Peran Islam dalam menjaga dan memuliakan kaum wanita sarat akan hikmah dan bertumpu pada asas keadilan. Makna yang terkandung dalam hikmah berupa jaminan kemaslahatan hidup didunia dan akhirat, yang terkadang tidak bisa dimengerti atau dipecahkan jika semata-mata mengandalkan pendekatan rasional. Sedangkan prinsip keadilan tidak melulu diterjemahkan sama rata ataupun sama rasa, sebagaimana yang dipahami secara sempit oleh kebanyakan orang, akan tetapi hakikat keadilan itu adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya sebagai lawan daripada kedzhaliman. Berangkat dari hikmah yang mendalam dan asas keadilan tersebut, Islam hendak meninggikan derajat kaum wanita dengan setinggi-tinggi pemuliaan dan sebaik-baik penjagaan. Ini terbukti bahwa tidak ada satu pun dari agama yang memiliki fokus perhatian dalam membimbing kaum wanita kepada kemaslahatan melainkan Islam.
Diantara bentuk kemaslahatan yang diwariskan Islam kepada kaum wanita adalah perintah mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka. Hal ini merupakan kewajiban yang Allah tetapkan atas setiap muslimah ketika mereka berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Disamping itu, mengenakan jilbab merupakan hajat hidup mereka guna melindungi diri dari segala bentuk gangguan dan atau pelecehan seksual yang kerap dilakoni orang-orang munafik sejak dulu maupun sekarang. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Ahzab: 59)
Ayat ini tegas menjadi dalil atas
wajibnya mengenakan jilbab bagi setiap muslimah. Kewajiban mengenakan
jilbab dalam ketentuan syari’ah sepadan dengan kewajiban-kewajiban
lainnya yang telah diatur dalam agama. Hal ini bertolak belakang dengan
anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa jilbab merupakan produk
budaya, atau ketentuan yang terikat secara kondisional sehingga hukumnya
“boleh-boleh saja” dikenakan.
Para
pembaca perlu mengerti, dalam sejarah penetapan hukum syari’ah (tarikh
tasyri’) telah digambarkan bahwa kebudayaan wanita-wanita Arab
jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam ialah dalam keadaan terbuka auratnya, bahkan telanjang
bulat ketika thawaf di Ka’bah. “Mereka melemparkan pakaian mereka dan
meninggalkannya tergeletak di atas tanah. Mereka tidak lagi mengambil
pakaian tersebut untuk selamanya, membiarkannya terinjak-injak oleh
kaki orang-orang yang lalu lalang hingga pakaian tersebut usang.
Demikian kebiasaan jahiliyah yang dinamakan Al-Liqa’ ini berlangsung
hingga datanglah Islam dan Allah memerintahkan mereka untuk menutup
auratnya, sebagaimana dalam firman-Nya surat Al-A’raf ayat 31.” (Syarh
Shahiih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, 18/369).
Maka sungguh tidak relevan jika anggapan tersebut kita korelasikan dengan kenyataan budaya Arab pada masa pra-Islam.
Adapun setelah itu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mewajibkan kepada
isteri-isteri beliau, anak perempuan beliau dan wanita-wanita kaum
Mu’minin untuk mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka. Ini
menunjukkan bahwa jilbab bukanlah produk budaya Arab, akan tetapi murni
wahyu dari Allah yang turun kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam guna diamalkan oleh segenap ummatnya
dari kalangan Muslimah dimanapun mereka berada sampai datangnya hari
Kiamat.
Namun yang masih menjadi
persoalan ialah biasnya definisi jilbab yang dipahami ditengah
masyarakat kita. Masing-masing orang mendefinisikannya sesuai dengan
selera gaya hidupnya yang beragam, bahkan tuntutan karir pun tak pelak
dijadikan alasan, sehingga muncul istilah jilbab gaul, modis dan
berbagai istilah diciptakan guna mengalihkan perhatian Muslimah dari
jilbab yang sesuai dengan tuntunan syar’iah.
Para Ulama Salaf maupun Khalaf
telah memberikan penjelasan kepada kita secara gamblang berkenaan dengan
definisi jilbab yang syar’i berikut syarat-syarat pakaian yang wajib
dipenuhi atas setiap Muslimah. Sehingga kita tidak perlu lagi menoleh
definisi-definisi lain yang tidak merujuk kepada pertimbangan dalil
agama. Karena perkara agama ini adalah perkara yang telah pasti
datangnya dari Allah dan Rasul-Nya serta keterangan dari para Ulama-Nya,
dan tidak ada sedikit pun celah keraguan yang menghalangi kita untuk
beriman kepada-Nya. Semoga uraian ini menjadi sebab kebaikan dan manfaat
bagi segenap Muslimah sehingga tidak keliru pasang dan melenceng dari
kemestian.
Pengertian Jilbab
Kata “jilbab” ditinjau dari sudut pandang bahasa mengandung beberapa makna:
1. Qamish yakni pakaian lebar dan panjang sejenis jubah.
2.
Pakaian yang lebih luas dari khimar (kerudung penutup kepala) selain
rida’ (selendang) yang berfungsi menutupi kepala dan dada wanita.
3. Pakaian lebar selain milhafah (selimut) yang dikenakan oleh seorang wanita.
4. Milhafah (selimut) (Lisaanul ‘Arab, Ibnu Mandzur 2/162)
Adapun dalam pengertian syari’ah
sebagaimana yang telah diterangkan oleh para Ulama Ahli Tafsir
diantaranya Al-‘Allaamah Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Bin Naashir As-Sa’di
Rahimahullah bahwa jilbab adalah kain yang dikenakan diatas pakaian
(milhafah, khimar, rida’ dan semisalnya) yang berfungsi menutupi
wajah-wajah dan dada-dada mereka para wanita. (Taisirul Kariimir Rahman
Fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan, Tafsir Surat Al-Ahzab ayat 59).
Demikian keterangan Para Ulama
dalam mendefinisikan jilbab menurut pandangan syari’ah. Maka tidak tepat
jika seorang muslimah mencukupkan diri dengan mengenakan khimar
(kerudung mini penutup kepala atau jilbab gaul) sebagai pakaian utama
tanpa melapisinya dengan jilbab. Karena pengertian jilbab itu sendiri
ialah kain yang ukurannya lebih panjang dari khimar yang dilabuhkan
diatasnya.
Syarat-syarat Pakaian Muslimah:
1. Menutup seluruh tubuh
Syarat
pertama yang wajib dipenuhi oleh seorang muslimah dalam berpakaian
ialah menutupi seluruh tubuhnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”
Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Ahzab: 59)
Para Ulama Ahli Hadits telah
bersepakat mengenai wajibnya menutup seluruh tubuh bagi Muslimah (Shahih
Fiqhus Sunnah, 3/29), namun yang masih menjadi perdebatan hingga saat
ini ialah persoalan hukum antara wajib dan afdhal-nya menutup wajah dan
telapak tangan bagi mereka. Untuk masalah ini ada artikel menarik yang
membahas secara spesifik beragam pendapat para Ulama yang mendasari
fatwa mereka, silakan baca artikel yang berjudul “Aurat Muslimah” pada
menu Nasehat Muslimah. Dalam uraian artikel tersebut penulis juga
membimbing pembaca yakni bagaimana menempatkan dan mengamalkan pendapat
para Ulama yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya,
wallahul muwaffiq.
2. Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan
Hal ini yang tampaknya masih
menjadi kesimpangsiuran pada pemahaman sebagian muslimah disekitar kita.
Berangkat dari sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi
wasallam: “Sesungguhnya Allah maha indah dan menyukai keindahan” mereka
memfungsikan pakaiannya -yang menurut keumuman orang- sebagai
perhiasan. Dengan mengenakan pakaian bercorak stylish dan bernuansa
dekoratif serta perpaduan berbagai bahan membuat mereka tampil lebih
modis dan menawan dihadapan laki-laki asing yang bertengger di
jalan-jalan. Sementara keindahan yang ada dalam benak kita belum tentu
serupa dengan keindahan yang ada disisi Allah Ta’ala. Karena keindahan
menurut Allah adalah menjalankan segala sesuatu yang diperintahkan oleh
Allah dalam tuntunan syari’at-Nya serta mejauhi segala larangan-Nya
walaupun keumuman manusia memandangnya berbeda, diantara tuntunan
syari’ah Allah adalah sebagai berikut:
“Dan janganlah mereka (para wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya”. (An-Nuur: 31)
Maka berdasarkan keumuman
lafadzh ayat diatas meliputi pakaian dzhahir (fisik) jika pakaian
tersebut berfungsi sebagai perhiasan yang menarik perhatian laki-laki
untuk melihatnya. (Shahih Fiqhus Sunnah, 3/33).
Al-‘Allaamah Asy-Syaikh
‘Abdurrahman Bin Naashir As-Sa’di Rahimahullah menyatakan: “Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya” yakni seperti pakaian yang
indah (yang berfungsi sebagai perhiasan), dan juga perhiasannya, serta
seluruh tubuhnya termasuk dari perhiasan, juga pakaian dzhahir jika
memang berfungsi sebagai perhiasan. “Kecuali yang (biasa) tampak
darinya” yakni pakaian dzhahir yang biasa dikenakan selama tidak
menimbulkan fitnah. (Taisirul Kariimir Rahman Fii Tafsiiri Kalaamil
Mannaan, Tafsir Surat An-Nuur ayat 31).
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa ‘ala aalihi wasallam telah memberikan peringatan kepada kita tentang
golongan orang-orang yang binasa, diantaranya wanita yang suka berhias
diri dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya:
“…..dan seorang istri yang jauh
dari suaminya, padahal suaminya telah mencukupkan dia dengan memberikan
fasilitas dunia, akan tetapi kemudian dia bertabarruj setelah itu…..”.
(HR. Ahmad 23827 6/19 Sanad-nya Shahiih)
Pengertian tabarruj yakni
seorang wanita menampakkan perhiasannya dan bagian-bagian keindahan
tubuhnya yang sesungguhnya wajib atas mereka untuk menutupinya karena
hal tersebut dapat mengundang syahwat pria. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/33,
Abu Malik Kamal menukil dari Fathul Bayaan 7/274)
Demikian larangan Allah dan
Rasul-Nya terhadap wanita yang suka berhias diri bukan pada tempatnya.
Jadi tidak tepat jika memfungsikan pakaian sebagai perhiasan, karena
tujuan perintah jilbab itu sendiri adalah untuk menutupi perhiasan
sebagaimana yang telah diuraikan diatas.
- Tentang Warna
Adapun
anggapan sebagian Muslimah yang komitmen dalam menjalankan sunnah
berkata: “Bahwa pakaian selain hitam termasuk perhiasan dan tidak ada
contohnya!”, tandas mereka. Maka ucapan ini perlu ditinjau kembali
dengan melakukan pembacaan ulang secara kritis terhadap segenap riwayat.
Karena telah shahiih berita mengenai istri-istri Nabi dan para
Shahabiyah bahwa mereka juga pernah mengenakan pakaian berwarna selain
hitam, dan hal ini tidaklah diingkari oleh Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dan para Shahabatnya sebagaimana yang
termaktub dalam Shahiih Al-Bukhari (5823, 5825), Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah (8/372) dan sejumlah kitab. Termasuk Fatwa Lajnah Da’immah
(5089) yang dipimpin oleh Al-‘Allaamah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziiz Bin
‘Abdullah Bin Baaz Rahimahullah.
Namun pakaian berwarna hitam
lebih utama untuk dikenakan atas wanita, karena yang demikian itu adalah
pakaian yang sering dikenakan istri-istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
‘ala aalihi wasallam, sebagaimana dalam kisah Shafwaan Bin
Al-Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwaani yang sempat mendapati ‘Aisyah
tertinggal dari rombongan dengan mengenakan pakaian berwarna hitam (HR.
Bukhari 4141 dan Muslim 2770), dan riwayat yang memberitakan
penampilan para Shahabiyah yang digambarkan diatas kepala mereka
seperti burung gagak.
3. Kainnya Harus Tebal Yakni Tidak Tipis
Pakaian dengan bahan yang tipis
lebih mudah menggambarkan lekuk-lekuk tubuh mereka, dan wanita-wanita
yang mengenakan pakaian tipis diluar rumahnya tak ubah seperti orang
yang telanjang didepan umum, disadari atau tidak. Pun Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah mensinyalir
wanita-wanita seperti ini akan muncul diantara umatnya:
“Dua kelompok yang termasuk ahli
neraka, aku belum pernah melihatnya……. (dan yang kedua) “wanita
kaasiyaat ‘aariyaat”. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan
baunya, padahal baunya dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian”.
(HR. Muslim 2128)
Kaasiyaat ‘aariyaat
adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian tipis, dan tidak menutup
auratnya. Yakni berpakaian dari namanya saja, namun pada hakikatnya
telanjang. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/34).
4. Harus Longgar Yakni Tidak Ketat
Tidak jarang dari wanita-wanita
Muslimah yang kehilangan identitas dirinya terpedaya mengikuti trend
berpakaian ketat seperti yang sering kita saksikan sekarang. Padahal
pakaian yang ketat akan menyulitkan gerak tubuh mereka, dan saking
sempitnya memakainya pun membutuhkan waktu dan tenaga. Berbeda dengan
pakaian yang longgar, tubuh akan lebih mudah untuk bergerak dan terasa
nyaman untuk dikenakan. Disamping itu, mafsadah yang terbesar dari
berpakaian ketat ialah menampakkan tubuh seorang wanita, dan tentunya
mengundang syahwat pria-pria yang masih normal mentalnya.
Dari Usamah Bin Zaid
Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa ‘ala aalihi wasallam memakaikan-ku sebuah pakaian Qubthiyyah (Mesir)
yang tebal -dulu pakaian tersebut merupakan hadiah Dihyah Al-Kalbiy
kepada beliau- maka aku memakaikannya untuk istriku. Kemudian
Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam berkata
kepadaku: “Mengapa tidak kamu pakai baju Qubthiyyah itu?”, aku berkata:
“Yaa Rasulallah, aku memakaikannya untuk istriku”. Lantas Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam berkata: “Perintahkanlah ia
agar mengenakan baju dalam dibalik baju Qubthiyyah itu, karena aku khawatir baju tersebut masih menggambarkan bentuk tubuhnya”. (HR. Ahmad 21683 5/205, Abu Dawud 4116 Sanad-nya Hasan).
Merujuk sikap Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam diatas, apabila seorang
wanita tengah mengenakan pakaian yang cukup longgar namun dikhawatirkan
masih menggambarkan bentuk tubuh mereka, maka pada kondisi seperti itu
diperintahkan untuk memakai baju dalaman sebagai lapisan. Begitu
juga ketika seorang wanita memakai rok namun bagian pinggulnya masih
terbentuk, hendaknya dia memakai lapisan dalam dibalik rok tersebut
disamping mengenakan jilbab yang panjangnya melebihi pinggul guna
menghindari tampaknya bentuk tubuh mereka. Jadi merupakan suatu
kesalahan jika hanya mencukupkan diri dengan memakai celana panjang
sebagai pakaian utama tanpa melapisinya dengan rok yang lebar hingga
menutupi telapak kakinya (agar lebih terjaga kenakan kaos kaki). Karena
semata-mata memakai celana panjang akan lebih mudah untuk mengikuti
bentuk betis dan lutut mereka, wallahu a’lam.
5. Tidak Memakai Wewangian
Dari Abu Musa Al-Asy’ari
Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi
wasallam bersabda: “Wanita manapun yang mengenakan minyak wangi,
kemudian melewati kaum laki-laki agar mereka mencium baunya, maka dia
adalah seorang pezina”. (At-Tirmidzi 2786 dan diriwayatkan oleh selain
mereka dengan sanad yang Hasan)
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa ‘ala aalihi wasallam juga bersabda: “Wanita manapun yang mengenakan
wewangian, maka janganlah dia menghadiri shalat ‘Isya bersama kami”
Juga terdapat hadits-hadits lain
yang berkenaan dengan larangan ini. Karena keluarnya para wanita ke
jalan-jalan dengan wewangian, dimana pada jalan-jalan tersebut terdapat
laki-laki asing dan tempat berkumpulnya mereka seperti di masjid, maka
yang demikian ini akan menjadi sebab terbukanya pintu fitnah bagi
mereka. Hal ini terjadi karena memang rangsangan laki-laki normal secara
psikologis lebih kuat daripada rangsangan wanita pada umumnya,
sehingga Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam
melarang para wanita memakai minyak wangi ketika berhadapan dengan
laki-laki yang bukan mahramnya. Dan bukan berarti membiarkan mereka
tampil kumuh dan bau tak sedap, akan tetapi mereka diperintahkan untuk
menjaga kebersihan badan dan pakaian, karena kebersihan itu separuh
dari keimanan seseorang sebagaimana yang telah dinyatakan Nabi. Adapun
menggunakan produk-produk deterjen yang memang mengandung sedikit
wewangian (tidak tercium wanginya dari jarak dekat), dan tidak bisa
dihindari, insya Allah tidak mengapa, wallahu a’lam.
6. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki
Penyerupaan wanita kepada
laki-laki atau sebaliknya dalam berpakaian mengakibatkan penyerupaan
mereka dalam hal akhlaq dan tidak pada fitrahnya. Bahkan hal ini telah
menjadi pemandangan yang biasa ditengah masyarakat kita, padahal
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah melaknat
perbuatan nista tersebut sebagaimana yang disaksikan para Shahabatnya:
Dari Abdullah Bin ‘Abbas
Radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Rasulullah melaknat (yakni
dijauhkan dari rahmat dan ampunan Allah) laki-laki yang menyerupai
wanita dan wanita-wanita yang menyerupai laki-laki”. (Al-Bukhari 5885,
At-Tirmidzi 2784, Abu Dawud 4097, Ibnu Majah 1904).
Maknanya tidak boleh bagi
laki-laki menyerupai wanita dalam berpakaian dan mengenakan perhiasan
yang mana hal tersebut memang dikhususkan untuk wanita, demikian juga
sebaliknya. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/36).
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata: “Rasululullah melaknat laki-laki yang berpakaian
wanita dan wanita yang berpakaian laki-laki”. (Abu Dawud 4098, Ahmad
8292 2/325 sanad-nya Shahiih).
Batasan pelarangan tasyabbuh
(penyerupaan) tidaklah semata-mata berdasarkan pakaian yang dipilih,
disukai, atau yang telah menjadi kebiasaan diantara pria dan wanita.
Akan tetapi kembali kepada apa yang pantas bagi mereka, yaitu yang
pantas bagi wanita adalah dengan mengenakan pakaian tertutup dan tidak
bertabarruj dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Maka dalam
pembahasan ini ada dua hal yang dimaksud, pertama adanya perbedaan
antara pakaian pria dan wanita, dan yang kedua tertutupnya kaum wanita,
dan tidaklah terjadi penyerupaan wanita kepada pria kecuali jika kedua
hal tersebut dilakukan secara bersamaan”. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/36).
7. Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-wanita Kafir
Telah menjadi ketetapan syari’ah
bahwasanya tidak boleh bagi setiap muslim -pria maupun wanita-
menyerupai orang-orang kafir, sama saja apakah dalam hal peribadatan
mereka, hari raya mereka, atau pakaian-pakaian khusus mereka. Allah
Ta’ala berfirman:
“Belumkah datang waktunya
bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka degan mengingat
Allah dan dengan kebenaran yang telah diturunkan (kepada mereka). Dan
janganlah mereka seperti keadaan umat yang diturunkan kitab sebelumnya,
dimana mereka berkepanjangan dalam keadaan kososng dari berdzikir
kepada Allah serta kosong dari ilmu, sehingga menjadi keraslah hati
mereka dan akibatnya kebanyakan mereka menjadi orang-orang yang fasiq”.
(Al-Hadiid: 16)
Para Ulama Ahli Tafsir
menerangkan firman Allah: “Dan janganlah mereka seperti keadaan umat
yang diturunkan kitab sebelumnya”, yakni janganlah mereka (orang-orang
yang beriman) meniru perbuatan orang-orang Yahudi dan Nashara yang telah
diturunkan kepada mereka kitab Taurat dan Injil sebelum diturunkannya
Al-Qur’an.
Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi
wa ‘ala aalihi wasallam juga telah menegaskan dalam sabdanya:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kaum
itu”.
Maka cukup memprihatinkan
tatkala melihat perangai sebagian kaum Muslimin saat ini tengah
mengalami krisis ketauladanan. Mereka yang seharusnya menjadi pelopor
dalam kebaikan justru terkondisikan menjadi pengekor kebebasan sebagai
akibat penetrasi budaya-budaya kuffar dalam berpakaian, dan hal ini
merupakan bentuk genderang perang orang-orang kafir dalam upaya mereka
memerangi Islam dan kaum Muslimin. Seharusnya yang dilakukan seorang
Muslim adalah membangun kepribadian diri dengan nilai-nilai Islam dan
menumbuhkan semangat optimisme dalam menjalani kehidupan. Karena dengan
sebab itulah rasa minder yang menghantui perasaan dapat dengan segera
hilang, dan tidak akan mudah ikut-ikutan dalam melangkah seperti keadaan
kerbau yang ditarik hidungnya ketika berjalan.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa ‘ala aalihi wasallam telah memberikan contoh nyata dalam mengambil
sikap, yaitu ketika beliau melihat Shahabatnya mengenakan pakaian yang
menjadi ciri khas orang-orang kafir, maka pada detik itu juga beliau
langsung menegurnya dalam rangka menjaga kepribadian diri Shahabatnya
itu: “Sesungguhnya ini pakaian kuffar, maka janganlah sekali-kali engkau
memakainya.” (HR. Muslim 2077, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 25223).
Dan masih banyak lagi nash-nash
syar’iyyah yang menegaskan kepada kita bahwa menyerupai orang-orang
kafir dalam segala tindak tanduk mereka serta merupakan kekhususan bagi
mereka adalah termasuk hal yang tercela. Bahkan Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam tengah memberikan ultimatum jika ada
diantara umatnya yang bertasyabbuh dengan orang-orang kafir tersebut,
maka dia termasuk dari golongan mereka. Semoga Allah menyelamatkan kita
dari segala bentuk tasyabbuh kepada orang-orang kafir, dan senantiasa
membimbing langkah kita guna memiliki kepribadian yang bernafaskan
Islam, amiin yaa mujibas sa’iliin.
8. Bukan Sebagai Pakaian Syuhrah
Hal ini sebagaimana sabda beliau
Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dari Abdullah Bin ‘Umar
Radhiyallahu ‘anhu: “Barangsiapa yang mengenakan pakaian Syuhrah (untuk
mencari popularitas) didunia, maka Allah akan kenakan padanya pakaian
kehinaan pada hari Kiamat, dan kemudian menyala-nyala pada pakaian
tersebut api neraka” (HR. Abu Dawud 4029, dan Ibnu Majah 3607 dengan
Sanad Hasan Lighairih)
Pakaian Syuhrah adalah
semua pakaian yang dikenakan dengan niat untuk mencari popularitas
ditengah manusia. Sama saja apakah dalam bentuk pakaian yang bagus,
yang dikenakan dalam rangka berbangga-bangga dengan dunia dan
perhiasannya, atau pakaian yang bernilai rendah, yang dikenakan dalam
rangka menampakkan kezuhudan dan riya’. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/37).
Penutup
Demikian
keterangan para Ulama yang mengacu kepada Al-Qur’an Was Sunnah dalam
mendefinisikan jilbab berikut syarat-syarat pakaian Muslimah yang wajib
dipenuhi atas mereka. Hal ini merupakan tanggung jawab yang sering
diabaikan oleh sebagian Muslimah dalam berbusana, dan pada gilirannya
akan menambah beban penderitaan yang lebih berat lagi bagi masa depan
kehidupan mereka didunia dan akhirat kelak. Bahkan tidak jarang dari
Muslimah yang enggan mengenakan jilbab mereka beralasan, “bahwa akhwat
yang berjilbab saja belum tentu lebih baik akhlaqnya dari yang tidak
berjilbab!", tandasnya. Sesungguhnya kesalahan yang dilakukan seseorang
tidak bisa menjadi alasan pembenar bagi kita untuk melakukan kesalahan
yang serupa. Dan ketika saudari melihat akhwat berjilbab namun
mengecewakan akhlaqnya, tidaklah berarti saudari menanggalkan kewajiban
berjilbab yang telah menjadi ketetapan Allah dalam ketentuan
syari’ah-Nya, akan tetapi saudari tetap mengenakan jilbab sambil terus
berupaya mengkoreksi diri dan orang lain dari kesalahan-kesalahannya.
Jilbab termasuk syi’ar-syi’ar agama yang mulia yang Allah nyatakan
secara khusus penyebutannya dalam Al-Qur’an, maka tidak pantas bagi
siapapun meremehkan jilbab, menghinakannya, apalagi melecehkannya demi
bargaining politik semata, semoga hal ini dapat menjadi renungan bagi
kita semua.
_______________________
Sumber : http://www.abuayaz.co.cc/2010/08/jilbab-wanita-muslimah.html
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/06/jilbab-wanita-muslimah.html