]

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam membuka tabir kamar ’Aisyah pada waktu shalat Shubuh, hari dimana beliau wafat, dan kemudian beliau memandang kepada para shahabat yang sedang berada pada shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum dan tertawa kecil seakan-akan sedang berpamitan kepada mereka. Para shahabat merasa sangat gembira dengan keluar beliau tersebut. Abu Bakr pun mundur karena mengira bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ingin shalat bersama mereka. Namun beliau memberikan isyarat kepada mereka dengan tangannya agar menyelesaikan shalat mereka. Beliau kemudian kembali masuk kamar sambil menutup tabir.

Fathimah masuk menemui beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dan berkata : ”Alangkah berat penderitaan ayah”. Maka beliau menjawab :
ليس على أبيك كرب بعد اليوم
”Setelah hari ini, tidak akan ada lagi penderitaan”.[15]

Usamah bin Zaid masuk, dan beliau memanggilnya dengan isyarat. Beliau sudah tidak sanggup lagi berbicara dikarenakan sakitnya yang semakin berat.[16]

Pada saat-saat menjelang ajal, beliau bersandar di dada ’Aisyah. ’Aisyah mengambil siwak pemberian dari saudaranya yang bernama ’Abdurrahman. Ia lalu menggigit siwak tersebut dengan giginya dan kemudian memberikannya kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Beliaupun lantas bersiwak dengannya.[17]

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana yang berisi air dan membasuh mukanya. Beliau pun bersabda :
لا إله إلا الله إن للموت سكرات
”Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Sesungguhnya pada setiap kematian itu ada saat-saat sekarat”.[18]

Dan ’Aisyah samar-samar masih sempat mendengar sabda beliau :
مع الذين أنعم الله عليهم
”Bersama orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah”.[19]

Lalu beliau pun berdoa :
اللهم في الرفيق الأعلى
”Ya Allah, pertemukan aku dengan Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah)”.
’Aisyah mengetahui bahwasannya beliau pada saat itu disuruh memilih, dan beliau pun memilih Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah).[20]

Akhirnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam pun wafat pada waktu Dluhaa  - dan ada yang mengatakan pada waktu tergelincirnya matahari - sedangkan kepala beliau di pangkuan ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa. Abu Bakr radliyallaahu ’anhu segera masuk, dimana ketika wafatnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam ia tidak berada di tempat. Ia membuka penutup wajah beliau, dan kemudian ia menutupnya kembali dan menciumnya. Ia pun keluar menemui orang-orang. Pada waktu itu, orang-orang berada dalam keadaan percaya dan tidak percaya atas khabar wafatnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. ’Umar radliyallaahu ’anhu termasuk orang yang tidak percaya atas berita wafatnya beliau tersebut. Orang-orang pun kemudian berkumpul menemui Abu Bakr. Ia (Abu Bakr) pun kemudian berkata :

أما بعد، من كان منكم يعبد محمدًا فإن محمدًا قد مات، ومن كان منكم يعبد الله فإن الله حي لا يموت. قال الله : (وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ)
Amma ba’du, barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad saat ini telah mati. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Allah telah berfirman : ”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS. Aali ’Imraan : 144)”.
(Mendengar itu), maka para shahabat pun merasa tenang. Sementara itu, ’Umar radliyallaahu ’anhu duduk di tanah tidak sanggup berdiri. Seakan-akan mereka belum pernah mendengar ayat tersebut melainkan pada saat itu saja.[21]

Fathimah radliyallaahu ’anhaa berkata :
يا أبتاه أجاب ربًا دعاه.
يا أبتاه من جنة الفردوس مأواه.
يا أبتاه إلى جبريل ننعاه.
”Wahai ayah, Rabb telah memenuhi doamu
        Wahai ayah, surga Firdaus tempat kembalimu
Wahai ayah, kepada Jibril kami mengkhabarkan atas kewafatanmu”.[22]

Semoga Allah melimpahkan shalawat, salam, barakah, dan nikmat kepada Nabi-Nya, keluarganya, dan para shahabatnya.

Dan akhir seruan/doa kami adalah alhamdulillaahi rabbil-’aalamiin.

[selesai – diambil dari kitab As-Siirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah oleh Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umariy, 2/553-556; Maktabah Al-’Ulum wal-Hikam, Cet. 6/1415, Madinah Munawarah].
________________________________

Saya tambahi keterangan Mamduh Farhan Al-Buhairiy[23] tentang bantahan terhadap syubhat Syi’ah yang mengingkari riwayat wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam di dada ’Aisyah, dimana mereka mendasarkan pengingkaran mereka dengan riwayat-riwayat yang tidak valid.

1. Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanad sampai ’Ali radliyallaahu ’anhu, ia berkata :

 ((أُدْعُوا لِي أَخِي))، فَأَتَيتُهُ، فَقَالَ : ((أَدْنُ مِنِّي))، فَدَنَوْتُ  مِنْهُ، فَاسْتَنَدَ إِلَيَّ فَلَمْ يَزَلْ مُسْتَنِدًا إِلَيَّ، وَإِنَّهُ لَيُكَلِّمُنِيْ حَتَّى إِنَّ رِيْقَهُ لَيُصِيْبُنِيْ
”Panggilkan untukku saudaraku !”. Maka akupun mendatangi beliau, lalu beliau bersabda : ”Mendekatlah kepadaku !”. Maka akupun mendekat kepada beliau, kemudian beliau bersandar kepadaku dan tidak henti-hentinya beliau bersandar kepadaku, dan beliau berbicara kepadaku hingga air ludah beliau mengenaiku”. 
Ini adalah hadits haalik (rusak) sangat dla’if, dikarenakan Ibnu Sa’d meriwayatkannya dari Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy. Dia adalah pendusta.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : ”Dia adalah pendusta, dia membolak-balik hadits”. Ibnu Ma’in rahimahullah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang tsiqah, haditsnya tidak ditulis”. Al-Bukhari dan Abu Hatim berkata : ”Matruk (haditsnya ditinggalkan)”. Abu Hatim dan An-Nasa’i juga berkata : ”Haditsnya diletakkan” [Al-Miizaan, 3/662].

2. Juga hadits ’Ali radliyallaahu ’anhu yang lain :
عَلِّمَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْفَ بَابٍ كُلُّ بَابٍ يَفْتَحُ أَلْفَ بَابٍ.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mengajari aku seribu bab, setiap bab membuka seribu bab”.
Ini adalah hadits maudlu’ (palsu), sebab ’Imran bin Haitsam adalah pendusta. Seandainya saja kita menyerah tidak mendebat keshahihan hadits ini, maka tidak ada di dalamnya hal yang menunjukkan bahwa pengajaran ini pada saat-saat kematian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam, bahkan tidak masuk akal semua itu bisa dilakukan pada saat-saat seperti itu.

3. Hadits Jaabir bin ’Abdillah radliyallaahu ’anhu, bahwasannya Ka’b Al-Ahbar bertanya kepada ’Umar radliyallaahu ’anhu seraya berkata :
مَا آخِرُ مَا تَكَلَّمَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ عُمَرُ : سَلْ عَلِيًا..... 
”Apa yang terakhir kali dibicarakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam ?”. Maka ’Umar menjawab : ”Tanyalah kepada ’Ali....”.
Hadits ini adalah dla’if (lemah) yang tidak boleh ditoleh, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidi. Dia dalah matrukul-hadiits (haditsnya ditinggalkan) sebagaimana telah lalu perinciannya [Al-Miizaan, 3/662].

Juga di dalamnya terdapat Haram bin ’Utsman Al-Anshariy, dia juga matruk. Al-Imam Malik dan Yahya berkata : ”Dia tidak tsiqah”. Al-Imam Ahmad berkata : ”Manusia meninggalkan haditsnya”. Al-Imam Asy-Syafi’iy dan Yahya bin Ma’in berkata : ”Riwayat dari Haram hukumnya haram”. Ibnu Hibban berkata : ”Dia keterlaluan dalam memihak Syi’ah, membolak-balik sanad, dan membuat yang mursal menjadi marfu’ [Al-Miizaan, 1/468].

4. Hadits :
قِيْلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ : أَرَأَيْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوْفِيَ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ أَحَدٍ؟ قَالَ : نَعَمْ، تُوْفِيَ وَإِنَّهُ لَمُسْتَنِدٌ إِلَى صَدْرِ عَلِيّ
Dikatakan kepada Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma : ”Apakah engkau melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat dan kepala beliau di pangkuan seseorang ?”. Maka ia menjawab : ”Ya, beliau wafat dan beliau bersandar di dada ’Ali....”.
Hadits ini adalah dla’if (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy, dia adalah matrukul-hadits sebagaimana penjelasan sebelumya. Di dalam sanadnya juga terdapat orang yang bernama Sulaiman bin Dawud bin Al-Hushain, dari Abu Ghatfal, dia majhul tidak diketahui keadaannya.

5. Hadits ’Ali bin Al-Husain :
قُبِضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ عَلِيٍّ. 
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau di pangkuan ’Ali”.
Hadits ini dla’if, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy. Dia matrukul-hadiits. Di samping itu, sanadnya terputus.

6. Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanadnya kepada Asy’Sya’biy, ia berkata :
تُوْفِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَأْسُهُ فِي حُجْرِ عَلِيٍّ. 
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali”.
Dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy yang dia ini matruk. Selain itu, dalam sanadnya terdapat Abul-Huwairits yang namanya adalah ’Abdurrahman bin Mu’awiyyah. Ibnu Ma’in dan yang lainnya berkata : ”Tidak bisa dijadikan hujjah”. Al-Imam Malik dan An-Nasa’i berkata : ”Dia tidak tsiqah” [Al-Miizaan, 2/591].

7. Hadits Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
كَانَ عَلِيٌّ لَأَقْرَبُ النَّاسِ عَهدًا بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.....
“’Ali adalah benar-benar manusia yang paling dekat masanya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
Hadits ini shahih, namun sama sekali tidak menafikkan hadits ‘Aisyah bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat di dadanya, bahkan hadits ‘Aisyah lebih shahih dari hadits Ummu Salamah. Para ulama ahli hadits telah menggabungkan dan mengkompromikan antara hadits Ummu Salamah dengan hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhuma.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul-Baariy (12/255) : “Mungkin bisa dikompromikan bahwa ‘Ali adalah orang yang paling akhir masanya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dia tidak meninggalkan beliau hingga kepala beliau condong. Saat itu dia menyangka bahwa beliau telah wafat. Maka dia adalah orang yang paling akhir bertemu dengan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau siuman, dan dia sudah pergi. Setelah itu ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa menyandarkan beliau di dadanya, kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat”.

8. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dari ‘Ali radliyallaahu ’anhum, ia berkata :
“Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab”.
Hadits ini adalah dla’if, di dalam sanadnya terdapat Kaamil bin Thalhah. Para ulama ahli hadits berselisih tentangnya. Al-Imam Ahmad dan Ad-Daruquthni menyatakan tsiqah, namun Yahya bin Ma’in berkata : “Tidak bernilai apa-apa” [Al-Miizaan, 3/400].

Di dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdullah bin Lahi’ah. Ibnu Ma’in berkata : “Dia lemah, tidak bisa dijadikan hujjah”. Yahya bin sa’id sama sekali tidak menganggapnya sama sekali. Abu Zur’ah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya”. An-Nasa’i berkata : ”Dia lemah”. Al-Jauzajani berkata : ”Tidak ada cahaya pada haditsnya, tidak layak berhujjah dengannya”. Al-Bukhari berkata dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ saat menyebut Ibnu Lahi’ah dengan mengomentari hadits yang diriwayatkannya : ”Ini adalah munkar”.

Di dalam sanadnya juga terdapat Huyay bin ’Abdillah Al-Maghafiriy. Ibnu ’Adiy berkata : ”Ibnu Lahi’ah memiliki sekian belas hadits yang umumnya munkar. Diantaranya hadits : ”Beliau mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab” [Al-Miizaan, 1/623].

Adapun orang yang tanpa ilmu menginginkan untuk menjadikan hadits-hadits lemah lebih kuat sanadnya, maka itu adalah murni disebabkan hawa nafsu. Tentang hadits-hadits tersebut, Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : ”Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa menceritakan bahwa beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat di antara dada dan lehernya; membantah apa yang diriwayatkan Al-Haakim dan Ibnu Sa’d dari berbagai jalur yang menceritakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali radliyallaahu ’anhu. Seluruh jalan hadits tersebut tidak luput dari orang Syi’ah. Maka tidak layak dilirik sama sekali” [Fathul-Baariy, 8/139].

Abul-Jauzaa’ – 4 Shaffar 1430, di Ciomas Permai.
___________________

[1]    Ibnu Katsir berkata bahwa wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah 81 hari setelah pelaksanaan hari haji akbar [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 5/101].
[2]    Ibnu Hajar berkata bahwa itu merupakan pendapat yang mu’tamad. Ada beberapa riwayat lain yang bertolak-belakang yang menyatakan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Zainab binti Jahsy atau Raihaanah [Fathul-Baariy, 8/129].
[3]    Sulaiman At-Taimiy memastikan pendapat ini. Riwayat ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad shahih. Dan menurut pendapat kebanyakan ulama, bahwasannya beliau jatuh sakit selama 13 hari [Fathul-Baariy, 8/129].
[4]    Al-Haafidh berpegang pada pendapat/perkataan Abu Mikhnaf bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat pada tanggal 2 Rabi’ul-Awwal. Tambahan angka 1 di depan angka 2 sehingga menjadi 12 merupakan kesalahan [Fathul-Baariy, 8/130].
[5]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/150).
[6]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/131).
[7]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/141) dan Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy 21/226) dengan sanad shahih.
[8]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/131).
[9]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/132).
[10]  Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 1/208). Lihat makna-makna yang lain dalam A’laamul-Hadiits oleh Al-Khaththaabiy.
[11]  Siirah Ibni Hisyaam, 4/330 dengan sanad shahih; dan Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/233.
[12]  Lihat Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/232-233.
[13]  Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy 8/141). Lihat Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy 21/231I; dan Al-Bidayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/229-230.
[14]  Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy, 21/222 berikut catatan pinggir/hasyiyah no. 3); dan Tirkatun-Nabiy (ق.أ.ب) dengan sanad dimana rijalnya adalah tsiqah, namun mursal.
[15]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/149).
[16]   Sirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[17]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/139).
[18]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/144). 
[19]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/136).
[20]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/136); dan Siirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[21]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/145).
[22]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/149).
[23]   Qiblati, edisi 10, Thn. II – Juli 2007 M/Jumadats-Tsaniyyah 1428 M, hal. 28-30.

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/02/riwayat-riwayat-shahih-tentang-wafatnya.html
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/06/kematian-terindah-dalam-sejarah-manusia.html