Sabtu, 12 April 2014

Talak Bagian 3 (Sebab Talak: Nusyuz)

D. Sebab-Sebab Terjadinya Perpisahan
Hampir tidak kita dapati sebuah kehidupan rumah tangga yang terbebas dari masalah dan konflik. Namun bukan berarti, ketika terjadi masalah boleh dibiarkan, tanpa ada upaya perbaikan. Islam sangat menganjurkan kepada suami dan istri untuk mengatasi berbagai macam masalah yang muncul dalam kehidupan rumah tangga. Disamping itu, islam juga mengajarkan berbagai solusi yang terbaik di saat benih-benih perpecahan mulai muncul. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 607)]

Ada banyak hal yang dapat memicu terjadinya perceraian, meskipun pada akhirnya perceraian tidak sampai terjadi, akan tetapi hal-hal tersebut patut untuk diketahui agar kelak kita dapat mengantisipasi. Di antara sebab yang bisa memicu perceraian antara lain:

1. Nusyuz (النشوز )

Nuzyuz menurut bahasa adalah tempat yang tinggi. Sedangkan nusyuz menurut istilah adalah pembangkangan (kedurhakaan) yang dilakukan seorang istri kepada suami, terkait dengan kewajiban istri kepada suaminya. Seakan-akan si istri merasa lebih tinggi dan menyombongkan diri kepada suaminya. [Lihat Al-Misbaahul Muniir (II/605), Mughni Al-Muhtaaj (III/259), Al-Mughni (VII/46), Shahiih Fiqh Sunnah (III/223), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/368), dan Panduan Keluarga Sakinah (hal. 291)]

Seorang wanita diharamkan melakukan nusyuz kepada suaminya. Allah Ta’ala telah menetapkan beberapa hukuman bagi seorang wanita yang berbuat nusyuz kepada suaminya:

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّتِى تَخَافُونَ نُشُوزَ هُنَّ فَعِظُوهُنَّ واهْجُرُوهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْنَّ سَبِيْلًاۗ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا۝

“… Wanita-wanita yang kamu khawatirkan berbuat nusyuz, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Qs. An-Nisaa’: 34)

Diantara bentuk-bentuk sikap nusyuz seorang istri kepada suami adalah tidak berhijab di depan laki-laki yang bukan mahramnya, melalaikan hak Allah Ta’ala, bermuka masam ketika bertemu dengan suami, berkata-kata kasar kepada suami, menolak ajakan suami untuk berjima’ (bersetubuh) tanpa alasan yang syar’i, dan sikap-sikap lain yang bertentangan dengan akhlakul karimah.

Hendaklah para istri yang beriman kepada Allah Ta’ala betul-betul menaruh perhatian yang besar terhadap hak-hak suaminya, karena suaminya merupakan pintu surga dan nerakanya. Hendaknya sang istri berusaha mencari keridhaan sang suami.

Sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada bibinya Hushain bin Mihshan ketika beliau bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah bersuami?” Ia menjawab, “Sudah.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana sikapmu kepada suamimu?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi (hak)nya kecuali yang aku tidak mampu mengerjakannya.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

فَانْطُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَجَنَّتُكِ و نَارُكِ

Perhatikanlah, kedudukanmu di sisinya, karena sesungguhnya dia (suamimu itu) adalah Surgamu dan Nerakamu. [Hadits shahih. Riwayat Ahmad (IV/341), al-Hakim (II/189), An-Nasa'i dalam 'Isyratin Nisaa' (no. 76-83), Ibnu Abi Syaibah (VI/233 no. 17293), dan Al-Baihaqi (VII/291)]
Namun, apabila suami melihat tanda-tanda nuzyuz dari istrinya, maka hendaklah dia mengobatinya dengan cara berikut:

1.Menasehati istrinya
Pengobatan pertama yang dapat dilakukan dengan perkataan yang lemah lembut, mengingatkan istrinya bahwa Allah Ta’ala mewajibkan dirinya untuk mentaati suami dalam hal kebaikan dan tidak menyelisihinya, memotivasi istrinya untuk meraih pahala dengan mentaati suami, dan menakuti-nakutinya dengan siksa dan adzab Allah Ta’ala yang akan menimpa dirinya apabila dia bersikap durhaka kepada suami.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَاسْتَو صُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ، فَإِنَّـهُـنَّ خُلِقْـنَ مِنْ ضِلَعٍ ، وَإِنَّ أَعْـوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعٍ أَعْلاَهُ ، فَإِنْ ذَهَـبْتَ تُـقِيْمُهُ كَـسَرْتَهُ ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَـمْ يَـزَلْ أَعْـوَجَ ، فَاسْتَـوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْـرًا .


Berwasiatlah dengan baik terhadap wanita. Sebab wanita diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika engkau (memaksa untuk) meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya (tetap dalam keadaan bengkok), maka ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiatlah dengan baik terhadap wanita.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5186) dan Muslim (no. 1468 (60)), dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]

Dalam riwayat lain juga disebutkan,

إِنَّ الْمَـرْأَةَ خُلِـقَـتْ مِنْ ضِلَعٍ ، لَنْ تَـسْتَـقِيـمَ لَـكَ عَـلَى طَرِيْـقَـةٍ ، فَإِنِ اسْـتَمْـتَعْـتَ بِهَا اِسْـتَمْـتَعْـتَ بِهَا وَ بِهَا عَـوَجٌ ، وَإِنْ ذَهَـبْتَ تُـقِيْـمُهَا كَـسَرْ تَهَا وَكَـسْرُهَا طَلاَقُهَا .

Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dia tidak akan pernah berlaku lurus terhadapmu di atas satu jalan. Jika engkau bersenang-senang dengannya, engkau dapat bersenang-senang dengannya, tetapi padanya terdapat kebengkokan. Jika engkau berusaha untuk meluruskannya, berarti engkau mematahkannya, dan mematahkannya itu berarti (engkau) menceraikannya.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5184) dan Muslim (no. 1468 (61)), dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarah Riyaadhush Shaalihiin (III/117), “Seseorang dapat bersenang-senang dengan seorang wanita (yakni istrinya), meski padanya terdapat kebengkokan. Dan manakala suami hendak meluruskannya, maka dikhawatirkan ia akan mematahkannya, dan mematahkannya berarti ia menceraikan istrinya. Karena suami tidak dapat mengusahakan istrinya untuk berlaku lurus dalam menuruti semua nasihatnya. Maka ketika itulah suami akan merasa bosan dalam menasihati istrinya sehingga dia akan menceraikan istrinya. Padahal, seorang suami tidak mungkin akan mendapatkan wanita yang seratus persen selamat dari kekurangan, bagaimana pun juga keadaannya.”

Apabila dengan cara ini, istri dapat langsung memahami dan kembali mentaati suami, maka janganlah suami mengacuhkannya dan memukulnya. Namun, apabila istri masih tetap berlaku nusyuz, maka suami dianjurkan untuk mencoba cara kedua, yaitu:


2.Pisah ranjang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ، إِلَّا أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعْ، وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَمُبَرِّحٍ .

Berilah wasiat kepada istri dengan cara yang baik, sebab mereka itu (ibarat) tahanan di sisi kalian. Kalian tidak berkuasa atas mereka sedikit pun selain itu (wasiat di atas kebaikan), kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji secara terang-terangan. Jika mereka melakukannya, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti.” [Hadits hasan li ghairihi. Riwayat Tirmidzi (no. 1163) dan Ibnu Majah (no. 1851) dengan syahid (penguat) dari riwayat Ahmad (V/72), dari 'Amr bin Al-Ahwash radhiyallahu 'anhu]

Hendaklah suami memperingatkan istrinya yang tetap berlaku nusyuz bahwa dia akan mengacuhkannya (hajr), tidak menggaulinya, dan tidak akan bersanding di dekatnya. Sehingga apabila wanita tersebut termasuk istri yang tidak tahan apabila ditinggal oleh suaminya, maka dia akan cepat merubah sikapnya, dan itulah yang diharapkan. Namun, apabila istri mengabaikan peringatan suaminya ini, maka hendaklah suaminya benar-benar menjauhi istrinya dengan cara apa saja yang disukainya dan disesuaikan dengan keadaan istri yang dapat membuat istrinya jera dari kedurhakaannya. Misalkan, dengan tidak mencampuri istri, tidak mengajaknya bicara, tidak tidur disampingnya, dan hal-hal lain yang semisal dengannya. [Lihat Al-Badaa'i (II/334), Manhul Jaliil (II/176), Mughni Al-Muhtaaj (III/259), Al-Mughni (VII/46), Ahkaamul Mu'aasyarah Al-Jauziyah (hal. 292), Shahiih Fiqh Sunnah (III/225), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/370), dan Panduan Keluarga Sakinah (hal. 293)]

Seorang suami dapat mengacuhkan istrinya tersebut selama yang dia inginkan sampai istrinya menyadari kesalahannya dan mau bertaubat. Namun, janganlah seorang suami memboikot istrinya kecuali di dalam rumahnya. Supaya hukuman yang diberikan kepada istri tidak diketahui orang lain. Karena hal ini dapat menimbulkan penghinaan bagi istri dengan merasa direndahkan harga dirinya. Bahkan bisa jadi membuat sang istri semakin durhaka. Jangan pula menunjukkannya di hadapan anak-anaknya, karena hal tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada jiwa mereka. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 610), Shahiih Fiqh Sunnah (III/225) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/371)]

Apabila cara kedua ini tidak juga efektif untuk menyadarkan istri yang durhaka, maka suami dapat melakukan cara yang ketiga, yaitu:

3. Memukul istrinya
Ini adalah langkah ‘pamungkas’ yang dapat dilakukan oleh suami demi mengobati kedurhakaan istrinya, jika nasihat dan pemboikotan tidak membuahkan hasil. Akan tetapi perlu diperhatikan, islam menetapkan beberapa persyaratan bagi suami yang hendak menerapkan cara ini kepada istrinya, agar tidak disalahgunakan. Diantara persyaratannya adalah sebagai berikut::
a. Pukulan tersebut bukanlah pukulan yang menyakitkan, seperti pukulan yang dapat mematahkan tulang, membuat cacat, atau meninggalkan bekas. Karena tujuan utama pukulan ini adalah untuk mendidik, bukan untuk menyakiti dan melukai. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

 وَاضْـرِبُـوهُـنَّ ۖ


“… dan (kalau perlu) pukullah mereka…” (Qs. An-Nisaa’: 34)

Pukulan yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah pukulan yang tidak melukai fisik. Karena tujuan utama dilakukannya pukulan ini adalah memberikan hukuman yang diharapkan dapat ‘mematahkan jiwa’ sehingga membuatnya menyadari kesalahannya.

Catatan penting:
Sebagian suami yang masih awam akan ilmu agama tentang adab bergaul antara suami istri, menjadikan metode perbaikan ini (pukulan) sebagai kebiasaan. Mereka tidak menjadikan metode ini sebagai sarana perbaikan, melainkan mereka merubah tujuan hakikinya menjadi suatu kezhaliman. Bukan pukulan mendidik yang mereka berikan, melainkan siksaan yang membabi buta, yang dimaksudkan sebagai ajang balas dendam atau pelampiasan emosi. Selayaknya bagi para suami untuk menghindari pukulan sebagai metode pendidikan dalam keluarganya, terlebih metode yang diterapkan tersebut sudah jauh menyimpang dari apa yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

b. Tidak memukulnya lebih dari sepuluh kali. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَايُجْلَدُ أَحَدٌفَوْقَ عَشَرَةِ أَسْوَاطٍ إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ

Tidaklah seseorang dipukul lebih dari sepuluh pukulan kecuali ketika menegakkan hadd (hukuman) yang ditentukan Allah.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 6848) dan Muslim (no. 1708), dari Abu Burdah Al-Anshari radhiyallahu 'anhu]
c. Tidak memukul wajah istri (menampar dan sejenisnya) dan bagian-bagian yang dapat mematikan, karena itu merupakan hak istri atas suaminya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang hak istri atas suaminya,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعَمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبُ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ


“Diantara kewajibanmu (para suami) kepada mereka (para istri): engkau memberinya makan ketika engkau makan, dan engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian, dan janganlah engkau memukul wajahnya, dan jangan pula menghinanya, dan jangan pula meng-hajr (memboikot) dirinya kecuali di dalam rumah.” [Hadits shahih. Riwayat Abu Dawud (VI/180 no. 2128), Ibnu Majah (I/593 no. 1850), dan Ahmad (IV/447), dari Mu'awiyah bin Hairah radhiyallahu 'anhu]

Melanggar larangan dalam hadits di atas merupakan tindakan kedzliman dan pelecehan terhadap seorang wanita. Selain itu, hal tersebut dapat menyakiti dan merusak badan dan jiwanya. Jika seorang suami melakukannya, maka dia telah melakukan suatu tindakan kriminal, yang karenanya si istri boleh meminta talak dan qishash (hukuman setimpal). [Lihat Shahiih Fiqh Sunnah (III/227) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/374)]

d. Suami harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa pukulannya terhadap sang istri dapat membuat istrinya jera. Karena pukulan tersebut hanyalah merupakan sarana untuk mendidik dan memperbaiki akhlak istri. Sebaliknya, pukulan ini tidaklah disyari’atkan ketika suami berkeyakinan bahwa tujuan untuk memperbaiki akhlak istri tidak akan tercapai dengan cara ini. Dalam kondisi semacam ini, dimana pukulan justru dikhawatirkan akan berpengaruh buruk terhadap kehidupan rumah tangganya, maka janganlah suami tersebut memukul istrinya. [Lihat Manhul Jaliil (II/176), Mughni Al-Muhtaaj (III/260), Shahiih Fiqh Sunnah (III/227), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/374), dan Panduan Keluarga Sakinah (hal. 294)]

e. Suami harus menghentikan pukulan ketika si istri telah mentaatinya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَاضْرِبُوهُنَّۖۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا۝

“…dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Qs. An-Nisaa’: 34)

Nusyuz juga terkadang terjadi pada pihak suami, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

وَإِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْإِعْرَاضًا فَلَاجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًاۗ وَالصُّلْحُ خَيْرٌۗ

“Dan jika seorang wanita khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)..” (Qs. An-Nisaa’: 128)

Sesungguhnya hati dan perasaan manusia ibarat perkiraan cuaca yang selalu berubah-ubah. Sementara islam merupakan manhajul hayah (pedoman hidup) yang dapat diaplikasikan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam masalah hati dan cinta.

Ketika seorang istri merasa khawatir akan kehilangan perhatian dan kasih sayang dari suaminya yang dapat membawanya kepada perceraian. Atau dia merasa ditinggalkan oleh suaminya begitu saja tanpa ada kepastian, sehingga posisinya terkatung-katung, apakah masih menjadi istrinya atau sudah diceraikan, maka hendaklah seorang istri memberi toleransi kepada suami dengan merelakan sebagian hak-haknya atas suami. Seperti kesediaannya jika nafkahnya dikurangi atau kesediaannya mengurangi giliran bermalam suami, jika suami beristri lebih dari satu. Apabila seorang istri melihat hal ini dengan hati nuraninya, maka dia akan mengetahui dengan pengetahuan yang yakin bahwa inilah jalan yang lebih baik dan lebih mulia baginya daripada harus diceraikan oleh suaminya.

Namun, apabila sikap nusyuz suami adalah berupa kemaksiatan kepada Allah, seperti tidak melaksanakan shalat, meminum khamr (minuman keras), menjadi pecandu narkoba, berjudi, dan semisalnya. Sementara istri sudah tidak mampu lagi untuk bersamanya dan dia mengkhawatirkan akan kehormatan dan kesucian dirinya, maka dia boleh meminta cerai pada suaminya dengan jalur khulu‘.
bersambung insyaallah

***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
  • Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh
  • Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-Sunnah, Jakarta
  • Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
  • Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
  • Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus Sunnah, Jakarta
  • Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
  • Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
  • Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
  • Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
  • Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
  • Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka Darul Haq, Jakarta
  • Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
  • Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo
  • Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet. Darus Sunnah, Jakarta
  • Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
  • Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-Wathaan, Riyadh
  • Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor
  • ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh

Sumber:http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-3-sebab-talak-nusyuz.html