Senin, 12 Mei 2014

TARJIH -Qadha’ dan Fidyah untuk Wanita Hamil dan Murdhi’ ( Menyusui )

Penulis : Abu Ishaq Umar Munawwir

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh

Alhamdulillah washsholatu wassalamu ‘ala rasulillah, wa ba’d:
Saya mencoba menulis apa yang bisa ditulis pagi ini, dalam body message agar tidak terkesan formal. Jadi ya bersabarlah kalu dirasa panjang. Nomor hadits tidak ditulis lengkap dan nukilan yang ada tidak disebut detail di halaman berapa, tapi kalau bukunya insya Allah disebutlah judul dan penulisnya. Alasan nya, agar ikhwan sekalian meneruskan pembahasan untuk mendapatkan semuanya itu. (Padahal sebenarnya sih karena tidak ingat ….he he he…pokonamah yang terbersit ditulis weh..)
Mudah-mudahan bermanfaat.

Untuk soal dan contoh kasus insya Allah saya jawab juga di sini kalau waktunya cukup. Kalau tidak ya mungkin agak sorean lah insya Allah, atau habis Jum’atan kalau tidak ada kerjaan.

Sekedar mengingatkan, Ibnu Katsir di Muqaddimah tafsirnya mengatakan bahwa tidak sepantasnya kita menyebutkan ikhtilaf dan aqwal para ulama tapi kita kemudian tidak memberikan tarjihnya.

Jadi, mari kita sama-sama belajar untuk itu. Kalau tidak bisa tarjih, ya cukup katakan menurut yang saya tahu berdasarkan pendapat ulama anu begini jadi kita harus begini. Adapun kalau pendapat lain saya tidak tahu. Cukup tanpa menyebutkan ada A, B, C dst tapi kemudian tidak menyodorkan tarjih atau mana yang rajihnya.

Kedua, Al-Ustadz Abdul Hakim Abdat kerap mengingatkan kita untuk melakukan bahts. Tidak berhenti sampai apa kata Syaikh, namun terus menelusuri apa dibalik itu sehingga Syaikh bisa berkesimpulan seperti itu. Alasannya, jika kita berhenti sampai pada apa kata Syaikh, maka begitu Syaikh meninggal ilmu akan terputus bersamanya dan anak-anak kita hanya akan mewarisi kesimpulannya bukan dasarnya sehinga ketika kelak muncul hal serupa tapi tak sama seiring perkembangan peradaban manusa, kebingungan lah yang ada. Wal ‘iyadzu billah.

Adapun berkenaan dengan mana yang rajih bagi hamil dan murdhi’ apakah (1) qadha atau (2) fidyah atau (3) qadha dan fidyah?

Fabillahi ta’ala nasta’in, Abu Ishaq mengatakan:

Ada ikhtilaf di kalangan para ulama berkenaan dengan permasalahan ini. Pendapat yang mu’tabar terbagi kedalam tiga:
(1) Wanita yang hamil dan murdhi’ (menyusui) boleh tidak berpuasa dan jika demikian mereka wajib qadha saja

(2) Wanita yang hamil dan murdhi’ boleh tidak berpuasa dan jika demikian mereka wajib membayar fidyah saja tanpa qadha

(3) Orang yang hamil dan murdhi’ boleh tidak berpuasa dan jika demikian mereka wajib qadha dan membayar fidyah

Al-Jashshash dalam kitabnya Ahkamul Qur’an membawakan hal ini dengan menyebutkan siapa shahabat yang berpendapat demikian. Ali bin Abi Thalib untuk (1), Ibnu Abbas untuk (2) dan Ibnu Umar untuk (3).
Namun demikian, kita tentu harus melihat dan menelusuri kebenarannya berdasarkan riwayat-riwayat yang sampai kepada kita. Apakah memang demikian?

Mari kita mulai pembahasan dari ayat yang ada:
(1) Allah berfirman: “Dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka (ia membayar) fidyah (dengan cara) memberi makan orang miskin” (Al-Baqarah: 184)

Pada awal mula diperintahkannya puasa seperti dalam ayat 183-184 ini, orang diberi kebebasan memilih, kalau mau berpuasa silakan kalau tidak berarti harus memberi makan orang miskin sebagai gantinya (lihat Tafsir Ibnu Katsir). Namun demikian, hukum yang terkadung di ayat 184 ini kemudian dimansukh dengan ayat berikutnya (185) yang mengatakan: “Siapapun yang mendapati bulan (Ramadhan) maka ia harus berpuasa.” Silakan lihat penjelasan mansukhnya ayat 184 oleh ayat 185 ini di buku Shifat Shoum Nabi oleh Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali.

(2) Allah berfirman: “Maka barangsiapa yang sakit atau sedang safar, (dia boleh tidak berpuasa) dan membayarnya di hari yang lain. Allah mengendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (Al-Baqarah: 185)
Berdasarkan kedua ayat ini maka disimpulkan bahwa semua kaum muslimin wajib berpuasa, dan keringanan untuk tidak berpuasa hanya berlaku bagi orang yang sakit dan orang yang dalam keadaan safar. Dan sebagai kompensasinya, mereka harus membayarnya di hari lain (qadha’).

Namun kesimpulan ini terlalu dini, karena ada riwayat Abu Dawud dan Al-Baihaqi dari Ibnu Abbas dan Mu’adz bin Jabbal, bahwa hukum “bagi yang tidak mampu maka (ia membayar) fidyah kepada orang miskin” tetap berlaku, hanya berlakunya itu adalah bagi pria yang sudah tua, wanita yang sudah tua serta wanita hamil dan murdhi’. Kedua riwayat ini shahih adanya.

Dengan demikian, maka kesimpulan lanjutannya adalah:
Semua kaum muslimin yang mendapati bulan ramadhan wajib berpuasa. Kewajiban ini dikecualikan bagi:
- Musafir dan orang sakit, keduanya boleh tidak berpusa tetapi harus menggantinya di lain hari (qadha).
- Orang tua, wanita hamil dan menyusui (murdhi’), mereka boleh tidak berpuasa tetapi harus menggantinya dengan cara memberi makan orang miskin sejumlah harinya (fidyah).
Sampai disini jelas lah permasalahan.

Namun jika demikian kesimpulannya, kenapa ada pendapat yang mengatakan harus qadha -baik menyendiri hanya qadha ataupun dibarengi dengan fidyah- ?
Jawabnya, qadha dan fidyah adalah ibadah, dan al-aslu fil ‘ibadati at-tauqifiyyah. Jadi, mana dalilnya kalu qadho ikut berperan dalam bolehnya wanit hamil dan murdhi untuk tidak berpuasa? Kalau memang ada dalil tentu kita nyatakan demikian, kalau tidak ada dalil berarti kembali pada kesimpulan di atas.

Mereka yang berpendapat qadha sangat bertanggung jawab, apa yang diyakini berpijak pada dalil sebagi berikut:
Hadits riwayat An-Nasa’i dari Anas bin Malik: “Sesungguhnya Allah mengangkat (kewajiban) dari musafir setengah sholat dan dari wanita hamil serta menyusui (kewajiban) puasa.”
Hadits ini shohih adanya. Hadits ini juga merupakan dalil bahwa wanita hamil dan menyusui mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa.

Dari hadits ini, mereka beristidlal bahwa posisi musafir dan wanita hamil serta menyusui ini sama karena adanya dilalah iqtiran di sana yaitu dan . Dengan demikian maka kompensasinya sama yaitu harus mengganti di lain hari karena musafir apabila tidak berpuasa ia harus menggantinya di lain hari (qadha).

Mereka juga menggunakan qiyas dengan orang sakit. Oleh karena orang sakit apabila tidak berpuasa harus menggantinya di lain hari (qadha’), maka demikian juga halnya dengan wanita hamil dan menyusui.
Dengan demikian, jelaslah dalil/alasan pendapat tentang wajibnya qadha’ bagi wanita hamil dan menyusui.
Lalu pendapat ketiga bagaimana, yaitu tentang wajibnya qadha dan fidyah? Ini lebih mudah, mereka mencoba menggabungkan kedua pendapat di atas. Dan ini benar. Dalam arti, ketika kita menjumpai seolah ada beberapa dalil/pendapat yang terkesan bertentangan, solusi pertamanya adalah kita coba thariqatul jam’i, kita coba gabungkan. Kalau ternyata tidak bisa karena memang jelas kontradiksinya dalam kondisi bagaimanapun baru kita lakukan tarjih (adu unggul).

Penggabungan ini dirinci dalam beberapa kondisi. Namun apapun kondisinya itu semuanya berpulang pada benar tidaknya istidlal tentang wajibnya qadha bagi wanita hamil dan menyusui tersebut. Jika benar, maka pendapat penggabungan itu mungkin lebih tepat. Jika ternyata tidak, maka kita kembali ke semula, yaitu hanya fidyah.
Berarti masalahnya, benarkah istidlal mereka yang berpendapat wajibnya qadha?
Jawabnya, dengan istidlal seperti tersebut di atas, maka konsekuensinya mereka harus membuktikan bahwa semua riwayat Abu Dawud, Baihaqy, dan Daruqhutni tentang membayar fidyah itu adalah dho’if / lemah. Kenapa? Karena istidlal ini kontradiksi dengan kedua riwayat itu, yakni dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sekiranya riwayat-riwayat ini memang dho’if, tentu yang rajih adalah pendapat wajibnya qadha, sebab qiyas dengan orang sakit adalah benar dan dilalah iqtiran dengan musafir juga jelas.

Namun ternyata tidak demikian kenyataanya. Semua riwayat itu shahih, dan jelas bertentangan dengan istidlal mereka yang mengatakan wajibnya qadha.
Perincinnya:

(1) Riwayat Abu Dawud dari Ibnu Abbas: “Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya”.

(2) Riwayat Ad-Daruquthni dari Ibnu Umar:
“Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha”.
“Berbukalah dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha.”
Dalam jalan lain dikatakan bahwa anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan sedang hamil. Dia merasa kehausan ketika puasa Ramadhan, maka Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.

(3) Riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu Umar bahwa beliau ditanya tentang wanita hamil yang khawatir akan kandungannya: “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.”
Pembahasannya:

Hadits Anas bin Malik tentang diangkatnya kewajiban setengah sholat dari musafir dan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan menyusui adalah umum. Perlu perincian dan tafshil. Dan ini dibuktikan dengan adanya hadits yang merinci sholat apa yang diqashar tersebut dan mana yang tidak, tidak bisa berlaku mutlak bahwa semua sholat dipotong setengah. Demikian juga dalam hal pemotongannya, apakah jumlah raka’at atau di rukunnya. Karenanya riwayat perinci harus dibawa kemari.

Demikian juga halnya dengan wanita hamil dan menyusui. Hadits ini menerangkan tentang diangkatnya kewajiban berpuasa dan tidak mutlak dalam arti tidak ada kompensasi. Karenanya hadits Ibnu Umar dan Ibnu Abbas di atas harus dijadikan sebagai bayan/perinci dari hadits Anas bin Malik ini. Dengan demikian, dilalah iqtiran di hadits Anas bin Malik tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk menyamakan kompensasi tidak berpuasanya yaitu qadha karena ada riwayat-riwayat yang merinci kompensasi untuk si wanita hamil dan menyusui tersebut.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa pendapat wajibnya qadha dengan istidlal seperti tersebut di atas adalah tidak tepat, kecuali –sekali lagi kecuali- kalau riwayat-riwayat perinci tersebut tidak shohih alias dho’if.

Adapun qiyas dengan orang sakit, tidak bisa dilakukan karena telah datang riwayat yang jelas dan menerangkan tentang kedudukan dan kondisi wanita hamil dan menyusui ini. Sekali lagi juga, jika semua riwayat itu dlo’if tentu qiyas ini benar adanya. Dan segera kita katakan bahwa yang wajib adalah qadha’.

Dengan demikian, tampaklah cahaya terang bagi kita dan jernihlah segala kekeruhan yang ada, walhamdulillah, bahwa yang rajih berdasarkan dalil-dalil yang ada adalah bagi wanita hamil dan menyusui diberikan keringanan untuk tidak berpuasa dan mereka harus menggantinya dengan membayar fidyah kepada orang miskin sejumlah hari di mana mereka tidak berpuasa. Tidak ada kewajiban qadha’ bagi mereka karena tidak ada dalil yang mendasarinya.

Hadits Ibnu Umar di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan apakah wanita hamil berbuka karena khawatir terhadap dirinya atau anaknya atau keduanya, semuanya sama cukup dengan membayar fidyah.
Wallahu ta’ala a’lam.

Petamburan, 28 Sya’ban 1427
Abu Ishaq As-Sundawy

Sumber:http://salafyitb.wordpress.com/2006/12/08/tarjih-qadha-dan-fidyah-untuk-hamil-dan-murdhi/


Tambahan dari saya ( Herry aliAndi ):Dikutip dari Buku Shahih Fikih Sunnah. Oleh:Abu Malik Kamal As Sayyid Salim.

Bahwa Wanita hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa, namun harus memberi makan kepada satu orang miskin pada setiap harinya, dan keduanya tidak memiliki tanggungan untuk mengqadha, ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, serta tidak ditemukan satu orang pun dari para sahabat yang menyangkalnya. Kemudian, hadits Ibnu Abbas juga dihukumi marfu' karena ia adalah seorang sahabat dan haditsnya merupakan penafsiran mengenai turunnya sebuah ayat Al Qur'an. Maka haditsnya dapat dijadikan sandaran sebagaimana ditetapkan dalam ilmu musthalah al hadits [ Tadrib Ar Rawi ( 1/192. 193 ) dan "Ulum Al Hadits" Karya Ibnu Shalah ( hal. 24 ) ]