Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anahuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ فَقَدِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
“Barangsiapa mempelajari
salah satu cabang ilmu nujum maka ia telah mempelajari salah satu
cabang ilmu sihir. Semakin bertambah ilmu nujum yang dipelajarinya,
semakin bertambah pula ilmu sihir yang dimilikinya.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
berkata di dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (2/435), “Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Dawud (3905), Ibnu Majah (3726), Ahmad (1/227,
311), dan Al-Harbi di dalam Al-Gharib (5/195/1), dari jalan Ubaidullah
bin Al-Akhnas, dari Al-Walid bin Abdillah, dari Yusuf bin Mahik, dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anahuma, secara marfu’. Menurut saya, hadits
ini sanadnya jayyid (bagus). Para perawi hadits ini seluruhnya tsiqat
(terpercaya). Adapun Ubaidullah bin Al-Akhnas telah ditsiqahkan oleh
Al-Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban. Hanya
saja Ibnu Hibban menambahkan, ‘Banyak salahnya.’ Saya sendiri
berpendapat, tambahan dari Ibnu Hibban ini jangan terlalu dianggap!”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (8/602).
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata
tentang hadits ini, “Hadits ini adalah hadits shahih. Para perawinya
adalah perawi hadits shahih kecuali Al-Walid bin Abdillah, namun Yahya
bin Ma’in telah mentsiqahkannya.” (Ash-Shahihul Musnad 1/536). Hadits
ini juga dishahihkan oleh Al-Imam An-Nawawi dan Adz-Dzahabi
rahimahumallah.
Tentang Hadits Ini
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu berkata, “(Di dalam hadits ini) dengan jelas Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa ilmu nujum termasuk
sihir. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى
‘Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang’ (Thaha: 69).
Memang demikianlah kenyataannya. Fakta menunjukkan bahwa ahli nujum tidak akan selamat dunia akhirat.” (Majmu’ Al-Fatawa).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan
menjelaskan, “Artinya, setiap kali dia menambah pelajaran tentang ilmu
nujum maka semakin bertambahlah dosanya karena ia mempelajari
cabang-cabang ilmu sihir. Sesungguhnya keyakinan dia bahwa bintang
dapat memengaruhi peristiwa alam adalah keyakinan batil sebagaimana
ilmu sihir.” (Fathul Majid hal. 534)
Hikmah Diciptakannya Bintang-Gemintang
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hikmah diciptakannya bintang-gemintang. Yaitu:
1. Sebagai petunjuk arah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَلْقَى فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ
تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ.
وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di
bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan)
sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk. Dan (Dia
ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang
itulah mereka mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 15-16)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ
لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا
الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Dan Dialah yang menjadikan
bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam
kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan
tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.”
(Al-An’am: 97)
2. Bintang juga diciptakan untuk hiasan langit, sekaligus alat pelempar setan yang berusaha mencuri berita langit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ
“Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang.” (Ash-Shaffat: 6)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا
بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا
لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit
yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang
itu alat-alat pelempar setan, serta Kami sediakan bagi mereka siksa
neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk: 5)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu
meriwayatkan sebuah atsar dari Al-Imam Qatadah rahimahullahu secara
ta’liq di dalam Shahih-nya. Al-Imam Qatadah mengatakan, “Allah
Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bintang-gemintang hanya untuk tiga
tujuan. Sebagai hiasan yang memperindah langit, lemparan yang membakar
setan (bagi yang berusaha mencuri berita langit), dan sebagai tanda
penunjuk arah. Barangsiapa menambah dengan selain tiga hal (fungsi) ini
maka dia telah salah langkah, menyia-nyiakan bagiannya, dan
memaksakan diri untuk mengetahui sesuatu yang tidak ia miliki
ilmunya.”
Pembagian Ilmu Nujum
Ilmu nujum ada dua macam. Pertama adalah Ilmu At-Ta’tsir, yang terbagi menjadi tiga bagian:
1) Meyakini bintang sebagai pencipta kejadian, kebaikan dan keburukan.
Keyakinan semacam ini termasuk syirik akbar yang mengeluarkan
pelakunya dari Islam. Karena dia meyakini adanya pencipta selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
2) Menjadikan bintang sebagai alat untuk menerka ilmu ghaib seperti menentukan nasib seseorang, rezeki, dan jodohnya.
Keyakinan semacam ini termasuk kekufuran, karena dia menganggap
dirinya mengetahui hal ghaib. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di
langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”,
dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (An-Naml:
65)
3) Meyakini bintang sebagai sebab.
Artinya dia menisbatkan (menyandarkan) kebaikan atau keburukan yang
telah terjadi pada gerakan bintang. Keyakinan semacam ini termasuk
syirik asghar. Jenis ilmu nujum inilah yang dimaksud oleh salafus shalih
di dalam larangan mereka.
Diriwayatkan dari Thawus, dari Abdullah
bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anahuma, beliau mengomentari orang-orang yang
menulis huruf abjad dan mempelajari ilmu nujum, beliau berkata,
“Menurutku orang-orang yang mempraktikkan hal itu tidak akan memperoleh
bagian apa-apa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Shahih Jami’
Bayanil ‘Ilmi, 1020)
Maimun bin Mihran berkata, “Ada tiga hal
yang harus kalian jauhi. Janganlah kalian mendebat pengingkar taqdir,
janganlah membicarakan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kecuali hanya kebaikan mereka, dan janganlah kalian mempelajari ilmu
nujum.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1021)
Adapun jenis kedua dalam ilmu nujum adalah Ilmu At-Tasyir. Ilmu ini terbagi menjadi dua:
1) Mempelajari peredaran bintang untuk maslahat agama, seperti menentukan arah kiblat ketika shalat.
Ilmu semacam ini boleh dipelajari bahkan terkadang harus dipelajari.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa bintang-bintang merupakan
petunjuk untuk mengetahui waktu dan arah jalan. Kalau seandainya
bintang-bintang itu tidak ada tentu orang yang berada jauh dari Ka’bah
tidak dapat mengetahui arah kiblat.
2) Mempelajari peredarannya untuk maslahat kehidupan dunia, misalnya dalam menentukan arah.
Contohnya rasi bintang gubuk penceng yang berbentuk palang, maka
bintang di ujung palang senantiasa menunjukkan arah selatan. Atau rasi
bintang biduk yang berbentuk sendok, dua bintang di ujung selalu
menunjukkan arah utara. Ilmu semacam ini boleh dipelajari untuk
kemaslahatan kehidupan manusia. (Al-Qaulul Mufid, hal. 585-586)
Jenis ilmu nujum kedua inilah yang
diperbolehkan oleh Salafus Shalih untuk dipelajari. Diriwayatkan dari
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu bahwa beliau berkata,
“Pelajarilah ilmu falak sekadar untuk mengetahui arah kiblat dan arah
jalan. Tahanlah dirimu dari perkara selain itu.” (Shahih Jami’ Bayanil
‘Ilmi, 1016)
Ibrahim An-Nakha’i rahimahullahu berkata,
“Tidak mengapa engkau mempelajari ilmu nujum hanya untuk sekadar
mengetahui arah.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1017)
Abu Ishaq Al-Harbi rahimahullahu berkata,
“Ilmu itu ada tiga macam. Ilmu duniawi ukhrawi, ilmu duniawi, dan
ilmu bukan duniawi bukan juga ukhrawi. Adapun ilmu duniawi ukhrawi
adalah ilmu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan fiqih keduanya. Ilmu duniawi
adalah ilmu kesehatan dan ilmu nujum. Sementara ilmu bukan duniawi
bukan juga ukhrawi adalah ilmu syair dan menggelutinya.” (Shahih Jami’
Bayanil ‘Ilmi 1018)
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu berkata
dalam kitab Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (2/38), “Sebagian ahli ilmu
mengingkari beberapa hal yang kami sebutkan tadi (ilmu nujum).
Menurut mereka, tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui perkara
ghaib dengan ilmu nujum. Tidak ada seorang pun yang dapat
mengetahuinya dengan benar kecuali para nabi yang telah Allah
Subhanahu wa Ta’ala beri keistimewaan dengan ilmu tentang
perkara-perkara yang tidak dapat diketahui.”
Mereka berkata: ‘Tidak ada seorang pun
sekarang ini yang berani mengaku mengetahui perkara ghaib kecuali orang
jahil, kurang akal, pendusta, dan mengada-ada. Anggapan mereka bahwa
tidak mungkin mengungkapkan perkaranya kecuali mayoritas waktu sudah
cukup membuktikan kebohongan seluruh perkara yang katanya mereka
ketahui itu. Orang meramal dengan ilmu nujum sama seperti orang yang
meramal ‘iyafah dan zajr1. Sama dengan orang yang meramal dengan
membaca garis-garis tangan dan tulang hewan. Sama dengan orang yang
melakukan pengobatan dengan cara hipnotis, berkhidmat dengan jin, dan
perkara-perkara sejenisnya yang tidak dapat diterima akal sehat serta
tidak berdasarkan keterangan yang nyata. Semua perkara tersebut tidak
ada yang benar. Sebab, banyak sekali kesalahan dari hal-hal yang mereka
ketahui tersebut. Disamping itu, dasarnya juga rusak. Sedikit dari
banyak hal yang tidak mereka ketahui merupakan bukti nyata kebohongan
seluruh ramalan dan perkiraan mereka itu. Tidak ada kebenaran mutlak
melainkan kebenaran yang dibawa oleh para nabi.”
Perlu diketahui bahwa penggunaan istilah
ilmu nujum di dalam bahasa Indonesia seringkali diartikan sebagai ilmu
nujum jenis pertama. Yaitu jenis ilmu nujum yang dilarang di dalam
syariat Islam.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan Ilmu Nujum
Sebagian kalangan menisbahkan kedustaan
kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu tentang ilmu nujum. Mereka
meyakini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu mampu memastikan usia bayi
yang baru dilahirkan hanya dengan memerhatikan keadaan bulan pada hari
itu. Dengan berpegang dengan tiga riwayat lemah bahkan palsu, mereka
dengan lancang menyatakan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu pun
menguasai ilmu nujum.
Di antara yang disebutkan adalah sebuah
riwayat yang dibawakan oleh Al-Hakim dari Muhammad, cucu Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu. Ia bercerita: Al-Imam Asy-Syafi’i di masa
mudanya senang mempelajari ilmu nujum. Padahal Al-Imam Asy-Syafi’i jika
mempelajari satu cabang ilmu pasti akan menjadi yang terbaik. Suatu
hari beliau sedang duduk dan ada seorang wanita yang akan melahirkan.
Setelah menghitung pergerakan bintang, Al-Imam Syafi’i berkata, “Dia
akan melahirkan bayi perempuan yang matanya buta sebelah dan di
kemaluannya ada tahi lalat berwarna hitam. Bayi ini akan berumur hanya
sampai sekian hari.” Ternyata wanita itu melahirkan bayi dengan
ciri-ciri yang telah disebutkan Al-Imam Asy-Syafi’i dan beberapa lama
kemudian bayi itu meninggal. Tepat seperti yang disebutkan Al-Imam
Asy-Syafi’i. Kemudian, Al-Imam Asy-Syafi’i bertekad tidak akan
menggunakan ilmu nujum untuk selamanya.
Riwayat ini adalah satu dari tiga riwayat
yang dinisbahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i. Perlu diketahui bahwa
cucu Al-Imam Asy-Syafi’i yang bernama Muhammad tidak pernah sekali pun
bertemu dengan Al-Imam Asy-Syafi’i. Sebagaimana dijelaskan secara
panjang lebar oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu di dalam Miftah Dar
As-Sa’adah (3/250).
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu
mengomentari riwayat-riwayat di atas dengan menyatakan, “Kami akan
menjelaskan tentang cerita-cerita di atas disertai dengan keadaan
sanadnya. Sehingga akan menjadi jelas bahwa penisbatan itu adalah
sebuah kedustaan atas nama Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.”
Yang benar dari Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu adalah sebuah riwayat dari Ar-Rabi’ bin Sulaiman, murid
senior beliau, tentang penafsiran ayat:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ
لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا
الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Dan Dialah yang menjadikan
bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam
kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan
tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.”
(Al-An’am: 97)
Dan ayat:
وَأَلْقَى فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ
تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ(15)وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di
bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan)
sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk. Dan (Dia
ciptakan) tanda-tanda (penujuk jalan). Dan dengan bintang-bintang
itulah mereka mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 15-16)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
menjelaskan, “Tanda-tanda itu adalah gunung-gunung yang mereka ketahui
letak posisinya. Demikian juga matahari, bulan, dan bintang, dengan
arah peredarannya. Serta jenis angin yang ciri-cirinya mereka ketahui
untuk menunjukkan arah Baitullah Al-Haram.”
Tabir yang Harus Dikuak
Alasan paling kuat yang digunakan untuk
membenarkan ilmu nujum adalah pernyataan mereka, “Kami telah mencoba
dan meneliti pada beberapa anak yang diramalkan kehidupannya, ternyata
kami menemukan kebenaran ramalan itu.”
Maka jawabannya, “Kalau seandainya yang
kalian sampaikan cukup sebagai bukti kebenaran pendapat kalian, maka
apakah bedanya antara pernyataan kalian dengan pernyataan orang lain,
‘Bukti kesalahan pernyataan kalian adalah percobaan dan penelitian kami
pada beberapa anak yang diramalkan kehidupannya, ternyata ramalan itu
tidak benar bahkan meleset seluruhnya’.” (Miftah Dar As-Sa’adah,
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu, 3/165 )
Alasan mereka yang lain adalah ilmu nujum pun dipelajari oleh Nabi Ibrahim q. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَنَظَرَ نَظْرَةً فِي النُّجُومِ. فَقَالَ إِنِّي سَقِيمٌ
Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya aku sakit.” (Ash-Shaffat: 88-89)
Maka jawabannya, “Hal ini adalah sebuah
kedustaan atas nama Nabi Ibrahim q. Dalam ayat di atas, Nabi Ibrahim q
tidak menghubungkan sakit beliau dengan keadaan bintang. Ayat di atas
hanyalah menjelaskan Nabi Ibrahim q ketika itu memandang bintang,
setelah itu beliau menyatakan, ‘Saya sakit.’ Beliau melakukannya guna
menyelamatkan diri dari kezaliman kaumnya. Lebih dari itu, tidak ada
seorang pun yang butuh untuk memerhatikan bintang untuk mengetahui
apakah dirinya sehat atau sakit. Karena sakit dapat dirasakan dan pasti
diketahui oleh dirinya sendiri.” (Miftah Dar As-Sa’adah, Al-Imam
Ibnul Qayyim, 3/166)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu
telah mengupas secara panjang lebar tentang kebatilan ilmu nujum.
Beliau mematahkan pelbagai dalih ahli nujum pada bagian terakhir dalam
kitabnya yang berjudul Miftah Daris Sa’adah. Ulasan beliau itu sangat
baik dan sangat bermanfaat.
Bahaya Ilmu Nujum Di Sekitar Kita
Melalui pembahasan ini maka kita dapat
memberikan kesimpulan bahwa ilmu astrologi, horoskop, zodiak, ataupun
shio, adalah ilmu yang dilarang secara syariat Islam. Astrologi adalah
ilmu yang menghubungkan antara gerakan benda-benda tata surya (planet,
bulan, dan matahari) dengan nasib manusia.
Dalam astrologi, horoskop adalah sebuah
bagan atau diagram yang menggambarkan posisi matahari, bulan,
planet-planet, aspek-aspek astrologis, dan sudut-sudut sensitif pada
saat kelahiran seorang anak. Kata horoskop berasal dari bahasa Yunani
yang berarti mengamati waktu. Kata horoskop digunakan sebagai metode
ramalan mengenai peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan waktu-waktu
tertentu yang digambarkan dalam dasar-dasar astrologis.
Dalam penggunaan sehari-hari, horoskop
seringkali dihubungkan dengan penafsiran ahli astrologi yang biasanya
dilakukan melalui sistem lambang-lambang astrologi. Dalam berbagai
majalah dan surat kabar, kita dapat menemukan kolom atau artikel yang
memuat ramalan-ramalan yang didasarkan pada posisi matahari dalam
kaitannya dengan hari kelahiran seseorang.
Horoskop dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah pengamatan posisi bintang-bintang pada waktu tertentu,
seperti pada hari lahir seseorang dengan tujuan meramalkan masa
depannya. Sebagai contoh zodiak horoskop adalah Capricornus (Kambing
Laut). Bintang ini diberikan kepada orang yang dilahirkan antara 21
Januari sampai dengan 16 Februari. Demikian juga bintang Scorpius
(Kalajengking) yang diberikan kepada orang dengan tanggal kelahiran
antara 23 November sampai dengan 18 Desember.
Shio adalah zodiak Tionghoa yang memakai hewan-hewan untuk melambangkan tahun, bulan, dan waktu dalam astrologi Tionghoa. Setiap individu diasosiasikan dengan satu shio sesuai dengan tanggal kelahirannya. Sebagai contoh adalah shio Kerbau. Orang dengan shio kerbau diyakini memiliki sifat cenderung keras kepala, pekerja keras, jujur, dan agak pemarah.
Khatimah
Setelah dipaparkan dalil dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah dilengkapi keterangan ulama maka tidaklah pantas seorang
muslim mempelajari atau meyakini kebenaran ilmu astrologi, horoskop,
zodiak, ataupun shio. Ingatlah selalu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
tentang ciri orang beriman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ
إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ
يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min,
bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili
di antara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung. (An-Nur: 51)
Apa yang mereka sebutkan tentang
ilmu-ilmu tersebut hanyalah kedustaan yang dibangun di atas kedustaan
pula. Supaya kaum muslimin jauh dari sikap tawakkal dan tsiqah (percaya
penuh) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk meruntuhkan tauhid
sebagai fondasi ibadah seorang hamba.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu pernah berdialog dengan sekelompok ahli nujum di Damaskus. Beliau menjelaskan kerusakan perbuatan mereka dengan dalil-dalil ‘aqli yang kebenarannya diakui oleh mereka sendiri. Salah satu pemuka ahli nujum di antara mereka berkata kepada Syaikhul Islam, “Demi Allah, sesungguhnya kami membuat seratus kedustaan dengan harapan ada kebenaran pada salah satunya.” (Al-Fatawa Al-Kubra)
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
1 ‘Iyafah dan zajr adalah meramal nasib
baik atau nasib buruk dengan menerbangkan burung. Bila burung terbang
ke kanan maka baik, jika ke kiri maka buruk.
Dinukil dari: http://asysyariah.com/print.php?id_online=834 via Blog Abu Ramza
http://aljaami.wordpress.com/2011/03/30/ilmu-nujumperbintangan-dalam-pandangan-islam/