Bulan Suro disebut Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda,”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa
pada bulan Allah yaitu Muharram.” (HR. Muslim no. 2812)
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa
hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal
semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut
demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga
bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini
disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah,
pen) adalah untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan
lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah – Muharram. (Dinukil dari
Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, 3/206)
Anggapan Masyarakat Mengenai Bulan Suro
Bulan suro
adalah bulan penuh musibah, penuh bencana, penuh kesialan, bulan
keramat dan sangat sakral. Itulah berbagai tanggapan masyarakat
mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat
berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan
oleh mereka. Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai
sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: ”Nak, hati-hati di
bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan
suro lho.”
Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan
hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa
mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar,
mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan
masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu.
Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu
adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan
mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua
hal ini.
Mencela Waktu atau Bulan
Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ’larangan mencela waktu
(ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”Allah ’Azza wa Jalla
berfirman, ’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan
bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa
berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya
harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan ’Ya khoybah
dahr’ (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang
ditujukan kepada waktu.
Dari pemaparan ini, jelaslah bagi kita bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang.
Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang
mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan
menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu
membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah
’Azza wa Jalla.
Merasa Sial dengan Waktu Tertentu
Beranggapan sial dalam agama ini dikenal dengan istilah tathoyyur.
Istilah ini berasal dari perbuatan orang Arab. Ketika mereka melakukan
sesuatu, mereka membentak burung terlebih dahulu. Jika burung tersebut
ke arah kiri, ini berarti pertanda sial sehingga mereka mengurungkan
niat mereka untuk melakukan sesuatu tadi.
Perlu diketahui bahwa merasa sial seperti di atas dan contoh lainnya
bukan hal yang biasa-biasa saja bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan sebagaimana yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam nyatakan sendiri. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan.
(Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda): Tidak ada di
antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan
sial tersebut adalah dengan bertawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3912.
Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.
429)
Ringkasnya, beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan
atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang
terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.
Musibah Datang Bukanlah Karena Bulan Suro
Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya
bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun,
semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha
Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila
mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa
ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya.
Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu
saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan
maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai
saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ’Azza wa Jalla (yang
artinya),”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan
oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa [42] : 30)
Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan,”Jadi, hendaklah
seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan
bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari
Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan
hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji
Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan
takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi
disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya
seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.”
(Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah)
Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama
sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau
kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga
karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal
ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta
istighfar pada Allah ’Azza wa Jalla.
Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana?
Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami,
ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara
resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan
keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi,
sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan
tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik?
Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut
sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu
kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik
tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.
Marilah Kita Isi Bulan Muharram dengan Berpuasa
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak
melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya,”Puasa yang
paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –
Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib
adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)
Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk
dilakukan adalah puasa pada hari ’Asyura’ yaitu pada tanggal 10
Muharram karena berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa
setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata bahwa Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam pernah ditanyakan mengenai (keutamaan)
puasa hari ’Asyura’. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam
menjawab,”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR.
Muslim no. 1162)
Lebih baik lagi ditambah berpuasa pada tanggal 9 Muharram. Ibnu Abbas
radhiyallahu ’anhuma berkata mengenai puasa Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam pada hari ’Asyura’. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam
memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu. Lalu para sahabat
mengatakan, ”Ya Rasulullah, hari ’Asyura’ adalah hari yang diagungkan
oleh Yahudi dan Nashrani.” Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda, ”Kalau begitu, tahun depan –jika Allah menghendaki-
kita akan puasa pada hari kesembilan (Muharram)”. Ibnu Abbas
radhiyallahu ’anhuma mengatakan,”Belum sampai tahun depan, Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam sudah meninggal dunia.” (HR. Muslim no.
1134)
Ibnu Rojab mengatakan,”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada
tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam
Ahmad, dan Ishaq. Sedangkan Imam Abu Hanifah memakruhkan berpuasa pada
hari sepuluh saja (tanpa hari kesembilan).” (Latho’if Ma’arif, hal.
53)
Jadi, lebih baik adalah kita berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
Inilah tingkatan yang paling utama. Sedangkan berpuasa pada tanggal
10 Muharram saja adalah tingkatan di bawah tingkatan pertama tadi.
Inilah yang dijelaskan Syaikh Ibrahim Ar Ruhailiy hafizhohullah dalam
kitab beliau Tajridul Ittiba’.
Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakan puasa pada
bulan Muharram. Insya Allah pada tahun ini, puasa ’Asyura’ jatuh
(menurut perkiraan) pada hari Kamis 16 Desember 2010, Dan lebih baik
lagi jika kita dapat berpuasa pada hari sebelumnya untuk menyelisihi
Yahudi yaitu hari Rabu 15 Desember 2010. Wallahu a’lam bish showab.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu
’ala nabiyyina Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.
At Tauhid edisi V/1
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
http://buletin.muslim.or.id/aqidah/bulan-suro-bulan-penuh-musibah-dan-kesialan