Al ‘Allamah Asy Syaukani menulis dalam bukunya “Al Fawaidul Majmuah” sebagai berikut : bahwa hadits yang mengatakan : “Wahai
Ali, barang siapa yang melakukan sholat pada malam Nisfu Sya’ban
sebanyak 100 rakaat, ia membaca setiap rakaat Al fatihah dan Qul
huwallah ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala
kebutuhannya … dan seterusnya. Hadits ini adalah maudhu’, pada
lafadz-lafadznya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh
pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal,
sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal), hadits ini diriwayatkan dari
kedua dan ketiga jalur sanad, kesemuanya maudhu dan perawi-perawinya
tidak diketahui.
Dalam kitab “Al Mukhtashor” Syaukani
melanjutkan : hadits yang menerangkan tentang sholat Nisfu Sya’ban
adalah bathil, Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali bin Abi Tholib
Radhiyallahu ‘anhu : jika datang malam Nisfu Sya’ban bersholat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dloif.
Dalam buku “Allaali” diriwayatkan bahwa : “Seratus
rakaat pada malam Nisfi sya’ban (dengan membaca surah) Al ikhlas
sepuluh kali (pada setiap rakaat) bersama keutamaan keutamaan yang lain,
diriwayatkan oleh Ad Dailami dan lainya bahwa itu semua maudlu’
(palsu), dan mayoritas perowinya pada ketiga jalur sanadnya majhul
(tidak diketahui) dan dloif (lemah).
Riwayat Turmudzi dan hadits Aisyah, bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Baqi’ dan Tuhan turun ke langit
dunia pada malam Nisfu Sya’ban, untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah
bulu domba dan bulu kambing, karena pembicaraan kita berkisar
tentang sholat yang diadakan pada malam Nisfu Sya’ban itu, tetapi hadits
Aisyah ini lemah dan sanadnya munqothi’ (tidak bersambung) sebagaimana
hadits Ali yang telah disebutkan diatas, mengenai malam Nisfu Sya’ban,
jadi dengan jelas bahwa sholat (khusus pada) malam itu juga lemah
dasar hukumnya. Al Hafidz Al Iraqi berkata : hadits (yang
menerangkan) tentang sholat Nisfi Sya’ban itu maudlu dan pembohongan
atas diri Rasulallah”.
Dari Mujibah Al-bahiliyyah dari bapaknya – atau pamannya – , sesungguhnya
ia mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian
kembali pulang dan ia datang lagi setelah setahun – dan telah berubah
bentuk dan rupanya – . Maka berkata : “Wahai Rasulullah, apakah Anda
tidak mengenaliku?”. Beliau balik bertanya,”Siapa kamu”. Ia
menjawab,”Aku Al-Bahiliy yang datang kepada Anda setahun yang lalu”.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya,”Lalu apa yang
merubah (bentuk dan keadaan) kamu, padahal dulu kamu punya rupa yang
bagus?”. Ia menjawab,”Aku tidak pernah makan semenjak berpisah dengan
Anda kecuali malam hari”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda,”Kamu telah menyiska diri sendiri”. Kemudian bersabda :
Berpuasalah di bulan sabar (Ramadlan) dan sehari dalam setiap bulannya”
Ia berkata,”Tambah lagi wahai Rasul, karena aku masih kuat”. Beliau
bersabda :”Berpuasalah dua hari” Ia berkata lagi,”Tambah lagi!”. Beliau
menjawab :”Berpuasalah tiga hari” Ia berkata,”Tambah lagi”. Beliau
menjawab :”Berpuasalah dari bulan-bulan haram, lalu tinggalkanlah,
berpuasalah di bulan-bulan haram lalu tinggalkanlah, berpuasalah di
bulan-bulan haram lalu tinggalkanlah”. Beliau mengumpukan jarinya,
kemudian melepaskannya. (HR. Abu Dawud).
Sanad hadits tersebut adalah dla’if, karena ada perawi yang bernama Mujibah Al-Bahiliyyah, orang yang majhul
(tidak diketahui identitasnya), sehingga hadits tersebut tidak dapt
dipakai sebagai hujjah. Lihat catatan Syaikh Al-Albani pada At-Ta’liq Ar-Raghib ‘alaa Targhib wat-Tarhib (2/82); Bahjatun-Naadhiriin hadits nomor 1248; dan Takhrij Riyaadlush-Shaalihiin hadits nomor 1248.
Sumber:http://jacksite.wordpress.com/2007/06/12/hadits-tentang-nisfu-syaban/