Oleh:Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya
pernah berhutang daging kepada penjual daging seharga 6 franc. Kemudian
hutang tersebut berlangsung cukup lama, dimana saat itu 1 franc sama
dengan 35 riyal Yaman. Dan sekarang 1 franc sama dengan 135 riyal Yaman.
Dan pedagang daging itu meminta saya supaya melunasi hutang berdasarkan
pada nilai tukar terakhir. Apakah saya harus melunasi berdasarkan pada
nilai tukar terdahulu atau yang terakhir? Tolong beritahu kami,
mudah-mudahan Anda sekalian mendapatkan pahala.
Jawaban
Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka Anda harus membayar
kepada tukang daging itu berdasarkan pada nilai tukar yang berlaku pada
saat pembayaran, bukan pada saat pembelian daging.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan
kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatwa Nomor 3065]
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada
seseorang yang berhutang kepada orang lain. Orang tersebut sudah dari
awal berniat untuk tidak mengembalikan hutang tersebut. Dan setelah
Allah memberinya petunjuk, dia mencari orang yang memberinya hutang itu
agar dia dapat membayar hutangnya, tetapi juga tidak menemukannya, lalu
apa yang harus dia perbuat?
Ada seseorang yang berhutang kepada banyak orang dan dia bermaksud untuk
mengembalikan hutang kepada masing-masing orang tersebut, tetapi dia
lupa kepada siapa saja dia dulu pernah berhutang, lalu apa yang harus
dilakukan orang itu?
Jawaban
Pertama : Orang yang berhutang itu harus membayar hutangnya jika dia
menemukan orang tersebut atau bisa juga dia membayar hutangnya itu
kepada ahli waris orang tersebut jika dia sudah meninggal dunia dengan
disertai taubat dan permohonan ampunan atas apa yang dia lakukan.
Kedua:Dia harus berusaha keras untuk mengetahui orang-orang yang dulu dia
pernah berhutang kepada mereka, lalu membayar hutang itu kepada mereka
atau kepada ahli waris mereka jika mereka sudah meninggal.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan
kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
Pertanyaan ke-2 dari Fatwa Nomor 13376]
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apakah
orang yang berhutang boleh meminta orang yang memberi hutang agar
membebaskan pembayaran sisa hutang yang masih dia tanggung, jika dia
berada dalam kesulitan? Dan jika orang yang memberi hutang itu berkenan
untuk membebaskan pembayaran sisa hutang tersebut, apakah orang yang
berhutang dalam keadaan seperti ini akan lepas dari pertanyaan mengenai
hutang tersebut pada hari Kiamat kelak? Lalu apa kata-kata yang tepat
untuk dikatakan oleh orang yang memberi hutang kepada orang yang
berhutang agar orang yang berhutang itu lepas dari hutangnya?
Jawaban
Jika orang yang berhutang itu kaya dan mampu untuk membayar hutangnya,
maka dia harus segera melunasi hutangnya jika sudah jatuh tempo. Dan
diharamkan baginya untuk menunda-nunda pelunasan hutangnya. Dan tidak
diperbolehkan dalam keadaan seperti itu, orang yang berhutang meminta
agar hutangnya dibebaskan darinya. Sebab, hal itu termasujk dalam
permintaan diluar kebutuhan. Tetapi jika orang yang behutang itu dalam
keadaan kesulitan dan dia tidak memiliki harta yang dapat dipergunakan
untuk melunasi hutangnya atau membayar sebagiannya, maka dia boleh
meminta kepada orang yang memberi hutang untuk membebaskan pembayaran
hutang yang dia tidak mampu melunasinya, atau ditangguhkan waktu
pembayarannya sehingga dia mampu melunasinya. Dan jika orang yang
memberi hutang itu membebaskan dirinya dari pelunasan hutangnya, maka
dia telah terlepas dari kewajiban membayar hutang tersebut.
Apapun ungkapan yang memberi pengertian gugurnya hutang dari orang yang
berhutang, seperti ungkapanmu, "Aku bebaskan dirimu dari hutangmu atau
hutang yang masih tersisa padamu". Atau "Kamu bebas dari hutangmu". Atau
"Aku anggap tidak ada hutangmu padaku. "Atau "Aku anggap lunas
hutangmu". Atau "Uangku yang ada padamu sekarang menjadi milikmu". Dan
ungkapan-ungkapan semisal lainnya yang dipahami sebagai pembebasan
hutang. Semua ungkapan tersebut cukup untuk membebaskan orang yang
berhutang dari hutangnya.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan
kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Pertanyaan ke-4 dari Fatwa Nomor 19886]
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya
pernah meminjam sejumlah uang kepada seseorang dan saya sempat terlambat
dalam jangka waktu yang lama. Saya lihat, pemberi hutang itu merasa
keberatan atas keterlambatan saya dan tidak menyukainya. Apa boleh jika
saya memberi hadiah tertentu kepadanya setelah saya melunasi hutang saya
kepadanya, hanya sebatas hadiah semata. Dan niat saya, hadiah tersebut
hanya sebagai ganti atas perasaan kesalnya. Apakah yang demikian itu
termasuk riba?
Jawaban
Jika Anda membayar hutang, lalu Anda memberi tambahan tertentu pada
hutang tersebut, dari hati yang tulus dan tanpa ada persyaratan
sebelumnya dari pemberi hutang untuk melakukan hal tersebut, atau Anda
memberi hadiah kepadanya secara suka rela karena merasa terlambat
membayar hutang, maka yang demikian itu adalah suatu hal yang baik dan
tidak menjadi masalah. Hal tersebut didasarkan pada apa yang ditegaskan
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana beliau pernah meminjam
seekor unta muda dari seseorang, lalu beliau mengembalikan berupa unta
pilihan lagi bagus seraya berucap :
خيا الناس احسنهم قضاء
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya" [1]
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan
kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Pertanyaan ke-7 dari Fatwa Nomor 19446]
[Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal
Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun
Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_______
Footnote
[1]. HR.Malik II/680, Asy-Syafi'i di dalam kitab Ar-Risalah hal. 544 no.
1606 (Tahqiq : Ahmad Syakir), Ahmad II/377, 393, 416, 431, 456, 476,
dan 509 IV/127, VI/390, Al-Bukhari III/61, 83-84, 139, 140, Muslim
XI/36-38 (Muslim bi Syarh An-Nawawi), Abu Dawud III/641-642 no. 3346,
At-Tirmidzi III/607-609 no. 1316-1318, An-Nasa'i VII/291-292, 318 no.
4617-4619, 4693, Ibnu Majah II/8709 no. 2423, Ad-Darimi II/254,
Al-Baihaqi V/351, 353, VI/21, Al-Ashbahani di dalam kitab Al-Hiyah
VII/263, VII/263, VIII/280-281, Al-Baghawi VIII/194 no.2137
http://almanhaj.or.id/content/2093/slash/0/utang-piutang/