Oleh:Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa makna Al-Ikhlas? Dan, bila seorang hamba menginginkan melalui ibadahnya sesuatu yang lain, apa hukumnya?
Jawaban
Ikhlas
kepada Allah Ta’ala maknanya seseorang bermaksud melalui ibadahnya
tersebut untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dan
mendapatkan keridhaan-Nya.
Bila seorang hamba
menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka disini perlu
dirinci lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut :
Pertama.
Dia
memang ingin bertaqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini
dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka,
ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik.
Di dalam
hadits yang shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya
: Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para
sekutu ; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang didalamnya dia
mempersekutukan-Ku dengan sesuatu selain-Ku, maka Aku akan
meninggalkannya berserta kesyirikan yang diperbuatnya” [1]
Kedua.
Dia
bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duaniawi seperti
kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan bertaqarrub
kepada Allah ; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat
mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Allah Ta’ala
berfirman.
“Artinya : Barangsiapa
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat kecuai neraka dan lenyaplah di akhirat itu
apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah
mereka kerjakan” [Hud : 15-16]
Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama ; Bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi kedua ini,
dia tidak bermaksud agar dirinya di puji atas ibadahnya tersebut
sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas
pujian orang terhadapn dirinya.
Ketiga.
Dia
bermaksud untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala, disamping tujuan
duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut,
seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya –disamping
niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan
kotoran yang menempel padanya ; dia berhaji –disamping niat beibadah
kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi-lokasi syi’ar haji (Al-Masya’ir)
dan bertemu para jama’ah haji ; maka hal ini akan mengurangi pahala
ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya,
berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun
demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan
dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala mengenai para jama’ah haji.
“Artinya : Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabb-mu” [Al-Baqarah : 198]
Jika
yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan
pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya
di dunia itu. Saya khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia
telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling
tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka
tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya.
“Artinya
: Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian)
zakat ; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati,
dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta
mereka menjadi marah” [At-Taubah : 58]
Di
dalam Sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu disebutkan
bahwa ada seorang laki-laki berkata : ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana
bila ,-penj) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara
dia juga mencari kehidupan duniawi?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Dia tidak mendapatkan pahala” Orang tadi
mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala” [2]
Demikian
pula hadits yang terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain dari Umar bin
Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang hijrahnya
karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita
yang akan dinikahinya, maka hijrahnya hanya mendapatkan tujuan dari
hijrahnya tersebut” [3]
Jika
persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat
beribadah dan non ibadah ; maka hal ini masih perlu dikaji lebih
lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti
ini adalah sama juga ; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang
beramal karena Allah dan karena selain-Nya juga.
Perbedaan
antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan
yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara
otomatis. Jadi, keinginannya tercapai malalui perbuatannya tersebut
secara otomatis seakan-akan yang dia inginkan adalah konsekuensi logis
dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.
Jika ada yang
mengatakan, “Apa standarisasi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan
bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan
beribadah?”
Jawabannya, standarisasinya bahwa dia tidak
memperhatikan hal selain ibadah, maka hal itu tercapai atau tidak
tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih dominan padanya
adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya.
Yang
jelas perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu
urgen sekali. Indikasinya, bisa jadi hal itu dapat membuat seorang
hamba mencapai tangga ash-Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula
mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali.
Sebagian ulama Salaf berkata, “Tidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas”
Kita memohon kepada Allah untuk kami dan anda semua agar dianugrahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal.
[Kumpulan Fatwa dan Risalah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 1, hal. 98-100]
[Disalin
dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min
Fatawa Ulama Albalad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini,
Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul
Haq]
__________
Foote Note.
[1]. Shahih Muslim, kitab Az-Zuhd (2985)
[2].
Sunan Abu Daud kitab Al-Jihad (2516), Musnad Ahmad, Juz II, hal. 290,
366 tetapi di dalam sanadnya terdapat Yazid bin Mukriz, seorang yang
tidak diketahui identitasnya (majhul) ; lihat juga anotasi dari Syaikh
Ahmad Syakir terhadap Musnad Ahmad no. 7887
[3]. Shahih Al-Bukhari, kitab Bad’u Al-Wahyi (1), Shahih Muslim, kitab Al-Imarah (1907)
http://almanhaj.or.id/content/2158/slash/0