Diriwayatkan dari sebagian istri Nabi shallallaahu alaihi wa sallam,
beliau bersabda,“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal dan meminta
untuk mengabarkan sesuatu, kemudian ia membenarkan perkataannya maka
tidak diterima shalatnya 40 hari”[1]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah
shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa yang mendatangi
tukang ramal atau dukun kemudian membenarkan perkataannya, maka ia
telah kufur dengan Al Qur’an yang telah diturunkan kepada Muhammad
shallallaahu alaihi wa sallam”[2]
Syaikh Muhammad Al Yamani Al Wushobiy mendefinisikan tukang ramal (‘arraaf),
yaitu seseorang yang memberitahukan letak barang yang hilang atau
dicuri dan selainnya yang tersembunyi keberadaannya bagi manusia. Maka
sebagian manusia mendatangi tukang ramal tersebut dan ia memberitahukan
tentang sihir, barang yang hilang, barang yang dicuri, maupun identitas
pencuri atau penyihir, atau informasi sejenis yang tidak diketahui.
Berbeda dengan dukun (kaahin, populer dengan sebutan “paranormal” dalam
bahasa Indonesia -pen) yaitu seseorang yang memberitahukan kepada
manusia perkara ghaib, yang belum pernah terjadi, seperti Mahdi Amin[3],
kalangan dukun dan sejenisnya, begitu pula orang yang memberitahukan
perkara batin dalam diri manusia (biasanya dengan memberitahukan
sifat-sifat rahasia, karakter, atau watak orang tersebut yang hanya
diketahui dirinya pribadi –pen).[4]
Sedangkan zodiak ialah diagram yang digunakan oleh ahli
astrologi untuk menggambarkan posisi planet dan bintang. Diagram
tersebut dibagi menjadi 12 bagian, masing-masingnya memiliki nama dan
simbol. Zodiak digunakan untuk memperkirakan pengaruh kedudukan planet
terhadap nasib atau kehidupan seseorang.”[5]
Inilah beberapa pembahasan yang diambil dari berbagai penjelasan para
ulama, yang insya Allah akan kami ketengahkan ke hadapan pembaca.
Semoga Allah mudahkan.
Hukum Mendatangi Tukang Ramal
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta’ala
berkata,“Zhahir hadits (yang kami sebutkan di atas –pen) ialah
barangsiapa yang bertanya kepada tukang ramal, maka shalatnya tidak
akan diterima 40 hari, akan tetapi hukum ini tidaklah berlaku mutlak.
Adapun hukum bertanya kepada tukang ramal dan sejenisnya terbagi
menjadi beberapa jenis:
Jenis Pertama: hanya sekedar bertanya saja, maka ini adalah haram
berdasarkan sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa
yang mendatangi tukang ramal,… dst. (yang telah disebutkan di atas
–pen). Maka ditetapkannya hukuman bagi orang yang bertanya kepada
tukang ramal menunjukkan keharamannya, karena tidaklah hukuman atas
suatu perbuatan itu disebutkan kecuali menunjukkan atas keharamannya.
Jenis Kedua: bertanya kepada tukang ramal kemudian membenarkan dan mempercayai perkataannya, maka hal ini adalah bentuk kekufuran,
karena membenarkan perkara ghaib berarti mendustakan Al Qur’an di mana
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun
di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib, kecuali Allah”
(QS. An Naml : 65).
Jenis Ketiga: bertanya kepada tukang ramal dengan maksud
untuk mengujinya, apakah ia jujur atau pendusta, bukan dengan maksud
untuk mengambil perkataannya. Maka hal ini tidaklah mengapa, dan tidak
termasuk dalam hadits di atas. Nabi shallallaahu alaihi wa sallam
pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad[6], “Apa yang aku
sembunyikan darimu?” Ibnu Shayyad menjawab, “Asap”, maka Nabi menjawab,
“Tetaplah di tempatmu. Engkau tidak akan melampaui apa yang telah
Allah takdirkan padamu.”[7]
Jenis Keempat: bertanya dengan maksud untuk
menampakkan kelemahan dan kedustaan tukang ramal tersebut, kemudian
mengujinya dalam rangka menjelaskan kedustaan dan kelemahannya. Maka
hal ini dianjurkan, bahkan hukumnya terkadang menjadi wajib.
Karena menjelaskan batilnya perkataan dukun tidak diragukan lagi
merupakan suatu hal yang dianjurkan, bahkan bisa menjadi wajib.
Maka larangan bertanya kepada tukang ramal tidaklah berlaku mutlak,
akan tetapi dirinci sesuai dalil-dalil syar’i yang telah
disebutkan.”[8]
Bagaimana Cara Tukang Ramal Mengetahui Hal-Hal Ghaib?
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhahullahu ta’ala
menjelaskan,“Dukun tidaklah mengetahui perkara ghaib kecuali
menggunakan jin, yaitu dengan cara beribadah kepada jin tersebut dengan
ibadah yang mengandung kesyirikan. Kemudian jin menggunakan kesempatan
untuk memalingkan manusia dari ibadah kepada Allah, dan hal tersebut
dilakukan agar jin mau mengabarkan hal-hal ghaib.
Adapun jin dapat mengetahui perkara ghaib, yang terkadang benar, dengan
cara mencuri rahasia langit. Yaitu jin saling menumpuk satu sama lain
hingga mendengar wahyu Allah Jalla wa ‘Ala dari langit. Maka
dilemparilah jin dengan panah api sebelum jin tersebut memperoleh
rahasia langit dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi terkadang panah
api tersebut dilemparkan setelah jin memperoleh rahasia langit. Maka
jin kemudian membawa rahasia tersebut kepada dukun, akan tetapi diubah
dengan kedustaan, atau ditambah dengan 100 kedustaan. Dukun kemudian
mengagungkan jin karenanya, dan pengagungan tersebut ialah bentuk
ibadah manusia atas jin.
Adapun sebelum diutusnya Nabi ‘alaihish shalatu wa sallam banyak
rahasia langit yang beredar, akan tetapi pasca pengutusan Nabi alahish
shalatu wa sallam langit dijaga dengan lebih ketat, karena Al Qur’an
dan wahyu telah turun, maka rahasia langit dijaga agar tidak ada yang
menyerupai wahyu dan nubuwwah. Hingga wafatnya Nabi alaihish shalatu wa
sallam rahasia langit kembali beredar akan tetapi hanya sedikit
dibandingkan sebelum diutusnya Nabi. Maka dapat disimpulkan bahwa
kondisi rahasia langit terbagi menjadi tiga :
- Sebelum pengutusan Nabi alaihish shalatu wa sallam: rahasia langit banyak beredar
- Setelah pengutusan Nabi alaihish shalatu wa sallam: jin tidak mendapat rahasia langit kecuali sangat jarang terjadi, itu pun bukan merupakan wahyu dari Allah Jalla wa ‘Alla
- Setelah wafatnya Nabi alaihish shalatu wa sallam: rahasia langit kembali beredar, akan tetapi tidak sebanyak sebelumnya, karena langit dijaga ketat dengan panah api. Allah Jalla wa ‘Ala menjelaskan hal tersebut dalam banyak ayat Al Qur’an, mengenai bintang-bintang dan panah api yang dilemparkan kepada jin, sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Kecuali syaithan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (QS. Al Hijr : 18)[9]
Hanya Allah yang Mengetahui Perkara Ghaib
Ahmad bin Abdul Halim Al Harroni rahimahullah membagi perkara ghaib menjadi dua jenis, yaitu:
Pertama, ghaib muthlaq, yang tidak diketahui oleh seluruh
makhluq. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),“Maka Dia tidak
memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu” (QS. Al Jin : 26)
Kedua, ghaib muqayyad yang tidak diketahui kecuali oleh
sebagian makhluk dari kalangan malaikat, jin, manusia dan yang
menyaksikannya. Maka hal ini menjadi ghaib bagi sebagian makhluk, namun
tidak ghaib bagi yang menyaksikannya. [10]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy rahimahullahu ta’ala
menjelaskan,“Sesungguhnya hanya Allah Ta’ala saja yang mengetahui
perkara ghaib, maka barangsiapa yang mengaku mengetahui perkara ghaib
maka ia telah menjadi sekutu (tandingan) bagi Allah, baik berupa
perdukunan, ramalan, dan sejenisnya. Atau barangsiapa yang membenarkan
perkataan tersebut maka ia telah menjadikan sekutu bagi Allah dalam
kekhususan-Nya, dan ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya.[11]
Hukum Mempercayai Zodiak
Zodiak atau sering diistilahkan dengan astrologi (ilmu ta’tsir),
merupakan bagian dari ilmu nujum. Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin rahimahullahu ta’ala kembali menjelaskan berkaitan dengan ilmu
ta’tsir ini, “Ilmu ta’tsir (astrologi) terbagi menjadi tiga, yaitu:
Pertama, keyakinan bahwa bintang-bintang memiliki
pengaruh atas seseorang, dalam arti bahwa bintang-bintang tersebut
mampu menciptakan kejadian dan musibah. Maka hal tersebut merupakan kesyirikan akbar,
karena barangsiapa yang menyerukan bahwa selain Allah ada pencipta
lain, maka ia melakukan syirik akbar. Hal tersebut juga menjadikan
pencipta (yaitu Allah Ta’ala) tunduk pada salah satu makhluq-Nya (yaitu
bintang-bintang).
Kedua, keyakinan bahwa bintang-bintang menjadi sebab bagi
sesuatu yang belum terjadi, dan hal tersebut ditunjukkan melalui
pergerakannya, peralihannya, atau pergantian tertentu dari bintang.
Misalnya perkataan ‘Karena bintang ini bergerak seperti ini, maka itu
artinya orang ini hidupnya akan sial’, atau ‘Karena orang ini lahir saat
bintang berada dalam posisi ini, maka ia akan menjadi orang yang
bahagia’. Maka hal semacam ini termasuk menjadikan ilmu perbintangan
sebagai sarana untuk meramal perkara ghaib, dan perbuatan ini termasuk
kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Katakanlah: ‘Tidak ada seorangpun di langit
dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’” (QS. An
Naml : 65)
Ketiga, keyakinan bahwa bintang-bintang menjadi
sebab terjadinya kebaikan atau keburukan. Yaitu dengan menyandarkan
segala sesuatu yang terjadi sebagai akibat pergerakan bintang, dan hal
tersebut dilakukan hanya jika sesuatu tersebut telah terjadi. Maka
perbuatan semacam ini tergolong syirik ashghar.[12]
Semoga Allah memberi taufik. [Yhouga AM]
_____________
[1] HR. Muslim [2230] tanpa lafadz “..kemudian ia membenarkan
perkataannya..” Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullahu ta’ala
menjelaskan makna “tidak diterima shalatnya” dengan “tidak diberi pahala
shalatnya”. Sehingga shalat tetap wajib bagi orang tersebut. Wallahu
a’lam. (lihat Al Mulakhash fi Syarh Kitab At Tauhid hal. 213 cet. Darul
Ashimah)
[2] HR. Al Hakam [I/8] dishahihkan dan disepakati oleh Adz Dzahabi dan Al Albani dalam Al Irwa’ [2006]
[3] Nama seorang dukun dari Iran
[4] Al Qoulul Mufid fi Adillati At Tauhid hal. 142, cet. Dar Ibn Hazm
[5] Zodiac, Google Dictionary, http://google.com/dictionary
[6] Ibnu Shayyad, namanya Shaafi, sebagian pendapat mengatakan namanya
Abdullah bin Shayyad, atau Shaa’id. Ia adalah seorang Yahudi penduduk
Madinah, sebagian pendapat mengatakan ia bahkan seorang Anshar. Ia masih
kecil saat kedatangan Nabi shallallaahu alaihi wa sallam ke Madinah,
sebagian pendapat mengatakan ia kemudian masuk Islam. Dikatakan bahwa
Ibnu Shayyad ialah Dajjal, ia terkadang mampu meramal, sebagian orang
kemudian membenarkannya dan sebagian yang lain mendustakannya. Maka
beritanya segera tersebar, dan orang-orang menyangka ia adalah Dajjal.
Nabi shallallaahu alaihi wa sallam kemudian menemui Ibnu Shayyad untuk
mengklarifikasi kebenaran hal tersebut (lihat HR. Bukhari 1355) Ibnu
Shayyad tetap hidup setelah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam wafat,
namun keberadaannya tidak diketahui setelah itu. Para ulama, semisal
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/328, menjalaskan bahwa Ibnu Shayyad
ialah salah satu diantara Dajjal, akan tetapi bukanlah Dajjal akbar.
Wallahu a’lam. (Man Huwa Ibnu Shayyad?, Syaikh Muhammad Shalih Munajjid,
www.islam-qa.com)
[7] HR. Bukhari [1355] dan Muslim [2931]
[8] Al Qoulul Mufid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, I/332, cet. Darul Aqidah
[9] At Tamhid fi Syarh Kitab At Tauhid hal. 318-319. Syaikh Shalih bin Abdul ‘Azis Alu Syaikh, cet. Darut Tauhid
[10] Majmu’ Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Harroni, 16/110
[11] Al Qoulus Sadiid fi Maqashid At Tauhid hal. 80, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy, cet. Darul Aqidah
[12] Al Qoulul Mufid, II/3
___________________
Sensasi Dukun dan Perdukunan
Sebenarnya dukun dan perdukunan bukanlah sesuatu yang baru atau asing
dalam sejarah kehidupan manusia. Keberadaannya sudah sangat lama,
bahkan sebelum datangnya Islam dan diutusnya Nabi kita Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا
نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ
ءَامَنُوا سَبِيلًا
“Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang diberi bagian dari
Al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, serta mengatakan
kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar
jalannya dari orang-orang yang beriman.” (An-Nisa’: 51)
Ath-Thabari rahimahullahu menyebutkan dalam Tafsirnya (2/7726), dengan
sanadnya sendiri dari Sa’id bin Jubair, bahwa –berkenaan dengan ayat
ini– ia mengatakan, yang dinamakan jibt dalam bahasa Habasyah adalah sahir (tukang sihir) sedangkan yang dimaksud dengan thaghut adalah kahin (dukun).
Kala itu, perdukunan benar-benar mendapat tempat di hati banyak orang.
Karena mereka meyakini, para dukun mempunyai pengetahuan tentang ilmu
ghaib. Orang-orang pun berduyun-duyun mendatanginya, mengadukan segala
permasalahan yang dihadapinya untuk kemudian menjalankan
petuah-petuahnya.
Al-Imam Muslim rahimahullahu di dalam kitab Shahihnya, bab Tahrimul
Kahanah wa Ityanul Kahin, meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Al-Hakam
As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia menceritakan: Aku sampaikan
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa hal yang
pernah kami lakukan di masa jahiliah, yaitu bahwa kami biasa mendatangi
para dukun. Beliau kemudian bersabda:
فَلَا تَأْتُوا الْكُهَّانَ. قَالَ:
قُلْتُ: كُنَّا نَتَطَيَّرُ. قَالَ: ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُهُ أَحَدُكُمْ فِي
نَفْسِهِ فَلَا يَصُدَّنَّكُمْ
“Jangan sekali-kali kalian mendatangi dukun-dukun itu.” Aku ceritakan
lagi kepada beliau, “Kami biasa ber-tathayyur.” Beliau bersabda: “Itu
hanyalah sesuatu yang dirasakan oleh seseorang di dalam dirinya. Maka,
janganlah sampai hal itu menghalangi kalian.”
Yang diistilahkan dukun itu sendiri adalah orang-orang yang mengabarkan
hal-hal yang akan terjadi di kemudian hari, melalui bantuan setan yang
mencuri-curi dengan berita dari langit. Maka, dukun adalah orang-orang
yang mengaku dirinya mengetahui ilmu ghaib, sesuatu yang tidak
tersingkap dalam pengetahuan banyak manusia.
Padahal, di dalam Al-Qur’an disebutkan dengan jelas dan pasti, bahwa
hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahui yang ghaib, adapun
selain-Nya tidak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang
mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak
mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (An-Naml: 65)
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
“(Dia adalah Rabb) Yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak
memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.” (Al-Jin: 26)
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى
الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ
فَآمِنُوا بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ
أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal
yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di
antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya. Dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala
yang besar.” (Ali ‘Imran: 179)
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا
يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا
تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ
الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Al-An’am:
59)
فَقُلْ إِنَّمَا الْغَيْبُ لِلَّهِ فَانْتَظِرُوا إِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُنْتَظِرِينَ
Maka katakanlah: “Sesungguhnya yang ghaib itu kepunyaan Allah, sebab
itu tunggu (sajalah) olehmu, sesungguhnya aku bersama kamu termasuk
orang-orang yang menunggu.” (Yunus: 20)
Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berkata: “Perdukunan yang dikenal di dunia Arab terbagi menjadi tiga jenis:
Pertama: Seseorang mempunyai teman dari kalangan jin,
yang memberi tahu kepadanya dari usaha mencuri-curi dengar berita
langit. Jenis ini sudah lenyap[1] sejak Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengutus Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Setan mengabarkan kepadanya sesuatu yang terjadi
di tempat-tempat lain yang tidak bisa diketahuinya secara langsung,
baik dekat maupun jauh. Yang demikian tidaklah mustahil keberadaannya.
Ketiga: Ahli nujum. Untuk jenis ini, Allah Subhanahu wa
Ta’ala menciptakan kekuatan tertentu pada diri sebagian manusia. Akan
tetapi, kebohongan di dalamnya biasanya lebih dominan. Di antara jenis
ilmu seperti itu, adalah ilmu ramal, pelakunya disebut peramal atau
paranormal. Biasanya orangnya mengambil petunjuk dari premis-premis dan
sebab-sebab tertentu untuk mengetahui persoalan-persoalan tertentu,
serta didukung dengan perdukunan, perbintangan, atau sebab-sebab lain.
Jenis-jenis seperti inilah yang disebut dengan perdukunan. Semuanya itu,
dianggap dusta oleh syariat. Syariat juga melarang mendatangi dan
membenarkan perkataan mereka.” (Syarh Shahih Muslim, 7/333)
Menjamurnya Dukun Atau Paranormal
Kemajuan peradaban manusia, seringkali diukur dengan kemajuan teknologi
dan semakin lepasnya masyarakat dari praktik-praktik berbau tahayul.
Namun begitu, di zaman sekarang ini praktik perdukunan justru marak bak cendawan di musim penghujan.
Penting diketahui, sebenarnya praktik perdukunan bukanlah khas
masyarakat tribal (kesukuan) dan tradisional yang melambangkan
keterbelakangan. Bangsa maju dan modern di Eropa dan Amerika yang
mengagungkan rasionalitas juga punya sejarah perdukunan, berwujud
santet (witchcraft).
Di Indonesia, praktik perdukunan memiliki akar kuat dalam sejarah bangsa, bahkan dukun dan politik merupakan gejala sosial yang lazim. Kontestasi politik untuk merebut kekuasaan pada zaman kerajaan di Indonesia pramodern selalu ditopang kekuatan magis.
Semuanya ini memberikan gambaran yang nyata, bahwa perdukunan memang
sudah dikenal lama oleh masyarakat kita. Dan ilmu ini pun turun-menurun
saling diwarisi oleh anak-anak bangsa, hingga saat ini para dukun
masih mendapatkan tempat bukan saja di sisi masyarakat tradisional,
tetapi juga di tengah lingkungan modern.
Walhasil kini mereka yang pergi ke dukun kemudian percaya pada kekuatan
magis dan menjalankan praktik perdukunan tak mengenal status sosial: kelas bawah, menengah bahkan atas.
Sensasi para dukun itu mampu melampaui semua tingkat pendidikan.
Banyak di antara mereka yang datang ke dukun merupakan representasi
orang-orang terpelajar yang berpikiran rasional.
Sebenarnya, dukun atau paranormal tidak ada bedanya, karena itu
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengemukakan, bahwa
paranormal adalah nama lain dari dukun dan ahli nujum (Fathul Majid,
hal. 338).Maka, dukun atau paranormal adalah dua nama yang saling
terkait, kadang salah satunya menjadi penanda bagi yang lainnya.
Belakangan, di tanah air kita, fenomena perdukunan dan ramalan semakin
menggeliat seiring dengan suasana yang kondusif bagi para pelakunya
untuk tampil berani tanpa ada beban. Berapa banyak iklan-iklan yang
menawarkan jasa meramal cukup via SMS, yang dalam istilah mereka
bermakna Supranatural Messages Service. Atau juga, praktik pengobatan
alternatif yang sudah menjadi suguhan iklan harian di koran-koran dan
tabloid.
Berapa banyak sekarang ini penderita penyakit yang tidak terdeteksi
penyakitnya sekalipun telah memanfaatkan kemajuan teknologi kedokteran.
Usut punya usut, salah satu penyebabnya adalah karena penyakit
tersebut merupakan penyakit “pesanan” yang dikirim oleh para dukun
dengan menggunakan kekuatan ghaib bernama setan.
"Anda ingin tahu keberuntungan Anda di masa depan?"
"Ketik Reg(spasi)Weton kirim ke 9999."
Ilustrasi di atas adalah contoh iklan yang memanfaatkan teknologi HP
yang beredar di TV akhir-akhir ini. Iklan-iklan yang mengedepankan
mistis dan ghaib, bermaterikan kesyirikan, muncul bagai jamur di musim
hujan. Ada yang bermodel tanggal lahir seperti disebut di atas, ada
yang menggunakan primbon, ada ramalan bintang dan lain sebagainya.
Pelakunya pun bermacam-macam; ada Ki Joko Bodo, Mbah Roso dan masih
banyak lagi. Dalam pandangan syariat Islam pelaku semua itu dinamakan
dukun atau peramal.
Para dukun dan peramal ini dengan terang-terangan mendakwahkan dirinya
mengetahui perkara gaib, dan menyeru manusia untuk berbondong-bondong
melakukan kesyirikan. Sebagian orang mungkin sudah bisa menebak, bahwa
itu adalah sebuah bentuk perdukunan yang dikemas rapi. Namun, ada
sebagian orang yang tidak mengerti dan terjerumus ke dalam lembah
kesyirikan ini. Na´udzubillah min dzalik.
Bahaya Mendatangi Dukun dan Peramal
Al-Imam Bukhari dan Muslim rahimahumallah dalam kitab Shahih keduanya,
meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata:
Saya tanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya
Rasulullah, sesungguhnya para dukun itu mengatakan sesuatu kepada kami,
dan ternyata apa yang dikatakannya itu benar terjadi.” Beliau kemudian
bersabda:
تِلْكَ الْكَلِمَةُ الْحَقُّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيَقْدِفُهَا فِى أُذُنِ وَلِيِّهِ، وَيَزِيْدُ فِيْهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ
“Kata yang benar itu disambar oleh jin dan kemudian dibisikkan ke telinga pengikutnya. Tapi setiap satu kata yang benar itu dicampur dengan seratus kebohongan.” (HR. Al-Bukhari no. 5762, Muslim no. 2228)
Dalam riwayat lainnya, yang dikemukakan oleh Al-Imam Muslim
rahimahullahu, disebutkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
menceritakan: “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang
kebenaran para dukun.” Beliau menjawab: “Tidak ada apa-apanya.” Mereka
lantas berkata: “Mereka itu (dukun) terkadang mengatakan sesuatu yang
kemudian benar-benar terjadi.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab:
تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْجِنِّ
يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيَقُرُّهَا فِى أُذُنِ وَلِيِّهِ قَرَّ
الدَّجَاجَةِ فَيَخْلِطُوْنَ فِيْهَا أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ كَذْبَةٍ
“Kalimat itu berasal dari kalangan jin yang disambar oleh salah seorang
jin, lalu ia bisikkan ke dalam telinga pengikutnya seperti suara ayam
betina, lalu mereka mencampurnya dengan lebih dari seratus kebohongan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu membenarkan
perkataannya, berarti itu telah kufur kepada apa yang telah diturunkan
kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya no. 9541)
Ibnu Atsir rahimahullahu menjelaskan,“Yang dimaksud dengan tukang ramal
adalah ahli nujum atau orang pandai yang mengaku mengetahui ilmu
ghaib, padahal hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahui
persoalan ghaib. Tukang ramal itu masuk dalam kategori dukun.”
Dalam kitab Shahihnya, Al-Imam Muslim rahimahullahu mengutip hadits
dari Nafi’, dari Shafiyyah, dari beberapa istri Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau
bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
“Siapa yang mendatangi arraf (tukang ramal) lalu menanyakan sesuatu
kepadanya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh
malam.”
Al-Imam Nawawi rahimahullahu menjelaskan,“Yang dimaksud dengan tidak diterima shalatnya adalah bahwa shalat yang dilakukannya itu tidak diberi pahala,
sekalipun shalat yang dilakukannya itu sudah tentu tetap bisa
menggugurkan kewajibannya sehingga tidak perlu diulang kembali. Para
ulama sepakat bahwa hal itu tidak berarti menuntut orang yang mendatangi
tukang ramal untuk mengulangi shalatnya selama empat puluh hari.
Wallahu a‘lam.” (Syarh Shahih Muslim, 7/336)
Bertolak dari dalil-dalil di atas, setidaknya ada dua bahaya yang
mengancam orang-orang yang mendatangi dan menanyakan sesuatu kepada
dukun atau paranormal:
Pertama, kekafiran,jika meyakini kebenaran dukun dan meyakini tukang ramal itu sebagai orang yang mengetahui hal ghaib.
Kedua, mendekati kekufuran,jika membenarkan berita yang
disampaikannya dari hal yang ghaib. Dengan alasan, dukun dan paranormal
menyampaikan hal yang ghaib dari informasi jin yang mencuri-curi
dengar berita langit.
Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lah kita memohon perlindungan.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memperbanyak jumlah para
pelayan-pelayan setan (dukun), serta membongkar kejahatan mereka.
Wallahul musta’an.
______
[1] Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada
yang berpendapat sudah lenyap, tidak ada lagi. Ada juga yang
berpendapat masih terjadi. Di antara yang menguatkan pendapat kedua
dari ulama masa kini adalah Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Asy-Syaikh
Shalih Alu Syaikh. (ed)
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/10/dukun-tukang-ramal-dan-zodiak.html