Banyak kita temukan gambaran mengenai pribadi teladan di dalam untaian ayat-ayat al-Qur’an. Di antaranya adalah apa yang digambarkan Allah ta’ala di dalam ayat (yang artinya), “Dan orang-orang yang memberikan apa saja yang mampu mereka persembahkan sementara hati mereka merasa takut; bagaimanakah nasib mereka kelak ketika dikembalikan kepada Rabb mereka.” (QS. al-Mu’minun: 60).
Inilah gambaran ideal seorang mukmin. Sosok yang mempersembahkan
ketaatan dengan sebaik-baiknya. Di saat yang sama, dia juga merasa takut
kalau amalannya tidak diterima.
Sebagaimana yang masyhur dari ucapan Hasan al-Bashri rahimahullah,
“Seorang mukmin memadukan antara ihsan -perbuatan baik dalam hal amal-
dan rasa takut. Adapun seorang munafik -atau fajir- memadukan antara
isa’ah/perbuatan jelek dan perasaan aman -dari hukuman Allah-.”
Pribadi semacam ini tak mudah untuk dijumpai, namun bukan berarti tidak
ada. Para Sahabat Nabi adalah barisan terdepan dalam mewujudkan
keteladanan ini dalam hidup mereka. Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah
berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh sahabat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka semua merasa takut
kalau-kalau dirinya tertimpa kemunafikan.”
Padahal, kita semua mengetahui betapa agung kedudukan para Sahabat yang
dikatakan oleh sebagian salaf bahwa iman mereka itu laksana gunung.
Bahkan, sampai-sampai dikatakan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu
dalam sebuah riwayat yang disandarkan kepada beliau, “Seandainya iman
Abu Bakar [saja] ditimbang dengan iman segenap umat ini -selain para
Nabi- niscaya iman Abu Bakar yang lebih berat.” Subhanallah!
Kebanyakan orang tatkala berhasil melakukan kebaikan terlalu larut
dengan rasa gembira karena keberhasilannya. Seolah-olah dirinyalah yang
‘menciptakan’ keberhasilan itu. Sehingga tidak jarang muncul dari lisan
atau tingkah lakunya yang mencerminkan perasaan ini. Lupa diri, itulah
yang terjadi.
Fenomena semacam ini sungguh memprihatinkan. Karena perasaan semacam
ini akan menyeret pelakunya kepada ujub yang oleh para ulama dimasukkan
dalam kategori syirik; sebab orang yang ujub mempersekutukan Allah
dengan -kemampuan- dirinya sendiri (sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh
Abdul Aziz ar-Rayyis hafizhahullah dalam salah satu ceramah beliau).
Oleh karena itu, kalau kita bandingkan kondisi kita hari ini dengan
para salafus shalih dahulu, amatlah jauh! Bagaikan langit dengan [dasar]
sumur, begitu kata orang…
Suatu ketika, Aisyah radhiyallahu’anha -seorang istri Nabi yang sangat
cerdas- bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai kandungan ayat dalam surat al-Mu’minun di atas, “Apakah mereka
itu -yang merasa takut- adalah orang-orang yang suka minum khamr,
berzina, atau mencuri?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Bukan, wahai putri ash-Shiddiq! Akan tetapi mereka itu
adalah orang-orang yang suka berpuasa, mengerjakan sholat, dan rajin
bersedekah, namun mereka khawatir kalau-kalau amalan mereka itu tidak
diterima. Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam
kebaikan-kebaikan.” (HR. Tirmidzi, lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amalu, hal. 17).
Mereka menyadari bahwa apa yang mereka persembahkan kepada Allah jauh
daripada yang semestinya diterima oleh-Nya. Mereka tidak su’udzan kepada
Allah, namun su’udzan kepada dirinya sendiri. Bagi mereka semua
kebaikan yang mereka lakukan adalah berkat taufik dari-Nya, bukan
hasil jerih payah mereka sendiri. Tiada daya dan kekuatan kecuali
dengan pertolongan dari-Nya.
Kalaulah Allah menerima amal mereka itu jelas karena kemurahan
dari-Nya. Namun, kalau misalnya tidak diterima oleh-Nya, maka hal itu
semata-mata karena kekurangan dan keteledoran diri mereka, sehingga apa
yang mereka persembahkan tidak layak untuk-Nya (lihat al-Fawa’id, hal. 36).
Demikianlah keadaan orang yang mengenal siapa dirinya dan siapa Rabbnya. Wallahul musta’aan.
______________
Saudaraku, Jangan Ujub!
Segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam. Salawat dan keselamatan semoga terus terlimpah kepada Nabi dan para sahabatnya. Amma ba’du.
Jumlah pengikut yang banyak, organisasi yang mapan, kekuatan finansial
yang besar, dan sarana yang serba lengkap terkadang membuat manusia
lupa akan hakekat dirinya yang lemah dan senantiasa membutuhkan
pertolongan Allah ‘azza wa jalla. Acapkali ‘perasaan besar’ tersebut
menyeret kepada bangga diri dan ujub dengan kemampuan dirinya.
Seolah-olah semuanya sudah berada di bawah kendalinya. “Kemenangan sudah
di pelupuk mata.” “Kita tidak akan kalah, jumlah kita banyak.”
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Allah telah menolong
kalian dalam berbagai tempat yang banyak, demikian pula pada perang
Hunain; ketika itu jumlah kalian yang sedemikian banyak telah membuat
kalian ujub, namun ternyata jumlah yang banyak itu sama sekali tidak
mencukupi bagi kalian, dan bumi yang luas pun menjadi terasa sempit
bagi kalian, kemudian kalian pun lari tunggang-langgang…” (QS. at-Taubah: 25)
Ketika itu, sebagian di antara mereka -para sahabat- ada yang berkata,
“Pada hari ini kita tidak akan kalah gara-gara jumlah yang sedikit.”
Tatkala penyakit ujub itu menyelinap ke dalam hati mereka, maka Allah
berikan pelajaran bagi mereka… Padahal, mereka itu adalah para Sahabat
Nabi -orang-orang termulia di atas muka bumi setelah para nabi-
sejumlah 12 ribu pasukan kaum muslimin kocar-kacir di awal pertempuran
dalam menghadapi 4 ribu pasukan musyrikin dari kabilah Hawazin… (lihat
Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 345).
Sungguh pukulan yang sangat telak dan menjatuhkan mental kaum muslimin!
Dimanakah jumlah yang besar yang dibanggakan itu? Kalau bukan karena
pertolongan Allah, maka mereka sudah hancur berkeping-keping…!
Bagi orang-orang yang telah merasa dirinya besar, hebat dan kuat
-dengan organisasi, yayasan, dan lain sebagainya- maka waspadailah
penyakit ganas ini! Karena hal itu akan menghancurkan kalian…! Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang lebih merusak amalan daripada perasaan ujub dan terlalu memandang jasa diri sendiri…” (al-Fawa’id, hal. 147).
Semoga Allah membalas kebaikan salah seorang Ustadz kami -semoga Allah
menjaganya- yang menasehatkan hal ini kepada kami; untuk tidak merasa
diri besar… Yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak-dampak negatif,
semisal berkobarnya api hizbiyah, terlalu mengutamakan kepentingan
kelompok, dan memaksakan keinginan kepada pihak lain yang tidak sejalan
pemikiran… Allahul musta’aan!
Ibnu Sa’ad menceritakan di dalam kitabnya ath-Thabaqat, bahwasanya Umar
bin Abdul Aziz apabila berkhutbah di atas mimbar kemudian dia khawatir
muncul perasaan ujub di dalam hatinya, dia pun menghentikan
khutbahnya. Demikian juga apabila dia menulis tulisan dan takut dirinya
terjangkit ujub maka dia pun menyobek-nyobeknya, lalu dia berdoa, “Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keburukan hawa
nafsuku.” (dikutip dari al-Fawa’id, hal. 146)
Saudaraku, salafus shalih telah memberikan teladan kepada kita untuk
tidak bersikap ujub. Ingatlah, bahwa segala kebaikan yang ada pada diri
kita berasal dari anugerah Allah ta’ala, bukan semata-mata karena
kekuatan dan kemampuan kita! Bahkan, kalau Allah berkehendak niscaya
saat ini kita masih tenggelam dalam alam kejahiliyihan dengan aneka
ragam maksiat dan kedurhakaan kepada Allah ta’ala.
Tidakkah kalian ingat nikmat yang agung ini wahai ikhwan?….. Lantas
dimanakah ungkapan rasa syukur kalian kepada-Nya? Apakah kalian
sekarang telah lebih mengutamakan dunia daripada akherat, sehingga
sedemikian beratnya kalian untuk berjuang dengan ikhlas di jalan-Nya?!
_____________
Mutiara Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah tentang obat ujub
Berkata Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah tentang obat ujub:
Apabila kamu mengkhawatirkan ujub terhadap amalanmu, maka perhatikanlah;
Ridho siapa yang kamu cari?
Pahala siapa yang kamu harapkan?
Hukuman siapa yang kamu takutkan?
Kesehatan dan nikmat mana yang kamu syukuri?
Dan bencana apa yang kamu ingat?
Sesungguhnya apabila kamu berfikir tentang salah satu dari beberapa perkara ini, pasti menjadi kecil di matamu amalanmu.
[Ma’alim Fit Tarbiyah Wad Dakwah, Mawa’idh Al-Imam Asy-Syafi’i, Penyusun Sholih Ahmad Asy-Syami, hlm 9, Maktabah Syamilah]
Penjelasan:
Ujub adalah sifat yang tercela dan dibenci Allah, yaitu seseorang yang bangga terhadap dirinya dan amalnya.
Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah memberikan lima resep untuk mengobati sifat ujub tersebut:
1. Dalam beramal tentu seseorang mencari ridho Allah, dan dia tidak akan mendapatkan ridho Allah apabila ujub terhadap amalnya.
2. Dalam beramal tentu seseorang mengharapkan pahala Allah, dan dia
tidak akan mendapatkan pahala Allah apabila ujub terhadap amalnya.
3. Dalam beramal tentu seseorang mengharapkan selamat dari hukuman
Allah, dan dia tidak akan selamat dari hukuman Allah apabila ujub
terhadap amalnya.
4. Semua amal kita apabila dibandingkan dengan nikmat yang diberikan
Allah kepada kita tentu masih lebih banyak nikmat Allah yang kita
terima yang harus kita syukuri, padahal kita tidak akan mampu
mensyukuri nikmat-nikmat tersebut dengan sebenarnya. Lalu apa yang kita
banggakan dari amal kita?.
5. Berapa banyak bencana yang kita diselamatkan Allah darinya, padahal
amal kita tidak seberapa dibanding bencana-bencana yang kita
diselamatkan darinya. Lalu apa yang kita banggakan dari amal kita?.
Kalau kita renungkan salah satu dari lima resep tersebut pasti akan hilang dari kita sifat ujub yang tercela itu…
_____________
http://www.kajianislam.net /modules/wordpress/2008/12 /18/mutiara-al-imam-asy-sy afii-rahimahullah-tentang- obat-ujub/
Anggap Diri Kita Lebih Rendah Dari Orang Lain
‘Abdullah Al Muzani mengatakan:
“Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah.
Jika ada orang lain yang lebih tua darimu, maka seharusnya engkau
katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih
dariku, maka ia lebih baik dariku.”
Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau
katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta
lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya
lebih baik dariku.”
Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.”
[Hilyatul Awliya’, Abu Nu’aim Al Ashbahani, Mawqi’ Al Waroq, 1/310.]
___________
http://rumaysho.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/3162-sibuk-memikirkan-aib-sendiri.html
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/pribadi-teladan-tidak-ujub.html