Rabu, 15 Januari 2014

Hari-Hari yang Terlarang untuk Berpuasa


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Berikut adalah penjelasan beberapa hari yang dilarang untuk melakukan puasa sunnah dan kami akan bagi dalam beberapa posting. Semoga manfaat.
Pertama: Hari Idul Fithri dan Idul Adha
Dari bekas budak Ibnu Azhar, dia mengatakan bahwa dia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama ‘Umar bin Al Khottob –radhiyallahu ‘anhu-. ‘Umar pun mengatakan,
هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ ، وَالْيَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ
Dua hari ini adalah hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang untuk berpuasa di dalamnya yaitu Idul Fithri, hari di mana kalian berbuka dari puasa kalian. Begitu pula beliau melarang berpuasa pada hari lainnya, yaitu Idul Adha di mana kalian memakan hasil sesembelihan kalian.[1]
Dari Abu Sa’id Al Khudri –radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada dua hari yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.[2]
Kaum muslimin telah bersepakat (berijma’) tentang haramnya berpuasa pada dua hari raya, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.[3]
Kedua: Hari-hari Tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijah)
Tidak boleh berpuasa pada hari tasyriq menurut kebanyakan pendapat ulama. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari-hari tasyriq adalah hari makan dan minum.[4] An Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Haramnya berpuasa pada hari tasyriq”.
An Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim mengatakan, “Hari-hari tasyriq adalah tiga hari setelah Idul Adha. Hari tasyriq tersebut dimasukkan dalam hari ‘ied. Hukum yang berlaku pada hari ‘ied juga berlaku mayoritasnya pada hari tasyriq, seperti hari tasyriq memiliki kesamaan dalam waktu pelaksanaan penyembelihan qurban, diharamkannya puasa (sebagaimana pada hari ‘ied, pen) dan dianjurkan untuk bertakbir ketika itu.”[5] Hari tasyriq disebutkan tasyriq (yang artinya: terbit) karena daging qurban dijemur dan disebar ketika itu.[6]
Imam Malik, Al Auza’i, Ishaq, dan Imam Asy Syafi’i dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa boleh berpuasa pada hari tasyriq pada orang yang tamattu’ jika ia tidak memperoleh al hadyu (sembelihan qurban). Namun untuk selain mereka tetap tidak diperbolehkan untuk berpuasa ketika itu.[7] Dalil dari pendapat ini adalah sebuah hadits dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, mereka mengatakan,
لَمْ يُرَخَّصْ فِى أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ
Pada hari tasyriq tidak diberi keringanan untuk berpuasa kecuali bagi orang yang tidak mendapat al hadyu ketika itu.[8]
Ketiga: Puasa Hari Jum’at Secara Bersendirian
Tidak boleh berpuasa pada Jum’at secara bersendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَصُمْ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ أَنْ يَصُومَ قَبْلَهُ أَوْ يَصُومَ بَعْدَهُ
Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at  kecuali jika ia berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.[9] An Nawawi rahimahullah membawakan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Terlarang berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian.”
Dari Juwairiyah binti Al Harits –radhiyallahu ‘anha-, ia mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهْىَ صَائِمَةٌ فَقَالَ « أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahnya pada hari Jum’at dan ia sedang berpuasa. Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau berpuasa kemarin?” “Tidak”, jawab Juwairiyah. Beliau bertanya kembali, “Apakah engkau ingin berpuasa besok?” “Tidak”, jawabnya seperti itu pula. Beliau kemudian mengatakan, “Hendaknya engkau membatalkan puasamu.”[10]
Catatan penting: Puasa pada hari Jum’at dibolehkan jika:
Pertama: Ingin menunaikan puasa wajib, mengqodho’ puasa wajib, membayar kafaroh (tebusan) dan sebagai ganti karena tidak mendapatkan hadyu tamattu’.[11]
Kedua: Jika berpuasa sehari sebelum atau sesudah hari Juma’t sebagaimana diterangkan dalam hadits di atas.
Ketiga: Jika bertepatan dengan hari puasa Daud (sehari puasa, sehari berbuka).
Keempat:  Berpuasa pada hari Jum’at bertepatan dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa Asyura, puasa Arofah, dan puasa Syawal.[12]
Keempat: Berpuasa pada Hari Syak (Yang Meragukan)
Yang dimaksud di sini adalah tidak boleh mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka hati-hati mengenai masuknya bulan Ramadhan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ
Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka berpuasalah.” [13]
Dalam hadits lainnya, dari ‘Ammar bin Yasir disebutkan,
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Barangsiapa berpuasa pada hari yang meragukan, maka ia berarti telah mendurhakai Abul Qosim, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[14]
Catatan penting: Berpuasa pada hari meragukan ini dibolehkan jika:
Pertama: Untuk mengqodho’ puasa Ramadhan.
Kedua: Bertepatan dengan kebiasaan puasanya seperti puasa Senin Kamis atau puasa Daud.
Kelima: Berpuasa Setiap Hari Tanpa Henti (Puasa Dahr)
Yang dimaksud puasa Dahr adalah berpuasa setiap hari selain hari yang tidak sah puasa ketika itu (yaitu hari ‘ied dan hari tasyriq).[15]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ
Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti.[16]
Hadits di atas menunjukkan terlarangnya berpuasa setiap hari tanpa henti walaupun tidak ada kesulitan dan tidak lemas ketika melakukannya. Begitu pula tidak boleh berpuasa setiap hari sampai-sampai melakukannya pada hari yang terlarang untuk berpuasa. Yang terakhir ini jelas haramnya.[17]
Yang paling maksimal adalah melakukan puasa Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka. Inilah rukhsoh (keringanan) terakhir bagi yang ingin terus berpuasa. Hadits larangan puasa Dahr tadi asalnya ditujukan pada Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash. Namun sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa di akhir hidupnya Abdullah bin ‘Amr menjadi lemas karena kebiasaannya melakukan puasa Dahr. Ia pun menyesal karena tidak mau mengambil rukhsoh dengan cukup melakukan puasa Daud.[18]
Berpuasa Wishol
Terlarang pula berpuasa wishol yaitu berpuasa berturut-turut tanpa berbuka dan tanpa makan sahur. Dalil larangannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« إِيَّاكُمْ وَالْوِصَالَ ». قَالُوا فَإِنَّكَ تُوَاصِلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « إِنَّكُمْ لَسْتُمْ فِى ذَلِكَ مِثْلِى إِنِّى أَبِيتُ يُطْعِمُنِى رَبِّى وَيَسْقِينِى فَاكْلَفُوا مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ ».
“Janganlah kalian berpuasa wishol.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu engkau sendiri melakukan wishol, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kalian tidaklah seperti aku dalam hal ini. Aku selalu diberi kenikmatan makan dan minum oleh Rabbku. Lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian.” [19]
Namun jika tidak menyulitkan boleh melakukan wishol hingga waktu sahur saja. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُوَاصِلُوا ، فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحَرِ
Janganlah kalian melakukan wishol. Jika kalian ingin, maka lakukanlah wishol hinga sahur saja.[20][21]
Berpuasa pada Hari Sabtu
Ada sebuah hadits yang melarang berpuasa pada hari Sabtu,
لاَ تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ
Janganlah engkau berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian.”[22]
Mengenai status hadits ini masih diperselisihkan oleh para ulama tentang keshahihannya. Perselisihan tersebut adalah:
Pertama:  Ada yang menilai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah lemah (dho’if) sehingga hadits tersebut tidak diamalkan. Dari sini berarti boleh berpuasa pada hari Sabtu.
Kedua: Sebagian ulama lainnya menilai bahwa hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah jayid (boleh jadi shahih atau hasan). Namun yang mereka pahami, puasa hari Sabtu hanya terlarang jika bersendirian. Bila diikuti dengan puasa sebelumnya pada hari Jum’at, maka itu dibolehkan.
Rincian yang bagus untuk puasa hari Sabtu yang dibolehkan adalah sebagai berikut:
Pertama: Puasa pada hari Sabtu dihukumi wajib seperti berpuasa pada hari Sabtu di bulan Ramadhan, mengqodho’ puasa pada hari Sabtu, membayar kafaroh (tebusan), atau mengganti hadyu tamattu’ dan semacamnya. Puasa seperti ini tidaklah mengapa selama tidak meyakini adanya keistimewaan berpuasa pada hari tersebut.
Kedua:  Jika berpuasa pada hari Sabtu diikuti dengan berpuasa sehari sebelum hari Sabtu, maka ini tidaklah mengapa.
Ketiga: Berpuasa pada hari Sabtu karena hari tersebut adalah hari yang disyari’atkan untuk berpuasa. Seperti berpuasa pada ayyamul bid (13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah), berpuasa pada hari Arofah, berpuasa ‘Asyuro (10 Muharram), berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan, dan berpuasa selama sembilan hari di bulan Dzulhijah. Ini semua dibolehkan. Alasannya, karena puasa yang dilakukan bukanlah diniatkan berpuasa pada hari Sabtu. Namun puasa yang dilakukan diniatkan karena pada hari tersebut adalah hari disyari’atkan untuk berpuasa.
Keempat: Berpuasa pada hari sabtu karena berpuasa ketika itu bertepatan dengan kebiasaan puasa yang dilakukan, semacam berpapasan dengan puasa Daud –sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa-, lalu ternyata bertemu dengan hari Sabtu, maka itu tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan dan tidak terlarang berpuasa ketika itu jika memang bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya.
Intinya, puasa hari Sabtu yang terlarang adalah jika mengkhususkan berpuasa pada hari Sabtu dan tidak diikuti berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.[23]
Demikian pembahasan kami mengenai hari-hari yang terlarang untuk berpuasa. Semoga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Diselesaikan di Pangukan-Sleman, 4 Rabi’ul Akhir 1431 H (bertepatan dengan 18/02/2010)

[1] HR. Bukhari no. 1990 dan Muslim no. 1137.
[2] HR. Muslim no. 1138.
[3] Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 220, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H.
[4] HR. Muslim no. 1141, dari Nubaisyah Al Hudzali.
[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 6/184, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut, 1392
[6] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, 8/17.
[7] Idem
[8] HR. Bukhari no. 1997 dan 1998.
[9] HR. Bukhari no. 1985 dan Muslim no. 1144, dari Abu Hurairah.
[10] HR. Bukhari no. 1986 dan Muslim no. 1143, dari Juwairiyah binti Al Harits.
[11] Faedah dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin ketika menerangkan puasa pada hari Sabtu. LihatMajmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/57-58, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.
[12] Lihat pembahasan di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 2/142-143, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[13] HR. An Nasai no. 2173, dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[14] HR. An Nasai no. 2188, At Tirmidzi no. 686, Ad Darimi no. 1682, Ibnu Khuzaimah no. 1808. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[15] Lihat catatan kaki dalam Kitab Kifayatul Akhyar, Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Husain Asy Syafi’i, 1/209, Darul Kutub Al Islamiyah, cetakan pertama, 1424 H.
[16] HR. Muslim no. 1159, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash.
[17] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/144.
[18] Lihat penjelasan An Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/40.
[19] HR. Muslimm no. 1103, dari Abu Hurairah.
[20] HR. Bukhari no. 1967, dari Abu Sa’id Al Khudri.
[21] Lihat penjelasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/146.
[22] HR. Abu Daud no. 2421, At Tirmidzi no. 744, Ibnu Majah no. 1726. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[23] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/57-58