HUKUM THIYARAH (TATHAYYUR, MENGANGGAP SIAL KARENA SESUATU)[1]
Oleh:Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawas
Ahlus Sunnah tidak percaya kepada thiyarah atau tathayyur. Tathayyur
atau thiyarah yaitu merasa bernasib sial karena sesuatu[2]. Diambil dari
kalimat: زَجَرَ الطَّيْرَ (menerbangkan burung).
Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H) rahimahullah berkata: “Dahulu, mereka
suka menerbangkan atau melepas burung, jika burung itu terbang ke kanan,
maka mereka menamakannya dengan ‘saa-ih’, bila burung itu terbang ke
kiri, mereka namakan dengan ‘baarih’. Kalau terbangnya ke depan disebut
‘na-thih’, dan manakala ke belakang, maka mereka menyebutnya ‘qa-id’.
Sebagian kaum bangsa Arab menganggap sial dengan ‘baarih’ (burungnya
terbang ke kiri) dan menganggap mujur dengan ‘saa-ih’ (burungnya terbang
ke kanan) dan ada lagi yang berpendapat lain.” [3]
Tathayyur (merasa sial) tidak terbatas hanya pada terbangnya burung
saja, tetapi pada nama-nama, bilangan, angka, orang-orang cacat dan
sejenisnya. Semua itu diharamkan dalam syari’at Islam dan dimasukkan
dalam kategori perbuatan syirik oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, karena orang yang bertathayyur menganggap hal-hal tersebut
membawa untung dan celaka. Keyakinan seperti ini jelas menyalahi
keyakinan terhadap taqdir (ketentuan) Allah Azza wa Jalla.
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (wafat th. 1421 H)
rahimahullah : “Tathayyur adalah menganggap sial atas apa yang dilihat,
didengar, atau yang diketahui. Seperti yang dilihat yaitu, melihat
sesuatu yang menakutkan. Yang didengar seperti mendengar burung gagak,
dan yang diketahui seperti mengetahui tanggal, angka atau bilangan.
Tathayyur menafikan (meniadakan) tauhid dari dua segi:
Pertama, orang yang bertathayyur tidak memiliki rasa tawakkal kepada
Allah Azza wa Jalla dan senantiasa bergantung kepada selain Allah.
Kedua, ia bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya dan
merupakan sesuatu yang termasuk takhayyul dan keragu-raguan.” [4]
Ibnul Qayyim rahimahullah kembali menuturkan: “Orang yang bertathayyur
itu tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, buruk
akhlaknya, dan mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya.
Mereka menjadi orang yang paling penakut, paling sempit hidupnya dan
paling gelisah jiwanya. Banyak memelihara dan menjaga hal-hal yang tidak
memberi manfaat dan mudharat kepadanya, tidak sedikit dari mereka yang
kehilangan peluang dan kesempatan (untuk berbuat kebajikan-pent.).” [5]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَٰذِهِ ۖ وَإِن تُصِبْهُمْ
سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُ ۗ أَلَا إِنَّمَا
طَائِرُهُمْ عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini
disebabkan (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka
lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang
bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah
ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
[Al-A’raaf: 131]
Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) rahimahullah dalam Tafsiirnya
mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menceritakan bahwa apabila
pengikut Fir’aun mendapat keselamatan, kesuburan, keuntungan, kemakmuran
dan banyak rizqi, serta menemukan kesenangan duniawi, mereka
mengatakan: ‘Kami memang lebih pantas mendapatkan semua ini.’
Sebaliknya, manakala tertimpa kejelekan berupa kekeringan, bencana dan
musibah, mereka bertathayyur kepada Musa Alaihissallam dan orang-orang
yang besertanya, yakni melemparkan penyebabnya kepada Musa dan
orang-orangnya. Mereka mengatakan: ‘Sejak kedatangan Musa, kita
kehilangan kemakmuran, kesuburan dan tertimpa krisis.’”
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “Allah Azza wa Jalla
menyebutkan bahwa keberuntungan, kemakmuran, dan keburukan serta bencana
kaum Fir’aun dan yang lainnya tidak lain adalah ketetapan yang baik dan
yang buruk semuanya dari Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui sehingga mereka menuduh Musa Alaihissallam dan pengikutnya
sebagai penyebabnya.”[6]
Thiyarah termasuk syirik yang menafikan kesempurnaan tauhid, karena ia
berasal dari apa yang disampaikan syaithan berupa godaan dan bisikannya.
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.
“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan
setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal
ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” [7]
Dalam Shahiih Muslim disebutkan, dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami
Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam : “Di antara kami ada orang-orang yang bertathayyur.”
Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Itu adalah sesuatu
yang akan kalian temui dalam diri kalian, akan tetapi janganlah engkau
jadikan ia sebagai penghalang bagimu.’” [8]
Dengan ini beliau mengabarkan bahwa rasa sial dan nasib malang yang
ditimbulkan dari sikap tathayyur ini hanya pada diri dan keyakinannya,
bukan pada sesuatu yang ditathayyurkan. Maka prasangka, rasa takut dan
kemusyrikannya itulah yang membuatnya bertathayyur dan menghalangi
dirinya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, bukan apa yang dilihat
dan didengarnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian menerangkan
permasalahan tersebut kepada umatnya tentang kesesatan tathayyur supaya
mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak memberikan
kepada mereka suatu alamat atau tanda atas kesialan, atau menjadikannya
sebab bagi apa yang mereka takutkan dan khawatirkan. Supaya hati mereka
menjadi tenang dan jiwa mereka menjadi damai di hadapan Allah Yang
Mahasuci.
Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: يَا
رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ
:اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ
وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.
‘Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat
syirik.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya
Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung
itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada
ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’” [9]
Pengharaman thiyarah didasarkan pada beberapa hal:
1. Dalam thiyarah terkandung sikap bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala
2. Thiyarah melahirkan perasaan takut, tidak aman dari banyak hal dalam
diri seseorang, sesuatu yang pada gilirannya menyebabkan kegoncangan
jiwa yang dapat mempengaruhi proses kerjanya sebagai khalifah di muka
bumi.
3. Thiyarah membuka jalan penyebaran khurafat dalam masyarakat dengan
jalan memberikan kemampuan mendatangkan manfaat dan mudharat atau
mempengaruhi jalan hidup manusia kepada berbagai jenis makhluk yang
sebenarnya tidak mereka miliki. Pada gilirannya, itu akan mengantar
kepada perbuatan syirik besar.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Fat-hul Majiid (bab 27: Maa Ja-a fit Tathayyur hal. 345-359),
Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/273-277),
al-Madkhal (hal. 148-150).
[2]. Lihat an-Nihaayah (III/152), Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/273).
[3]. Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah (III/268-269) ta’liq dan takhrij
Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi, cet. I-Daar Ibnu ‘Affan, th. 1416 H.
[4]. Lihat al-Qaulul Mufiid ‘alaa Kitaabit Tauhiid (I/559-560).
[5]. Miftaah Daaris Sa’aadah (III/273) ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
[6]. Tafsiir Ibni Jarir ath-Thabari (VI/30-31) dengan diringkas.
[7]. HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 909), Abu Dawud (no.
3910), at-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ahmad (I/389, 438,
440), Ibnu Hibban (Mawaariduzh Zham’aan no. 1427), at-Ta’liiqatul
Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban (no. 6089) dan al-Hakim (I/17-18).
Lafazh ini milik Abu Dawud, dari Sahabat Ibnu Mas’ud . Lihat Silsilatul
Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 429).
[8]. HR. Muslim (no. 537).
[9]. HR. Ahmad (II/220), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir
da-lam Tahqiiq Musnad Imam Ahmad (no. 7045). Lihat Silsilatul Ahaadiits
ash-Shahiihah (no. 1065).
[10]. Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 148-150).
http://almanhaj.or.id/content/2397/slash/0/hukum-thiyarah-tathayyur-menganggap-sial-karena-sesuatu/