عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam
telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga
tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal
kalian”.
Dalam mendefinisikan
ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada yang berpendapat,
ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula
yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada
pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.
Al ‘Izz bin
Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan
semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan
manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya.”
Al Harawi
mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain
berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di
hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka
seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji
sawi”.
Abu ‘Utsman
berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat
kepada Khaliq (Allah)”.
Abu Hudzaifah
Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara
lahir dan batin”.
Abu ‘Ali
Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’.
Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah
menyelamatkan kamu dari keduanya”.[1]
Ikhlas ialah,
menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala
individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali
karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal,
seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi
maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan perang, atau
agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan,
harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat
sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena
alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi
karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.
Landasan niat
yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari
perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan
apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan
hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara
duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya
mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni,
seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas karena Allah ialah, apabila
seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada Allah dan
mencapai tempat kemuliaanNya.
SULITNYA
MEWUJUDKAN IKHLAS
Mewujudkan
ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang jahil. Para ulama yang
telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya
mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang memang dimudahkan Allah.
Imam Sufyan Ats
Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada
mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku.” [2]
Karena itu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a:
يَا مُقَلِّبَ
القُلُوْبِ ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
Ya, Rabb yang
membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu.
Lalu seorang
sahabat berkata,”Ya Rasulullah, kami beriman kepadamu dan kepada apa yang
engkau bawa kepada kami?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Ya,
karena sesungguhnya seluruh hati manusia di antara dua jari tangan Allah, dan
Allah membolak-balikan hati sekehendakNya. [HR Ahmad, VI/302; Hakim, I/525;
Tirmidzi, no. 3522, lihat Shahih At Tirmidzi, III/171 no. 2792; Shahih Jami’ush
Shagir, no.7987 dan Zhilalul Jannah Fi Takhrijis Sunnah, no. 225 dari sahabat
Anas].
Yahya bin Abi
Katsir berkata,”Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal.” [3]
Muththarif bin
Abdullah berkata,”Kebaikan hati tergantung kepada kebaikan amal, dan kebaikan
amal bergantung kepada kebaikan niat.” [4]
Pernah ada
orang bertanya kepada Suhail: “Apakah yang paling berat bagi nafsu manusia?” Ia
menjawab,”Ikhlas, sebab nafsu tidak pernah memiliki bagian dari ikhlas.” [5]
Dikisahkan ada
seorang ‘alim yang selalu shalat di shaf paling depan. Suatu hari ia datang
terlambat, maka ia mendapat shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya terbersit
rasa malu kepada para jama’ah lain yang melihatnya. Maka pada saat itulah, ia
menyadari bahwa sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di
shaf pertama pada hari-hari sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat orang
lain. [6]
Yusuf bin
Husain Ar Razi berkata,”Sesuatu yang paling sulit di dunia adalah ikhlas. Aku
sudah bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’ dari hatiku, seolah-olah
timbul riya, dengan warna lain.” [7]
Ada pendapat
lain, ikhlas sesaat saja merupakan keselamatan sepanjang masa, karena ikhlas
sesuatu yang sangat mulia. Ada lagi yang berkata, barangsiapa melakukan ibadah
sepanjang umurnya, lalu dari ibadah itu satu saat saja ikhlas karena Allah,
maka ia akan selamat.
Masalah ikhlas
merupakan masalah yang sulit, sehingga sedikit sekali perbuatan yang dikatakan
murni ikhlas karena Allah. Dan sedikit sekali orang yang memperhatikannya,
kecuali orang yang mendapatkan taufiq (pertolongan dan kemudahan) dari Allah.
Adapun orang yang lalai dalam masalah ikhlas ini, ia akan senantiasa melihat
pada nilai kebaikan yang pernah dilakukannya, padahal pada hari kiamat kelak,
perbuatannya itu justru menjadi keburukan. Merekalah yang dimaksudkan oleh
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَبَدَا لَهُم مِّنَ اللهِ مَالَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَاكَسَبُوا وَحَاقَ بِهِم مَّاكَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِءُونَ
Dan jelaslah
bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan jelaslah
bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat … [Az Zumar :
47-48]
قُلْ هَلْ
نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيَهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah:"Apakah
akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya. [Al Kahfi : 103-104].[8]
Bila Anda
melihat seseorang, yang menurut penglihatan Anda telah melakukan amalan Islam
secara murni dan benar, bahkan boleh jadi dia juga beranggapan seperti itu.
Tapi bila Anda tahu dan hanya Allah saja yang tahu, Anda mendapatkannya sebagai
orang yang rakus terhadap dunia, dengan cara berkedok pakaian agama. Dia
berbuat untuk dirinya sendiri agar dapat mengecoh orang lain, bahwa seakan-akan
dia berbuat untuk Allah.
Ada lagi yang
lain, yaitu beramal karena ingin disanjung, dipuji, ingin dikatakan sebagai
orang yang baik, atau yang paling baik, atau terbetik dalam hatinya bahwa dia
sajalah yang konsekwen terhadap Sunnah, sedangkan yang lainnya tidak.
Ada lagi yang
belajar karena ingin lebih tinggi dari yang lain, supaya dapat penghormatan dan
harta. Tujuannya ingin berbangga dengan para ulama, mengalahkan orang yang
bodoh, atau agar orang lain berpaling kepadanya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam mengancam orang itu dengan ancaman, bahwa Allah akan memasukkannya ke
dalam neraka jahannam. Nasalullaha As Salamah wal ‘Afiyah. [9]
Membersihkan
diri dari hawa nafsu yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan niat
dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. memerlukan
usaha yang maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk bagi setan ke dalam
jiwa, membersihkan hati dari unsur riya’, kesombongan, gila kedudukan, pangkat,
harta untuk pamer dan lainnya.
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/08/pengertian-ikhlas.html
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam
telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga
tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal
kalian”.
Dalam
mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada
yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam
beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari
pamrih kepada makhluk.
Al ‘Izz bin
Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan
semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan
manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya.”
Al Harawi
mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain
berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati
manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka
seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji
sawi”.
Abu ‘Utsman
berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada
Khaliq (Allah)”.
Abu Hudzaifah
Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara
lahir dan batin”.
Abu ‘Ali
Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’.
Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah
menyelamatkan kamu dari keduanya”.[1]
Ikhlas ialah,
menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala
individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali
karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal,
seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi
maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan perang, atau
agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan,
harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat
sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena
alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi
karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.
Landasan niat
yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari
perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan
apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan
hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara
duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya
mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni,
seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas karena Allah ialah, apabila
seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada Allah dan
mencapai tempat kemuliaanNya.
SULITNYA
MEWUJUDKAN IKHLAS
Mewujudkan
ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang jahil. Para ulama yang
telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya
mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang memang dimudahkan Allah.
Imam Sufyan Ats
Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada
mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku.” [2]
Karena itu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a:
يَا مُقَلِّبَ
القُلُوْبِ ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
Ya, Rabb yang
membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu.
Lalu seorang
sahabat berkata,”Ya Rasulullah, kami beriman kepadamu dan kepada apa yang
engkau bawa kepada kami?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Ya,
karena sesungguhnya seluruh hati manusia di antara dua jari tangan Allah, dan
Allah membolak-balikan hati sekehendakNya. [HR Ahmad, VI/302; Hakim, I/525;
Tirmidzi, no. 3522, lihat Shahih At Tirmidzi, III/171 no. 2792; Shahih Jami’ush
Shagir, no.7987 dan Zhilalul Jannah Fi Takhrijis Sunnah, no. 225 dari sahabat
Anas].
Yahya bin Abi
Katsir berkata,”Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal.” [3]
Muththarif bin
Abdullah berkata,”Kebaikan hati tergantung kepada kebaikan amal, dan kebaikan
amal bergantung kepada kebaikan niat.” [4]
Pernah ada
orang bertanya kepada Suhail: “Apakah yang paling berat bagi nafsu manusia?” Ia
menjawab,”Ikhlas, sebab nafsu tidak pernah memiliki bagian dari ikhlas.” [5]
Dikisahkan ada
seorang ‘alim yang selalu shalat di shaf paling depan. Suatu hari ia datang
terlambat, maka ia mendapat shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya terbersit
rasa malu kepada para jama’ah lain yang melihatnya. Maka pada saat itulah, ia
menyadari bahwa sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di
shaf pertama pada hari-hari sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat orang
lain. [6]
Yusuf bin
Husain Ar Razi berkata,”Sesuatu yang paling sulit di dunia adalah ikhlas. Aku
sudah bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’ dari hatiku, seolah-olah
timbul riya, dengan warna lain.” [7]
Ada pendapat
lain, ikhlas sesaat saja merupakan keselamatan sepanjang masa, karena ikhlas
sesuatu yang sangat mulia. Ada lagi yang berkata, barangsiapa melakukan ibadah
sepanjang umurnya, lalu dari ibadah itu satu saat saja ikhlas karena Allah,
maka ia akan selamat.
Masalah ikhlas
merupakan masalah yang sulit, sehingga sedikit sekali perbuatan yang dikatakan
murni ikhlas karena Allah. Dan sedikit sekali orang yang memperhatikannya,
kecuali orang yang mendapatkan taufiq (pertolongan dan kemudahan) dari Allah. Adapun
orang yang lalai dalam masalah ikhlas ini, ia akan senantiasa melihat pada
nilai kebaikan yang pernah dilakukannya, padahal pada hari kiamat kelak,
perbuatannya itu justru menjadi keburukan. Merekalah yang dimaksudkan oleh
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَبَدَا لَهُم مِّنَ اللهِ مَالَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَاكَسَبُوا وَحَاقَ بِهِم مَّاكَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِءُونَ
Dan jelaslah
bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan jelaslah
bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat … [Az Zumar :
47-48]
قُلْ هَلْ
نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيَهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah:"Apakah
akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya. [Al Kahfi : 103-104].[8]
Bila Anda
melihat seseorang, yang menurut penglihatan Anda telah melakukan amalan Islam
secara murni dan benar, bahkan boleh jadi dia juga beranggapan seperti itu.
Tapi bila Anda tahu dan hanya Allah saja yang tahu, Anda mendapatkannya sebagai
orang yang rakus terhadap dunia, dengan cara berkedok pakaian agama. Dia
berbuat untuk dirinya sendiri agar dapat mengecoh orang lain, bahwa seakan-akan
dia berbuat untuk Allah.
Ada lagi yang
lain, yaitu beramal karena ingin disanjung, dipuji, ingin dikatakan sebagai
orang yang baik, atau yang paling baik, atau terbetik dalam hatinya bahwa dia
sajalah yang konsekwen terhadap Sunnah, sedangkan yang lainnya tidak.
Ada lagi yang
belajar karena ingin lebih tinggi dari yang lain, supaya dapat penghormatan dan
harta. Tujuannya ingin berbangga dengan para ulama, mengalahkan orang yang
bodoh, atau agar orang lain berpaling kepadanya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam mengancam orang itu dengan ancaman, bahwa Allah akan memasukkannya ke
dalam neraka jahannam. Nasalullaha As Salamah wal ‘Afiyah. [9]
Membersihkan
diri dari hawa nafsu yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan niat
dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. memerlukan
usaha yang maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk bagi setan ke dalam
jiwa, membersihkan hati dari unsur riya’, kesombongan, gila kedudukan, pangkat,
harta untuk pamer dan lainnya.
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/08/pengertian-ikhlas.html
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.