Ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran.
Kejujuran harus ditanamkan sejak kecil. Untuk itu jelas
dibutuhkan keteladanan orang tua dalam hal ini. Namun yang terjadi,
tanpa disadari orang tua justru memposisikan diri sebagai guru dalam hal
kebohongan atau ketidakjujuran.
Sebuah sisi yang kini banyak terlalaikan sepanjang perjalanan
membimbing seorang anak adalah kejujuran. Kadang terjadi, orang tua
tidak memberikan teguran ketika melihat si anak berbohong kepada
temannya. Terkadang pula justru orang tua memberikan contoh buruk kepada
si anak dengan berbuat dusta. Bahkan yang lebih parah lagi, orang tua
menyuruh si anak untuk berbohong demi keuntungan atau kesenangan orang
tuanya.
Mungkin tak asing lagi, orang tua yang tidak berkenan menerima seorang
tamu yang datang untuk kepentingan tertentu, untuk berkelit dia berpesan
kepada anaknya, “Katakan saja, ayah dan ibu sedang tidak ada di rumah.”
Sementara dia bersembunyi di kamar tidurnya. Atau di waktu lain, sang
ibu memanggil anaknya pulang bermain, “Ayo pulang, Nak! Ibu kasih kue
nanti di rumah.” Ternyata sepulang bermain, tak sepotong kue pun
diberikan. Juga terkadang orang tua menyuruh si anak melakukan sesuatu
dengan iming-iming hadiah. Namun ketika si anak melaksanakan perintah
orang tuanya, tak sesuatu pun yang didapat, atau bahkan kemarahan semata
yang dihadapi bila si anak menagih janji. Alhasil, anak belajar
berdusta dan ingkar janji justru dari orang tua mereka sendiri.
Kepada Allah sajalah kita mohon pertolongan dari kerusakan semacam
ini. Padahal semestinya orang tua membimbing, mengarahkan dan
mengajarkan pada anak-anak untuk senantiasa jujur, dalam ucapan maupun
perbuatan, serta menjauhi kedustaan dan ingkar janji.
Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar senantiasa berbuat jujur:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan
jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (At-Taubah: 119)
Jujurlah kalian dan berpeganglah selalu dengan kejujuran, niscaya kalian
termasuk orang-orang yang jujur dan akan selamat dari kebinasaan, serta
Allah U berikan kelapangan dan jalan keluar dalam berbagai urusan
kalian. (Tafsir Ibnu Katsir 4/160)
Banyak sudah peringatan dari dusta yang disampaikan oleh Rasulullah n.
Di antaranya beliau katakan bahwa dusta akan menggiring si pendusta
untuk berbuat berbagai kejelekan. Demikian yang beliau kabarkan dalam
hadits Abdullah bin Mas’ud :
“Sesungguhnya kejujuran membimbing pada kebaikan, dan kebaikan akan
membimbing ke surga. Dan seseorang senantiasa jujur dan membiasakan
untuk jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan
sesungguhnya dusta membimbing pada kejahatan, dan kejahatan akan
membimbing ke neraka. Dan seorang hamba senantiasa berdusta dan
membiasakan untuk dusta hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang
pendusta.” (HR. Al-Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607)
Hadits mengandung anjuran agar seseorang berupaya membiasakan diri untuk
jujur dan menjadikan kejujuran sebagai tujuan dan perhatiannya. Di
samping itu, ada peringatan dari kedustaan dan sikap menggampangkan
dusta, karena apabila seseorang biasa bermudah-mudah dalam dusta, maka
dia akan sering berdusta hingga dikenal dengannya. Dan seseorang akan
dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur bila dia
membiasakannya, atau sebagai pendusta bila ia terbiasa dengannya. (Syarh
Shahih Muslim 16/160)
Dinyatakan pula oleh Rasulullah n bahwa dusta termasuk ciri orang munafik, sebagaimana dikabarkan Abu Hurairah:
“Tanda orang munafik itu ada tiga: bila bicara dia dusta, bila
berjanji dia mengingkari, dan bila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR.
Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 107)
Berdusta demikian buruk akibatnya. Terlebih lagi berdusta pada anak-anak
akan membuka pintu kejelekan yang luas, karena nantinya anak akan
menirunya, hingga mereka biasa berbicara dusta dan mengingkari janjinya.
(Nashihati lin Nisaa‘, hal. 40) Selain itu, anak akan kehilangan
kepercayaan kepada orang tuanya, sehingga nantinya mereka pun tidak lagi
membenarkan orang tuanya dalam berbagai hal. (Fiqh Tarbiyatil Abna‘,
hal 240)
Dengan gamblang Rasulullah n melarang seorang ibu berdusta kepada
anaknya. Ini dikisahkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah Al-’Adawi:
Suatu hari ibuku memanggilku, sementara Rasulullah r sedang duduk di
rumah kami. Ibuku berkata, “Mari sini, aku akan memberimu sesuatu.”
Rasulullah r pun bertanya pada ibuku, “Apa yang akan kau berikan
padanya?” Ibuku menjawab, “Aku akan memberinya kurma.” Lalu beliau
berkata pada ibuku, “Seandainya engkau tidak memberinya sesuatu, niscaya
dicatat atasmu sebuah kedustaan.” (HR. Abu Dawud no. 4991, dihasankan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani )
Kisah ini menunjukkan bahwa setiap perkataan yang ditujukan kepada
anak-anak ketika mereka menangis misalnya, baik untuk bergurau atau
untuk membohongi si anak bahwa nanti akan diberi sesuatu atau
ditakut-takuti dengan sesuatu, adalah haram dan termasuk kedustaan.
Walaupun maksudnya sekedar untuk bergurau dan bercanda, seseorang tetap
tidak diperbolehkan mengatakan sesuatu yang dusta, karena Rasulullah mengancam orang yang berdusta dalam candanya, sebagaimana disampaikan
oleh Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya:
Saya mendengar Nabi n bersabda: “Binasalah orang yang berbicara untuk
membuat orang-orang tertawa dengan ucapannya, lalu dia berdusta.
Binasalah dia, binasalah dia!” (HR. At-Tirmidzi no. 2315, dihasankan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani )
Dapat dipahami dari ucapan Rasulullah n ini, tidak mengapa bila
seseorang membuat orang-orang tertawa dengan ucapan yang jujur.
(Tuhfatul Ahwadzi 6/497)
Rasulullah sendiri bukanlah orang yang tidak pernah bercanda. Namun
canda beliau tidak pernah lepas dari kebenaran. Abu Hurairah z
mengisahkan bahwa para shahabat pernah bertanya kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, engkau bercanda dengan kami?” Maka beliau pun
menjawab, “Sesungguhnya aku tidak mengatakan kecuali kebenaran.” (HR.
At-Tirmidzi no. 1990, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani )
Oleh karena itu, orang tua tidak boleh bergurau dengan gurauan yang
dusta, juga harus melarang dan menegur apabila mengetahui anak-anak
mereka bergurau dengan kata-kata yang dusta.
Kisah-kisah tentang kejujuran dapat pula diceritakan pada anak untuk
memberikan gambaran kepada mereka bahwa kejujuran senantiasa akan
membawa kebaikan. Sebuah kisah indah tentang kejujuran dituturkan oleh
Ka’ab bin Malik z, ketika dia tertinggal dari perang Tabuk tanpa satu
uzur pun, sementara segala perlengkapan perang telah dia persiapkan.
Kisah ini tertulis di dalam Ash-Shahihain (HR. Al-Bukhari no. 4418 dan
Muslim no. 2769)
Ka’ab bin Malik menceritakan, ketika ada kabar Rasulullah n sudah
kembali dari peperangan itu, dia pun merasa gelisah. Terlintas dalam
hatinya untuk berdusta kepada Rasulullah n untuk menghindari kemurkaan
beliau. Namun Ka’ab yakin, dia tidak akan bisa selamat dari kemurkaan
beliau selama-lamanya, hingga dia pun bertekad untuk berkata jujur.
Setiba dari peperangan, seperti kebiasaan Rasulullah setiap pulang
dari safar, beliau masuk masjid dan shalat dua rakaat. Setelah itu,
orang-orang yang tidak ikut dalam peperangan mengajukan uzur
masing-masing dan bersumpah di hadapan Rasulullah n. Beliau pun menerima
pengakuan yang nampak dari mereka, membai’at dan memohonkan ampun bagi
mereka dan menyerahkan isi hati mereka kepada Allah .
Hingga datanglah Ka’ab. Ketika Rasulullah n bertanya tentang uzurnya,
Ka’ab menyatakan, “Wahai Rasulullah, andaikan aku duduk di hadapan
selainmu dari kalangan ahlu dunia, tentu aku berpikiran untuk dapat
keluar dari kemarahannya dengan mengajukan suatu uzur, lagipula aku
pandai berdebat. Akan tetapi, demi Allah, aku tahu, seandainya hari ini
kukatakan padamu kebohongan yang membuatmu ridha padaku, sungguh Allah I
akan membuatmu marah padaku. Dan bila kukatakan padamu perkataan jujur
yang membuatmu marah padaku, sungguh dengan itu kuharapkan kesudahan
yang baik dari Allah. Demi Allah, aku tidak memiliki uzur apa pun.
Demi Allah, tak pernah diriku sekuat dan semudah seperti saat aku
tertinggal dari peperangan bersamamu.”Rasulullah pun bersabda,
“Orang ini telah bicara jujur. Bangkitlah, sampai Allah berikan
keputusan tentangmu.”
Waktu terus bergulir. Rasulullah n melarang setiap orang berbicara
dengan Ka’ab dan dua orang shahabat lain yang diberi keputusan serupa.
Dunia pun terasa sempit bagi Ka’ab. Tak ada seorang pun yang mau
menyapanya. Siapa pun, di mana pun. Bahkan Rasulullah n pun enggan
bertatap pandang dengannya.
Inilah yang harus dia jalani, hingga lima puluh malam lamanya. Keesokan
harinya, usai shalat subuh di atas rumahnya, Ka’ab duduk sembari
merasakan kesempitan hatinya. Tiba-tiba terdengar seseorang berseru
padanya dari kejauhan, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!” Ka’ab pun
tersungkur sujud. Dia tahu, kelapangan itu telah datang. Ternyata
ketika shalat Subuh, Rasulullah telah mengumumkan di hadapan para
shahabat bahwa Allah menerima taubat Ka’ab dan dua orang temannya.
Orang-orang pun berdatangan menyatakan kegembiraannya.
Setelah itu, Ka’ab datang menghadap Rasulullah n. Beliau menyambut
dengan wajah yang begitu bersinar bagai rembulan karena rasa gembira,
“Bergembiralah dengan kebaikan yang kau dapat hari ini, semenjak engkau
dilahirkan ibumu.” Ka’ab bertanya, “Apakah ini darimu, wahai Rasulullah,
ataukah dari Allah?” “Tidak, bahkan ini dari Allah .”
Allah turunkan ayat 117-119 dari surat At-Taubah.
Saat itu Ka’ab mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah
menyelamat-kanku dengan kejujuranku. Dan termasuk taubatku, aku tidak
akan berbicara kecuali dengan jujur seumur hidupku.”
Ka’ab menceritakan, “Demi Allah, aku tak pernah bersengaja bicara dusta
semenjak kukatakan hal itu pada Rasulullah n sampai hari ini, dan
sungguh aku berharap agar Allah tetap menjagaku sepanjang sisa
umurku.”
Dia juga mengatakan, “Demi Allah, tidaklah Allah memberikan nikmat pada
diriku setelah memberikan petunjuk padaku untuk berislam, yang lebih
besar daripada kejujuranku pada Rasulullah n, sehingga aku tidak
berdusta pada beliau dan binasa seperti binasanya orang-orang yang
berdusta.”
Inilah sebuah teladan yang memberikan pelajaran besar bagi anak untuk
menanamkan kejujuran dalam dirinya, walaupun untuk mengakui kesalahan.
Demikianlah, tak ada jalan lain bagi orang tua, kecuali berbenah diri
dengan mulai membiasakan untuk berkata dan berbuat jujur. Jujur terhadap
Allah I dan jujur pula terhadap manusia, sehingga terus membiasakan
diri untuk jujur setahap demi setahap sampai kejujuran itu menjadi
akhlak kita, sebagaimana dalam hadits yang disampaikan oleh Ibnu Mas’ud z
di atas.
Begitu pulalah pada anak, orang tua harus membiasakan anak-anaknya untuk
jujur dalam ucapan, perbuatan maupun dalam penunaian janji, diiringi
dengan upaya untuk menjauhkan mereka dari segala kedustaan. Semoga
dengan itu, mereka akan menuai kebahagiaan di dunia ini dan di negeri
yang kekal abadi. Wallahu a’lam.
http://asysyariah.com/kejujuran/