Selasa, 20 Mei 2014

Tentang Ikhlas.

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam, yang berkuasa membolak-balikkan hati anak Adam bagaimanapun Dia inginkan. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi akhir zaman dan pembawa lentera bimbingan untuk membangkitkan kesadaran hati manusia yang telah lalai dan lupa akan hakekat kehidupan. Amma ba’du.
Saudara-saudara sekalian, semoga Allah menambahkan kepada kita bimbingan dan pertolongan… sesungguhnya pada masa-masa seperti sekarang ini; masa yang penuh dengan ujian dan godaan serta kekacauan yang meluas di berbagai sudut kehidupan… kita sangat memerlukan hadirnya hati yang diwarnai dengan keikhlasan. Hati yang selamat, sebagaimana yang disinggung oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya), “Pada hari itu -hari kiamat- tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89)


Hati yang ikhlas itulah yang selamat
Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, Ia adalah hati yang selamat dari segala syahwat/keinginan nafsu yang menyelisihi perintah dan larangan Allah serta terbebas dari segala syubhat yang menyelisihi berita yang dikabarkan-Nya.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Hati yang selamat itu adalah hati yang selamat dari syirik dan keragu-raguan serta terbebas dari kecintaan kepada keburukan/dosa atau perilaku terus menerus berkubang dalam kebid’ahan dan dosa-dosa. Karena hati itu bersih dari apa-apa yang disebutkan tadi, maka konsekunsinya adalah ia menjadi hati yang diwarnai dengan lawan-lawannya yaitu; keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kepada kebaikan serta dihiasinya -tampak indah- kebaikan itu di dalam hatinya. Sehingga keinginan dan rasa cintanya akan senantiasa mengikuti kecintaan Allah, dan hawa nafsunya akan tunduk patuh mengikuti apa yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/812])

Ibnul Qayyim rahimahullah juga mensifatkan pemilik hati yang selamat itu dengan ucapannya, “…Ia akan senantiasa berusaha mendahulukan keridhaan-Nya dalam kondisi apapun serta berupaya untuk selalu menjauhi kemurkaan-Nya dengan segala macam cara…”. Kemudian, beliau juga mengatakan, “… amalnya ikhlas karena Allah. Apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya juga karena Allah. Apabila memberi maka pemberiannya itu karena Allah. Apabila tidak memberi juga karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)


Ayat-Ayat Yang Memerintahkan Untuk Ikhlas
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya agama yang murni itu merupakan hak Allah.” (QS. az-Zumar: 2-3)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Padahal, mereka tidaklah disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam menjalankan ajaran yang lurus, mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ghafir: 14)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dialah Yang Maha Hidup, tiada sesembahan -yang benar- selain Dia, maka sembahlah Dia dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (QS. Ghafir: 65)


Hadits-Hadits Yang Memerintahkan Untuk Ikhlas
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas dan dilakukan demi mengharap wajah-Nya.” (HR. Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu, sanadnya hasan, dihasankan oleh al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas dari dalam hati atau dirinya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)


Gara-Gara Tidak Ikhlas
Dari Sulaiman bin Yasar, dia berkata: Suatu saat, ketika orang-orang mulai bubar meninggalkan majelis Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, maka Natil -salah seorang penduduk Syam- (beliau ini adalah seorang tabi’in yang tinggal di Palestina, pent) berkata kepadanya, “Wahai Syaikh, tuturkanlah kepada kami suatu hadits yang pernah anda dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Abu Hurairah menjawab, “Baiklah. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah:

[Yang pertama] Seorang lelaki yang telah berjuang demi mencari mati syahid. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku menemui mati syahid.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu berperang agar disebut-sebut sebagai pemberani, dan sebutan itu telah kamu peroleh di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.

[Yang kedua] Seorang lelaki yang menimba ilmu dan mengajarkannya serta pandai membaca/menghafal al-Qur’an. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku menimba ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca/menghafal al-Qur’an di jalan-Mu.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu menimba ilmu agar disebut-sebut sebagai orang alim, dan kamu membaca al-Qur’an agar disebut sebagai qari’. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.

[Yang ketiga] Seorang lelaki yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia berupa segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Tidak ada satupun kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak padanya melainkan aku telah berinfak padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi mendapatkan sebutan sebagai orang yang dermawan. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.”
(HR. Muslim [1903], lihat Syarh Muslim [6/529-530])


Hadits yang agung ini memberikan faedah bagi kita, di antaranya:
[1] Dosa riya’ -yaitu beramal karena dilihat orang dan demi mendapatkan sanjungan- adalah dosa yang sangat diharamkan dan sangat berat hukumannya (lihat Syarh Muslim [6/531]). Riya’ merupakan bahaya yang lebih dikhawatirkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpa orang-orang salih sekelas para sahabat. Beliau bersabda, “Maukah kukabarkan kepada kalian mengenai sesuatu yang lebih aku takutkan menyerang kalian daripada al-Masih ad-Dajjal?”. Para sahabat menjawab, “Mau ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Yaitu syirik yang samar. Tatkala seorang berdiri menunaikan sholat lantas membagus-baguskan sholatnya karena merasa dirinya diperhatikan oleh orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, al-Bushiri berkata sanadnya hasan) (lihat at-Tam-hid, hal. 397, al-Qaul al-Mufid [2/55]). Kalau para sahabat saja demikian, maka bagaimana lagi dengan orang seperti kita? Allahul musta’aan

[2] Dorongan agar menunaikan kewajiban ikhlas dalam beramal. Hal ini sebagaimana yang telah Allah perintahkan dalam ayat (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan amal untuk-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5) (lihat Syarh Muslim [6/531])

[3] Hadits ini menunjukkan bahwa dalil-dalil lain yang bersifat umum yang menyebutkan keutamaan jihad itu hanyalah berlaku bagi orang-orang yang berjihad secara ikhlas. Demikian pula pujian-pujian yang ditujukan kepada ulama dan orang-orang yang gemar berinfak dalam kebaikan hanyalah dimaksudkan bagi orang-orang yang melakukannya ikhlas karena Allah (lihat Syarh Muslim [6/531-532])

[4] Sesungguhnya ikhlas tidak akan berkumpul dengan kecintaan kepada pujian dan sifat rakus terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak akan bersatu antara ikhlas di dalam hati dengan kecintaan terhadap pujian dan sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, kecuali sebagaimana bersatunya air dengan api atau dhobb/sejenis biawak dengan ikan -musuhnya-.” (al-Fawa’id, hal. 143)

[5] Keikhlasan merupakan sesuatu yang membutuhkan perjuangan dan kesungguh-sungguhan dalam menundukkan hawa nafsu. Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih sulit bagi jiwa manusia selain daripada ikhlas. Karena di dalamnya sama sekali tidak terdapat jatah untuk memuaskan hawa nafsunya.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 26). Sebagian salaf berkata, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk meraih ikhlas.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/53])

[6] Tercela dan diharamkannya orang yang menimba ilmu agama tidak ikhlas karena Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang semestinya dipelajari demi mencari wajah Allah akan tetapi dia tidak menuntutnya melainkan untuk menggapai kesenangan dunia maka dia pasti tidak akan mendapatkan bau -harum- surga pada hari kiamat kelak.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani) (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 22)

[7] Amalan yang tercampuri syirik -contohnya riya’- tidak diterima oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman: Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang dia mempersekutukan diri-Ku dengan selain-Ku maka akan Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim) (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 23)

[8] Sebesar apapun amalan, maka yang akan diterima Allah hanyalah amal yang ikhlas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan demi mencari wajah-Nya.” (HR. Nasa’i dan dihasankan al-Albani) (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 21)

[9] Amalan yang besar bisa berubah menjadi kecil gara-gara niat, sebagaimana amal yang kecil bisa menjadi bernilai besar karena niat. Ibnu Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil karena niat.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)


Buah Keikhlasan
Di antara buah paling agung yang diperoleh oleh orang-orang yang ikhlas adalah diharamkan tersentuh api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan sentuhan api neraka kepada orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Itban radhiyallahu’anhu)

Orang yang ikhlas/bertauhid maka akan selamat dari hukuman kekal di dalam neraka, yaitu selama di dalam hatinya masih tersisa iman/tauhid meskipun sekecil biji sawi. Dan apabila keikhlasan itu sempurna di dalam hatinya maka ia akan selamat dari hukuman neraka dan tidak masuk ke dalamnya sama sekali (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 17)

Orang yang mendapatkan keutamaan ini hanyalah orang yang ikhlas dalam mengucapkan kalimat syahadat. Maka terkecualikan dari keutamaan ini orang-orang munafik, dikarenakan mereka tidak mencari wajah Allah ketika mengucapkannya (lihat at-Tam-hid, hal. 26).

Hadits ini mengandung bantahan bagi kaum Murji’ah yang menganggap bahwa ucapan la ilaha illallah itu sudah cukup meskipun tidak disertai dengan harapan untuk mencari wajah Allah (ikhlas). Demikian pula, hadits ini mengandung bantahan bagi kaum Khawarij dan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka, sementara hadits ini menunjukkan bahwa para pelaku perbuatan-perbuatan yang diharamkan tersebut -dan tidak bertaubat sebelum matinya- tidak akan kekal di neraka, hanya saja pelakunya memang berhak menerima hukuman/siksa (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/46])

Selain itu, orang yang ikhlas juga akan merasa ringan dalam melakukan berbagai ketaatan -yang pada umumnya terasa memberatkan-, karena orang yang ikhlas senantiasa menyimpan harapan pahala dari Allah. Demikian pula, ia akan merasa ringan dalam meninggalkan maksiat, karena rasa takut akan hukuman Rabbnya yang tertanam kuat di dalam hatinya (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 17)

Orang yang ikhlas dalam beramal akan bisa mengubah amalannya yang tampak sedikit menjadi banyak pahalanya, sehingga ucapan dan amalannya akan membuahkan pahala yang berlipat ganda (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 19). Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Amal-amal itu sesungguhnya memiliki keutamaan yang bervariasi dan pahala yang berlipat-lipat tergantung pada keimanan dan keikhlasan yang terdapat di dalam hati orang yang melakukannya… ” (Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 17). Semoga Allah menjadikan kita orang yang ikhlas.
NB: Sebagian materi artikel ini kami ambil dari kitab Ta’thir al-Anfaas bi Ahaadits al-Ikhlas

http://abumushlih.com/tentang-ikhlas.html/