Syarat jual beli yang ketiga adalah: orang
yang mengadakan transaksi adalah orang yang memiliki barang/uang atau orang
yang menggantikan peran memilik barang/uang.
Dalil dari
persyaratan ini adalah firman Allah,
إِلَّا
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
"Kecuali jual beli yang dilakukan dengan saling rela."
(QS. An-Nisa':29)
Kita semua tahu
bahwa tidak ada orang yang rela jika hartanya diperjualbelikan oleh orang lain.
عَنْ
حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِى الرَّجُلُ فَيُرِيدُ
مِنِّى الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِى أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ :
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Dari Hakim bin
Hizam, "Beliau berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, ada orang
yang mendatangiku. Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual beli,
denganku, barang yang belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu
yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?'
Kemudian, Nabi bersabda, 'Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki.'" (HR. Abu
Daud, no. 3505; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Jika ada orang yang
meminta kita untuk membeli barang tertentu yang ada di toko A secara kulak,
lalu menjual barang tersebut kepadanya, setelah itu kita mengadakan transaksi
jual beli dengannya padahal barang tertentu tersebut masih milik toko A, maka
inilah yang disebut dengan menjual barang yang belum dimiliki, sebagaimana
dalam hadis di atas.
Akan tetapi, jika
ada orang yang menemui kita supaya kita mencarikan barang dengan kualifikasi
tertentu, yang bisa jadi kita dapatkan di toko A, B, atau lainnya, dan dia
membebaskan kita untuk membeli secara kulak di tempat mana pun, yang penting
kita bisa menghadirkan barang dengan kualifikasi yang dia tetapkan pada waktu
yang telah disepakati dan harga yang telah ditentukan, maka transaksi semisal
ini diperbolehkan, dengan syarat pokok uang sejumlah harga yang telah
ditentukan seluruhnya telah diserahkan di muka. Kasus kedua inilah yang disebut
dengan "jual beli salam".
Dalam kasus pertama,
barang yang diinginkan pemesan adalah barang tertentu--bukan barang dengan
kualifikasi tertentu--. Misalnya: Sebuah sepeda motor merek Mio yang ada dan
dijual di show room milik
Pak Budi, bukan yang dijual di show
room milik Pak Amir. Dengan kata lain, bukan sembarang sepeda
motor Mio dengan kualifikasi tertentu. Barang yang dipesan dalam kasus pertama
ini, dalam bahasa fikih, disebut "barang mu'ayyan".
Sedangkan dalam
kasus kedua, barang yang diinginkan oleh pemesan adalah barang dengan
kualifikasi tertentu, yang bisa didapatkan di mana pun. Misalnya: Sepeda motor
Mio baru berwarna hitam, baik yang di jual di show room milik Pak Budi, Pak Amir, atau lainnya;
tidak masalah. Barang yang dipesan dalam kasus kedua ini, dalam bahasa para
ulama fikih, disebut "maushuf fi
dzimmah".
Dengan bahasa lain,
"transaksi salam" adalah 'pengecualian yang dibolehkan dari larangan
menjual barang yang belum dimiliki'.
Selain pemilik asli
barang, orang yang boleh mengadakan transaksi adalah orang yang menggantikan
peran pemilik, semisal wakil. Wakil adalah orang yang diberi izin atau
kewenangan oleh pemilik untuk membelanjakan hartanya, dalam kondisi si pemilik
masih hidup..
Misalnya: Saya
menyerahkan komputer saya kepada seseorang, lalu saya katakan kepadanya,
"Tolong jualkan komputer ini!" Orang tersebut boleh dan sah jika
menjual komputer yang telah saya serahkan karena dia menggantikan "peran
pemilik" saya sebagai pemilik barang.
Contoh yang lain
adalah saya menyerahkan sejumlah uang kepada kawan saya yang akan pergi ke
pameran komputer, dan saya meminta kawan saya tersebut untuk membelikan
komputer yang saya inginkan.
Dengan uraian di
atas, berarti kita telah membahas tiga syarat sah transaksi jual beli,
berkaitan dengan pelaku transaksi. Tiga syarat tersebut adalah: saling rela,
pelaku transaksi adalah orang yang diperkenan syariat untuk mengadakan
transaksi, dan pelaku transaksi adalah pemilik atau pengganti peran pemilik.
Artikel www.Pengusahamuslim.com
http://pengusahamuslim.com/jangan-jual-barang-yang-bukan-milikmu#.UyH8W2KSzSk