Oleh:Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Allah menciptakan makhlukNya dengan memberikan cobaan dan ujian, lalu
menuntut konsekwensi kesenangan, yaitu bersyukur; dan konsekwensi
kesusahan, yaitu sabar. Hal ini bisa terjadi dengan Allah membalikkan
berbagai keadaan manusia sehingga peribadahan manusia kepada Allah
menjadi jelas. Banyak dalil-dalil yang menunjukkan bahwa musibah,
penderitaan dan penyakit merupakan hal yang lazim bagi manusia. Dan
semua itu pasti menimpa mereka, untuk mewujudkan peribadahan kepada
Allah semata, serta untuk melihat siapa yang paling baik amalnya.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun"
[Al Mulk/67 : 2]
Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian; bahkan cobaan dan ujian
merupakan Sunnatullah dalam kehidupan. Manusia diuji dalam segala
sesuatu, baik dalam hal-hal yang disenangi maupun dalam hal yang dibenci
dan tidak disukai. Allah berfirman :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kami-lah kamu dikembalikan". [Al Anbiya`/21: 35].
Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata: “Kami akan menguji kalian dengan
kesulitan, kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran,
halal dan haram, ketaatan dan maksiat, petunjuk dan kesesatan”.[1]
Berbagai macam penyakit merupakan bagian dari cobaan Allah yang
diberikan kepada hambaNya. Sesungguhnya, cobaan-cobaan itu merupakan
Sunnatullah yang telah ditetapkan berdasarkan rahmat dan hikmahNya.
Ketahuilah, Allah tidak menetapkan sesuatu, baik berupa takdir kauni
(takdir yang pasti berlaku di alam semesta ini) atau syar’i, melainkan
di dalamnya terdapat hikmah yang amat besar, sehingga tidak mungkin bisa
dinalar oleh akal manusia. Berbagai cobaan, ujian, penderitaan,
penyakit dan kesulitan, semua itu mempunyai manfaat dan hikmah yang
sangat banyak.
Pada zaman sekarang, banyak penyakit yang menimpa manusia. Ada yang
sudah diketahui obatnya, dan ada pula yang belum diketahui obatnya. Hal
ini merupakan cobaan dari Allah, yang juga akibat dari perbuatan dosa
dan maksiat yang dilakukan manusia. Allah berfirman:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
"Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)". [Asy Syura/42 : 30].
Setiap penyakit pasti ada obatnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ماَ أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
"Allah tidak menurunkan penyakit, melainkan pasti menurunkan obatnya".[2]
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ, فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ
"Setiap penyakit ada obatnya. Jika suatu obat itu tepat (manjur) untuk suatu penyakit, maka akan sembuh dengan izin Allah". [3]
Seorang muslim, bila ditimpa penyakit, ia wajib berikhtiar mencari
obatnya dengan berusaha secara maksimal. Dalam usaha mengobati penyakit
yang dideritanya, maka wajib memperhatikan tiga hal.
Pertama : Bahwa obat dan dokter hanya sarana kesembuhan. Adapun yang benar-benar menyembuhkan penyakit hanyalah Allah.
Allah berfirman, mengisahkan Nabi Ibrahim Alaihissallam.
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
"..dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkanku". [Asy Syu’ara’/26: 80].
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ
وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَنْ
يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada
yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki
kebaikan bagimu, maka tidak ada yang dapat menolak karuniaNya. Dia
memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendakiNya diantara
hamba-hambaNya, dan Dia-lah Yang Maha pengampun lagi Maha penyayang".
[Yunus/10 : 107].
Kedua : Dalam berikhtiar atau berusaha mencari obat tersebut, tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang haram dan syirik.
Yang haram seperti berobat dengan menggunakan obat yang terlarang atau
barang-barang yang haram, karena Allah tidak menjadikan penyembuhan dari
barang yang haram.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ , فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
"Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan (obat) yang haram".[4]
إَنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ كُمْ فِي حَرَامٍ
"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan (dari penyakit) kalian pada apa-apa yang haram".[5]
Tidak boleh juga berobat dengan hal-hal yang syirik, seperti: pengobatan
alternatif dengan cara mendatangi dukun, tukang sihir, paranormal,
orang pintar, menggunakan jin, pengobatan dengan jarak jauh dan
sebagainya yang tidak sesuai dengan syari’at, sehingga dapat
mengakibatkan jatuh ke dalam perbuatan syirik dan dosa besar yang paling
besar. Orang yang datang ke dukun atau orang pintar, ia tidak akan
diterima shalatnya selama empatpuluh hari. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّا فًـا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ, لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
"Barangsiapa yang datang kepada dukun (orang pintar atau tukang ramal),
lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima
shalatnya selama empatpuluh malam".[6]
مَنْ أَتَى عَرَّا فًـا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ, فَقَد كَفَرَ بِمَا أُنزِلَ عَلى مُحَمَّدٍ
"Barangsiapa yang mendatangi orang pintar (tukang ramal atau dukun),
lalu ia membenarkan apa yang diucapkannya, maka sungguh ia telah kafir
dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad".[7]
Apabila seseorang terkena sihir, guna-guna, santet, kesurupan jin dan
lainnya atau penyakit menahun yang tak kunjung sembuh, maka sekali-kali
ia tidak boleh mendatangi dukun, tukang sihir atau paranormal. Perbuatan
tersebut merupakan dosa besar. Begitu pula, seseorang tidak boleh
bertanya kepada mereka tentang penyakit maupun tentang hal-hal yang
ghaib, karena tidak ada yang mengetahui perkara ghaib, melainkan hanya
Allah saja; bahkan Rasulullah pun tidak mengetahui perkara yang ghaib.
Allah berfirman:
"Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah
ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula)
aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti
kecuali apa yang diwahyukan kepadaku”. Katakanlah: “Apakah sama orang
yang buta dengan orang yang melihat?” Maka apakah kamu tidak
memikirkan(nya)?" [Al An’am : 50].
Ketiga : Pengobatan dengan apa yang ditunjukkan dan diajarkan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti ruqyah, yaitu membacakan
ayat-ayat Al Qur`an dan do’a-do’a yang shahih; begitu juga dengan madu,
habbatus sauda’(jintan hitam), air zam-zam, bekam (mengeluarkan darah
kotor dengan alat bekam), dan lainnya. Pengobatan dan penyembuhan yang
paling baik itu dengan ayat-ayat Al Qur`an, karena Al Qur`an merupakan
petunjuk bagi manusia, penyembuh dan rahmat bagi kaum mukminin.
Tidak diragukan lagi, bahwa penyembuhan dengan Al Qur`an dan dengan apa
yang diajarkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa ruqyah,
merupakan penyembuhan yang bermanfaat, sekaligus penawar yang sempurna.
Allah berfirman:
"Katakanlah: “Al Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman". [Fushshilat:44].
"Dan kami turunkan dari Al Qur`an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman". [Al Isra` : 82].
Pengertian “dari Al Qur`an” pada ayat di atas ialah Al Qur`an itu
sendiri. Karena Al Qur`an secara keseluruhan ialah sebagai penyembuh,
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas.[9]
Allah berfirman:
"Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran
dari Rabb kalian, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada)
dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman".
[Yunus : 57].
Dengan demikian, Al Qur`an merupakan penyembuh yang sempurna diantara
seluruh obat hati dan juga obat fisik, sekaligus sebagai obat bagi
seluruh penyakit dunia dan akhirat. Tidak setiap orang mampu dan
mempunyai kemampuan untuk melakukan penyembuhan dengan Al Qur`an. Jika
pengobatan dan penyembuhan itu dilakukan secara baik terhadap penyakit,
dengan didasari kepercayaan dan keimanan, penerimaan yang penuh,
keyakinan yang pasti, terpenuhi syarat-syaratnya, maka tidak ada satu
penyakitpun yang mampu melawannya untuk selamanya. Bagaimana mungkin
penyakit-penyakit itu akan menentang dan melawan firman-firman Rabb bumi
dan langit, yang jika firman-firman itu turun ke gunung, maka ia akan
memporak-porandakan gunung-gunung tersebut? Atau jika turun ke bumi,
niscaya ia akan membelahnya? Oleh karena itu, tidak ada satu penyakit
hati dan juga penyakit fisik pun melainkan di dalam Al Qur`an terdapat
jalan penyembuhannya, penyebabnya, serta pencegah terhadapnya bagi orang
yang dikaruniai pemahaman oleh Allah terhadap KitabNya. Allah ‘Azza wa
Jalla (Yang Maha perkasa lagi Maha agung) telah menyebutkan di dalam Al
Qur`an beberapa penyakit hati dan fisik, juga disertai penyebutan
penyembuhan hati dan fisik.
Penyakit hati terdiri dari dua macam, yaitu: penyakit syubhat
(kesamaran) atau ragu dan penyakit syahwat atau hawa nafsu. Allah Yang
Maha suci telah menyebutkan beberapa penyakit hati secara terperinci
disertai dengan beberapa sebab, sekaligus cara menyembuhkan
penyakit-penyakit tersebut.[10]
Allah berfirman:
"Dan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasanya Kami telah menurunkan
kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) sedang dia dibacakan kepada mereka?
Sesungguhnya di dalam Al Qur`an itu terdapat rahmat yang besar dan
pelajaran bagi orang-orang yang beriman". [Al ‘Ankabut : 51].
Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengemukakan:
فَمَنْ لَمْ يَشْفِهِ الْقُرانُ فَلاَ شَفَاهُ اللهُ, وَمَنْ لَمْ يَكْفِهِ فَلاَ كَفَاهُ اللهُ.
"Barangsiapa yang tidak dapat disembuhkan oleh Al Qur`an, berarti Allah
tidak memberikan kesembuhan kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak
dicukupkan oleh Al Qur`an, maka Allah tidak memberikan kecukupan
kepadanya".[11]
Mengenai penyakit-penyakit badan atau fisik, Al Qur`an telah membimbing
dan menunjukkan kita kepada pokok-pokok pengobatan dan penyembuhannya,
juga kaidah-kaidah yang dimilikinya. Kaidah pengobatan penyakit badan
secara keseluruhan terdapat di dalam Al Qur`an, yaitu ada tiga point:
menjaga kesehatan, melindungi diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan
penyakit dan mengeluarkan unsur-unsur yang merusak badan.[12]
Jika seorang hamba melakukan penyembuhan dengan Al Qur`an secara baik
dan benar, niscaya dia akan melihat pengaruh yang menakjubkan dalam
penyembuhan yang cepat.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Pada suatu ketika aku pernah
jatuh sakit, tetapi aku tidak menemukan seorang dokter atau obat
penyembuh. Lalu aku berusaha mengobati dan menyembuhkan diriku dengan
surat Al Fatihah, maka aku melihat pengaruh yang sangat menakjubkan. Aku
ambil segelas air zam-zam dan membacakan padanya surat Al Fatihah
berkali-kali, lalu aku meminumnya hingga aku mendapatkan kesembuhan
total. Selanjutnya aku bersandar dengan cara tersebut dalam mengobati
berbagai penyakit dan aku merasakan manfaat yang sangat besar”.[13]
Demikian juga pengobatan dengan ruqaa (jamak dari ruqyah) Nabawi yang
riwayatnya shahih, merupakan obat yang sangat bermanfaat. Dan juga suatu
do’a yang dipanjatkan. Apabila do’a tersebut terhindar dari
penghalang-penghalang terkabulnya do’a itu, maka ia merupakan sebab yang
sangat bermanfaat dalam menolak hal-hal yang tidak disenangi dan
tercapainya hal-hal yang diinginkan. Demikian itu termasuk salah satu
obat yang sangat bermanfaat, khususnya yang dilakukan berkali-kali. Dan
do’a juga berfungsi sebagai penangkal bala` (musibah), mencegah dan
menyembuhkannya, menghalangi turunnya, atau meringankannya jika ternyata
sudah sempat turun.[14]
لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ, وَلاَ يَزِيْدُ فِي الْعُمُرِ إِلاَّ الْبِرُّ.
"Tidak ada yang dapat mencegah qadha` (takdir) kecuali do’a, dan tidak
ada yang dapat memberi tambahan umur kecuali kebijakan".[15]
Tetapi yang harus dimengerti secara benar, bahwa ayat-ayat,
dzikir-dzikir, do’a-do’a dan beberapa ta’awudz (permohonan perlindungan
kepada Allah) yang dipergunakan untuk mengobati atau untuk ruqyah, pada
hakikatnya pada semua ayat, dzikir-dzikir, do’a-do’a. Ta’awudz itu
sendiri memberi manfaat yang besar dan juga dapat menyembuhkan. Namun ia
memerlukan penerimaan (dari orang yang sakit) dan kekuatan orang yang
mengobati dan pengaruhnya. Jika suatu penyembuhan itu gagal, maka yang
demikian itu disebabkan oleh lemahnya pengaruh pelaku, atau karena tidak
adanya penerimaan oleh pihak yang diobati, atau adanya rintangan yang
kuat di dalamnya yang menghalangi reaksi obat.
Pengobatan dengan ruqyah ini dapat dicapai dengan adanya dua aspek,
yaitu dari pihak pasien (orang yang sakit) dan dari pihak orang yang
mengobati.
Yang berasal dari pihak pasien, ialah berupa kekuatan dirinya dan
kesungguhannya dalam bergantung kepada Allah, serta keyakinannya yang
pasti bahwa Al Qur`an itu sebagai penyembuh sekaligus rahmat bagi
orang-orang yang beriman. Dan ta’awudz yang benar, yang sesuai antara
hati dan lisan, maka yang demikian itu merupakan suatu bentuk
perlawanan. Sedangkan seseorang yang melakukan perlawanan, ia tidak akan
memperoleh kemenangan dari musuh kecuali dengan dua hal, yaitu:
Pertama : Keadaan senjata yang dipergunakan haruslah benar, bagus dan
kedua tangan yang mempergunakannya pun harus kuat. Jika salah satu dari
keduanya hilang, maka senjata itu tidak banyak berarti; apalagi jika
kedua hal di atas tidak ada, yaitu hatinya kosong dari tauhid, tawakkal,
takwa, tawajjuh (menghadap, bergantung sepenuhnya kepada Allah) dan
tidak memiliki senjata.
Kedua : Dari pihak yang mengobati dengan Al Qur`an dan As Sunnah juga
harus memenuhi kedua hal di atas [16]. Oleh karena itu, Ibnut Tiin
rahimahullah berkata: “Ruqyah dengan menggunakan beberapa kalimat
ta’awudz dan juga yang lainnya dari nama-nama Allah adalah merupakan
pengobatan rohani. Jika dilakukan oleh lisan orang-orang yang baik, maka
dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala kesembuhan tersebut akan
terwujud”. [17]
Para ulama telah sepakat membolehkan ruqyah dengan tiga syarat, yaitu:[18]
Pertama : Ruqyah itu dengan menggunakan firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala, atau asma`dan sifatNya, atau sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Kedua : Ruqyah itu harus diucapkan dengan bahasa Arab, diucapkan dengan jelas dan dapat difahami maknanya.
Ketiga : Harus diyakini, bahwa yang memberikan pengaruh bukanlah dzat
ruqyah itu sendiri, tetapi yang memberi pengaruh ialah kekuasaan Allah.
Adapun ruqyah hanya merupakan salah satu sebab saja.[19]
Wallahu a’lam bish Shawab, Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maraji’:
1. Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, Cet. Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Tahun 1412 H.
2. Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil Ibad, juz 4, oleh Imam Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah, tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir Al Arna-uth, Cet. Muassassah
Ar Risalah, Tahun 1415 H.
3. Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, Cet. Darul Fikr.
4. Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, ta’lif Abdurrahman bin Hasan bin
Muhammad bin Abdul Wahab, tahqiq Dr. Walid bin Abdurrahman Al Furayyan,
Tahun 1419 H.
5. Adda’ wad Dawa’, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan bin Halabi.
6. Al ‘Ilaj Bir Ruqa` Minal Kitab Was Sunnah, oleh Dr. Sa’id bin Wahf Al Qahthan
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari IX/26, no. 24588, Cet. I Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut, Tahun 1412 H.
[2]. HR Al Bukhari no. 5678 dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu .
[3]. HR Muslim no. 2204, dari Jabir Radhiyallahu 'anhu .
[4]. HR Ad Daulabi dalam Al Kuna, dari sahabat Abu Darda`. Sanadnya
hasan, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Ash
Shahihah, no.1633.
[5]. HR Abu Ya’la dan Ibnu Hibban (no.1397, Mawarid), lihat Shahih
Mawaridizh Zham-an, no. 1172, dari Ummu Salamah, hasan lighairihi.
[6]. HR Muslim no. 2230 (125), Ahmad IV/68, V/380 dari seorang isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
[7]. HR Ahmad II/408,429,476; Hakim I/8; Baihaqi, VIII/135; dari sahabat
Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Hakim dan disetujui Adz Dzahabi. Syaikh
Al Albani menshahihkan juga dalam Shahih Al Jami’ish Shaghir no.5939.
[8]. Ruqyah, jama’nya adalah ruqaa. Yaitu bacaan-bacaan untuk pengobatan
yang syar’i, berdasarkan pada riwayat yang shahih, atau sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para ulama.
[9]. Lihat Al Jawabul Kafi Liman Sa-ala’anid Dawa-isy Syafi (Jawaban
yang memadai bagi orang yang bertanya tentang obat penyembuh yang
mujarab), atau Ad Da’wad Dawaa’ (penyakit dan obatnya), karya Ibnul
Qayyim, hlm.7, tahqiq Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
[10]. Lihat Zaadul Ma’ad, karya Ibnul Qayyim (IV/5-6).
[11]. Lihat Zaadul Ma’ad (IV/352).
[12]. Lihat Zaadul Ma’ad (IV/6, 352).
[13]. Lihat Zaadul Ma’ad (IV/178).
[14]. Lihat Adda’ Wad Dawa’, hlm.10.
[15]. HR Al Hakim dan At Tirmidzi, no.2139 dari Salman z dan dihasankan
oleh Syaikh Al Albani. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 154.
[16]. Lihat Zaadul Ma’ad (IV/67-68).
[17]. Fathul Baari (X/196).
[18]. Lihat Fathul Baari (X/195), juga Fatawa Al ‘Allamah Ibni Baaz (II/384).
[19]. Lihat Al ‘Ilaj Bir Ruqaa Minal Kitab Was Sunnah, hlm. 83.
http://almanhaj.or.id/content/2691/slash/0/ruqyah-penyembuhan-dengan-al-quran-dan-as-sunnah/