Setiap orang tidak dapat lepas dari orang lain yang menutupi kebutuhannya. Interaksi antar individu manusia adalah perkara yang penting yang mendapatkan perhatian besar dalam islam. Khususnya yang berhubungan dengan pertukaran harta.
Oleh karena itu Allah berfirman yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An Nisaa’ 4:29)
Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan pertukaran harta dapat dilakukan dengan perniagaan yang berasaskan saling suka diantara para transaktornya.
Dewasa ini banyak sekali berkembang sistim perniagaan yang perlu dijelaskan hokum syari’atnya, apalagi dimasa kaum muslimin sudah menjauh dari agamanya, ditambah lagi ketidak mengertian mereka terhadap syariat Islam. Salah satu system perniagaan tersebut adalah jual beli dengan panjar atau DP.
Pengertiannya.
Panjar (DP) dalam bahasa Arab adalah ‘Urbuun (العربون). Kata ini memiliki padanan kata (sinonim) dalam bahasa Arabnya yaitu, Urbaan (الأربان), ‘Urbaan (العربان) dan Urbuun (الأربون)[1]. Secara bahasa artinya yang kata jadi transaksi dalam jual beli[2].
Bentuk jual beli ini dapat diberi gambaran sebagai berikut: Sejumlah uang yang dibayarkan dimuka oleh seseorang pembeli barang kepada si penjual. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka menjadi milik si penjual.
Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan menyatakan: Apabila saya ambil barang tersebut maka ini adalah bagian dari nilai harga dan bila tidak jadi saya ambil maka uang (DP) tersebut untukmu.[3] Atau seorang membeli barang dan menyerahkan kepada penjualnya satu dirham atau lebih dengan ketentuan apabila sipembeli mengambil barang tersebut, maka uang panjar tersebut dihitung pembayaran dan bila gagal maka itu milik penjual.[4]
Jelas disini system jual beli ini dikenal dalam masyarakat kita dengan pembayaran DP atau uang jadi. Wallahu A’lam.
Hukum Jual beli ini.
Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:
1. Jual beli dengan uang muka (panjar) ini tidak sah.
Inilah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah.
Al Khothobi menyatakan: Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan jual beli ini, Malik, Syafi’I menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits[5] dan karena terdapat syarat fasad dan Al Ghoror [6]. Juga hal ini masuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’I (madzhab Abu Hanifah (pen)) menilainya tidak sah.[7]
Ibnu Qudamah menyatakan: ini pendapat imam Maalik, Al Syafi’I dan Ash-hab Al Ra’yu dan diriwayatkan juga dari Ibnu ABas dan Al Hasan Al bashri.[8]
Dasar argumentasi mereka di antaranya:
a. Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
قَالَ مَالِكٌ وَذَلِكَ فِيمَا نَرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنْ يَشْتَرِيَ الرَّجُلُ الْعَبْدَ أَوْ يَتَكَارَى الدَّابَّةَ ثُمَّ يَقُولُ أُعْطِيكَ دِينَارًا عَلَى أَنِّي إِنْ تَرَكْتُ السِّلْعَةَ أَوْ الْكِرَاءَ فَمَا أَعْطَيْتُكَ لَكَ
Rasulullah n melarang jual beli dengan sistem uang muka. Imam Maalik menyatakan: dan ini adalah yang kita lihat –wallahu A’lam- seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian menyatakan: Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya gagal beli atau gagal menyewanya maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu. [9]
b. Jenis jual beli semacam itu termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan bagi si penjual tanpa ada kompensasinya[10]. Memakan harta orang lain haram sebagaimana firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An Nisaa’ 4:29)
c. Karena dalam jual beli itu ada dua syarat batil: syarat memberikan uang panjar dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha.[11]
Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui (Khiyaar Al Majhul). Kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan: Saya punya hak pilih. Kapan mau akan saya kembalikan dengan tanpa dikembalikan uang bayarannya.[12] Ibnu Qudamah menyatakan: Inilah Qiyas (analogi)[13].
Pendapat ini dirojihkan Al Syaukani dalam pernyataan beliau: Yang rojih adalah pendapat mayoritas ulama, karena hadits ‘Amru bin Syu’aib telah ada dari beberapa jalan periwayatan yang saling menguatkan. Juga karena hal ini mengandung larangan dan hadits yang terkandung larangan lebih rojih dari yang menunjukkan kebolehan sebagaimana telah jelas dalam ushul Fiqh….Ilat (sebab hokum) dari larangan ini adalah jual beli ini mengandung dua syarat yang fasid; salah satunya adalah syarat menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis apabila pembeli gagal membelinya. Yang kedua adalah syarat mengembalikan barang kepada penjual apabila tidak terjadi keridhoan untuk membelinya.[14]
2. Jual beli ini diperbolehkan.
Inilah pendapat madzhab Hambaliyyah dan diriwayatkan kebolehan jual beli ini dari Umar, Ibnu Umar, Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin.[15]
Al Khothobi menyatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau memperbolehkan jual beli ini dan juga diriwayatkan dari Umar. Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya dan menyatakan: Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan ini adalah pendapat Umar n yaitu tentang kebolehannya. Ahmadpun melemahkan (mendhoifkan) hadits larangan jual beli ini, Karena terputus.[16]
Dasar argumentasi mereka adalah:
a. Atsar yang berbunyi:
عَنْ نَفِعِ بْنِ الحارث, أَنَّهُ اشْتَرَى لِعُمَرَ دَارَ السِّجْنِ مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ, فَإِنْ رَضِيَ عُمَرُ , وَ إِلاَّ فَلَهُ كَذَا وَ كَذَا
Diriwayatkan bahwa Nafi bin Al-Harits, ia pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan ketentuan) Apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak mendapatkan uang sekian dan sekian.
Al-Atsram berkata: Saya bertanya kepada Ahmad: “Apakah Anda berpendapat demikian?” Beliau menjawab: “Apa yang harus kukatakan? Ini Umar z (telah berpendapat demikian).[17]
b. Hadits Amru bin Syuaib adalah lemah sehingga tidak dapat dijadikan sandaran dalam melarang jual beli ini.
c. Panjar ini adalah kompensasi dari penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Ia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Tidak sah ucapan orang yang mengatakan bahwa panjar itu telah dijadikan syarat bagi penjual tanpa ada imbalannya.
d. Tidak sahnya kiyas atau analogi jual beli ini dengan Al Khiyar Al Majhul (hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya panjar ini adalah dibatasinya waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, batallah analogi tersebut, dan hilangnya sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.
Pendapat Para Ulama zaman ini.
* Syeikh Abdulaziz bin Baaz mantan Mufti Agung Sudi Arabia Rohimahullah pernah ditanya :
Apa hokum melaksanakan jual beli system panjar (Al Urabun) apabila belum sempurna jaul belinya. Bentuknya adalah dua orang melakukan transaksi jual beli, apabila jual beli sempurna maka pembeli menyempurnakan nilai pembayarannya dan bila tidak jadi maka penjual mengambil DP (panjar) tersebut dan tidak mengembalikannya kepada pembeli?
Beliau menjawab:
Tidak mengapa mengambil DP (uang panjar) tersebut dalam pendapat yang rojih dari dua pendapat ulama, apabila penjual dan pembeli telah sepakat untuk itu dan jual belinya tidak dilanjutkan (tidak disempurnakan).[18]
* Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta (komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa kerajaan Saudi Arabia)
1. Fatwa no. 9388 yang berbunyi:
pertanyaan: Bolehkah seorang penjual mengambil uang muka (‘Urbuun) dari pembeli dan dalam keadaan pembeli gagal membeli atau mengembalikannya apakah penjual berhak secara hokum syari’at mengambil uang muka tersebut untuk dirinya tanpa mengembalikannya kepada pembeli?
Jawaban: Apabila realitanya demikian maka dibolehkan baginya (penjual) untuk memiliki uang muka tersebut untuk dirinya dan tidak mengembalikannya kepada pembeli –menurut pendapat yang rojih- apabila keduanya telah sepakat untuk itu.
Ditanda tangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.[19]
2. Fatwa no. 19637 menjawab pertanyaan:
Al ‘Urbuun sudah dikenal dengan uang muka sedikit yang diserahkan pada waktu membeli untuk tanda jadi hingga menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hokum jual beli tersebut? Banyak dari para penjual yang mengambil harta Urbuun (panjar) ketika gagal pelunasan pembayaran, bagaimana hukumnya?
Jawaban: Jual beli dengan DP (‘Urbuun) diperbolehkan. Jual beli ini dengan membawar seorang pembeli kepada penjual atau agennya (wakilnya) sejumlah uang yang lebih sedikit dari nilai harga barang tersebut setelah selesai transaksi, untuk jaminan barang. Ini dilakukan agar selain pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan apabila pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam bagian pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil uang muka tersebut dan memilikinya. Jual beli system panjar (‘Urbuun) ini sah, baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya dan penjual memiliki hak secara syar’I menagih pembeli untuk melunasi pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang. Kebolehan jual beli ‘Urbuun ini ditunjukkan oleh perbuatan Umar bin Al Khothob. Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli panjar ini: boleh. dan dari Ibnu Umar z beliapun membolehkannya. Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin menyatakan: diperbolehkan bila ia tidak ingin untuk mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya sejumlah harta.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi n yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
Rasulullah n melarang jual beli dengan sistem uang muka. Adalah hadits yang lemah (Dhoif), imam Ahmad dan selainnya telah mendhoifkannya sehingga tidak bisa dijadikan sandaran.
Ditanda tangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.[20]
*Majlis Fikih Islam pada seminar ke delapan telah selesai berkesimpulan dibolehkannya jual beli panjar, dan berikut ini ketetapan-ketetapan yang mereka buat:
Pertama: Yang dimaksud dengan jual beli sistem panjar adalah menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan syarat bila ia jadi mengambil barang itu, maka uang muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau ia tidak jadi membelinya, maka sejumlah uang itu menjadi milik penjual. Transaksi ini selain berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti membeli fasilitas. Di antara jual beli dikecualikan jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad (jual beli As-Salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijanjikan.
Kedua: Jual beli sistem panjar dibolehkan bila dibatasi waktu menunggunya secara pasti, dan panjar itu dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual bila si pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.[21]
Namun perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka (panjar) tersebut kepada pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, itu lebih baik dan lebih besar pahalanya disisi Allah sebagaimana disabdakan Rasululloh n :
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ
Siapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya.
Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan dengan seorang membeli sesuatu dari seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya, ada kala karena tau sangat rugi atau sudah tidak butuh lagi atau tidak mampu melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya kepada penjual dan penjualnya menerimanya kembali (tanpa mengambil sesuatu dari pembeli).[22]
Demikian seputar permasalahan jual beli dengan pemberian uang muka, mudah-mudahan bermanfaat.
[1] Diambil dari catatan penulis dari keterangan Syeikh DR. Abdulqayum Al Sahibaani dalam pelajaran kitab Nailul Author di Universitas Islam Madinah, pada tanggal 11-6- 1418 H dan ada juga dalam Al Mughni Ibnu Qudamah 6/331.
[2] Lihat Al Qaamus AL Muhith Karya Al fairuzabadi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Al Risalah hal 1568
[3] Catatan penulis dari keterangan Syeikh Abdulqayyum.
[4] Al Mughni 6/ 331
[5] Yaitu hadits Amru bin Syu’aib mendatang (penulis)
[6] tentang Al Ghoror penulis telah menjelaskan pada rubrik Fiqih dalam majalah As Sunnah edisi:??????
[7] Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud yang dicetak pada footnote sunan Abu Daud 3/768.
[8] Al Mughni 6/331.
[9] HR imam Maalik dalam Al-Muwattha 2/609, Ahmad dalam Musnanya (no.6436) 2/183, Abu Dawud no. 3502 (3/768) dan Ibnu Majah 3192. lafadznya lafadz Abu Daud. Namun sanadnya lemah. Hadits ini dinilai dhoif (lemah) oleh Syeikh Al Albani dalam kitab Dhoif Sunan Abu Daud no. 3502 dan Dhoif Sunan Ibnu Majah 487/3192, Al Misykah 2864 dan Dhoif Al Jami’ Al Shoghir 6060
[10] lihat Al Mughni 6/331
[11] lihat Shohih Fiqh Al Sunnah 4/411
[12] lihat ibid
[13] ibid
[14] nailul Author 6/289.
[15] Lihat Al Mughni 6/331
[16] Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud yang dicetak pada footnote sunan Abu Daud 3/768.
[17] Kisah ini diriwayatkan Al Atsram dengan sanadnya, lihat AL Mughni 6/331.
[18] Fiqh Wa Fatawa Al Buyu’ disusun Asyrof Abdul maqshud hal 291, dinukil dari Shohih Fiqh Al Sunnah 4/412
[19] Fatawa Lajnah Daimah 13/132
[20] ibid 13/133-134.
[21] dinukil dari kitab Ma La Yasa’u Al Tajira Jahluhu, karya prof. DR. Abdullah AL Mushlih dan prof. DR. Sholah Al Showi yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, terbitan Darul Haq hal 134 (edisi terjemah).
[22] Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, 9/237.
http://ekonomisyariat.com/fikih-ekonomi-syariat/jual-beli-dengan-sistem-panjaru.html