Diriwayatkan oleh ibnu Abi Hatim
dari Abu Umamah radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda:
"Jauhilah
sifat zhalim, karena pada hari kiamat nanti sungguh Allah akan berfrman, 'Demi
keagungan dan kebesaran-Ku! Pada hari ini Aku tidak membolehkan diri-Ku berlaku
zhalim.' Kemudian Malaikat penyeru berseru, 'Kemana fulan bin fulan?' Maka si
fulan itupun datang dengan di iringi oleh amal kebaikan sebesar gunung. Saat
itu, semua orang terpaku memandang kebaikan sebesar gunung itu. Si fulan pun
berdiri dihadapan Allah Yang Maha Pengasih. Selanjutnya Allah memerintahkan
malaikat tadi untuk menyerukan tentang sesuatu. Ia pun berseru, 'Siapa yang
diantara kalian yang pernah dizhalimi oleh fulan bin fulan ini diharap maju kedepan?'
Maka secara serempak sekelompok orang menghadap kedepan seraya berdiri
dihadapan Allah. Allah berfirman (kepada malaikat), 'Hukum dan putuskan perkara
hamba-Ku ini.'Mereka berkata, 'Bagaimana cara kami menghukumnya?" Allah
berfirman, 'Ambil oleh kalian dari amal-amal kebajikannya.' Maka merekapun
mengambil amal baiknya (sesuai kadar kezhalimannya terhadap mereka), hingga
tidak ada satupun pahala amal kebajikan yang tersisa. Ternyata hak-hak orang
yang dizhalimi masih ada padanya, maka Allah berfirman, 'Putuskan perkara
hamba-Ku ini.' Mereka menjawab, 'Kebaikannya sudah tidak tersisa lagi!' Allah
Ta'ala berfirman, 'Ambillah kejelekan-kejelekan orang yang pernah dizhalimi dan
suruh orang ini menanggungnnya.'"
Kemudian
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam mengakhiri sabdanya dengan membaca
ayat, "Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan
beban-beban (dosa yang lain) disamping beban-beban mereka sendiri, sesungguhnya
mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka
ada-adakan."(Qs. Al-'Ankabuut : 13).
[Ad-Durrul
Mantsuur (V/272)].
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda:
"Sungguh
seorang laki-laki akan datang pada hari kiamat nanti dengan membawa amal
kebaikan sebesar gunung. Namun ia telah menzhalimi orang lain, mengambil harta
orang lain, melukai kehormatan orang lain. Maka orang-orang yang pernah
dizhalimi olehnya, satu persatu mengambil kebaikan orang tadi. Bila amal
kebaikannya sudah tidak tersisa lagi, maka mereka mengambil kejelekan-kejelekan
mereka untuk diberikan / dibebankan kepada laki-laki tadi." [HR. Muslim
no. 2581].
Rasul
yang mulia Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Sesungguhnya
seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah ridhai dalam keadaan tidak
terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata
tersebut berakibat sesuatu, ternyata dengan kata tersebut Allah mengangkatnya
beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah
murkai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang
akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu ternyata
karenanya Allah melemparkannya ke dalam neraka Jahannam." [HR. Al-Bukhari
no. 6478].
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah mengingatkan dalam sabdanya: “Seorang muslim
adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.”
[HR. Al-Bukhari no. 6484 dan Muslim no. 161]
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menerangkan, “Kaum muslimin
selamat dari lisannya di mana ia tidak mencela mereka, tidak melaknat mereka,
tidak mengghibah dan menyebarkan namimah di antara mereka, tidak menyebarkan
satu macam kejelekan dan kerusakan di antara mereka. Ia benar-benar menahan
lisannya. Menahan lisan ini termasuk perkara yang paling berat dan paling sulit
bagi seseorang. Sebaliknya, begitu gampangnya seseorang melepas lisannya.”
Beliau
rahimahullahu juga menyatakan, “Lisan termasuk anggota tubuh yang paling besar
bahayanya bagi seseorang. Karena itulah, bila seseorang berada di pagi harinya
maka anggota tubuhnya yang lain, dua tangan, dua kaki, dua mata dan seluruh
anggota yang lain mengingkari lisan. Demikian pula kemaluan, karena pada
kemaluan ada syahwat nikah dan pada lisan ada syahwat kalam (berbicara).
Sedikit
orang yang selamat dari dua syahwat ini. Seorang muslim adalah orang yang kaum
muslimin selamat dari lisannya, yakni ia menahan lisannya dari mereka. Tidak
menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Ia tidak mencaci, tidak mengghibah,
tidak berbuat namimah dan tidak menebarkan permusuhan di antara manusia. Dia
adalah orang yang memberikan rasa aman kepada orang lain. Bila ia mendengar
kejelekan, ia menjaga lisannya. Tidak seperti yang dilakukan sebagian manusia –wal
‘iyadzubillah– bila mendengar kejelekan saudaranya sesama muslim, ia melonjak
kegirangan kemudian ia menyebarkan kejelekan itu di negerinya. Orang seperti
ini bukanlah seorang muslim (yang sempurna imannya).”
[Syarh
Riyadhish Shalihin, 1/764].
Diriwayatkan,
Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Aku
sering bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan. Suatu hari
ketika kami sedang dalam perjalanan, aku berjalan berdekatan dengan
Rasulullah.” Aku berkata kepadanya: “Wahai rasulullah, beritahukan kepadaku
tentang suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku
dari neraka!” Beliau menjawab: “Kamu telah menanyakan perkara yang besar.
Sesungguhnya ia sangat mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah. Sembahlah
Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat, puasalah dibulan Ramadhan dan tunaikan haji!”
Kemudian
beliau berkata, “Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa itu
perisai, shadaqah itu akan menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api,
shalatnya seseorang pada tengah malam, beliau membaca ayat, “Lambung mereka
jauh dari tempat tidurnya” (as-Sajdah 16) hingga firman Allah, “sebagai balasan
bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (as-Sajdah 17) Beliau melanjutkan
sabdanya: “Maukah kamu aku tunjukkan pokok dan inti perkara (agama ini)? Ia
adalah Jihad.” Rasulullah bersabda lagi: “Maukah kamu aku tunjukkan perkara
yang dapat mempermudah kamu untuk melakukan itu semua?” aku menjawab: “Ya.” Beliau
mengeluarkan lidahnya lalu berkata: “Jagalah ini!” Aku berkata: “Wahai
Nabi Allah! Apakah kami akan di siksa karena apa yang kami bicarakan?"
Beliau menjawab: “Celakalah engkau wahai Mu’adz! Tidak ada yang melemparkan
manusai ke neraka kecuali hasil yang dipetik dari lidah mereka.”
[HR.
Ibnu Majah dalam al-Fitan hadits (3973) dengan lafazzh beliau, dan diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi dalam al-Iman hadits (2616)]
Mutiara Nasehat
Luqman
berkata kepada anaknya, “Wahai anakku apabila manusia berbangga dengan ucapan-ucapan
mereka, maka berbanggalah engkau dengan berdiam diri (membiarkan lisan tidak
berbicara kecuali kebaikan), lisan berkata setiap pagi dan petang kepada
anggota tubuh lainnya: Bagaimana keadaan kalian? Maka mereka menjawab, “kami
senantiasa dalam kebaikan jika engkau meninggalkan kami”.
Dikatakan
kepada al-Hasan al-Bashri rahimahullah: "Sesungguhnya Fulan telah
mengghibahmu (menggunjing)." Maka beliaupun memberikan hadiah kepada yang
menggunjing beliau semangkuk ruthab (kurma segar), kemudian laki-laki itu
datang dan berkata kepada beliau: 'Aku telah menggunjingmu, tapi engkau malah
memberi hadiah kepadaku?' Maka al-Hasan berkata: 'Engkau telah menghadiahiku,
maka aku ingin membalasnya.'" [Al-'Arba'uuna Haditsan fii al-Akhlaq hal
137-138]
Imam
al-Auza’i rahimahullah berkata : "Barangsiapa banyak mengingat mati, dia
akan merasa cukup dengan yang sedikit. Barangsiapa tahu bahwa perkataannya
adalah termasuk dari perbuatannya, maka dia akan sedikit bicaranya."
Ibnul
Qayyim rahimahullah pernah berkata, “Sungguh aneh! Seorang manusia bisa
mengendalikan dirinya dari berbagai perkara yang diharamkan, akan tetapi amat
berat baginya mengendalikan ucapan lisannya. Anda melihat seorang yang
dipandang alim agamanya, zuhud terhadap dunia dan ahli beribadah, namun ia
berbicara dengan kata-kata yang tanpa disadarinya mendatangkan kemurkaan Allah
Subhanahu Wata'ala dan menyebabkan ia tergelincir ke dalam neraka sejauh jarak
antara timur dan barat.”
Salah
seorang ahli hikmah berwasiat kepada salah seorang anaknya. Ia berkata, “Wahai
anakku! Jagalah ucapanmu! Sesungguhnya diantara perkataan itu ada yang lebih
tajam daripada sabetan pedang, lebih berat daripada batu besar, lebih pahit
daripada empedu dan lebih dalam menusuk hati daripada tusukan jarum yang sangat
halus sekalipun.”
Al-Hafizh
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam
(1/339-340) menukilkan ucapan tiga sahabat yang mulia berikut ini:
‘Umar
ibnul Khaththab radhiyallhu ‘anhu berkata, “Siapa yang banyak bicaranya akan
banyak jatuhnya (dalam kesalahan). Siapa yang banyak jatuhnya, akan banyak
dosanya. Dan siapa yang banyak dosanya niscaya neraka lebih pantas baginya.”
Abu
Bakar Ash-Shiddiq radhiyallhu ‘anhu memegang lisannya dan berkata, “Ini yang
akan mengantarkan aku ke neraka.”
Ibnu
Mas’ud radhiyallhu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang
patut diibadahi kecuali Dia! Tidak ada di muka bumi ini yang lebih pantas untuk
dipenjara dalam waktu yang panjang daripada lisan.”
Ibnu
Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Jauhilah oleh kalian berlebihan dalam
berbicara, cukup bagi seseorang umtuk berbicara seperlunya.” [Jami’ al - ‘Ulum
wa al-Hikam, Ibnu Rajab al-Hambali hal 134]
Beliau
berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, berleluasalah di rumahmu dan jagalah
lisanmu serta menangislah mengingat dosamu!” [Az-Zuhd, Imam Ahmad hal. 134]
Beliau
juga berkata: “Demi Allah, Dzat yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah
kecuali Dia! Tidak sesuatu pun di dunia ini yang lebih berhak untuk ditahan
dalam waktu yang lama daripada lidah.” [Az-Zuhd, Imam Ahmad hal. 227]
Malik
bin Anas mencela orang yang banyak bicara dengan mengatakan: “(Banyak
berbicara) hanyalah kebiasaan wanita dan orang lemah.” [Al-Adab Asy-Syar’iyyah
, Ibnu Muflih 1/66]
Atha’
berkata: “Kaum salaf membenci sikap berlebihan dalam berbicara. Mereka
menganggap selain membaca al-Qur’an, beramar ma’ruf nahi munkar, atau berbicara
tentang kehidupan yang harus dibicarakan sebagai sikap berlebihan dalam
berbicara.” [Al-Adab Asy-Syar’iyyah , Ibnu Muflih 1/62]
Al-Qaim
bin Muhammad Rahimahullah berkata: “Aku telah bertemu dengan orang-orang yang
tidak suka bicara tetapi mereka suka beramal.” [Bahjat al Mujalis, Ibnu Abd
al-Barr 2/343]
Orang-orang
bijak mengatakan: “Apabila akal seseorang telah sempurna maka akan berkurang
bicaranya.” [Bahjat al Mujalis, Ibnu Abd al-Barr 1/87]
Sufyan
ats-Atsauri Rahimahullah berkata: “Ibadah yang pertama kali adalah diam,
kemudian menuntut ilmu, mengamalkan, menghafal dan menyampaikannya.” [Raudhat
al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43]
Abu
Hatim Muhammad bin Hibban Rahimahullah berkata: “Yang harus dilakukan bagi
orang yang berakal adalah diam sampai ada hal yang harus dibicarakan. Betapa
banyak orang yang menyesal ketika berbicara, dan betapa sedikit orang yang
menyesal ketika diam. Orang yang paling lama kesedihannya dan orang yang paling
besar ujiannya, adalah orang yang diuji dengan lisan yang banyak bicara dan
kurang bermanfaat.” [Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban hal.
43]
"Jika
engkau menyukai sikap diam, Sesungguhnya orang-orang mulia sebelum kamu telah
menyukainya. Jika kamu menyesal satu kali karena diam Sesungguhnya kamu akan
menyesal berulangkali karena berbicara." [Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat
al-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43]
Abu
Hatim bin Hibban Rahimahullah berkata: “Diantara kesalahan paling besar yang
dapat merusak kesehatan jiwa dan merusak kebagusan hati, adalah banyak bicara
walaupun perkataaan tersebut boleh dibicarakan. Seseorang tidak akan bisa
memiliki sifat diam kecuali dengan meninggalkan perkataan yang boleh untuk
dibicarakan.” [Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat al-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 48]
Abu
adz-Dziyal berkata Rahimahullah berkata: “Belajarlah diam sebagaimana kamu
belajar berbicara! Jika bicara itu memberikan petunjuk kepadamu sesungguhnya
diam itu menjaga dirimu. Dalam diam kamu mendapatkan dua hal, yaitu dengan diam
kamu dapat mengambil ilmu dari orang yang lebih tahu dari pada kamu, dan dengan
diam kamu dapat menolak kebodohan orang yang lebih bodoh daripada kamu.” [Jami’
al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Abd al-Barr 167]
"Orang
diam itu tidak tercela Tidak ada orang yang banyak bicara kecuali akan
terpeleset Dan tidak akan dicela orang yang diam. Jika berbicara itu adalah
perak Maka diam adalah emas yang dihiasi dengan mutiara." [Raudhat
al-‘Uqala’ wa nazhat al-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 48]
Berkata
al-Imam Ibnu Hibbbaan: “Suatu hal yang wajib dilakukan oleh orang yang memiliki
akal sehat bahwa ia lebih banyak mempergunakan telinganya dari pada mulutnya,
untuk ia ketahui kenapa dijadikan untuknya dua buah telinga satu buah
mulut,supaya ia lebih banyak mendengar dari pada berbicara..
Karena
apabila berbicara ia akan menyesalinya, tapi bila ia diam ia tidak akan
menyesal, sebab menarik apa yang belum diucapkannya lebih mudah dari pada
menarik perkataan yang telah diucapkannya..
Perkataan
yang telah diucapkannya akan mengikutinya selalu, sedangkan perkataan yang
belum diucapkannya, (maka) ia mampu mengendalikannya..” [Raudhatul 'uqalaa'
halaman (47)]
Beliau
juga berkata: Orang yang berakal sehat lidahnya dibelakang hatinya, apabila ia
ingin berbicara, ia kembalikan kepada hatinya, jika hal itu baik untuknya baru
ia bicara, jikalau tidak maka ia tidak bicara. (Sedangkan) Orang yang dungu,
hatinya dipenghujung lidahnya, apa saja yang lewat diatas lidahnya ia ucapkan,
tidaklah paham tentang agama orang yang tidak bisa menjaga lidahnya. [Raudhatul
'uqalaa' halaman (47)]
Kemudian
Ibnu Rajab menukil sebuah perkataan dari Yunus bin Ubaid, “Sesungguhnya ia
berkata: "‘Tidak seorangpun yang aku lihat yang lidahnya selalu dalam
ingatannya, melainkan hal tersebut berpengaruh baik terhadap seluruh
aktivitasnya’.”
Abu
Darda’ Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Lebih berlaku adillah terhadap telingamu
dari pada lidahmu! Karena tidaklah diciptakan telinga itu dua kecuali agar kamu
lebih banyak mendengar dari pada berbicara.” [Mukhtashar Minhaj al-Qashidin,
Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi]
Berkata
al-Imam Ibnu Rajab: “Barangsiapa yang menabur kebaikan baik berupa perkataan
ataupun perbuatan ia akan menuai kemulian, sebaliknya barangsiapa yang menabur
kejelekkan baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia akan menuai penyesalan.”
[Jami'ul 'Ulum wal Hikam (2/147)]
____________
Maraji':
Shahih Tafsir Ibnu Katsir
Artikel: http://faisalchoir.blogspot.com
____________
Maraji':
Shahih Tafsir Ibnu Katsir
Artikel: http://faisalchoir.blogspot.com