LARANGAN MENDIRIKAN MASJID DI ATAS KUBURAN[1]
Oleh:Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa tidak boleh membangun masjid di atas
kuburan dan hal ini merupakan kesesatan dalam agama. Di samping itu,
perbuatan ini merupakan jalan menuju syirik serta menyerupai perbuatan
Ahlul Kitab. Perbuatan tersebut juga akan mendatangkan kemarahan dan
laknat Allah Azza wa Jalla.
Masalah ini merupakan masalah paling besar yang telah menimpa ummat
Islam. Dewasa ini telah banyak masjid-masjid yang dibangun di atas
kuburan dan dibangun juga kubah-kubah di atasnya. Bahkan, tidak sedikit
kuburan yang ditinggikan dan dibangun dengan hiasan yang ketinggiannya
melebihi tinggi tubuh manusia serta dihias dengan hiasan-hiasan yang
mewah, hal tersebut adalah perbuatan haram.
Sementara, orang-orang datang mengunjunginya untuk mencari dan minta
berkah, berdo’a (memohon) kepada penghuninya, menyembelih binatang dan
memohon syafa’at serta kesembuhan dari mereka. Perbuatan itu semua
termasuk ke dalam syirik akbar. Itulah fakta yang kita dapati dari
kebanyakan negeri Islam, di zaman ini yang bisa kita dapati di
mana-mana. Dan kiranya tidak perlu kami buktikan kenyataan ini. -Tiada
daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari Allah-.[2]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah
Radhiyallahu anhuma menceritakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam tentang gereja dengan rupaka-rupaka yang ada di dalamnya yang
dilihatnya di negeri Habasyah (Ethiopia). Maka, beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوِ
الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوْا
فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُوْلَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Mereka itu adalah suatu kaum, apabila ada orang yang shalih atau
seorang hamba yang shalih meninggal di antara mereka, mereka bangun di
atas kuburannya sebuah tempat ibadah dan mereka buat di dalam tempat itu
rupaka-rupaka. Mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah
pada hari Kiamat.” [3]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.
“Laknat Allah atas Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” [4]
Dari Jundub bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu berkata: “Aku mendengar
bahwa lima hari sebelum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللهِ أَنْ يَكُوْنَ لِي مِنْكُمْ خَلِيْلٌ، فَإِنَّ
اللهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً، كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ
خَلِيْلاً، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً
لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ
مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي
أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ.
‘Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak bahwa
aku mempunyai seorang khalil (kekasih mulia) di antara kamu, karena
sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil, seandainya aku
menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu
Bakar sebagai khalil. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum
kamu telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah,
tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah,
karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.’” [5]
Yang dimaksud dengan اِتِّخَاذُ الْقُبُوْرِ مَسَاجِدَ yaitu menjadikan
kuburan-kuburan sebagai masjid (tempat ibadah), mencakup tiga hal,
sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani rahimahullah : [6]
1. Tidak boleh shalat menghadap kubur. Hal ini ada larangan yang tegas dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَا.
“Jangan kamu shalat menghadap kubur dan jangan duduk di atasnya.” [7]
2. Tidak boleh sujud di atas kubur.
3. Tidak boleh membangun masjid di atasnya (tidak boleh shalat di masjid yang dibangun di atasnya kuburan).
Beliau rahimahullah juga menyebutkan dalam kitabnya, bahwasanya:
Membangun masjid di atas kubur hukumnya haram dan termasuk dosa besar
menurut empat madzhab.[8]
Kemudian dikatakan oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz rahimahullah dalam fatwanya:
1. Hadits-hadits larangan tersebut menunjukkan tentang haramnya
membangun masjid di atas kubur dan tidak boleh me-nguburkan mayat di
dalam masjid. [9]
2. Tidak boleh shalat di masjid yang di sekelilingnya terdapat kuburan. [10]
Disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnya:
1. Siapa yang mengubur seseorang di dalam masjid, maka ia harus memindahkannya dan mengeluarkannya dari masjid.
2.Siapa yang mendirikan masjid di atas kuburan, maka ia harus membongkarnya (merobohkannya). [11]
Disebutkan pula oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitabnya [12]
, bahwa menjadikan kubur sebagai tempat ibadah termasuk dosa besar,
dengan sebab:
1. Orang yang melakukannya mendapat laknat Allah.
2. Orang yang melakukannya disifatkan dengan sejelek-jelek makhluk.
3. Menyerupai orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan menyerupai mereka hukumnya haram.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya,
Zaadul Ma’ad [13] : “Berdasarkan hal itu, masjid harus dibongkar bila
dibangun di atas kubur. Sebagaimana halnya kubur yang berada dalam
masjid harus dibongkar. Pendapat ini telah disebutkan oleh Imam Ahmad
dan lainnya. Tidak boleh bersatu antara masjid dan kuburan. Jika salah
satu ada, maka yang lain harus tiada. Mana yang terakhir didirikan
itulah yang dibongkar. Jika didirikan bersamaan, maka tidak boleh
dilanjutkan pem-bangunannya, dan wakaf masjid tersebut dianggap batal.
Jika masjid tetap berdiri, maka tidak boleh shalat di dalamnya (yaitu di
dalam masjid yang ada kuburannya) berdasarkan larangan dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan laknat beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam terhadap orang-orang yang menjadikan kubur sebagai masjid atau
menyalakan lentera di atasnya. Itulah dienul Islam yang Allah turunkan
kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,
meskipun dianggap asing oleh manusia sebagaimana yang engkau saksikan.”
[14]
Jawaban terhadap syubhat yang ada: “Yaitu orang berkata sekarang kita
dalam dilema sehubungan dengan makam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam karena kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berada tepat
di tengah masjid. Bagaimana menjawabnya?”
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam ketika meninggal
dunia dimakamkan di kamar ‘Aisyah di rumahnya sebelah masjid, dipisahkan
dengan tembok dan ada pintu yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
biasa keluar menuju masjid. Hal ini adalah perkara yang sudah disepakati
para ulama dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya
para Sahabat Radhiyallahu anhum menguburkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam di kamarnya. Mereka lakukan demikian supaya tidak ada seorang pun
sesudah mereka menjadikan kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagai masjid atau tempat ibadah, sebagaimana hadits dari 'Aisyah
Radhiyallahu anhuma dan yang lainnya.
'Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata : "Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam sakit yang karenanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
meninggal, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَا جِدَ
"Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat peribadahan"
'Aisyah Radhiyallahu anhuma melanjutkan.
وَلَوْ لاَ ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خُشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
"Seandainya bukan karena larangan itu tentu kuburan beliau sudah
ditampakkan di atas permukaan tanah (berdampingan dengan kuburan para
Sahabat di Baqi'). Hanya saja beliau khawatir akan dijadikan sebagai
tempat ibadah" [15]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
اَللَّهُمَ لاَ تّجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنَا، لَعَنَ اللَّهُ قَوْمًا اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
"Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai berhala (yang
disembah). Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi
mereka sebagai temp ibadah" [16]
Kemudian -Qaddarallahu wa Maasyaa'a Fa'ala- terjadi sesudah mereka apa
yang tidak diperkirakan sebelumnya, yaitu pada zaman al-Walid bin Abdul
Malik tahun 88H, ia memerintahkan untuk membongkar masjid Nabawi dan
kamar-kamar istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam termauk juga kamar
'Aisyah Radhiyallahu anhuma sehingga dengan demikian masuklah kuburan
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ke dalam Masjid Nabawi. [17]
Pada saat itu tidak ada seorang Sahabat pun di Madinah an-Nabawiyyah.
Sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan
muridnya al-‘Allamah al-Hafizh Muhammad bin Hadi rahimahullah :
“Sesungguhnya dimasukkannya kamar beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
ke dalam masjid pada masa khilafah al-Walid bin ‘Abdil Malik, sesudah
wafatnya seluruh Sahabat Radhiyallahu anhu yang ada di Madinah. Dan yang
terakhir wafat adalah Jabir bin ‘Abdillah [18], beliau Radhiyallahu
anhu wafat pada zaman ‘Abdul Malik pada tahun 78 H. Sedangkan al-Walid
menjabat khalifah tahun 86 H dan wafat pada tahun 96 H. Maka dari itu,
dibangunnya (renovasi) masjid dan masuknya kamar Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam terjadi antara tahun 86-96 H.[19]
Perbuatan al-Walid bin ‘Abdil Malik ini salah -semoga Allah mengampuninya-.[20]
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam Fat-hul Baari dan juga
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al-Jawaabul Baahir:
“Bahwasanya kamar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala dimasukkan
ke dalam masjid, ditutup pintunya, dibangun atasnya tembok lain untuk
menjaga agar rumah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak dijadikan
tempat perayaan dan kuburnya tidak dijadikan berhala.” [21]
Larangan shalat di masjid yang ada kuburnya atau masjid yang dibangun di
atas kubur mencakup semua masjid di seluruh dunia kecuali Masjid
Nabawi. Hal tersebut karena Masjid Nabawi mempunyai keutamaan yang
khusus yang tidak didapati di seluruh masjid di muka bumi kecuali
Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.
“Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram.” [22]
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.
“Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 kali daripada shalat di masjid-masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram.” [23]
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا
سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ، فَصَلاَةٌ فِي الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةَ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ.
“Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 kali daripada shalat di masjid
lain kecuali Masjidil Haram, maka shalat di Masjidil Haram lebih utama
100.000 kali daripada shalat di masjid yang selainnya.” [24]
مَا بَيْنَ بَيْتِيْ وَمِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِيْ عَلَى حَوْضِي.
“Antara rumahku dan mimbarku ada taman dari taman-taman Surga dan mimbarku di atas telagaku.” [25]
Dan keutamaan-keutamaan yang lain yang tidak didapati di masjid lainnya.
Kalau dikatakan tidak boleh shalat di masjid beliau berarti menyamakan
dengan masjid-masjid lainnya dan menghilangkan keutamaan-keutamaan ini
dan hal ini jelas tidak boleh.[26]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata tentang syubhat tersebut: [27]
1. Masjid Nabawi itu tidak didirikan di atas kuburan, tetapi masjid
didirikan pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak dikuburkan di dalam masjid,
namun dikubur di dalam rumah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3. Menggabungkan rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
termasuk pula rumah ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan masjid, bukan
atas kesepakatan para Sahabat. Hal ini terjadi setelah sebagian besar
Sahabat sudah meninggal dunia dan yang masih hidup saat itu tinggal
sedikit, kira-kira pada tahun 94 H. Hal ini termasuk masalah yang tidak
disepakati semua Sahabat yang masih ada. Yang pasti bahwa sebagian di
antara mereka menentang rencana itu, termasuk pula Sa’id bin al-Musayyab
[28], dari kalangan Tabi’in. Dia tidak ridha atas hal itu [29].
4. Kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak berada di dalam
masjid Nabawi, meskipun setelah itu masuk di dalamnya, karena kuburan
beliau ada dalam ruangan tersendiri yang terpisah dengan masjid,
sehingga masjid tidak didirikan di atas kuburan. Karena itu tempat
tersebut dijaga dan dilapisi tiga dinding. Dinding-dinding itu berbentuk
segi tiga yang posisinya miring dengan arah Kiblat, sedangkan rukun di
sisi utara, sehingga orang yang shalat tidak mengarah ke sana, karena
bentuknya agak miring.
Wallaahu a’lam.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat pembahasan ini dalam kitab Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii
Itsbaatil ‘Aqiidah dan Tahdziirus Saajid min Ittikhaadzil Qubuur
Masaajid oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. I/ Maktabah
al-Ma’arif, th. 1422 H.
[2]. Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/259).
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 427, 434, 1341) dan Muslim (no. 528) bab
an-Nahyu ‘an Binaa-il Masaajid ‘alal Qubuuri wa Ittikhadzish Shuwari
fiiha wan Nahyu ‘an Ittikhadzil Qubuuri Masaajid (Larangan Membangun
Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Memasang di Dalamnya Gambar-Gambar
Serta Larangan Men-jadikan Kuburan Sebagai Masjid) dan Abu ‘Awanah
(I/401).
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 435, 436, 3453, 3454, 4443, 4444, 5815, 5816)
dan Muslim (no. 531 (22)) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[5]. HR. Muslim (no. 532 (23)) bab: An-Nahyu ‘an Binaa-il Masaajid ‘alal
Qubuuri wa Ittikhadzis Shuwari fiiha wan Nahyu ‘an Ittikhadzil Qubuuri
Masaajid (Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Membuat
Patung-Patung serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid).
[6]. Lihat Tahdziirus Saajid min Ittikhaadzil Qubuur Masaajid (hal
29-44) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. I/ Maktabah
al-Ma’arif/ th. 1422 H.
[7]. HR. Muslim (no. 972 (98)) dan lainnya dari Sahabat Abu Martsad al-Ghanawi Radhiyallahu anhu.
[8]. Tahdziirus Saajid (hal 45-62).
[9]. Fataawaa Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz (IV/337-338 dan
VII/426-427), dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’ad asy-Syuwai’ir,
cet. I, th. 1420 H.
[10]. Lihat Fataawaa Muhimmah Tata’allaqu bish Shalah (hal. 17-18, no.
12) oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz, cet. I, Daarul
Fa-izin lin Nasyr-th. 1413 H.
[11]. Lihat al-Qaulul Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid (I/402) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
[12]. Lihat Mausuu’atul Manaahi asy-Syar’iyah (I/426).
[13]. Lihat Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/572) tahqiq
Syu’aib dan ‘Abdul Qadir al-Arnauth, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th.
1412 H.
[14]. Tentang harus dibongkarnya masjid yang dibangun di atas kubur itu
tidak ada khilaf di antara para ulama yang terkenal, sebagaimana
dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t dalam Iqthidhaa’us
Sirathil Mustaqiim (II/187).
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 1330), Muslim (no. 529), Abu Awanah (I/399)
dan Ahmad (VI/80, 121, 255). Perkataan 'Aisyah Radhiyallahu anhuma ini
menunjukkan dengan jelas sebab mengapa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dikuburkan di rumahnya. Beliau Shalallallahu 'alaihi wa sallam
menutup jalan supaya tidak dibangun di atasnya masjid (sebagai tempat
ibadah). Maka, tidak boleh dijadikan alasan tentang bolehnya mengubur di
rumah, karena hal ini menyalahi hukum asal. Menurut Sunnah menguburkan
mayat di pekuburan kaum Muslimin. (Lihat Tahdziirus Saajid hal.14)
[16]. HR. Ahmad (II/246), al-Humaidi dalam Musnadnya (no.1025) dan Abu
Nu'aim dalam Hilyatul Auliya'. Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata,
"Sanadnya shahih", Musnad Ahmad (VII/173 no. 73520. Diriwayatkan juga
oleh Imam Malik (I/156 no. 85), dari 'Atha' bin Yasar secara marfu'.
Hadits ini mursal shahih. Lihat Tahdziirus Saajid (hal.25-26)
[17]. Lihat Taariikhuth Thabari (V/222-223) dan Taariikh Ibni Katsir (IX/74-75). Dinukil dari Tahdziirus Sajid (hal.79).
[18]. Beliau adalah seorang Sahabat yang mulia, Jabir bin ‘Abdillah bin
‘Amr bin Haram bin Ka’ab al-Anshari as-Silmi. Seorang yang banyak
meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ikut dalam
bai’at ‘Aqabah dan ikut bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
banyak peperangan. Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
meninggal, dia membuat halaqah (kajian) di Masjid Nabawi untuk ditimba
ilmunya. Lihat al-Ishaabah (I/213 no. 1026).
[19]. Lihat al-Jawaabul Baahir fii Zuwwaaril Maqaabir (hal. 72), Majmuu’
Fataawaa (XXVII/419) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, juga
Tahdziirus Saajid (hal. 79-80) oleh Syaikh al-Albani.
[20]. Tahdziirus Saajid (hal. 86) oleh Syaikh al-Albani.
[21]. Ibid, hal. 91.
[22]. HR. Muslim (no. 1395) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[23]. HR. Al-Bukhari (no. 1190), Muslim (no. 1394), at-Tirmidzi (no.
325), Ibnu Majah (no. 1404), ad-Darimi (I/330), al-Baihaqi (V/246),
Ahmad (II/256, 386, 468), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat
Irwaa-ul Ghaliil (no. 971).
[24]. Ahmad (III/343, 397), Ibnu Majah (no. 1406) dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah.
[25]. HR. Al-Bukhari (no. 1196, 1888), Muslim (no. 1391), Ibnu Hibban
(no. 3750/ Ta’liiqaatul Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban (no. 3742)),
al-Baihaqi (V/246), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[26]. Lihat Tahdziirus Saajid hal. 178-182.
[27]. Lihat al-Qaulul Mufiid ‘alaa Kitaabit Tauhiid (I/398-399).
[28]. Nama lengkapnya Sa’id bin al-Musayyab bin Hazan bin Abi Wahhab
al-Makh-zumi al-Qurasyi. Dia adalah seorang ahli Fiqih di Madinah. Dia
menguasai ilmu hadits, fiqih, zuhud, wara’. Dia orang yang paling hafal
hukum-hukum ‘Umar bin Khaththab dan keputusan-keputusannya, wafat di
Madinah th. 94 H. Lihat Taqriibut Tahdziib (I/364 no. 2403) dan Siyar
A’laamin Nubalaa' (IV/217-246, no. 88).
[29]. Majmuu’ Fataawaa (XXVII/420) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
http://almanhaj.or.id/content/2463/slash/0/larangan-mendirikan-masjid-di-atas-kuburan/