اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلٰهًا وَاحِدًا لَّا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka
-ahli kitab- menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai
sesembahan selain Allah, demikian juga al-Masih putra Maryam. Padahal
mereka tidak diperintahkan kecuali agar beribadah kepada sesembahan yang
satu, tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Dia. Maha suci Dia dari
perbuatan syirik yang mereka lakukan.” (QS. at-Taubah: 31)
Ayat yang mulia ini mengandung banyak pelajaran berharga, di antaranya:
1. Ayat ini menunjukkan bahwa taklid bisa menyeret pelakunya ke jurang kemusyrikan
2. Ketaatan
adalah ibadah. Syahadat la ilaha illallah mengharuskan seorang muslim
untuk mengesakan Allah dalam hal ketaatan serta menjadikan Rasul sebagai
satu-satunya panutan, orang yang menaati Rasul sesungguhnya dia telah
menaati Allah (lihat al-Jadid, hal. 75).
Oleh
sebab itu menaati makhluk dalam bermaksiat kepada Allah merupakan
bentuk ibadah kepada makhluk tersebut (lihat al-Jadid, hal. 337)
3. Ayat
ini menunjukkan bahwa makna ibadah itu luas, tidak hanya sujud dan
semacamnya. Namun ibadah itu juga bisa berbentuk ketaatan (al-Mulakhash,
hal. 246).
Karena
yang dimaksud menjadikan pendeta dan rahib sebagai sesembahan di dalam
ayat ini adalah menaati mereka dalam memutarbalikkan hukum Allah,
sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat Tirmidzi dan dihasankannya
dari Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu bahwa ketika itu dia mendengar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini, maka Adi bin Hatim
-yang dulunya Nasrani- berkata, “Sesungguhnya dahulu kami tidak
menyembah mereka.” Maka Nabi menjawab, “Bukankah mereka mengharamkan apa
yang dihalalkan Allah kemudian kalian pun ikut mengharamkannya dan
mereka juga menghalalkan apa yang diharamkan Allah kemudian kalian ikut
menghalalkannya?”. Adi menjawab, “Benar.” Nabi bersabda, “Itulah bentuk
ibadah kepada mereka.” (lihat al-Jadid, hal. 336)
4.
Ayat ini dengan hadits yang menafsirkannya menunjukkan bahwa menetapkan
halal dan haram adalah hak Allah ta’ala, bukan wewenang manusia. Adapun
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan saja. Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- berbicara
dengan hawa nafsunya akan tetapi apa yang diucapkannya adalah wahyu yang
diwahyukan kepadanya.” (QS, an-Najm: 3-4). Sehingga ayat ini mengandung
bantahan bagi orang-orang yang mengangkat sekutu bagi Allah dalam hal
penetapan hukum/pembuatan syari’at. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mengatur bagi
mereka sesuatu dalam urusan agama yang tidak diijinkan oleh Allah.” (QS.
asy-Syura: 21) (lihat Kitab at-Tauhid li Shaffil Awwal, hal. 53-54)
5. Ayat ini menunjukkan bahwa syirik itu bisa berupa syirik dalam hal ketaatan (al-Mulakhash, hal. 246)
6. Menaati
ulama dan ahli ibadah untuk bermaksiat dan melakukan kedurhakaan kepada
Allah merupakan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah, oleh sebab
itulah Allah menyebut mereka ‘telah menjadikan ulama dan ahli ibadah
itu sebagai sesembahan selain Allah’. Hal ini tidak hanya menimpa ahli
kitab, namun juga menimpa umat ini, sebagaimana realita yang ada di
tengah-tengah kita. Perbuatan ini tergolong dosa syirik akbar yang
bertolak belakang dengan ajaran tauhid yang terkandung dalam syahadat la
ilaha illallah (lihat Fath al-Majid, hal. 96-97 dan 378 cet. Dar
al-Hadits).
Orang
yang melakukannya dihukumi musyrik jika dia benar-benar mengetahui
bahwa apa yang dia ikuti itu menyelisihi syari’at Allah namun dia tetap
nekat mengikutinya (lihat al-Mulakhash, hal. 246)
7. Mengikuti
pendapat ulama tanpa memperhatikan landasan hukum/dalil yang
digunakannya bisa menjerumuskan orang ke dalam kebinasaan.
Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Aku heran dengan suatu kaum
yang mengerti seluk beluk isnad dan kesahihannya namun mereka justru
cenderung mengikuti pendapat Sufyan -dan meninggalkan hadits- sementara
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Hendaklah merasa takut
orang-orang yang menyelisihi urusan Rasul karena mereka akan ditimpa
fitnah atau siksaan yang amat pedih.’ (QS. an-Nuur: 63). Tahukah kalian
apa itu fitnah? Fitnah itu adalah syirik. Bisa jadi ketika dia membantah
sebagai sabda Nabi maka muncullah penyimpangan di dalam hatinya
sehingga menyeretnya dalam kebinasaan.” (lihat al-Jadid, hal. 334).
Dari
ucapan Imam Ahmad ini bisa diambil pemahaman bahwa barangsiapa yang
taklid kepada ulama sebelum sampainya hujjah/dalil kepadanya maka dia
tidak dicela. Yang dicela adalah apabila telah sampai kepadanya dalil
namun dia meninggalkannya gara-gara berbeda dengan ucapan salah seorang
imam (lihat Fath al-Majid, hal. 376)
8. Tidak
boleh menentang sesuatu yang telah ditetapkan oleh al-Kitab maupun
as-Sunnah dengan perkataan siapapun. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, “Hampir-hampir saja turun hujan batu
dari langit kepada kalian. Aku katakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, namun kalian justru mengatakan; Abu Bakar dan Umar
mengatakan demikian.” (lihat al-Jadid, hal. 333).
Dari
ucapan Ibnu Abbas ini bisa kita petik pelajaran: Wajibnya mengingkari
dengan keras kepada orang yang telah sampai kepadanya dalil namun dia
tidak mau mengikutinya semata-mata karena taklid kepada imamnya. Oleh
sebab itu wajib mengingkari orang-orang yang meninggalkan dalil hanya
karena bertentangan dengan perkataan salah seorang ulama, siapa pun dia,
kecuali apabila hal itu terjadi dalam lingkup ijtihad yang memang tidak
ada rujukan tegasnya di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah. Adapun
barangsiapa yang jelas-jelas menyelisihi al-Kitab atau as-Sunnah maka
wajib membantahnya, dan hal ini merupakan perkara yang disepakati oleh
seluruh ulama (lihat Fath al-Majid, hal. 373, 374).
Sehingga
taklid dalam perkara yang jelas-jelas bertentangan dengan dalil-dalil
syari’at atau kesepakatan ulama adalah tindakan yang tidak diperbolehkan
dalam agama (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 497).
Hal
ini mengisyaratkan bahwa perkara yang seseorang dibolehkan taklid
padanya adalah dalam perkara-perkara ijtihadiyah, sehingga perkara yang
padanya diharamkan ijtihad maka tidak boleh taklid di dalamnya (lihat
Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 496).
9. Tercelanya
taklid kepada ulama yaitu bagi orang-orang yang memiliki kemampuan
untuk berijtihad dan memahami dalil (lihat al-Jadid, hal. 337)
10. Pada
asalnya orang yang bisa memahami dalil dan mengetahui tata cara
penarikan kesimpulan hukum/istidlal diharamkan untuk taklid (lihat
al-Mulakhash, hal. 245).
Orang
yang mampu berijtihad diperbolehkan untuk taklid -menurut pendapat yang
lebih kuat- apabila dia menjumpai keadaan tertentu, misalnya; karena
dalil-dalil yang ada tampak bertentangan satu sama lain, atau karena
waktu yang sempit sehingga tidak memungkinkan baginya untuk berijtihad,
atau karena belum ada dalil yang sampai kepadanya, atau sebab lainnya
yang membuatnya tidak mampu berijtihad pada saat itu juga maka gugurlah
kewajibannya untuk berijtihad sehingga berpindah kepada penggantinya
yaitu taklid (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 497)
11.
Ketaatan kepada ulama tanpa melihat landasan dalil mereka dan
meninggalkan pelaksanaan al-Kitab maupun as-Sunnah merupakan syirik
dalam bentuk ketaatan (al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 244)
12. Tidak boleh taat kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah (al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 74)
13. Barangsiapa
mengangkat sosok tertentu selain Allah untuk menghalalkan yang haram
atau mengharamkan yang halal maka dia telah menjadikannya sebagai
sesembahan. Dia menjadi musyrik karena telah mengangkat pembuat syari’at
selain Allah ta’ala. Padahal penetapan syari’at hanyalah dimiliki oleh
Allah ta’ala (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 57,
al-Jadid hal 74)
14. Ulama adalah manusia, bisa terjerumus dalam kesalahan, bukan sosok yang ma’shum (al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75).
Oleh
sebab itu wajib meninggalkan semua pendapat ulama yang jelas-jelas
terbukti bertentangan dengan al-Kitab maupun as-Sunnah. Imam asy-Syafi’i
rahimahullah berkata, “Apabila kalian temukan di dalam kitabku sesuatu
yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka
ambillah Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
tinggalkanlah apa yang kukatakan.” (lihat Fath al-Majid, hal. 377).
Maka
semestinya bagi siapa pun yang menekuni karya-karya ulama madzhab yang
dianutnya untuk berusaha mengkaji pendapat ulama lain yang berbeda
dengan pendapat imamnya serta dalil yang mereka gunakan, hal itu harus
dia lakukan dalam rangka mengikuti dalil yang ada melalui siapapun
datangnya (lihat catatan kaki Fath al-Majid, hal. 377).
Apabila
seseorang mengikuti pendapat orang lain setelah mengkaji dalil-dalilnya
dan mengetahui kebenarannya maka hal itu tidak lagi disebut sebagai
taklid tetapi tarjih dan ikhtiyar, sehingga dia tidak layak disebut
sebagai muqallid. Adapun orang yang sengaja mengambil pendapat orang
lain tanpa memperhatikan dalil-dalilnya -padahal dia mampu untuk
melakukannya- maka dia adalah seorang muqallid, dan hal itu tidak
diijinkan baginya dalam kondisi dia bisa melakukan hal itu (lihat
Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 496).
Maka
dari sini kita bisa mengambil pelajaran betapa tipisnya batas antara
seorang yang taklid dengan orang yang ittiba’ kepada Sunnah dengan jalan
tarjih (menguatkan pendapat ulama), sebagaimana tipisnya batas antara
orang yang mengikuti pendapat ulama karena kekuatan dalilnya dengan
orang yang mengikuti pendapat ulama karena bersesuaian dengan hawa
nafsunya, la haula wa la quwwata illa billah!
15.
Ayat ini menunjukkan betapa besar bahaya yang ditimbulkan oleh ulama
yang sesat bagi umat (al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75)
16.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa ketergelinciran seorang ulama bisa
menyebabkan manusia terjerumus dalam kehancuran agamanya. Ziyad bin
Hudair mengatakan: Umar berkata kepadaku, “Tahukah kamu apa yang
menghancurkan Islam?”. Kujawab, “Tidak.” Dia berkata, “Yang
menghancurkannya adalah ketergelinciran seorang alim/ulama, orang
munafik yang mendebat dengan membawa-bawa ayat al-Qur’an, dan ketetapan
para imam yang menyesatkan.” (HR. ad-Darimi, lihat Fath al-Majid, hal.
379)
17. Ayat
ini juga mengisyaratkan untuk memberikan pengajaran kepada orang yang
tidak mengerti agama/jahil agar dia beragama di atas dalil, bukan
semata-mata taklid kepada ulama
18.
Ayat ini mengandung bantahan bagi kaum Nasrani yang mengangkat Nabi Isa
‘alaihis salam sebagai sesembahan. Ayat ini juga menegaskan bahwa
beliau adalah hamba Allah, bukan sesembahan (lihat al-Mulakhash, hal.
57)
19. Ayat
ini menunjukkan bahwa sesuatu yang pada asalnya diperintahkan di dalam
agama bisa berubah menjadi dilarang dalam kondisi tertentu. Bertanya dan
mengikuti ulama merupakan perkara yang diperintahkan. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah
dan taatilah rasul serta ulil amri (ulama dan umara) di antara kalian…”
(QS. an-Nisaa’: 59). Allah juga berfirman (yang artinya), “Bertanyalah
kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl: 43).
Namun
apabila hal itu diterapkan tanpa memperhatikan batasan-batasannya akan
dapat menjerumuskan pelakunya dalam kedurhakaan kepada Allah, bahkan
kemusyrikan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad di atas, “Aku
heran dengan suatu kaum yang mengerti seluk beluk isnad dan kesahihannya
namun mereka justru cenderung mengikuti pendapat Sufyan -dan
meninggalkan hadits- sementara Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
‘Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan Rasul karena
mereka akan ditimpa fitnah atau siksaan yang amat pedih.’ (QS. an-Nuur:
63). Tahukah kalian apa itu fitnah? Fitnah itu adalah syirik. Bisa jadi
ketika dia membantah sebagai sabda Nabi maka muncullah penyimpangan di
dalam hatinya sehingga menyeretnya dalam kebinasaan.” (lihat al-Jadid,
hal. 334).
20.
Ayat ini juga mengisyaratkan tentang bahaya fitnah kedudukan, dimana
kedudukan sebagai ahli ibadah dan ahli ilmu -yang di dalam pandangan
orang dinilai sebagai sosok yang dekat dengan Allah dan mengenal agama-
dapat menyebabkan pemiliknya terseret dalam tindakan kezaliman, yaitu
menetapkan halal dan haram tanpa ada hujjah yang nyata. Oleh sebab
itulah kita dapati generasi terbaik umat ini -yaitu para sahabat- adalah
orang-orang yang paling berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa! Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah terlontar suatu ucapan
melainkan di sisinya ada malaikat yang dekat dan senantiasa mencatat.”
(QS. Qaaf: 18).
21. Tauhid
yang murni menuntut seorang hamba untuk memurnikan ittiba’nya hanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dia tidak akan
mengangkat sosok manapun untuk harus diikuti ucapan dan perbuatannya
selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Barangsiapa menaati Rasul sesungguhnya dia telah
menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Betapa pun besar kekagumannya
kepada seorang ulama atau ahli ibadah maka tidak boleh membuatnya
meninggalkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
gara-gara menyelisihi ulama atau tokoh yang dikaguminya itu.
Sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, “Hampir-hampir saja
turun hujan batu dari langit kepada kalian. Aku katakan: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, namun kalian justru mengatakan;
Abu Bakar dan Umar mengatakan demikian.” (al-Jadid, hal. 333). Kalau Abu
Bakar dan Umar saja -seandainya perkataannya menyelisihi Nabi- harus
disikapi demikian, maka bagaimanakah lagi pendapat anda tentang orang
yang lebih mengutamakan ucapan Syaikh dan pendiri pergerakannya di atas
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?! Lalu bagaimana lagi
jika yang dieluk-elukkan itu adalah perkataan orang-orang kafir semacam
Karl Marx, atau yang lainnya?
_____________________________________________________
Sumber: http://abumushlih.com/menjadi-musyrik-gara-gara-taklid.html/
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/menjadi-musyrik-gara-gara-taklid.html