Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Ilmu yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya ada yang
memberikan manfaat, ada pula yang tidak. Di sisi lain, ada pula ilmu
yang pada asalnya sama sekali tidak memberikan manfaat, sehingga manusia
harus menjauhinya.
Allah I telah menyebut ilmu dalam Kitab-Nya Al Qur`an terkadang dengan memujinya seperti dalam firman-Nya:
“Katakanlah, adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang berakallah
yang dapat menerima pelajaran.” (Az -Zumar: 9)
“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah
bertemu. Segolongan berperang di jalan Allah dan yang lain kafir yang
dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang muslim dua kali jumlah
mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai mata hati.” (Ali ‘Imran: 13)
Terkadang Allah menyebutnya dengan celaan. Ilmu yang Allah puji itu
adalah ilmu yang bermanfaat dan yang Allah cela adalah ilmu yang
asalnya tidak bermanfaat, atau bisa jadi pada asalnya bermanfaat, tapi
orang yang dikaruniainya tidak bisa mengambil manfaat darinya.
Sebagaimana Allah beritakan tentang sebuah kaum yang Allah beri ilmu
namun ilmu itu tidak memberi mereka manfaat.
Allah berfirman:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian
mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab
yang tebal. Amat buruklah kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang dzalim.” (Al-Jumu’ah: 5)
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami. Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat
itu, lalu dia diikuti oleh setan (hingga dia tergoda), maka jadilah dia
termasuk orang-orang yang sesat.” (Al-A’raf: 175)
Ayat ini menjelaskan, ilmu itu sesungguhnya bermanfaat akan tetapi orang
yang dikaruniainya tidak bisa memanfaatkannya. Adapun ilmu yang pada
dasarnya dicela oleh Allah I adalah seperti tercantum dalam Surat
Al-Baqarah ayat 102 dan Surat Ar-Rum ayat 7.
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir),
hanya setan-setan itulah yang kafir (karena mengerjakan sihir). Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan pada dua orang
malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut. Sedang keduanya tidak
mengajarkan sesuatu kepada seorangpun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya
kami hanya cobaan bagimu, karena itu janganlah kamu kafir.’ Maka mereka
mempelajari dari dua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat
menceraikan antara seorang suami dengan istrinya. Dan mereka itu tidak
memberi mudharat kepada seorangpun dengan sihirnya kecuali atas izin
Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada mereka
dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa
barangsiapa menukar kitab Allah dengan sihir itu, tiadalah keuntungan
baginya di akhirat. Dan amat jahatlah perbuatan mereka menukar dirinya
dengan sihir kalau mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 102)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedangkan mereka lalai tentang kehidupan akhirat.” (Ar-Rum: 7)
Karena ilmu itu ada yang terpuji yaitu yang bermanfaat dan ada yang
tercela yaitu yang tidak bermanfaat, maka kita dianjurkan untuk memohon
kepada Allah I ilmu yang bermanfaat dan berlindung kepada-Nya dari ilmu
yang tidak bermanfaat. (Fadhl ‘Ilmis Salaf hal. 11-13)
Ilmu yang Bermanfaat
Ibnu Rajab Al-Hanbali t menjelaskan tentang ilmu yang bermanfaat. Beliau
mengatakan, pokok segala ilmu adalah mengenal Allah yang akan
menumbuhkan rasa takut kepada-Nya, cinta kepada-Nya, dekat dengan-Nya,
tenang dengan-Nya, dan rindu pada-Nya. Kemudian setelah itu berilmu
tentang hukum-hukum Allah, apa yang dicintai dan diridhai-Nya dari
perbuatan, perkataan, keadaan atau keyakinan hamba.
Orang yang mewujudkan dua ilmu ini, maka ilmunya adalah ilmu yang
bermanfaat. Ia, dengan itu, akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, hati
yang khusyu’, jiwa yang puas dan doa yang mustajab. Sebaliknya yang
tidak mewujudkan dua ilmu yang bermanfaat itu, ia akan terjatuh ke dalam
empat perkara yang Nabi berlindung darinya. Bahkan ilmunya menjadi
bencana buatnya, ia tidak bisa mengambil manfaat darinya karena hatinya
tidak khusyu’ kepada Allah I, jiwanya tidak merasa puas dengan dunia,
bahkan semakin berambisi terhadapnya. Doanya pun tidak didengar oleh
Allah karena ia tidak merealisasikan perintah-Nya serta tidak menjauhi
larangan dan apa yang dibenci-Nya.
Lebih-lebih apabila ilmu tersebut bukan diambil dari Al Qur‘an dan As
Sunnah, maka ilmu itu tidak bermanfaat atau tidak ada manfaatnya sama
sekali. Yang terjadi, kejelekannya lebih besar dari manfaatnya.
Ibnu Rajab juga menjelaskan, ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah
mempelajari dengan benar ayat-ayat Al-Qur‘an dan hadits Nabi r serta
memahami maknanya sesuai dengan yang ditafsirkan para shahabat, tabi’in,
dan tabi’ut tabi’in. Lalu mempelajari apa yang berasal dari mereka
tentang halal dan haram, zuhud dan semacamnya, serta berusaha
mempelajari mana yang shahih dan mana yang tidak dari apa yang telah
disebutkan. Kemudian berusaha untuk mengetahui makna-maknanya dan
memahaminya.
Apa yang telah disebutkan tadi sudah cukup bagi orang yang berakal dan
menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat. (Fadhl ‘Ilmis Salaf ‘Alal
Khalaf, hal. 41, 45, 46, 52, 53)
Ilmu yang bermanfaat akan nampak pada seseorang dengan tanda-tandanya, yaitu:
1. Beramal dengannya.
2. Benci bila disanjung, dipuji, atau takabbur atas orang lain.
3. Semakin tawadhu’ ketika ilmunya semakin banyak.
4. Menghindar dari cinta kepemimpinan, ketenaran dan dunia.
5. Menghindar untuk mengaku berilmu.
6. Ber-su’uzhan (buruk sangka) kepada dirinya dan husnuzhan (baik
sangka) kepada orang lain dalam rangka menghindari celaan kepada orang
lain. (Lihat Fadhl ‘Ilmis Salaf, hal. 56-57 dan Hilyah Thalibil ‘Ilm,
hal. 71)
Sebaliknya ilmu yang tidak bermanfaat juga akan nampak tanda-tandanya pada orang yang menyandangnya yaitu:
1. Tumbuhnya sifat sombong, sangat berambisi dalam dunia dan
berlomba-lomba padanya, sombong terhadap ulama, mendebat orang-orang
bodoh, dan memalingkan perhatian manusia kepadanya.
2. Mengaku sebagai wali Allah I, atau merasa suci diri.
3. Tidak mau menerima yang hak dan tunduk kepada kebenaran, dan
sombong kepada orang yang mengucapkan kebenaran jika derajatnya di
bawahnya dalam pandangan manusia, serta tetap dalam kebatilan.
4. Menganggap yang lainnya bodoh dan mencela mereka dalam rangka
menaikkan derajat dirinya di atas mereka. Bahkan terkadang menilai ulama
terdahulu dengan kebodohan, lalai, atau lupa sehingga hal itu
menjadikan ia mencintai kelebihan yang dimilikinya dan berburuk sangka
kepada ulama yang terdahulu. (Lihat Fadhl ‘Ilmis Salaf, hal. 53, 54, 57,
58)
Wallahu a’lam.
http://asysyariah.com/ilmu-yang-bermanfaat/