Oleh:Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali
Pada zaman ini, banyak permasalahan yang dihadapi setiap manusia -dan
secara khusus kaum Muslimin-, baik berkaitan dengan masalah lahir,
batin, ataupun kejiwaan. Dari sini, muncullah berbagai ragam usaha untuk
mengatasi problematika hidupnya. Tujuan utamanya, pada dasarnya hanya
satu, yaitu; mendapatkan kepuasan hati, ketenteraman hidup, dan
ketenangan jiwa.
Yang amat disayangkan, munculnya anggapan keliru karena ketidakpahaman
atau karena belum mengerti, bahwa tidak semua hal yang mampu
mendatangkan kepuasan, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa
menunjukkan kebenaran sesuatu tersebut. Ya, kita bisa katakan, benar,
memang sesuatu tersebut dapat mendatangkan kepuasan, ketenteraman hidup
dan ketenangan jiwa. Namun permasalahannya, apakah semua hal yang bisa
mendatangkan kepuasan, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa bisa
dibenarkan secara syar’i? Jadi, yang dimaksud “benar” disini adalah,
benar secara tinjauan dan hukum syar’i. Jika tidak demikian, kita akan
menemukan betapa banyak praktek-praktek yang memang telah terbukti mampu
mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa
orang. Sebagai contoh, sebutlah bersemedhi, bertapa, atau meditasi, atau
terapi psikologis lainnya. Hal-hal tersebut memang terbukti mampu
mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa orang
yang melakukannya [1]. Namun, apakah syariat Islam yang mulia dan
sempurna ini membenarkannya? Atau minimal mengizinkannya? Atau; apakah
kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa tersebut -jika
memang terjadi- adalah hakiki dan abadi? Inilah permasalahannya.
Al Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Adapun di bawah
derajat orang ini (yakni orang yang merasakan kelezatan dengan mengenal
Allah dan bertaqarrub denganNya), maka sangatlah banyak, dan tidak bisa
menghitung banyaknya kecuali Allah. Bahkan, sampai pada derajat orang
(yang masih bisa merasakan kelezatan dengan) melakukan hal-hal yang
sangat hina, hal-hal yang kotor dan menjijikan, baik berupa perkataan
maupun perbuatan…”.[2]
Perkataan beliau ini menjelaskan, ternyata ada hal-hal yang memang
terbukti mampu mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan
ketenangan jiwa orang yang melakukannya, namun, tentu sangat berbeda
derajat orang yang merasakan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan
ketenangan jiwa dengan cara bertaqarrub dan taat kepada Allah, dengan
orang yang mencapainya tetapi dengan cara bermaksiat dan meninggalkan
perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Permasalahan ini, persis dengan seseorang yang mencari kesembuhan dari
penyakit kronis yang dideritanya, sementara para dokter telah angkat
tangan dari penyakitnya tersebut, lalu akhirnya, orang ini berobat ke
dukun, kemudian sembuh. Maka, apakah kesembuhannya bisa ia jadikan dalil
atas bolehnya berobat atau mendatangi dukun? Apakah kesembuhan yang ia
dapati -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala - menunjukkan bahwa dukun
tersebut berada di atas al haq (baca : kebenaran)? Apakah kesembuhannya
itu berasal dari cara yang dibenarkan oleh syariat? [3]
Sebagai seorang muslim -yang mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala
senantiasa memberikan taufiqNya- kita tentu tidak boleh ragu dan syak,
bahwa kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa adalah salah
satu sifat syariat Islam yang mulia dan sempurna ini. Itupun, harus
dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat yang benar dalam beribadah.
Yaitu, ikhlash hanya untuk Allah l semata, dan mutaba’atur rasul
(mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam),
sebagaimana yang telah banyak diterangkan oleh para ulama tentang
masalah ini.[4]
Dari sekilas penjelasan di atas, kita bisa pahami, bahwa merupakan
kekeliruan jika ada seseorang yang berkata “Segala sesuatu yang bisa
mendatangkan dan menimbulkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan
ketenangan jiwa, maka hal itu boleh-boleh saja dilakukan, karena hal itu
merupakan indikasi kebenaran sesuatu tersebut”.
Di manakah letak kekeliruan perkataan ini? Kita katakan : “Memang, salah
satu bukti benarnya sesuatu hal adalah timbulnya kepuasan hati,
ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa pada si pelakunya. Dan ini
merupakan salah satu sifat syariat Islam jika dilakukan sesuai dengan
tuntunan syariat yang benar dalam beribadah, sebagaimana telah
diterangkan di atas. Namun, tidak semua yang bisa mendatangkan dan
menimbulkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa
sebagai sebuah kebenaran”.
Seandainya orang itu hanya berkata “Segala sesuatu yang bisa
mendatangkan dan menimbulkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan
ketenangan jiwa boleh-boleh saja dilakukan,” hanya sampai disini saja,
mungkin masih bisa kita benarkan. Itupun selama perbuatan tersebut tidak
melanggar syariat. Karena segala sesuatu yang dilakukan, selama tidak
berhubungan dengan permasalahan ibadah, dan selama tidak ada dalil yang
melarangnya, maka hukum asalnya adalah boleh, sebagaimana telah
diterangkan oleh para ulama dalam masalah ini.[5]
Permasalahannya, jika kita perhatikan dan pelajari secara lebih dalam,
hal-hal yang bisa mendatangkan dan menimbulkan kepuasan hati,
ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa yang banyak digemari orang saat
ini, pada kenyataannya tidak mungkin dapat dipisahkan dari praktek
ibadah, bahkan sangat berkaitan erat dengan masalah aqidah yang letaknya
di dalam hati, sedangkan hati merupakan sumber dari kebaikan atau
keburukan seseorang, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
...أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْـغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ
الْجَسَدُ كُـلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُـلُّهُ، أَلاَ
وَهِيَ الْـقَلْبُ .
"…Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad ini ada segumpal daging,
apabila ia (segumpal daging) tersebut baik, baiklah seluruh jasadnya,
dan apabila ia (segumpal daging) tersebut rusak (buruk), maka rusaklah
(buruklah) seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah
hati".[6]
Oleh karena itu, jika ingin selamat dari hal-hal yang dapat merusak
agama kita, bahkan dalam hal aqidah, hendaknya seorang muslim senantiasa
berhati-hati dan waspada, serta penuh pertimbangan demi keselamatan
agamanya, dan bertanya, apakah perbuatan yang hendak dilakukan untuk
pencarian kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwanya
bertentangan dengan aqidah? Ataukah bagaimana?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,"Karena hati itu
diciptakan untuk diketahui kegunaannya, maka mengarahkan penggunaan hati
(yang benar) adalah (dengan cara menggunakannya untuk) berfikir dan
menilai…”. [7]
Berkaitan erat dengan permasalahan ini, sesungguhnya Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah memberikan solusi bagi setiap muslim yang senantiasa ingin
mendapatkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa yang
hakiki dan abadi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram". [ar Ra’d/13 : 28].
Asy Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al Badr
-hafizhahullah- berkata,"…… Sesungguhnya al Imam al ‘Allamah Ibnul
Qayyim rahimahullah telah menyebutkan di dalam kitab beliau yang sangat
berharga, al Wabil ash Shayyib sebanyak tujuh puluh sekian faidah
dzikir. Dan di sini, kami akan sempurnakan untuk menyebutkan beberapa
faidah dzikir lainnya, dari sekian banyak faidah yang telah beliau
sebutkan di dalam kitabnya. Di antara faidah-faidah dzikir yang begitu
agung, yaitu (dzikir) dapat mendatangkan kebahagiaan, kegembiraan, dan
kelapangan bagi orang yang melakukannya, serta dapat melahirkan
ketenangan dan ketenteraman di dalam hati orang yang melakukannya.
Sebagaimana firman Allah…,” dan asy Syaikh membawakan ayat ke-28 surat
ar Ra’d di atas.
Kemudian beliau kembali menjelaskan dan berkata,"Makna firman Allah
(وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم) adalah hilangnya segala sesuatu (yang
berkaitan dengan) kegelisahan dan kegundahan dari dalam hati, dan dzikir
tersebut akan menggantikannya dengan rasa keharmonisan (ketentraman),
kebahagiaan, dan kelapangan. Dan maksud firmanNya (أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ
تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ) adalah sudah nyata, dan sudah sepantasnya hati
(manusia) tidak akan pernah merasakan ketentraman, kecuali dengan dzikir
(mengingat) Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Bahkan, sesungguhnya dzikir adalah penghidup hati yang hakiki. Dzikir
merupakan makanan pokok bagi hati dan ruh. Apabila (jiwa) seseorang
kehilangan dzikir ini, maka ia hanya bagaikan seonggok jasad yang
jiwanya telah kehilangan makanan pokoknya. Sehingga tidak ada kehidupan
yang hakiki bagi sebuah hati, melainkan dengan dzikrullah (mengingat
Allah). Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata [9] :
"Dzikir bagi hati, bagaikan air bagi seekor ikan. Maka, bagaimanakah
keadaan seekor ikan jika ia berpisah dengan air?”[10]
Dari penjelasan yang begitu gamblang di atas, jelaslah sesungguhnya
tidak ada penawar bagi orang yang hatinya gersang dan selalu gelisah,
resah, dan gundah, melainkan hanya dengan dzikrullah.
Dzikrullah dapat dilakukan dengan dua cara, dengan mengingat Allah dan
banyak berdzikir dengan bertasbih, bertahmid, bertahlil (mengucapkan Laa
ilaha illallaah), ataupun bertakbir. Dan dengan memahami makna-makna al
Qur`an dan hukum-hukumnya; karena di dalam al Qur`an terdapat
dalil-dalil dan petunjuk-petunjuk yang jelas, serta bukti kebenaran yang
nyata.[11]
Namun, yang amat disayangkan, masih banyak kaum Muslimin yang belum
memahami hal ini. Bahkan, untuk mendapatkan kepuasan hati, ketenteraman
hidup dan ketenangan jiwa, justru mencari-cari solusi selainnya. Padahal
kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa yang hakiki
tidaklah mungkin dihasilkan melainkan hanya dengan dzikrullah.
Al Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “…Sesungguhnya,
hati tidak akan (merasakan) ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian,
melainkan jika pemiliknya berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala
(dengan melakukan ketaatan kepadaNya)… sehingga, barangsiapa yang tujuan
utama (dalam hidupnya), kecintaannya, rasa takutnya, dan
ketergantungannya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka ia telah
mendapatkan kenikmatan dariNya, kelezatan dariNya, kemuliaan dariNya,
dan kebahagiaan dariNya untuk selama-lamanya”. [12]
Penjelasan beliau ini, juga menujukkan pemahaman, bahwa jika seseorang
meninggalkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau bahkan
bermaksiat kepadaNya, maka hatinya akan sempit, gersang, selalu gelisah,
resah, dan gundah [13]. Adapun kemaksiatan yang terbesar adalah syirik,
dan Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik sampai ia
bertaubat sebelum ia mati. (Lihat an Nisaa`/4 : 48 dan 116). Juga Allah
berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
"Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada
hari Kiamat dalam keadaan buta". [Thaha/20 : 124].
Salah satu penafsiran ulama tentang lafazh (مَعِيشَةً ضَنكاً) pada surat
Thaha ayat ke-124 di atas adalah, kehidupan yang sangat sempit dan
menyulitkan di dunia ini, disebabkan berpalingnya ia dari kitabullah dan
dzikrullah. Ia akan merasakan kesempitan, kegelisahan, dan
kepedihan-kepedihan lainnya dalam kehidupannya, dan itu adalah adzab
secara umum.[14]
Adapun kadar kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa
seseorang, itu sangat bergantung kepada sejauh mana kedekatannya kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan : “Kelezatan (yang dirasakan oleh hati) setiap orang,
bergantung pada sejauh mana keinginannya dalam mendekatkan diri kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan (keinginannya dalam meraih) kemuliaan
dirinya. Orang yang paling mulia jiwanya, yang paling tinggi derajatnya
dalam merasakan kelezatan (dalam hatinya), adalah (orang yang paling)
mengenal Allah, yang paling mencintai Allah, yang paling rindu dengan
perjumpaan denganNya, dan yang paling (kuat) mendekatkan dirinya
kepadaNya dengan segala hal yang dicintai dan diridhai olehNya”. [15]
Itulah dzikrullah dan tha’atullah, sebagai kunci utama untuk membuka
hati seseorang dalam merealisasikan kepuasan hati, ketenteraman hidup
dan ketenangan jiwanya. Sedangkan tingkatan tha’atullah yang paling
tinggi dan agung adalah tauhidullah (mentauhidkan Allah). Dan
(sebaliknya), tingkatan maksiat yang paling besar dosanya dan paling
buruk akibatnya, adalah asy syirku billah (menyekutukan Allah Subhanahu
wa Ta'ala). Dengan kata lain, orang yang paling berbahagia, tenteram,
dan tenang jiwanya adalah seorang muslim yang bertauhid dan
merealisasikan tauhidnya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan orang
yang paling sengsara hidupnya di dunia ini, dan tidak merasakan
kebahagiaan, ketenangan, dan ketenteraman jiwa yang hakiki dan abadi,
adalah orang yang musyrik dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala [15].
Kemudian, adakah hal lainnya setelah dzikrullah dan tha’atullah yang
secara khusus mampu mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan
ketenangan jiwa seseorang? Jawabnya, ada. Yaitu shalat.
Hendaknya seorang mukmin menyibukkan dirinya untuk meraih kepuasan hati,
ketenteraman hidup dan ketenangan jiwanya dengan melakukan shalat
secara benar dan khusyu’. Dengan demikian, ia merasa tenang ketika
berhadapan dengan Rabb-nya. Hatinya menjadi tenteram, lalu diikuti
ketenangan dan ketenteraman tersebut oleh seluruh anggota tubuhnya. Dari
sini, ia akan merasakan kedamaian hati dan ketenangan jiwa yang luar
biasa. Dia memuji Rabb dengan segala macam pujian di dalam shalatnya.
Bahkan, ia berkata kepada Rabb-nya إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ (hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan). Dia memohon kepada Rabb-nya segala
kebutuhannya. Dan yang terpenting dari seluruh kebutuhannya adalah
memohon untuk istiqamah (konsisten) di atas jalan yang lurus. Yang
dengannya terwujudlah kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dia pun berkata
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ (Tunjukilah kami jalan yang lurus).
Dia mengagungkan Rabb-nya saat ruku’ dan sujud, dan memperbanyak doa di
dalam sujudnya.
Betapa indah dan agungnya komunikasi yang ia lakukan dengan Rabb-nya.
Sebuah komunikasi yang sangat luar biasa, mampu menumbuhkan ketenteraman
dan kedamaian jiwa, sekaligus menjauhkan dirinya dari segala macam
kegelisahan, keresahan, dan kesempitan hati dan jiwanya. Maka, tidak
perlu heran, jika shalat ini merupakan penghibur dan penghias hati
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
... وَجُعِلَتْ قُـرَّةُ عَـيْـنِيْ فِي الصَّـلاَةِ .
"…dan telah dijadikan penghibur (penghias) hatiku (kebahagiaanku) pada shalat".[17]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah berkata kepada salah satu sahabatnya:
قُمْ يَا بِلاَلُ، فَـأَرِحْـنَا بِالصَّلاَةِ .
"Bangunlah wahai Bilal, buatlah kami beristirahat dengan (melakukan) shalat".[18]
Al Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah, setelah menjelaskan
hikmah-hikmah dan beberapa keistimewaan shalat, beliau berkata : “…
Kemudian, disyariatkan baginya untuk mengulang-ulang raka’at ini satu
per satu, sebagaimana disyariatkannya mengulang-ulang (lafazh) dzikir
dan doa satu per satu. Hal itu agar ia mempersiapkan dirinya dengan
raka’at yang pertama tadi, untuk menyempurnakan raka’at yang berikutnya.
Sebagaimana raka’at yang kedua untuk menyempurnakan raka’at yang
pertama. Semuanya itu bertujuan untuk memenuhi hatinya dengan makanan
(rohani) ini, dan mengambil bekal darinya untuk mengobati penyakit yang
ada dalam hatinya. Karena sesungguhnya kedudukan shalat terhadap hati,
bagaikan kedudukan makanan dan obat terhadapnya… Maka, tidak ada satu
pun yang mampu menjadi makanan dan bagi hatinya, selain shalat ini.
Maksudnya, (fungsi) shalat dalam menyehatkan dan menyembuhkan hati,
seperti (fungsi) makanan pokok dan obat-obatan terhadap badannya".[19]
Dr. Hasan bin Ahmad bin Hasan al Fakki berkata,"Tatkala shalat dijadikan
sebagai pembangkit ketenangan dan ketenteraman (jiwa), serta sebagai
terapi psikologis, maka, tidak mengherankan jika sebagian dokter jiwa
menganggapnya sebagai terapi utama dalam penyembuhan para pasien
penyakit jiwa. Salah seorang di antara mereka ada yang mengatakan,
sepertinya shalat ini salah satu terapi yang mampu mendatangkan
kehangatan jiwa manusia. Sesungguhnya shalat bisa menjauhkan dirimu dari
segala kesibukan yang membuatmu gundah dan resah. Shalat ini pun mampu
membuatmu merasa tidak menyendiri dalam hidup ini. Mampu membuatmu
merasakan bahwa Allah menyertaimu. Shalat pun ternyata mampu memberimu
kekuatan dalam bekerja, yang sebelumnya dirimu tidak mampu berbuat
apa-apa. Maka, pergilah ke kamar tidurmu! Lalu, mulailah melakukan
shalat untuk menghadap Rabb-mu”.[20]
Demikianlah, sehingga memang shalat yang benar dan khusyu’, pasti akan
melahirkan ketenteraman jiwa dan kedamaian hati. Bukan seperti shalat
yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani, yang telah disifatkan oleh al
Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah sebagai sebuah shalat yang
pembukaannya adalah kenajisan, takbiratul ihramnya dengan bersalib di
wajah, qiblatnya sebelah timur, syi’arnya adalah kesyirikan, (maka)
bagaimana hal ini tersembunyi bagi orang berakal, bahwa hal ini sesuatu
yang memang tidak pernah dibenarkan oleh satu syariat manapun? [21]
Dr. Hasan bin Ahmad bin Hasan al Fakki kembali menjelaskan : “Adapun
sebuah shalat yang permulaannya adalah pengagungan dan pemuliaan
terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan shalat ini mengandung firmanNya,
pujian dan pengagungan kepadaNya, rasa tunduk yang sempurna si
pelakunya kepada Rabbnya, maka tidak ragu lagi, shalat seperti inilah
yang mampu menjadi perantara seorang hamba dalam berkomunikasi dengan
Rabb-nya. Shalatnya ini bermanfaat baginya untuk memohon kepada Rabb
agar (Dia) membebaskan dari segala kesulitan. Di samping itu, ia pun
akan mendapatkan manfaat dan pahala yang besar di akhirat, serta
kemenangan dengan mendapatkan ridha ar Rahman (Allah Subhanahu wa
Ta'ala). Dan kiaskanlah terhadap shalat ini seluruh ketaatan hamba
terhadap Rabb-nya. Sungguh agama Islam adalah sebuah manhaj (metode,
tata cara dan pola hidup) yang sempurna, yang sangat adil. Menjamin
setiap orang bisa mencapai hidup bahagia di dunia dan akhirat. Dan ini
sebagai sebuah kemenangan yang besar”.[22]
Demikianlah, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, bisa
menambah iman, ilmu, dan amal shalih kita. Wallahu a’lam bish shawab.
Maraji’ & Mashadir:
1. Al Qur`an dan terjemahnya, Cetakan Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.
2. Shahih al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin al Mughirah
al Bukhari (194-256 H), Tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir,
al Yamamah, Beirut, Cetakan III, Tahun 1407 H/1987 M.
3. Shahih Muslim, Abu al Husain Muslim bin Hajjaaj al Qusyairi an
Naisaburi (204-261 H), Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at
Turats, Beirut.
4. Sunan Abi Daud, Abu Daud Sulaiman bin al Asy’ats As Sijistani
(202-275 H), Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daar al Fikr.
5. Sunan an Nasa-i (al Mujtaba), Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib an
Nasa-i (215-303 H), Tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, Maktab al
Mathbu’at, Halab, Cetakan II, Tahun 1406 H/1986M.
6. Musnad al Imam Ahmad, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy Syaibani (164-241 H), Mu’assasah Qurthubah, Mesir.
7. Risalah fii al Qalbi wa Annahu Khuliqa li Yu’lama bihi al Haqqu wa
Yusta’malu fiima Khuliqa Lahu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H),
Tahqiq Salim bin ‘Id al Hilali, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. I,
Th. 1411 H/1990 M.
8. Ighatsatul Lahfaan fi Mashayid asy Syaithan, Syamsuddin Ibnu Qayyim
al Jauziyah (751 H), Takhrij Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420
H), Tahqiq Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari,
Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cetakan I, Tahun 1424 H.
9. Ad Daa’u wa ad Dawaa’ (al Jawab al Kafi liman sa-ala ‘an ad Dawaa’
asy Syafi), Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), Tahqiq Ali bin
Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi,
Dammam, KSA, Cetakan VI, Tahun 1423 H.
10. Syifa-ul ‘Alil fi Masa-il al Qadha-i wa al Qadar wa al Hikmah wa at
Ta’lil, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), Tahqiq Khalid
Abdullathif as Sab’u al Alami, Daar al Kitab al ‘Arabi, Beirut, Libanon,
Cetakan II, Tahun 1417 H/1997 M.
11. Al Wabil ash Shayyib, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H),
Tahqiq Muhammad Abdurrahman ‘Awadh, Daar al Kitab al ‘Arabi, Beirut,
Libanon, Cetakan VI, Tahun 1417 H/1996 M.
12. Fawa-id al Fawa-id, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H),
Tartib dan Takhrij Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al
Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cetakan V, Tahun 1422 H.
13. Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, Abdurrahman
bin Nashir as Sa’di, Tahqiq Abdurrahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Daar as
Salam, Riyadh, KSA, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M.
14. Shahih Sunan Abi Daud, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
15. Shahih Sunan an Nasa-i, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
16. Shahih al Jami’ ash Shaghir, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), al Maktab al Islami.
17. As Silsilah as Shahihah, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
18. Al Qaul al Mufid ‘ala Kitab at Tauhid, Muhammad bin Shalih al
Utsaimin (1421 H), Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cetakan III, Tahun
1419 H/1999 M.
19. ‘Ilmu Ushuli al Bida’, Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al
Halabi al Atsari, Daar ar Rayah, Riyadh, KSA, Cetakan II, Tahun 1417 H.
20. Fiqh al Ad’iyah wa al Adzkar, Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al Badr, Daar Ibn ‘Affan, Riyadh, KSA, Th. 1419 H.
21. Sittu Durar min Ushuli Ahlil Atsar, Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani
al Jazairi, Mathabi’ al Humaidhi, KSA, Cetakan II, Tahun 1420 H.
22. Ahkam al Adwiyah Fi asy Syari’ati al Islamiyyah, Dr. Hasan bin Ahmad
bin Hasan al Fakki, Taqdim Syaikh Dr. Muhammad bin Nashir bin Sulthan
as Suhaibani, Maktabah Daar al Minhaj, Riyadh, Cetakan I, Tahun
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Ahkam al Adwiyah fii asy Syari’ah al Islamiyah, hlm. 525-539.
[2]. Lihat Fawa-id al Fawa-id, hlm. 367.
[3]. Lihat permasalahan ini di kitab al Qaul al Mufid ‘ala Kitab at Tauhid (1/531-552), dan yang setelahnya.
[4]. Lihat -contohnya- kitab Sittu Durar min Ushuli Ahli al Atsar, hlm. 13 dan 65.
[5]. Lihat ‘Ilmu Ushuli al Bida’, hlm. 69 dan 211.
[6]. HR al Bukhari (1/28 no. 52), Muslim (3/1219 no. 1599), dan lain-lain, dari hadits an Nu’man bin Basyir g .
[7]. Lihat Risalah fii al Qalbi wa Annahu Khuliqa li Yu’lama bihi al Haqqu wa Yusta’malu fiima Khuliqa lahu, hlm. 16.
[8]. Lihat al Wabil ash Shayyib, hlm. 61-111.
[9]. Sebagaimana yang dinukil oleh muridnya di dalam kitab al Wabil ash Shayyib, hlm. 63.
[10]. Lihat Fiqh al Ad’iyah wa al Adzkar (1/17-18).
[11]. Lihat penjelasan ini dalam kitab Taisir Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Mannan (1/1059-1060).
[12]. Lihat Fawa-id al Fawa-id, hlm. 24.
[13]. Sesungguhnya dampak negatif dan pengaruh buruk dari perbuatan
maksiat sangatlah banyak. Al Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim t menerangkan
secara khusus dengan panjang lebar tentang hal ini dalam kitab beliau,
ad Daa’u wa ad Dawaa’ atau dengan nama lain al Jawab al Kafi liman
sa-ala ‘an ad Dawaa’ asy Syafi (85-170).
[14]. Lihat Taisir Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Mannan (2/74-75).
[15]. Lihat Fawa-id al Fawa-id, hlm. 376.
[16]. Lihat permasalahan ini di kitab al Qaul al Mufid ‘ala Kitab at
Tauhid (1/60-145), dan yang setelahnya, tentang keutamaan orang yang
merealisasikan tauhid dan takut terjerumus ke dalam kesyirikan.
[17]. HR an Nasa-i (7/61 no. 3939-3940), Ahmad (3/128 no. 12315-12316,
3/199 no. 13079, 3/285 no. 14069), dan lain-lain dari hadits Anas z .
Dan hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani t dalam Shahih
Sunan an Nasa-i, Shahih al Jami’ (3124), dan as Silsilah ash Shahihah
(3/98 dan 4/424).
[18]. HR Abu Dawud (4/296 no. 4986). Dan hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
[19]. Lihat Syifa-ul ‘Alil fi masa-il al Qadha-i wa al Qadar wa al Hikmah wa at Ta’lil, hlm. 396.
[20]. Lihat Ahkam al Adwiyah fii asy Syari’ah al Islamiyah, hlm. 549-550.
[21]. Lihat Ighatsatul Lahfaan fi Mashayid asy Syaithan (2/1052).
[22]. Lihat Ahkam al Adwiyah fii asy Syari’ah al Islamiyah, hlm. 550.