Allah Subhana Wa Ta'ala berfirman (artinya), “Maka,
terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang
menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau Kami
kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak
bersyukur?” (Al-Waaqi’ah: 68-70). “Dan kamu (membalas) rizki (yang Allah berikan) dengan mendustakan (Allah).” (Al-Waaqi’ah: 82).
Diriwayatkan dari Abu Malik al-Asy’ari r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Empat
perkara pada ummatku yang termasuk perbuatan Jahiliyyah, yang tidak
mereka tinggalkan; Membanggakan kemuliaan leluhur, mencela keturunan,
menisbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang, dan meratapi mayit.” (HR Muslim [934]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda, “Empat
perkara Jahiliyyah pada ummatku yang tidak akan mereka tinggalkan:
Meratapi mayit, mencela keturunan, ‘adwaa, (seekor unta terkena penyakit
kudis, lalu seratus unta lainnya tertular penyakit kudis, lalu siapakah
yang menyebabkan unta pertama terkena penyakit kudis?), kepercayaan
terhadap anwaa’, mereka mengatakan: ‘Hujan turun karena bintang ini dan
bintang itu’.” (HR Tirmidzi [1001], Ahmad [II/291, 414, 415, 455, 526 dan 531], dan Abu Dawud ath-Thayalasi [2395]).
Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid
al-Juhani r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. mengimami shalat kami di
Hudaibiyah, selepas hujan turun pada malam tersebut. Selesai shalat
beliau menghadap kami, lalu bersabda, ‘Tahukah kalian apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’ Mereka menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui!’ Lalu Rasulullah saw. bersabda, ‘Allah
berfirman, ‘Di antara hamba-hamba-Ku, ada yang beriman kepada-Ku dan
ada yang kafir. Barang siapa mengatakan; ‘Kita dituruni hujan dengan
anugerah dan rahmat Allah,’ maka orang itu beriman kepada-Ku dan kafir
kepada bintang-bintang. Sebaliknya orang yang berkata, ‘Kita ditiruni
hujan oleh bintang ini dan bintang itu,’ maka orang tersebut kafir
terhadap-Ku dan beriman kepada bintang-bintang’.” (HR Bukhari [846] dan Muslim [71]).
Dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda, “Tidaklah
Allah menurunkan berkah dari langit melainkan sebagian manusia ada yang
menjadi kafir karenanya. Allah menurunkan hujan lalu mereka mengatakan,
‘Bintang ini dan itu yang menurunkan hujan’.” (HR Muslim [73]).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a., ia berkata, “Suatu saat hujan turun pada zaman Rasulullah saw., beliau bersabda, ‘Ada
orang yang bersyukur karena hujan ini dan ada pula yang kufur. Orang
yang bersyukur mengatakan, ‘Ini adalah rahmat Allah.’ Orang yang kufur
mengatakan, ‘Turun hujan (benarlah) karena bintang ini dan bintang
itu’.” (HR Muslim [73]).
Beliau berkata, lalu turunlah ayat ini, “Maka,
Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya
sumpah itu adalah sumpah yang besar jika kamu mengetahui, (sesungguhnya
al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada Kitab yang
terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba
yang disucikan. Diturunkan dari Rabb semesta alam. Maka apakah kamu
menganggap remeh saja al-Qur-an ini, kamu (membalas) rizki (yang Allah
berikan) dengan mendustakan (Allah).” (Al-Waaqi’ah: 75-82).
Kandungan Bab:
Kepercayaan bahwa turunnya hujan dengan
perantaraan bintang, baik dengan peredarannya ataupun dengan
tanda-tandanya, termasuk kepercayaan Jahiliyyah yang telah dilarang oleh
Islam dan digolongkan sebagai kekufuran. Jika ia meyakini bahwa bintang
tertentu memiliki kuasa untuk menurunkan hujan, maka ia jatuh kafir;
kufur tasyrik (menyekutukan Allah). Jika ia meyakini hal tersebut
berdasarkan pengalamann dan penelitian, maka tidaklah disebut syirik,
namun hanya disebut kufur nikmat.
Penjelasan paling bagus dalam masalah ini
dan paling bernilai sejauh yang saya ketahui adalah penjelasan Imam
asy-Syafi’i dalam kitab al-Umm (I/252), “Demi Allah, Rasulullah saw.
adalah orang Arab yang paling luas bahasanya. Perkataan beliau juga
mengandung makna tersebut. Hujan turun menyirami kaum yang kebanyakan
mereka masih musyrik. Dan peristiwa itu terjadi dalam peperangan
Hudaibiyah. Menurutku, -wallaahu a’lam- maknanya adalah, ‘Barang siapa
mengatakan, ‘Hujan turun berkat karunia Allah dan rahmat-Nya,’ maka itu
merupakan bentuk keimanan kepada Allah. Sebab ia tahu, tidak ada yang
mampu menurunkan hujan dan memberi kecuali Allah semata. Adapun orang
yang mengatakan, ‘Hujan turun karena bintang ini dan itu,’ sebagaimana
yang dikatakan oleh kaum musyrik, maksudnya adalah menisbatkan turunnya
hujan kepada bintang-bintang, maka itu adalah kekufuran, seperti yang
dikatakan oleh Rasulullah saw. Sebab, nau’ (gugusan bintang) adalah
petunjuk waktu, dan waktu itu adalah makhluk. Sedikit pun tidak kuasa
terhadap dirinya sendiri, apalagi terhadap yang lain. Tidak kuasa
menurunkan hujan dan tidak kuasa melakukan apa pun. Adapun orang yang
mengatakan, ‘Hujan turun karena nau’ ini,’ maksudnya adalah pada waktu
terbitnya bintang ini, maka perkataan itu sama dengan orang yang
mengatakan, ‘Hujan turun pada bulan ini,’ ucapan seperti itu tidaklah
kufur. Namun, ucapan-ucapan lain lebih aku sukai daripadanya. Aku
(asy-Syafi’i) lebih menyukai ucapan, ‘Hujan turun pada waktu ini.’ Telah
diriwayatkan dari ‘Umar bin Khaththab r.a., bahwa ia berkata di atas
mimbar pada hari Jum’at: ‘Berapakah gugusan bintang (kartika) yang masih
terlihat?’ Al-’Abbas bangkit lalu berkata, ‘Tidak ada satupun yang
terlihat kecuali suara lolongan.’ Maka berdo’a dan orang-orang pun turun
berdo’a, kemudian turun dari mimbar. Tidak lama kemudian turunlah hujan
sehingga orang-orang bersuka cita menyambutnya. Perkataan Umar itu
menjelaskan apa yang saya uraikan di atas, sebab maksud beliau adalah,
‘Berapa lamakah waktu gugusan bintang (kartika) masih terlihat?’
Tujuannya untuk menjelaskan kepada mereka, Allah SWT telah menetapkan
waktu turunnya hujan menurut pengalaman yang biasa mereka alami selama
ini. Sebagaimana mereka mengetahui bahwa Allah telah menetapakn waktu
musim panas dan musim dingin menurut pengalaman yang biasa mereka
alami.”
An-Nawawi berkata dalam kitab al-Adzkaar
(I/475), “Para ulama berkata, ‘Jika seorang muslim mengatakan, ‘Hujan
turun karena bintang ini,’ yang maksudnya bintang itulah yang
mengadakan, menciptakan dan menurunkan hujan, maka ia telah kafir,
murtad tanpa ragu lagi. Jika maksudnya adalah bintang itu merupakan
alamat dan tanda turunnya hujan, atau hujan biasa turun bila muncul
tanda-tanda tersebut dengan keyakinan Allah-lah yang menurunkan dan
menciptakannya, maka ia tidak dihukumi kafir. Dan para ulama berbeda
pendapat tentang hukumnya. Menurut pendapat terpilih, hukumnya makruh,
sebab ucapan itu termasuk ucapan orang kafir. Itulah zhahir kandungan
hadits tersebut. Imam asy-Syafi’i telah menegaskan hal ini dalam kitab
al-Umm dan lainnya, wallaahu a’lam.”
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 126-131.
Oleh: Fani
http://alislamu.com/larangan/39-dalam-aqidah/1113-larangan-menisbatkan-turunnya-hujan-kepada-bintang-bintang.html
http://aljaami.wordpress.com/2011/03/31/larangan-menisbatkan-turunnya-hujan-kepada-bintang/