Perhatikanlah,
sesungguhnya karena lisan seseorang bisa terjerumus dalam jurang
kebinasaan. Lihatlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berikut ketika berbicara dengan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,
أَلاَ
أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ. قُلْتُ بَلَى يَا نَبِىَّ اللَّهِ
قَالَ فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. فَقُلْتُ يَا
نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ
عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ
أَلْسِنَتِهِمْ.
“Maukah
kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku: “Iya,
wahai Rasulullah.” Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda, “Jagalah
ini”. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa)
karena apa yang kami katakan?” Maka beliau bersabda, “Celaka engkau.
Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang
meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka selain ucapan lisan mereka?” (HR. Tirmidzi no. 2616. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih)
Hendaklah
seseorang berpikir dulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya,
dia akan dilempar ke neraka. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِى بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِى النَّارِ
“Sesungguhnya
seseorang berbicara dengan suatu kalimat yang dia anggap itu tidaklah
mengapa, padahal dia akan dilemparkan di neraka sejauh 70 tahun
perjalanan karenanya.”
(HR. Tirmidzi no. 2314. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ
الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ
يُلْقِى لَهَا بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ
الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى
لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya
ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia
pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu.
Dan ada juga seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang
membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkan bahayanya lalu dia
dilemparkan ke dalam jahannam.” (HR. Bukhari no. 6478)
إِنَّ
الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا
يَهْوِى بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya
ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak
dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke
neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan
barat.” (HR. Muslim no. 2988)
Imam
Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (18/117) tatkala menjelaskan
hadits ini mengatakan, “Ini semua merupakan dalil yang mendorong setiap
orang agar selalu menjaga lisannya sebagaimana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang
siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik
dan jika tidak maka diamlah.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47).
Oleh
karena itu, selayaknya setiap orang yang berbicara dengan suatu
perkataan atau kalimat, merenungkan apa yang akan ia ucap. Jika memang
ada manfaatnya, barulah ia berbicara. Jika tidak, hendaklah dia menahan
lisannya.”
Dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
“Tidak ada perkataan yang bersifat pertengahan antara bicara dan diam. Yang ada, suatu ucapan boleh jadi adalah kebaikan sehingga kita pun diperintahkan untuk mengatakannya. Boleh jadi suatu ucapan mengandung kejelekan sehingga kita diperintahkan untuk diam.”
Ibnu Mas’ud pernah berkata,
“Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Tidak ada di muka bumi yang lebih berhak untuk dipenjara dalam waktu yang lama daripada lisan.” (Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Ibnul Mubarok ditanya mengenai nasehat Luqman pada anaknya, lantas beliau berkata,
“Jika berkata (dalam kebaikan) adalah perak, maka diam (dari berkata yang mengandung maksiat) adalah emas.” (Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Diam itu lebih baik daripada berbicara sia-sia bahkan mencela atau mencemooh yang mengandung maksiat.
Itulah
manusia, ia menganggap perkataannya tidak berdampak apa-apa, namun di
sisi Allah bisa jadi perkara besar. Allah Ta’ala berfirman,
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ
“Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An Nur: 15).
Dalam Tafsir Al Jalalain
dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap perkara ini ringan. Namun,
di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah besar.