Allah Ta’ala berfirman,
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab.” (QS. Ali Imron: 20)
Berikut penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengenai ayat di atas.
Ayat ini ditujukan pada Ahli Kitab di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal ajaran ahli kitab yang hidup di zaman beliau sudah mengalami naskh wa tabdiil (penghapusan dan penggantian). Maka ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menisbatkan dirinya pada Yahudi dan Nashrani, merekalah ahli kitab. Ayat ini bukan khusus membicarakan ahli kitab yang betul-betul berpegang teguh dengan Al Kitab (tanpa penghapusan dan penggantian). Begitu pula tidak ada beda antara anak Yahudi dan Nashrani yang hidup setelah adanya penggantian Injil-Taurat di sana-sini dan yang hidup sebelumnya. Jika setelah adanya perubahan Injil-Taurat di sana-sini, anak Yahudi dan Nashrani disebut ahli kitab, begitu pula ketika anak Yahudi dan Nashrani tersebut hidup sebelum adanya perubahan Taurat-Injil, mereka juga disebut Ahli Kitab dan mereka kafir jika tidak mengimani Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Ta’ala tetap mengatakan kepada orang Yahudi dan Nashrani yang hidup di zaman beliau,
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab.” (QS. Ali Imron: 20)
Allah tentu saja mengatakan hal ini kepada orang yang hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau diperintahkan menyampaikan wahyu. Dan tidak mungkin ditujukan kepada Yahudi dan Nashrani yang telah mati.
***
Demikian kutipan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Iman. Jadi kesimpulannya, orang Yahudi dan Nashrani di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga yang hidup di zaman ini termasuk ahlul kitab, walaupun mereka sudah tidak lagi berpegang dengan kitab mereka yang asli dan kitab mereka telah mengalami perubahan di sana-sini.
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Pangukan, Sleman, 28 Dzulhijah 1430 H.
http://rumaysho.com/faedah-ilmu/siapakah-ahlul-kitab-716
وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab.” (QS. Ali Imron: 20)
Berikut penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengenai ayat di atas.
Ayat ini ditujukan pada Ahli Kitab di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal ajaran ahli kitab yang hidup di zaman beliau sudah mengalami naskh wa tabdiil (penghapusan dan penggantian). Maka ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menisbatkan dirinya pada Yahudi dan Nashrani, merekalah ahli kitab. Ayat ini bukan khusus membicarakan ahli kitab yang betul-betul berpegang teguh dengan Al Kitab (tanpa penghapusan dan penggantian). Begitu pula tidak ada beda antara anak Yahudi dan Nashrani yang hidup setelah adanya penggantian Injil-Taurat di sana-sini dan yang hidup sebelumnya. Jika setelah adanya perubahan Injil-Taurat di sana-sini, anak Yahudi dan Nashrani disebut ahli kitab, begitu pula ketika anak Yahudi dan Nashrani tersebut hidup sebelum adanya perubahan Taurat-Injil, mereka juga disebut Ahli Kitab dan mereka kafir jika tidak mengimani Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Ta’ala tetap mengatakan kepada orang Yahudi dan Nashrani yang hidup di zaman beliau,
وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab.” (QS. Ali Imron: 20)
Allah tentu saja mengatakan hal ini kepada orang yang hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau diperintahkan menyampaikan wahyu. Dan tidak mungkin ditujukan kepada Yahudi dan Nashrani yang telah mati.
***
Demikian kutipan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Iman. Jadi kesimpulannya, orang Yahudi dan Nashrani di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga yang hidup di zaman ini termasuk ahlul kitab, walaupun mereka sudah tidak lagi berpegang dengan kitab mereka yang asli dan kitab mereka telah mengalami perubahan di sana-sini.
Indahnya jika setiap hari bisa menyibukkan diri menggali faedah ilmu.
Faedah Ilmu dari Kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Al Iman, hal. 49, Al Maktab Al Islami, cetakan kelima, tahun 1416 H.
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Pangukan, Sleman, 28 Dzulhijah 1430 H.
http://rumaysho.com/faedah-ilmu/siapakah-ahlul-kitab-716
Siapakah Ahlul Kitab?
Pembahasan mengenai Ahlul-Kitab sangatlah penting karena terdapat beberapa hukum Islam yang terkait dengan mereka. Allah ta’ala telah
memberikan satu kekhususan bagi mereka yang tidak didapatkan oleh kaum
yang lain, seperti : kebolehan menikahi wanita mereka, kebolehan memakan
sembelihan mereka, dan yang lainnya. Oleh karena itu, di sini akan saya
tuliskan beberapa point penting yang terkait dengan mereka.
Ahlul-Kitab Termasuk Orang-Orang Kafir
Meskipun
Islam memberikan beberapa kekhususan bagi mereka, namun hal itu tidak
menjadikan mereka masuk dalam lingkaran iman dan Islam. Bara’ah kita kepada mereka tetap berlaku sebagaimana bara’ah itu
juga berlaku kepada orang-orang kafir secara umum. Itu harus menjadi
keyakinan segenap orang yang mengaku Rabb-nya adalah Allah dan Nabinya
adalah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala berfirman :
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
“Orang-orang
kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa
mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka
bukti yang nyata” [QS. Al-Bayyinah : 1].
مَا
يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلا الْمُشْرِكِينَ
أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ
بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Orang-orang
kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan
diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah
menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya
(kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar” [QS. Al-Baqarah : 105].
Yahudi dan Nashrani Termasuk Ahlul-Kitaab
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Yahudi dan Nashrani termasuk Ahlul-Kitaab.
Allah ta’ala berfirman :
الَّذِينَ
آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ
وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil)
mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan
sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran,
padahal mereka mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 146].
Mengomentari ayat di atas, Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
يقول جل ثناؤه: وإنّ طائفةً من الذين أوتوا الكتاب -وهُمُ اليهود والنصارى. وكان مجاهد يقول: هم أهل الكتاب.
“Allah yang Maha Agung dan Terpuji berfirman : ‘Dan sesungguhnya golongan yang telah diberikan Al-Kitaab’ – mereka adalah Yahudi dan Nashrani. Mujaahid berkata : ‘Mereka (Yahudi dan Nashrani) adalah Ahlul-Kitaab” [Tafsir Ath-Thabariy, 3/188, tahqiq : Ahmad Syaakir; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1420].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وأهل
الكتاب الذين هذا حكمهم، هم أهل التوراة والإنجيل. قال الله تعالى : (أَنْ
تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ
قَبْلِنَا). فأهل التوراة اليهود والسامرة، وأهل الإنجيل النصارى، ومن
وافقهم في أصل دينهم من الإِفْرِنْج والأَرْمَن وغيرهم
“Dan yang dimaksud dengan Ahlul-Kitab adalah ahlut-taurah dan ahlul-injiil. Allah ta’ala berfirman : ‘(Kami
turunkan Al Qur'an itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu
hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami’ (QS. Al-An’aam : 156). Maka, ahlut-taurah adalah Yahudi dan Saamirah, sedangkan ahlul-injiil adalah Nashaara dan yang berkesesuaian dengan pokok agama mereka, seperti kelompok Ifrij, Arman, dan yang lainnya” [Al-Mugniy,
9/546, tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul-Muhsin At-Turkiy & Dr.
‘Abdul-Fattaah bin Muhammad Al-Huluw; Daar ‘Aalamil-Kutub, 3/1417].
Apakah Majusi Termasuk Ahlul-Kitaab ?
Para ulama berbeda pendapat mengenai mereka. Jumhur ulama mengatakan mereka bukan termasuk Ahlul-Kitaab. Ibnu Qudaamah rahimahullah kembali berkata :
وليس
للمجوس كتاب، ولا تحل ذبائحهم، ولا نكاح نسائهم. نص عليه أحمد. وهو قول
عامة العلماء، إلا أبا ثور، فإنه أباح ذلك؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم :
((سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ)). ولأنه يُرْوى أن حذيفة
تزوج مجوسية. ولأنهم يقرون بالجزية. فأشبهوا اليهود والنصارى. ولنا، قول
الله تعالى : (وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ). وقوله : (وَلَا
تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ). فرخص من ذلك في أهل الكتاب...
“Orang-orang
Majusi tidaklah mempunyai Kitaab (sehingga bisa disebut Ahlul-Kitaab).
Tidak halal sembelihan dan wanita mereka. Hal itu telah dikatakan oleh
Ahmad, dan itulah pendapat jumhur ulama – kecuali Abu Tsaur. Ia (Abu
Tsaur) telah membolehkan hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan (aturan) yang diterapkan pada Ahlul-Kitaab’. Juga karena telah diriwayatkan bahwasannya Hudzaifah pernah menikahi wanita Majusi. Juga karena telah ditetapkan pungutan jizyah pada mereka dimana hal ini menyerupai Yahudi dan Nashrani. Adapun kami, (berdalil dengan) firman Allah ta’ala : ‘Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik’ dan juga firman-Nya : ‘Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir’. Maka Allah memberikan keringanan atas hal itu pada wanita Ahlul-Kitaab ….” [Al-Mughniy, 9/547].
Yang raajih dalam hal ini adalah pendapat jumhur ulama.
Hadits yang dimaksudkan oleh Abu Tsaur adalah sebagai berikut :
أَنَّ
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ذَكَرَ الْمَجُوسَ فَقَالَ مَا أَدْرِي كَيْفَ
أَصْنَعُ فِي أَمْرِهِمْ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَشْهَدُ
لَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ
Bahwasannya
‘Umar bin Al-Khaththaab menyebut-nyebut tentang orang Majusi. Ia
berkata : "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan terhadap mereka".
Lantas ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf berkata : "Aku bersaksi bahwa aku
mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan (aturan) yang diterapkan pada Ahlul-Kitaab".
Hadits ini hasan li-ghairihi.[1] Akan tetapi, yang dimaksudkan di sini adalah khusus perlakuan dalam pemungutan jizyah – bukan selainnya.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ
دِينَارٍ عَنْ بَجَالَةَ التَّمِيمِيِّ قَالَ لَمْ يُرِدْ عُمَرُ أَنْ
يَأْخُذَ الْجِزْيَةَ مِنْ الْمَجُوسِ حَتَّى شَهِدَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَخَذَهَا مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah memberitakan kepada kami
Ibnu Juraij : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Diinaar, dari
Bajaalah At-Tamiimiy, ia berkata : “’Umar tidak ingin memungut jizyah dari orang-orang Majusi, hingga ‘Abdurrahman bin 'Auf bersaksi bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah memungut jizyah dari orang-orang Majusi Hajar” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/194; shahih].[2]
Terdapat riwayat mursal shahih bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memungut jizyah dari orang Majusi Hajar, namun melarang untuk menikahi wanita mereka dan memakan sembelihan mereka.[3] Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
هذا مرسل وإجماع أكثر المسلمين عليه يؤكده ولا يصح ما روى عن حذيفة في نكاح مجوسية.
“Hadits ini mursal,
dan ijma’ kebanyakan kaum muslimin terhadapnya (haramnya memakan
sembelihan dan menikahi wanita-wanita Majusi) menguatkannya. Tidak
shahih riwayat pernikahan Hudzaifah dengan wanita Majusi” [As-Sunan Al-Kubraa, 9/192].
Ini menunjukkan orang-orang Majusi bukan termasuk golongan Ahlul-Kitaab.
Perhatikan pula riwayat berikut :
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِلَالٍ
عَنْ عِمْرَانَ الْقَطَّانِ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
إِنَّ أَهْلَ فَارِسَ لَمَّا مَاتَ نَبِيُّهُمْ كَتَبَ لَهُمْ إِبْلِيسُ
الْمَجُوسِيَّةَ
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Sinaan Al-Waasithiy : Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Bilaal, dari ‘Imraan Al-Qaththaan,
dari Abu Jamrah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Sesungguhnya penduduk
Persia ketika nabi mereka wafat, maka Iblis menuliskan untuk mereka
agama Majusi” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3042; dihasankan oleh
Al-Albaaniy].[4]
Atsar Ibnu ‘Abbaas di atas menunjukkan bahwa agama Majusiy bukan agama samawiy yang turun melalui perantara seorang Nabi dan Rasul.
Mengenai pernikahan Hudzaifah dengan wanita Majusiy, Ibnu Qudaamah berkata :
ولم
يثبت أن حذيفة تزوج مجوسية، وضعف أحمد رواية من روى عن حذيفة أنه تزوج
مجوسية. وقال : أبو وائل يقول : تزوج يهودية. وهو أوثق ممن روى عنه أنه
تزوج مجوسية. وقال ابن سيرين : كانت امرأة حذيفة نصرانية. ومع تعارض
الروايات لا يثبت حكم إحداهن إلا بترجيح، على أنه لو يثبت ذلك عن حذيفة،
فلا يجوز الاحتجاج به مع مخالفته الكتاب وقول سائر العلماء.
“Tidak
shahih riwayat Hudzaifah menikahi wanita Majusi. Ahmad telah
mendla’ifkan riwayat dari Hudzaifah bahwasannya ia menikahi wanita
Majusi. Ia (Ahmad) berkata : Abu Waail berkata : ‘(Hudzaifah) menikahi
wanita Yahudi’. Riwayat ini lebih shahih dari orang yang meriwayatkan
darinya menikahi wanita Majusi’. Ibnu Siiriin berkata : ‘Istri Hudzaifah
adalah seorang wanita Nashrani’. Dengan adanya pertentangan beberapa
riwayat hal ini, maka tidak sah hukum salah satu di antaranya kecuali
dengan jalan tarjih. Seandainya saja pernikahan dengan wanita
Majusi itu shahih dari Hudzaifah, tetap tidak boleh berhujjah dengan
karena menyelisihi Al-Qur’an dan perkataan seluruh ulama” [Al-Mughniy, 9/548].
Telah
lewat perkataan Al-Baihaqiy atas kelemahan riwayat pernikahan Hudzaifah
dengan wanita Majusi. Adapun riwayat pernikahannya dengan wanita
Yahudi, maka ini shahih.
حدثنا
عبد الله بن إدريس عن الصلت بن بهرام عن شقيق قال : تزوج حذيفة يهودية
فكتب إليه عمر أن خل سبيلها ، فكتب إليه : إن كانت حراما خليت سبيلها ،
فكتب إليه : إني لا أزعم أنها حرام ولكني أخاف أن يعاطوا المومسات منهن .
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari Ash-Shalt bin
Bahraam, dari Syaqiiq, ia berkata : Hudzaifah pernah menikahi wanita
Yahudi. (Mengetahui hal tersebut), ‘Umar menuliskan surat kepadanya agar
ia menceraikannya. Hudzaifah membalas suratnya dengan berkata :
‘Apabila hal itu diharamkan, aku pasti akan menceraikannya’. ‘Umar
kembali membalasnya : ‘Sesungguhnya aku tidak mengatakan hal itu
diharamkan. Akan tetapi aku khawatir engkau akan wanita pelacur di
antara mereka’ [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 9/85 no. 16417;
sanadnya shahih].[5]
Apakah Shaabi’uun Termasuk Ahlul-Kitaab ?
Para ulama pun berbeda pendapat mengenai mereka. Ibnu Qudaamah rahimahullaah berkata :
وأما
الصابئون، فاختلف فيهم السلف كثيرا، فَرُوِيَ عن أحمد أنهم جنس من
النصارى، ونص عليه الشافعي، وعلق القول فيهم موضع آخر. وعن أحمد أنه قال :
بلغني أنهم يسبتون، فهؤلاء إذا يشبهون اليهود. الصحيح فيهم أنهم إن كانوا
يوافقون النصارى أو اليهود في أصل دينهم، ويخالفون في فروعه، فهم ممن
وافقوه، وإن خالفوهم في أصل الدين، فليس هم منهم. والله أعلم.
“Adapun
golongan Shaabi’uun, salaf banyak berselisih pendapat tentangnya.
Diriwayatkan dari Ahmad bahwasannya mereka termasuk golongan Nashara.
Hal itu tegaskan oleh Asy-Syaafi’iy, dan ia memberikan komentar tentang
mereka di tempat yang lain. Dari Ahmad bahwasannya ia berkata : ‘Telah
sampai kepadaku mereka merayakan hari Sabtu. Jika demikian, maka mereka
serupa dengan orang-orang Yahudi’. Yang benar, jika mereka berkesesuaian
dengan Nashrani atau Yahudi dalam pokok (ushul) agama mereka namun menyelisihi dalam cabang (furu’),
maka mereka termasuk golongan yang berkesesuaian dengannya (Yahudi atau
Nashrani). Akan tetapi jika mereka menyelisihi Yahudi dan Nashrani
dalam pokok agama mereka, maka bukan termasuk mereka, wallaahu a’lam” [Al-Mughniy, 9/547].
As-Suddiy menguatkan mereka termasuk Ahlul-Kitaab [Tafsir Ath-Thabariy, 2/147]. Namun Mujaahid, Al-Hasan, Abu Najiih, dan Ibnu Zaid berpendapat mereka bukan termasuk Yahudi, Nashrani, ataupun Ahlul-Kitaab. [idem,
2/146]. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat, sebab tidak ada nash
yang shahih dan sharih menyatakan mereka termasuk golongan yang
diberikan Al-Kitab. Wallaahu a’lam.
Al-Albaaniy berkata :
لا نعلم أهل الكتاب إلا اليهود والنصارى
“Kami tidak mengetahui tentang Ahlul-Kitaab kecuali Yahudi dan Nashrani” [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah oleh Husain bin ‘Audah, 5/108; Al-Maktabah Al-Islaamiyyah, Cet. 1/1425].
Pendapat ini sangat kuat karena sejalan dengan firman Allah ta’ala :
وَهَذَا
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُونَ * أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى
طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ
لَغَافِلِينَ
“Dan
Al-Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka
ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat, (Kami turunkan Al
Qur'an itu) agar kamu (tidak) mengatakan : ‘Bahwa kitab itu hanya
diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami
tidak memperhatikan apa yang mereka baca" [QS. Al-An’aam : 155-156].
Hindu, Budha, Konghucu, dan yang Lainnya Termasuk Ahlul-Kitaab ?
Agama-agama tersebut merupakan agama buatan manusia yang Allah ta’ala tidak pernah memberikan keterangan tentangnya. Allah ta’ala tidak
pernah memberikan Kitab kepada mereka. Bahkan, mereka menyembah berhala
dengan terang-terangan. Seandainya mereka termasuk Ahlul-Kitaab,
niscaya Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menurunkan keterangan tentangnya.
Pendapat yang menyatakan mereka termasuk Ahlul-Kitaab adalah pendapat yang baathil.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ al-bogoriy – rajab 1431 – perumahan ciomas permai].
[1] Diriwayatkan oleh Maalik 2/669-670 no. 669, Asy-Syaafi’iy dalam Al-Musnad no. 1773, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 11/169 no. 2751, ‘Abdurazzaaq no. 10025, Abu Ya’laa no. 862, Al-Baihaqiy 9/189-190, dan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 54/269; dari jalan Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari ‘Umar bin Al-Khaththaab. Sanad hadits ini munqathi’ karena Muhammad bin ‘Aliy tidak pernah bertemu ‘Umar dan juga ‘Abdurrahman bin ‘Auf [lihat : At-Tamhiid, 2/114].
Diriwayatkan juga oleh Al-Bazzaar dalam Al-Musnad
3/264-265 no. 1056 dari jalan ‘Amru bin ‘Aliy, ia berkata : Telah
memberitakan kepada kami Abu ‘Aliy Al-Hanafiy, ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepada kami Maalik bin Anas, dari Ja’far bin Muhammad bin
‘Aliy, dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Umar. Abu ‘Aliy Al-Hanafiy ini adalah : ‘Ubaidullah bin ‘Abdil-Majiid Al-Hanafiy, seorang yang tsiqah. Sanad hadits ini ma’lul.
Ad-Daaruquthniy berkata : “Diriwayatkan oleh Maalik; dari riwayat Abu
‘Aliy ‘Ubaidullah bin ‘Abdil-Majiid Al-Hanafiy darinya (Maalik bin
Anas), dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari kakeknya ‘Aliy bin
Al-Husain. Ia telah diselisihi jama’ah ashhaabu Maalik dimana
mereka tidak menyebutkan (dalam rantai sanadnya) : ‘dari kakeknya’.
Begitu juga yang diriwayatkan oleh Ats-Tsauriy, Sulaimaan bin Bilaal,
‘Abdullah bin Idriis, Hafsh bin Ghiyaats, Anas bin ‘Iyaadl, dan Abu
‘Aashim An-Nabiil; dari Ja’far bin Muhammad - Abu ‘Aashim tidak
mendengar dari Ja’far bin Muhammad selain hadits tersebut. Diriwayatkan
juga oleh ‘Abdul-Wahhaab Ats-Tsaqafiy, Al-Qaasim bin Ma’n, Ibnu Juraij,
‘Aliy Ghiraab, dan yang lainnya; dari Ja’far, dari ayahnya secara mursal dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf tanpa menyebutkan dalam sanadnya ‘Aliy bin Al-Husain. Inilah yang benar” [Al-‘Ilal,
4/299, tahqiq : Dr. Mahfudhur-Rahmaan As-Salafiy; Daaruth-Thayyibah,
Cet. 1/1406]. Selain itu, ‘Aliy bin Al-Husain juga tidak pernah
mendengar dari ‘Umar dan ‘Abdurahman bin ‘Auf radliyallaahu ‘anhumaa sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abdil-Barr dan Ibnu Hajar.
Hadits ini mempunyai syaahid. Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath
(3/375 no. 3442), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan
bin Sahl : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim Al-Hajjaaj : Telah
menceritakan kepada kami Abu Rajaa’, dari Al-A’masy, dari Zaid bin Wahb :
Bahwasannya ‘Umar pernah bertanya tentang status orang-orang Majusi.
Lalu ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf berkata : Aku bersaksi bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
المجوس طائفة من أهل الكتاب، فاحملواهم على ما تحملون عليه أهل الكتاب
“Majusi
adalah golongan dari Ahlul-Kitaab. Maka perlakukanlah/bebanilah mereka
apa yang kalian perlakukan dengannya pada Ahlul-Kitaab (yaitu dalam
penarikan jizyah – Abul-Jauzaa’)”.
Al-Hasan bin Sahl mempunyai mutaba’ah dari
Ibnu Abi ‘Aashim dan Al-Hasan bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Mujawwin : Telah
menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-Hajjaaj; selanjutnya seperti
sanad di atas [lihat : Lisaanul-Miizaan, 3/487 dan Ma’rifatush-Shahaabah oleh Abu Nu’aim hal. 128 no. 497].
Sanad hadits ini dla’iif.
Abu Rajaa’ adalah Rauh bin Al-Musayyib At-Tamiimiy. Ibnu Ma’iin berkata : “Shuwailih”. Abu Haatim berkata : “Shaalih, tidak kuat” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 3/496 no. 2247]. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Bashrah yang tsiqah”. Abu Daawud berkata : “Tidak mengapa dengannya” [Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil, 1/251 no. 1282]. Ibnu Syaahiin memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat (hal. 129 no. 350). Ibnu Hibbaan berkata : “Meriwayatkan dari orang-orang tsiqah hadits palsu, membolak-balikkan sanad, memarfu’kan sanad mauquf,… tidak halal riwayat yang berasal darinya” [Al-Majruuhiin, 1/370 no. 342]. Ibnu ‘Adiy berkata : “Meriwayatkan dari Tsaabit dan Yaziid Ar-Raqqaasiy hadits-hadits yang tidak mahfuudh” [Al-Kaamil, 4/58 no. 664]. Al-Bazzaar berkata : “Tsiqah” [Lisaanul-Miizaan, 3/486-487 no. 3175]. Ibnul-Jauziy memasukkannya dalam jajaran perawi dla’iif [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun, 1/289 no. 1251]. Begitu juga dengan Adz-Dzahabiy [Al-Mughniy 1/358 no. 2149 dan Ad-Diiwaan hal. 140 no. 1436]. Kesimpulannya : Ia seorang yang tidak kuat haditsnya, terutama jika bersendirian dalam periwayatan. Wallaahu a’lam.
Selain itu, Al-A’masy telah membawakan dengan ‘an’anah sedangkan ia seorang mudallis.
Catatan : Lafadh : ‘Majusi adalah golongan dari Ahlul-Kitaab’ bukan termasuk lafadh yang dikuatkan oleh hadits sebelumnya, sehingga hukumnya tetap dla’iif.
[2] Riwayat
Bajaalah At-Tamiimiy dari ‘Umar bin Al-Khaththaab melalui perantaraan
surat ‘Umar yang datang kepadanya saat ia (Bajaalah) menjabat sekretaris
Jaza’ bin Mu’aawiyyah.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, ia berkata :
حدثنا
وكيع عن سفيان عن قيس بن مسلم عن الحسن بن محمد أن النبي صلى الله عليه
وسلم كتب إلى مجوس أهل هجر يعرض عليهم الاسلام فمن أسلم قبل منه ومن لم
يسلم ضرب عليه الجزية غير ناكحي نسائهم ولا آكلي ذبائحهم
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Qais bin Muslim, dari Al-Hasan bin Muhammad : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
menulis kepada orang-orang Majusi Hajar menawarkan pada mereka Islam.
Barangsiapa yang masuk Islam, maka diterima. Dan barangsiapa yang tidak
mau, maka dikenakan kewajiban membayar jizyah, kecuali jangan menikahi wanita-wanita mereka dan memakan sembelihan-sembelihan mereka” [Al-Mushannaf, 9/118-119 no. 16581 – tahqiq : Muhammad ‘Awwaamah].
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq no. 10028, Abu ‘Ubaid dalam Al-Amwaal no. 76, Al-Haarits bin Abi Usaamah dalam Zawaaid-nya
no. 675, dan Al-Baihaqiy 9/284-285; semuanya dari jalan Sufyaan
Ats-Tsauriy, dari Qais bin Muslim, selanjutnya seperti hadits di atas.
Para perawinya adalah tsiqaat, akan tetapi Al-Hasan bin Muhammad bin ‘Aliy bin Abi Thaalib tidak pernah bertemu dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mursal.
[4] Ahmad bin Sinaan Al-Waasithiy adalah seorang yang tsiqah lagi haafidh.
Muhammad
bin Bilaal Al-Kindiy, ia diperselisihkan para ulama. Abu Daawud berkata
: “Tidaklah aku mendengar (tentangnya) kecuali kebaikan”. Ibnu Hibbaan
memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu ‘Adiy berkata : “Haditsnya
tidak banyak, aku mengharap tidak mengapa dengannya”. Al-‘Uqailiy
berkata : “Orang Bashrah, banyak keliru dalam haditsnya”. Adz-Dzahabiy
mengomentarinya : “Shaduuq, keliru dalam hadits sebagaimana lumrahnya orang-orang berbuat keliru”. Kesimpulan yang benar atas dirinya adalah shaduuq hasanul-hadiits.
‘Imraan
bin Daawar Al-‘Ammiy, ia diperselisihkan para ulama. ‘Abdurrahman bin
Mahdiy meriwayatkan darinya dimana ini sama dengan pentautsiqan darinya.
Yahyaa Al-Qaththaan memujinya. Ahmad berkata : “Aku berharap ia seorang
yang shaalihul-hadiits”. Di riwayat lain : “Laisa bi-dzaaka”. Di riwayat lain : “Syaikh”.
Ad-Daaruquthniy berkata : “Banyak kekeliruan dan penyelisihan”. Ibnu
Ma’iin berkata : “Tidak kuat”. Al-Aajurriy berkata : “Yahyaa bin Sa’iid
tidak meriwayatkan darinya, ia tidak ada apa-apanya”. Abu Daawud berkata
: “Aku tidak mendengar (tentangnya) kecuali kebaikan”. Di riwayat lain
ia berkata : “Lemah. Ia telah berfatwa di jaman Ibraahiim bin ‘Abdillah
bin Hasan dengan satu fatwa yang keras yang padanya terdapat penumpahan
darah”. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif”. Di riwayat lain : “Tidak kuat”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia termasuk orang yang ditulis haditsnya”. Al-Bukhaariy berkata : “Shaduuq yahimu”. Ia (Al-Bukhaariy) meriwayatkan haditsnya secara mu’allaq dalam Shahih-nya. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Bashrah, tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Shaduuq”. ‘Affaan telah mentsiqahkannya. Al-Haakim berkata : “Shaduuq”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq yahimu”. Al-Haitsamiy
berkata : “Telah ditsiqahkan”. Al-Albaaniy berkata : “Terdapat sedikit
perbincangan padanya, dan haditsnya tidak turun dari tingkatan hasan”.
Sebagian ulama menuduh ‘Imraan mempunyai pemikiran yang condong pada
Khawarij, namun sebagian yang lain menolaknya (seperti Ibnu Hajar).
Abu Jamrah adalah Nashr bin ‘Imraan bin ‘Ishaam; seorang yang tsiqah lagi tsabt.
[5] ‘Abdullah bin Idriis bin Yaziid bin ‘Abdirrahman Al-Aswad, seorang yang tsiqah, faqiih, lagi ahli ibadah.
Shalt bin Bahraam Al-Kuufiy At-Taimiy, seorang yang tsiqah. Al-Bukhaariy berkata : “Ia mendengar riwayat dari Abu Waail (Syaqiiq), shaduuq fil-hadiits”. Abu Zur’ah menyebutkannya dalam Asaamiyyudl-Dlu’afaa’. Abu Daawud berkata : “Tsiqah”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hibbaan berkata : “Orang Kufah, kuat haditsnya (‘aziizul-hadiits)”. Ibnu ‘Uyainah berkata : “Orang yang paling jujur dari penduduk Kuffah”. Ahmad bin Hanbal berkata : “Orang Kuffah, tsiqah”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq, ia tidak mempunyai ‘aib, kecuali pemahaman irjaa’” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 4/438-439 no. 1920, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 1/400 no. 1904, dan Ats-Tsiqaat 6/no. 8637].
Syaqiiq bin Salamah Al-Asadiy, Abu Waail; seorang yang tsiqah.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/07/siapakah-ahlul-kitaab.html