WALA' WAL BARA' DAN SOLIDARITAS YANG TIDAK TEPAT *)
Ole:Ustadz Abu ‘Ashim bin Musthofa
Ada tudingan miring kepada Salafiyyin, orang-orang yang mengikuti manhaj
Salaf, bahwa mereka tidak peduli terhadap kondisi kaum Muslimin yang
dipecundangi musuh, cenderung anti jihad dan terkesan menggembosi. Hanya
berkutat dengan Al Qur'an, Hadits, hukum-hukum dan caci maki terhadap
golongan-golongan kaum pergerakan. Tak peduli terhadap perjuangan kaum
Muslimin, bahkan memojokkannya.
Untuk menguji tudingan itu, perlu kajian mendalam berkaitan dengan salah
satu sisi penting penerapan wala' wal bara'. Sebab pemahaman wala' wal
bara' secara salah bisa melahirkan tindakan fatal. Kesetiakawanan
diberikan secara membabi buta. Dan permusuhanpun dilakukan secara
brutal. Tak heran, kalau kemudian sebagian kaum muslimin terburu-buru
membuat kesimpulan, misalnya ajakan memboikot produk-produk Amerika.
Padahal antara produk dengan orang yang memproduksi tidak mesti
mempunyai konsekuensi hukum yang sama. Mestinya ada pemilahan
berdasarkan petunjuk syari'at. Tidak itu saja, bahkan sampai
menghalalkan tindakan anarkis. Na'udzubillah.
Sebagai prolog, perlu diingat sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Shahih Muslim.
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ : مَنْ
كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ ِممَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَيُحِبُّهُ إِلاَّ للهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ
يَعُوْدَ فِى الْكُفْرِ بَعْدَ أنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ
أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. (رواه البخاري/ كتاب الإيمان- باب حلاوة
الإيمان – رقم : 16 –الفتح 1/60 ؛ ومسلم/ كتاب الإيمان- باب بيان خصال من
اتصف بهن وجد حلاوة الإيمان - شرح النووى بتحقيق وتخريج خليل مأمون شيحا
1/204 رقم : 163)
Ada tiga perkara, yang apabila ketiganya ada pada diri seseorang, maka
ia akan mendapatkan rasa manisnya iman. Yaitu: apabila Allah dan
RasulNya lebih ia cintai daripada yang selain keduanya, apabila ia
menyintai seseorang, namun ia tidak menyintainya kecuali karena Allah.
Dan apabila ia membenci untuk kembali ke dalam kekafiran sesudah Allah
menyelamatkannya dari kekafiran itu, seperti halnya ia membenci jika ia
dilemparkan ke dalam api. [HR Bukhari dan Muslim] [1]
Hadits ini menunjukan, rasa manisnya iman akan diperoleh apabila: Allah
dan RasulNya adalah yang paling dicintai daripada selainnya. Seseorang
dicintai hanya karena Allah. Dan sangat tidak menyukai jika kembali ke
dalam kekafiran.
Dari sini dapat difahami, penerapan wala' wal bara' semakin sempurna,
manakala ukuran dan standarnya hanyalah semata-mata karena Allah, sesuai
dengan ketetapan-ketetapan serta adab-adab yang digariskan oleh Allah
dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan mengikuti pemahaman
dan manhaj Salaf.
SISI PENTING YANG TERABAIKAN
Adalah hal yang tidak dapat dipungkiri, diantara kewajiban muslim adalah
memberikan wala', loyalitas, kesetiakawanan dan solidaritas kepada
sesama muslim serta memusuhi musuh umat Islam. Sebab, itulah salah satu
prinsip ajaran aqidah Islam. Maka seorang muslim wajib mencintai serta
memiliki loyalitas kepada orang-orang yang bertauhid dan ikhlas dalam
beribadah kepada Allah. Sebaliknya, seorang muslim juga wajib membenci
dan memusuhi Ahli Syirik. Prinsip ini merupakan millah (agama) Nabi
Ibrahim serta nabi-nabi lainnya 'alaihimush shalatu was salam yang kita
diperintahkan untuk mengikutinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ
مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا
تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا
وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا
بِاللهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dia (para nabi lain, Pen); ketika mereka
berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada
kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkari kamu,
dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat
selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. [Al Mumtahanah:4]
Demikian ini juga merupakan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
َياأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi walimu (orang yang kamu kasihi/dukung);
sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zhalim. [Al Ma'idah:51].
Ayat di atas, secara khusus merupakan pengharaman untuk memberikan
loyalitas kepada Ahlul Kitab; Yahudi dan Nasrani. Sementara, berkaitan
dengan haramnya menjalin kasih sayang dan memberikan loyalitas kepada
orang kafir secara umum, tertuang dalam firman Allah seperti berikut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَآءَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu sebagai wali (teman-teman setia). [Al Mumtahanah:1].
Bahkan sekalipun orang kafir itu adalah kerabat dekat, haram pula ber-wala' kepada mereka. FirmanNya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّخِذُوا ءَابَآءَكُمْ
وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَآءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى
اْلإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak kamu
dan saudara-saudara kamu menjadi wali(mu) jika mereka lebih
mengutamakan kekafiran daripada keimanan. Dan siapa diantara kamu yang
menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. [At
Taubah:23].
Dan ayat-ayat lain yang senada. [2].
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengatakan: Seperti halnya Allah
mengharamkan kaum Mu'minin memberikan kesetiakawanan kepada orang-orang
kafir, musuh-musuh Islam; maka sebaliknya, Allah memerintahkan supaya
seorang muslim memberikan loyalitas, kecintaan dan kesetiakawanan kepada
kaum Mu'minin. Misalnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ
يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ وَمَن
يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ
هُمُ الْغَالِبُونَ
Sesungguhnya wali (pelindung dan penolong) kamu adalah Allah, RasulNya
dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat, membayarkan zakat
seraya mereka tunduk (ruku') kepada Allah. Dan barangsiapa yang
menjadikan Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman sebagai wali
(penolong dan pelindung)nya, maka sesungguhnya pengikut agama Allah
itulah yang pasti menang. [Al Ma'idah:55, 56].
Begitu pula firman Allah:
مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ
Muhammad adalah Rasul Allah. Dan orang-orang yang bersamanya bersikap
keras terhadap orang-orang kafir, namun saling berkasih-sayang diantara
sesama mereka. [Al Fath : 29].
Dan ayat-ayat senada lainnya.
Jadi kaum Mu'minin adalah bersaudara, persaudaraan seagama dan seakidah,
meskipun berlainan keturunan, berjauhan negeri dan berjauhan zaman. [3]
Namun bagaimanakah semestinya al wala' wal bara' diterapkan? Sebelum
membahas secara ringkas bagaimana wala' kepada kaum Mu'minin, terlebih
dahulu akan dibahas tentang bentuk wala' kepada orang-orang kafir,
supaya kaum muslimin berhati-hati. Meskipun hanya sebagian kecil yang
akan dibahas, namun banyak dilakukan kaum Muslimin.
Tidak sedikit umat Islam yang terlibat dalam dunia pergerakan, dengan
semangatnya menuntut orang lain supaya memusuhi dan bara' kepada orang
kafir; tetapi tanpa disadari, dalam banyak hal, justeru mereka terjebak
pada sikap loyal kepada orang-orang kafir atau kepada prinsip-prinsip
orang kafir.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjelaskan, diantara bentuk
loyalitas dan kecenderungan serta kecintaan kepada orang kafir adalah
bertasyabbuh (menyerupai) dengan mereka, baik dalam tata cara
berpakaian, berpenampilan, berkata dan lain sebagainya. Sebab
bertasyabbuh dengan mereka dalam hal berpakaian, berkata dan lain-lain
menunjukkan adanya kecintaan (kekaguman) dari pihak yang ber-tasyabuh
kepada yang diserupai (ditiru). Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (أخرجه أبو داود)
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk kelompok mereka (HSR Abu Dawud dan lain-lain). [4]
Oleh karenanya, haram hukumnya menyerupai orang-orang kafir dalam
hal-hal yang menjadi ciri khusus mereka, baik berkaitan dengan
kebiasaan, peribadatan, akhlak maupun budi pekerti. Misalnya memotong
jenggot, memanjangkan kumis, bercakap-cakap dengan bahasa orang kafir
kecuali jika dibutuhkan, gaya berpakaian, tata cara makan, minum dan
sebagainya. [5]
Hal senada juga dikemukakan oleh para ulama besar lainnya, misalnya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau mengatakan: "Mengikuti
penampilan lahiriyah, akan menimbulkan kesamaan dan kesesuaian antara
dua orang yang saling bertasyabbuh. Akhirnya akan membawa pada sikap
sepakat dalam akhlak dan perbuatan". [6]
Kenyataan yang banyak kita saksikan, diantara orang yang menyerukan anti
kekafiran dan membenci orang kafir, dalam banyak hal, justeru
terjerumus ke dalam tasyabbuh dengan orang-orang kafir, baik dalam
masalah keduniaan maupun dalam masalah keagamaan. Gaya hidup lahiriyah
misalnya, banyak dipicu oleh kekaguman akan kegagahan atau kemewahan
dunia Barat. Model perjuangan dengan unjuk rasa (demonstrasi),
perusakan-perusakan, amuk massa -asal berhadapan dengan aparat, maka
dianggap musuh- dan bahkan peledakan-peledakan. Adakah cara-cara
demikian dilakukan oleh pendahulu umat Islam? Pernahkah Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam memberikan tuntunan demikian? Itukah yang
dinasihatkan oleh para ulama Ahlu Sunnah? Bukankah cara-cara seperti itu
merupakan cara-cara latah belaka? Cara-cara yang sengaja atau tidak,
mengadopsi dari prinsip-prinsip diluar Islam, disebabkan oleh luapan
semangat atau amarah yang tidak terkendali sesuai aturan syari'at? Di
sini, loyalitas dan permusuhan; wala' wal bara' menjadi tidak jelas dan
kabur.
Nash-nash Al Qur'an maupun Hadits telah memberitakan adanya kenyataan,
bahwa ada sebagian umat ini yang akan bertasyabbuh dan mengikuti tata
cara umat sebelumnya. Berita nyata ini berfungsi sebagai peringatan
kepada umat, supaya berhati-hati, jangan sampai meniru-niru orang kafir,
baik Ahlul Kitab maupun lainnya; bukan sebagai pembenar untuk
menghalalkan tasyabbuh dengan mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, misalnya, membawakan ayat
tentang adanya tasyabbuh sebagian umat Islam dengan Ahlul Kitab dalam
hal keduniaan maupun keagamaan, dengan membawakan dalil dari surat At
Taubah yang menceritakan keadaan golongan kaum munafik. Penggalan ayat
tersebut adalah sebagai berikut.
كَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ
أَمْوَالاً وَأَوْلاَدًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلاَقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُم
بِخَلاَقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِن قَبْلِكُم بِخَلاَقِهِمْ
وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا
(Keadaan kamu hai orang-orang munafik adalah) seperti keadaan
orang-orang yang sebelum kamu. Mereka lebih kuat daripada kamu, dan
lebih banyak harta benda serta anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka
telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagianmu
sebagaimana orang-orang yang sebelummu telah menikmati bagiannya. Dan
kamu mempercakapkan hal-hal bathil sebagaimana mereka mempercakapkannya.
[At Taubah:69].
Secara garis besar, Syaikhul Islam menjelaskan, bahwa sebagian umat
Islam ini bersenang-senang menikmati dunia sebagiaman halnya kaum Bani
Israil. Disamping itu, sebagian umat inipun terlibat dalam membuat
kebatilan sebagaimana dahulu Bani Israil.
Bersenang-senangnya sebagian umat ini dalam urusan dunia, merupakan
isyarat bahwa mereka suka mengikuti nafsu syahwat. Sedangkan
keterlibatan mereka dalam mengada-adakan kebatilan merupakan isyarat
bahwa mereka mengikuti syubhat-syubhat (yaitu perkara-perkara yang
menjadikan terjungkirnya cara pandang dan keyakinan). Hal itu persis
seperti yang dilakukan oleh Bani Israil. [7]
Sebagai kesimpulannya, bara', berarti memberikan permusuhan dan berlepas
diri dari orang kafir meliputi sikap tidak bertasyabbuh dengan mereka
dalam segala hal.
WALA' KEPADA KAUM MU'MININ
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan dalam Majmu' Fatawa : Wajib
bagi mu'min (bila memberikan permusuhan), hendaknya memberikan
permusuhan karena Allah. Dan (bila memberikan loyalitas, Pen) hendaknya
memberikan loyalitas karena Allah. Apabila terdapat seorang mu'min lain,
maka mu'min pertama wajib memberikan kasih-sayang dan loyalitas kepada
mu'min lain itu, meskipun ia menzhaliminya. Sebab kezhaliman semacam itu
tidak memutuskan tali loyalitas imaniyah (keimanan). Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا – الآية -إلى قوله تعالى- إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min saling berperang, maka
damaikanlah diantara keduanya …-sampai dengan firman Allah Ta'ala-
(artinya): Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara. [Al
Hujurat:9,10].
Pada ayat itu Allah menjadikan kaum mu'minin tersebut bersaudara,
meskipun ada peperangan dan tindakan melampaui batas. Sekaligus Allah
memerintahkan agar mereka bisa berdamai kembali. Maka seorang mu'min
hendaknya merenungkan adanya perbedaan antara dua macam keadaan ini
(keadaan persaudaraan di satu sisi dan keadaan peperangan di sisi lain,
Pen). Sebab, seringkali satu sama lain menjadi tidak jelas.
Hendaknya Anda memahami, bahwa Anda wajib memberikan kasih-sayang,
pembelaan dan loyalitas kepada orang mu'min, meskipun ia mezhalimi dan
memusuhi Anda. Sebaliknya, Anda wajib memusuhi orang kafir, sekalipun ia
suka memberi dan berbuat baik kepada Anda. Sesungguhnya, Allah l
mengutus rasul-rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya dengan maksud,
supaya agama menjadi agama Allah semuanya (maksudnya supaya tidak ada
agama lain selain agama Allah, Pen). Sehingga kecintaan hanya diberikan
kepada wali-wali (orang-orang yang dicintai)Nya, dan siksa diberikan
kepada musuh-musuhNya.
Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya: Apabila pada diri satu orang
terdapat kebaikan dan keburukan, kejahatan, ketaatan dan kemaksiatan,
serta terdapat sunnah dan bid'ah, maka ia berhak mendapat kasih-sayang
dan pahala sesuai dengan ukuran kebaikannya. Namun sekaligus berhak
mendapat permusuhan dan siksa sesuai dengan ukuran keburukannya.
Jadi, bisa saja pada diri satu orang terdapat hal-hal yang menyebabkan
ia harus mendapat penghormatan dan sekaligus penghinaan. Sebagai contoh,
seorang pencuri yang miskin. Di satu sisi ia dipotong tangannya, namun
pada sisi lain ia mendapat santunan dari Baitul Mal sesuai dengan
kebutuhan yang dapat mencukupinya. Inilah prinsip yang telah menjadi
kesepakatan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. [8]
Apa yang dikemukakan Syaikhul Islam di atas memberikan pengertian bahwa
wala' kepada sesama muslim tidak berarti harus total, mutlak dan
habis-habisan. Harus dilihat sejauh mana kadar keimanan seseorang dan
kadar kebaikannya. Ini persoalan yang sangat logis dan tidak
bertentangan dengan fitrah. Dan memang, demikian itulah tuntunan
syari'at. Orang fasik dibenci sesuai dengan kefasikannya. Begitu pula
Ahlu Bid'ah. Tidak ada wala' kepada Ahlu Bid'ah, kecuali karena ia masih
sebagai muslim. Bahkan permusuhan kepada Ahlu Bid'ah akan lebih sengit
daripada kepada ahli maksiat yang bukan Ahli Bid'ah.
Itulah sebabnya Syaikhul Islam menjelaskan: Ini merupakan alasan hakiki
bagi apa yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf dan para imam, bahwa
"para juru dakwah bid'ah yang mendakwahkan bid'ah-bid'ahnya, tidak
diterima kesaksiannya, tidak boleh berma'mum kepada mereka dalam shalat,
tidak boleh mengambil ilmu dari mereka, dan tidak boleh menikahkan
dengan mereka.
Demikian ini dilakukan sebagai hukuman bagi mereka supaya berhenti dari
kegiatan menyebarkan bid'ah. Karena itu, ada pembedaan antara Ahlu
Bid'ah yang da'i dengan yang bukan da'i. Sebab Ahlu Bid'ah yang da'i,
memunculkan kemungkaran-kemungkaran. Karenanya perlu mendapat hukuman.
Berbeda dengan orang yang menyembunyikan bid'ahnya, ia tidak lebih buruk
dari orang-orang munafik, yang oleh Nabi n tetap diterima keadaan
lahiriah mereka, sedangkan rahasia batin mereka diserahkan kepada Allah.
Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui keadan kebanyakan
para munafik itu.
Oleh sebab itulah, ada hadits yang menjelaskan, bila kemaksiatan masih
tersembunyi, ia tidak akan membahayakan pihak lain. Akan tetapi, bila
(kemaksiatan) sudah disebar luaskan kemudian tidak diingkari, maka akan
membahayakan masyarakat umum. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
إِنَّ الَّناسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغَيِّرُوْهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ (رواه أحمد)
Sesungguhnya manusia bila melihat kemungkaran tetapi tidak mau
merubahnya, maka sudah dekat saatnya Allah akan menimpakan hukuman siksa
secara merata. [HR. Ahmad, lihat Shahih Jami’ Shagir no. 1974] [9].
Manakah ada kemungkaran yang lebih besar daripada bid'ah kecuali syirik?
Namun dalam kaitannya dengan hajr (tindakan isolasi) terhadap Ahlu
Bid'ah atau orang-orang fasik, tetap harus melihat maslahat dan
mafsadat. Jika dengan tindakan mengisolasi Ahlu Bid'ah berakibat
maslahat, misalnya kegiatan bid'ah jadi melemah, maka tindakan itu
disyari'atkan. Tetapi jika tidak membawa maslahat, maka tindakan itu
tidak disyari'atkan. Seperti yang diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah pada Majmu' Fatawa, juz 28 halaman 206 dan
seterusnya.
Kesimpulannya, meski seseorang adalah seorang muslim, namun jika
tindakannya menyimpang dari aturan syari'at, atau Ahlu Bid'ah, apalagi
menyebar luaskan bid'ah, atau mengajarkan faham-faham yang salah,
walaupun mengatas-namakan dakwah dan perjuangan, tetap tidak berhak
mendapatkan kasih-sayang, pembelaan, dukungan dan loyalitas yang
diharapkan. Bahkan perlu ditentang. Yang berhak mendapat pembelaan,
kasih-sayang serta loyalitas yang sempurna adalah Ahlu Sunnah Wal
Jama'ah, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Musa Aal Nasr,
ketika beliau memberikan keterangan tentang cara meraih kemenangan.
Beliau berkata,”Harus memberikan wala'; kasih-sayang, pembelaan,
kesetiakawanan dan kecintaan kepada Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, serta
memberikan permusuhan kepada para pengikut hawa nafsu dan Ahli Bid'ah."
[10]
Demikianlah sekelumit permasalahan wala' wal bara' dan solidaritas
dengan sesama kaum Muslimin. Bila kaum Muslimin kembali kepada ajaran Al
Qur'an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, niscaya
hubungan akan harmonis dan indah. Kapankah itu terwujud?
Wallahu al Musta'an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[*] Wala' berarti kecintaan, kesetiakawanan, loyalitas dan ma'na senada
lainnya. Bara' berarti berlepas diri, memberikan permusuhan dan
memberikan kebencian.
[1]. Lihat Fathul Bari (I/60), no. 16 dan Syarh Nawawi, tahqiq dan
takhrij: Khalil Ma'mun Syiha (I/204) no. 163 Kitab Al Iman, Bab Bayan
Khishal Man Ittashafa Bihinna Wajada Halawah Al Iman.
[2]. Lihat hal ini, misalnya pada risalah kecil, karya Syaikh Shalih bin
Fauzan Al Fauzan berjudul Al Wala' Wal Bara' Fil Islam, Daar Al Wathan,
1411 H, hlm. 3, 4.
[3]. Lihat risalah kecil, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
berjudul Al Wala' Wal Bara' Fil Islam, Daar Al Wathan, 1411 H, hlm. 5,6
dengan bahasa bebas dan ringkas.
[4]. Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud. Syaikh Al Albani dalam
Shahih Sunan Abi Dawud mengatakan,”Hasan shahih.” (II/503-504), no.
4031. Begitu pula dalam Shahih Al Jami' Ash Shaghir, no.2.831 dan 6.149
[5]. Lihat risalah kecil, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
berjudul Al Wala' Wal Bara' Fil Islam, Daar Al Wathan, 1411 H, hlm. 7
[6]. Lihat Fathu Al Mu'in Fi At Ta'liq 'Ala Iqtidha' Ash Shirath Al
Mustaqim, ta'lif Syaikhul Islam Ibni Taimiyah, yang dita'liq (diberi
catatan keterangan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin t , dan
haditsnya ditakhrij oleh Mahmud bin Al Jamil, hlm. 34 dan seterusnya.
Penerbit Daar Al Jauzi, Cet. I-1423 H/2002 M.
[7]. Diambil kesimpulan secara garis besar dari Fathu Al Mu'in Fi At
Ta'liq 'Ala Iqtidha' Ash Shirath Al Mustaqim, ta'lif Syaikhul Islam Ibni
Taimiyah, yang dita'liq (diberi catatan keterangan) oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t , dan haditsnya ditakhrij oleh Mahmud
bin Al Jamil, hlm. 51-54. Penerbit Daar Al Jauzi, Cet. I-1423 H/2002 M.
Silahkan lihat.
[8]. Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, Juz 28 hlm. 208-210, dengan terjemah bebas dan ringkas.
[9]. Lihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, juz 28 hlm. 205 dan seterusnya. Diterjemahkan secara bebas dan ringkas].
[10]. Lihat Al Qaul Al Matin Fi 'Awamil An Nashri Wa At Tamkin, Syaikh Dr. Muhammad bin Musa Aal Nasr, hlm. 17-18
http://almanhaj.or.id/content/3006/slash/0/wala-wal-bara-dan-solidaritas-yang-tidak-tepat/