1. Bersegera menuju masjid.
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((إذا كان يوم
الجمعة كان على كل باب من أبواب المسجد ملائكة يكتبون الأول فالأول، فإذا
جلس الإمام طووا الصحف، وجاءوا يستمعون الذكر)).
Dari Abu Hurairah
radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Apabila hari Jum’at tiba, maka di setiap pintu
masjid terdapat malaikat yang mencatat siapa saja yang hadir lebih
dahulu (untuk menghadiri shalat Jum’at). Apabila imam telah duduk (di
atas mimbar), mereka menutup lembaran catatan kitab untuk turut
mendengarkan adz-dzikr (khutbah)”.[1]
وعنه عن النبي صلى الله عليه
وسلم قال : ((من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح، فكأنما قرب بدنة،
ومن راح في الساعة الثانية، فكأنما قرب بقرة، ومن راح في الثالثة، فكأنما
قرب كبشا أقرن، ومن راح في الساعة الرابعة، فكأنما قرب دجاجة، ومن راح في
الساعة الخامسة، فكأنما قرب بيضة، فإذا خرج الإمام حضرت الملائكة يستمعون
الذكر)).
Dan darinya (Abu Hurairah) pula, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang mandi pada hari
Jum’at seperti mandinya ketika janabah, kemudian pergi seawal mungkin
(untuk melaksanakan shalat Jum’at), seakan-akan ia berkurban dengan
seekor onta. Barangsiapa yang pergi shalat Jum’at pada waktu yang kedua,
seakan-akan ia berkurban dengan seekor sapi. Barangsiapa yang pergi
shalat Jum’at pada waktu yang ketiga, seakan-akan ia berkurban dengan
seekor kambing. Barangsiapa yang pergi shalat Jum’at pada waktu yang
keempat, seakan-akan ia berkurban dengan seekor ayam. Dan barangsiapa
yang pergi shalat Jum’at pada waktu yang kelima, seakan-akan ia
berkurban dengan sebutir telur. Apabila imam telah hadir (untuk
berkhutbah), para malaikat pun hadir untuk mendengarkan khutbah”.[2]
2. Datang dan mendekat kepada imam.
وعن سمرة بن جندب أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ((احضروا الذكر،
وادنوا من الإمام، فإن الرجل لا يزال يتباعد حتى يؤخر في الجنة وإن
دخلها)).
Dari Samurah bin Jundub radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Hadirilah
khutbah dan mendekatlah kepada imam. Sesungguhnya ada seorang laki-laki
yang senantiasa menjauhkan diri darinya, hingga ia pun diakhirkan menuju
surga walaupun ia (ditakdirkan) memasukinya”.[3]
3. Berjalan kaki menuju masjid tanpa berkendaraan, kecuali jika ada hajat.
عن أوس بن أوس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ((من اغتسل يوم الجمعة
وغسَّل، وغدا وابتكر، ومشى ثم لم يركب، ودنا من الإمام، وأنصت ولم يلغ :
كان له بكل خطوة عمل سنة صيامها وقيامها)).
Dari Aus bin Aus,
bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
“Barangsiapa yang mandi dan keramas pada hari Jum’at, bersegera pergi
(menuju masjid) dengan berjalan kaki tanpa berkendaraan, mendekat kepada
imam, diam dan tidak berkata-kata sia-sia : maka baginya pada setiap
langkahnya itu pahala amal setahun, (yaitu) puasa dan shalatnya”.[4]
وعن عباية بن رفاعة قال : أدركني أبو عبس وأنَ ذاهب إلى الجمعة فقال :
سمعتُ النبي صلى الله عليه وسلم يقول : ((من اغبرَّت قدماه في سبيل الله
حرَّم الله على النار)).
Dari ‘Ubaayah bin Rifaa’ah, ia berkata :
“Abu ‘Absin pernah mendapatiku ketika aku hendak pergi menuju shalat
Jum’at. Maka ia berkata : “Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang kakinya berdebu di jalan Allah,
niscaya Allah akan haramkan baginya api neraka”.[5]
4. Melaksanakan shalat tahiyyatul-masjid sebelum duduk.
فعن جابر قال : دخل رجل يوم الجمعة - والنبي صلى الله عله وسلم يخطب -
فقال : ((أصليتَ؟)). قال : لا، قال : ((فصلِّ ركعتين)) وفي لفظ ((قم فاركع
ركعتينوتجوز فيهما))
Dari Jaabir ia berkata : “Seorang laki-laki
masuk ke masjid pada hari Jum’at – dan Nabi shallalaahu ‘alaihi wa
sallam saat itu sedang berkhutbah - . Maka beliau bertanya : ‘Apakah
engkau sudah shalat (tahiyyatul-masjid) ?’. Ia menjawab : ‘Belum’.
Beliau pun bersabda : ‘Shalatlah dua raka’at’.[6] Dalam lafadh yang lain
: ‘Berdiri, dan shalatlah dua raka’at’.
Hadits di atas terdapat
petunjuk bahwa jika ada seseorang yang telah duduk namun belum
melaksanakan shalat, maka disunnahkan ia berdiri untuk mengerjakannya,
meskipun imam sedang berkhutbah. Hendaknya ia meringankan (mempercepat)
shalatnya tersebut. Diperbolehkan baginya untuk menambah jumlah raka’at
shalat sunnah sesuai kesanggupannya jika imam belum berkhutbah menurut
jumhur ‘ulama[7] berdasarkan hadits Salmaan :
ثُمَّ يُصلِّ ما كتب له ثم يُنصت إذا تكلَّم الإمام إلا غفر له ما بينه وبين الجمعة الأخرى
“Kemudian ia melakukan shalat sesuai apa yang telah ditetapkan baginya
(= yaitu sesuai dengan kesanggupannya - Abu Al-Jauzaa’), lalu diam saat
imam berkhutbah, niscaya ia akan diampuni dosanya antara Jum’at tersebut
sampai Jum’at yang lainnya”.[8]
Faedah : Tidak ada shalat sunnah qabliyyah Jum’at.
Apabila adzan telah selesai dikumandangkan, tidak diperbolehkan sama
sekali bagi seorang pun berdiri melakukan shalat[9]. Ini adalah pendapat
yang paling shahih (benar) di kalangan ulama, diantaranya adalah
Hanafiyyah, Maalik, Asy-Syafi’iy dan kebanyakan shahabat-shahabatnya –
dimana hal ini diseleisihi oleh An-Nawawi dan yang lainnya - , dan
inilah yang masyhur dalam madzhab Ahmad. Pendapat inilah yang
ditunjukkan oleh As-Sunnah, bahwasannya ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam keluar dari rumahnya dan saat telah sampai di atas mimbar,
maka Bilal langsung mengumandangkan adzan shalat Jum’at. Jija adzan
telah selesai, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memulai khutbah
tanpa mengerjakan shalat terlebih dahulu. Demikianlah yang telah
berlaku. Oleh sebab itu, kapan waktu mereka mengerjakan shalat sunnah ?
Barangsiapa yang beranggapan bahwa ketika Bilal selesai mengumandangkan
adzan, mereka (para shahabat) semuanya berdiri melakukan shalat dua
raka’at, maka ia adalah orang yang paling jahil terhadap sunnah.
Dan yang menguatkan hal ini adalah hadits Ibnu ‘Umar, ia berkata :
صليتُ مع رسول الله صلى الله عليه وسلم سجغتين قبل الظهر، وسجدتين بعد
الظهر، وسجدتين بعد المغرب، وسجدتين بعد العشاء، وسجدتين بعد الجمعة.
“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shalllallaahu ‘alaihi wa sallam
dua raka’at sebelum Dhuhur, dua raka’at setelah Dhuhur, dua raka’at
setelah Maghrib, dua raka’at setelah ‘Isya’, dan dua raka’at setelah
Jum’at”.[10]
Ini adalah nash sharih (jelas/terang) bahwasannya
shalat Jum’at di sisi shahabat adalah shalat yang berdiri sendiri,
terpisah dengan shalat Dhuhur. Ketika tidak disebutkan adanya shalat
sunnah kecuali setelahnya, dapat diketahui tidak ada shalat sunnah yang
dilaksanakan sebelum shalat Jum’at. Wallaahu a’lam.
5. Tidak melakukan tahalluq (membuat halaqah-halaqah) atau pertemuan pengajian sebelum shalat Jum’at.
Didasarkan pada hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن الشراء والبيع في المسجد، وأن
تُنشد فيه الضالة، وأن ينشد فيه الشِّعر، ونهى عن التحلق مثل الصلاة يوم
الجمعة.
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
melarang jual beli di dalam masjid, mengumumkan barang yang hilang,
melantunkan syair, dan beliau juga melarang mengadakan halaqah-halaqah
sebelum shalat Jum’at”.[11]
Tahalluq di sini mempunyai dua makna,
yaitu secara lughawiy (bahasa) dan syar’iy (syari’at). Makna secara
lughawiy dari tahalluq adalah : sekumpulan orang yang duduk melingkar
seperti lingkaran pintu. Sedangkan tahalluq adalah bentuk aktif dari
kata halaqah yang artinya sengaja melakukan hal itu.
Sedangkan
istilah syar’iy : berkumpul untuk satu pelajaran (pengajian) walaupun ia
tidak duduk secara melingkar. Dan kedua arti ini masuk dalam larangan
hadits.[12]
6. Menghadapkan wajah pada imam saat menyampaikan khutbah.
Disunnahkan bagi makmum untuk menghadapkan wajahnya kepada imam saat
menyampaikan khutbah. Tidak ada riwayat shahih marfu’ yang menjadi
dasar, namun telah tsabit dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
أنه كان لا يقعد الإمام حتى يستقبله
“Bahwasannya ketika imam tidak sedang duduk, maka ia (Ibnu ‘Umar) menghadapkan wajah kepadanya.[13]
وعن أنس إنه جاء يوم الجمعة فاستند إلى الحائط، واستقبل الإمام.
Dari Anas bahwasannya ketika ia datang (ke masjid) pada hari Jum’at, maka ia bersandar ke sebuah tiang menghadap kepada imam”.
At-Tirmidzi berkata (2/283) :
والعمل على هذا عند أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم، يستحبون استقبال الإمام إذا خطب.
“Para ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan yang lainnya mengamalkan hadits ini, yaitu menyukai untuk menghadap
imam ketika ia sedang berkhutbah” [selesai].
7. Diam dan tidak berbicara untuk mendengarkan khutbah.
Telah berlalu hadits Salmaan bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا يغتسل الرجل يوم الجمعة.....ثم يُنصت إذا تكلَّم الإمام إلا غفر له ما بينه وبين الجمعة الأخرى
“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at……. lalu diam saat imam
berkhutbah, niscaya ia akan diampuni dosanya antara Jum’at tersebut
sampai Jum’at yang lainnya”.[14]
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ((إذا قلت لصاحبك يوم الجمعة : أنصت - والإمام يخطب، فقد لغوت)).
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila engkau berkata
pada hari Jum’at : ‘Diamlah’ – sedangkan waktu itu imam sedang
berkhutbah, sungguh engkau telah berbuat sia-sia”.[15]
Dan pada hadits ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’ :
...ومن لغا وتخطَّى رقاب الناس، كانت له ظهرًا.
“Dan barangsiapa yang berbuat sia-sia dan melangkahi pundak-pundak manusia, maka wajib baginya shalat Dhuhur”.[16]
yaitu : berkurang pahalanya, dan tidak terwujud baginya pahala Jum’at secara sempurna.
Jumhur ulama berpendapat tentang haramnya pembicaraan makmum sebagian terhadap sebagian yang lainnya.
Faedah :
Pertama : Apabila sebagian makmum berbincang-bincang satu dengan yang
lainnya, maka diperbolehkan menyuruhnya diam dengan isyarat. Dari Anas
ia berkata :
بينما رسول الله صلى الله عليه وسلم يومًا قائمًا يخطب
على المنبر، قام رجل فقال : متى قيام الساعة يا نبي الله ؟ فسكت عنه،
وإشار الناس إليه : أن اجلس، فأبى...
“Pada satu hari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di atas mimbar. Lalu
berdirilah seorang laki-laki dan bertanya : “Kapankah datangnya hari
kiamat wahai Nabi Allah ?”. Beliau diam atas pertanyaan tersebut. Maka
orang-orang memberikan isyarat kepadanya agar ia duduk, namun ia
enggan…”.[17]
Aku katakan : Dapat ditambahkan atas hal ini adalah
menjawab salam pada orang yang memberi salam. Tidak diperbolehkan
menjawabnya kecuali dengan isyarat.
Kedua : Perkataan kepada imam
(khathiib) diperbolehkan saat berlangusngnya khutbah untuk satu hajat
(keperluan). Sama saja apakah ia memulai pembicaraan atau
menjawab/merespon terhadap apa yang dikatakan oleh imam (khathiib). Hal
itu didasarkan oleh hadits Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
أتى أعرابي من أهل البدو إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يخطب يوم الجمعة فقال : يا رسول الله، هلكت الماشية....
“Seorang Arab Baduwi datang kepada Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam saat beliau sedang berkhutbah di hari Jum’at. Ia berkata : ‘Wahai
Rasulullah, telah binasa/mati hewan-hewan ternak…”.[18]
Dalam
kisah Salik Al-Ghaththafaaniy ketika ia masuk masjid kemudian duduk –
sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat itu sedang berkhutbah
– beliau bertanya : ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at ?’. Ia
menjawab : ‘Belum’. Beliau bersabda : ‘Berdirilah, kemudian shalatlah
dua raka’at”.[19]
8. Tidak diperbolehkan melangkahi pundak-pundak orang-orang (yang telah duduk) dan memisahkan antara dua orang.
عن عبد الله بن بسر قال : جاء رجل يتخطّى رقاب الناس، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((اجلس، فقد آذيت وآنيت)).
Dari ‘Abdullah bin Busr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Datang
seorang laki-laki yang melangkahi pundak-pundak manusia. (Saat melihat
itu) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Duduklah,
sungguh engkau telah menyakiti dan memisahkan (orang-orang yang telah
duduk)”.[20]
Telah berlalu hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma :
...ومن لغا وتخطَّى رقاب الناس، كانت له ظهرًا.
“Dan barangsiapa yang berbuat sia-sia dan melangkahi pundak-pundak manusia, maka wajib baginya shalat Dhuhur”.[21]
Dikecualikan dari ancaman ini adalah jika ia mendapati tempat yang
kosong di antara dua orang karena kelalaian ini datang dari mereka,
bukan dari orang yang melangkah. Maka hukumnya tidak haram. Begitu juga
jika ia berpaling keluar karena satu hajat, kemudian ia ingin kembali
menuju tempatnya semula.
Pada hadits Salmaan secara marfu’ :
.....ثم راح فلم يفرِّق بين اثنين، صلى ما كُتب له، ثم إذا خرج الإمام أنصت، غفر له ما بينه وبين الجمعة الأخرى
“Kemudian ia pergi (ke masjid) tanpa memisahkan dua orang (yang telah
duduk), melakukan shalat apa yang telah ditetapkan baginya, kemudian
jika imam telah keluar ia diam; niscaya akan diampuni dosanya antara
Jum’at itu dengan Jum’at yang lainnya”.[22]
Termasuk memisahkan
antara dua orang adalah duduk di antara keduanya, menyuruh pergi salah
satu diantara keduanya serta duduk di tempatnya . Dan bisa juga
dimutlakkan pada melangkahi mereka berdua saja. Dalam hal melangkahi
terkadang ada tambahannya, yaitu mengangkat kedua kakinya di atas
kepala-kepala mereka dan pundak-pundak mereka.
9. Tidak membuat orang berdiri kemudian duduk di tempatnya.
عن جابر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ((لا يقيمن أحدكم أخاه يوم الجمعة ثم يخالف إلى مقعده فيقعد فيه، ولكن يقول : أفسحوا)).
Dari Jaabir, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
“Janganlah salah seorang di antara kalian membuat berdiri saudaranya
pada hari Jum’at, kemudian ia menggantikannya duduk di tempat duduknya.
Namun hendaknya ia mengatakan : ‘Bergeserlah…”.[23]
Perkataan
beliau : “bergeserlah” dilakukan selama imam belum berbicara (dalam
khutbahnya). Namun jika sudah berbicara, maka ia memberikan isyarat
kepadanya.
10. Barangsiapa yang mengantuk, hendaklah ia bergeser dari tempat duduknya semula.
عن ابن عمر قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ((إذا نعس
أحدكم [في مجلسه يوم الجمعة] فليتحول من مجلسه ذلك [إلى غيره])).
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang di
antara kalian mengantuk (di tempat duduknya pada hari Jum’at), hendaklah
ia bergeser dari tempt duduknya itu (ke tempat yang lain)”.[24]
Hikmah yang terkandung pada perintah bergeser/pindah dari tempatnya
semula adalah bahwa dengan bergerak akan menghilangkan rasa kantuk. Atau
mungkin hikmahnya adalah berpindah dari tempat yang membuatnya lalai
dengan kantuknya tersebut. Hal itu apabila ia tidak merasa berat untuk
melakukannya.[25]
11. Apakah diperbolehkan ihtibaa’ saat khutbah berlangsung ?
Ada sebuah riwayat dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya :
أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن الحبوة يوم الجمعة والإمام يخطب.
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kami duduk
ihtibaa’ pada hari Jum’at saat imam sedang berkhutbah”.[26]
Status hadits tersebut di perselisihkan, namun yang rajih adalah dla’if.
Oleh karena itu, kebanyakan ulama memberikan rukhshah untuk melakukan
duduk ihtibaa’ (saat khutbah berlangsung).
Al-Ihtibaa’ adalah :
Seseorang yang menjadikannya kedua kaki (lutut) sebagai sandaran,
menutupi kedua lututnya dengan bajunya, atau mengikat kedua tangannya di
atas kedua lututnya dengan sengaja. Ibnul-Atsir berkata : “Beliau
melarang duduk ihtibaa’, karena ihtibaa’ dapat menyebabkan kantuk
sehingga tidak dapat mendengarkan khutbah. Bahkan kadangkalau ia
menyebabkan wudlunya hilang/batal”.
Aku katakan : Jika demikian,
maka meninggalkan duduk ihtibaa’ lebih diutamakan dengan syarat hadits
tersebut shahih. Wallaahu a’lam.
12. Apabila ia mengingat – saat
khutbah berlangsung – shalat fardlu yang ia telah tinggalkan atau ia
tertidur : Barangsiapa yang tertidur, maka ia harus segera berdiri dan
mengqadlanya. Hal itu didasarkan oleh hadits Anas, bahwasannya Nabi
shalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
من نسي صلاة [أو نام عنها] فليصلها إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك.
“Barangsiapa lupa untuk shalat (atau ia tertidur di dalamnya),
hendaklah ia segera shalat begitu mengingatnya. Apabila ia telah
mengingatnya, maka tidak ada kaffarat baginya kecuali yang demikian
itu”.[27]
[Diambil oleh Abu Al-Jauzaa’ dari Shahih Fiqhis-Sunnah
oleh Abu Malik Kamal As-Sayyid, 1/577-579, 588-591; Maktabah
At-Taufiqiyyah].
[1] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3211 dan Muslim no. 850.
[2] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 881 dan Muslim no. 850.
[3] Hasan; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1108 dan Ahmad (5/10).
[4] Shahih; diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 496, An-Nasa’iy (3/95), Abu Dawud no. 345, dan Ibnu Majah no. 1087.
[5] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 907.
[6] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875.
[7] Syarh Muslim oleh An-Nawawiy (3/385).
[8] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 883.
[9] Kecuali jika ia datang ke masjid setelah adzan selesai
dikumandangkan, maka diperbolehkan baginya melaksanakan shalat
tahiyyatul-masjid, kemudian ia duduk. Atau jika ia lupa mengerjakannya.
[10] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1172.
[11] Shahih; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1079 dan yang lainnya.
[12] Lihat : Al-Lum’ah fii Hukmil-Ijtimaa’ li-Darsi Qablal-Jum’ah oleh Muhammad Musa Nashr.
[13] Hasan; diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq no. 5391, dan dari jalan Ibnul-Mundzir (4/74), serta dan Al-Baihaqi (3/199).
[14] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 883.
[15] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851.
[16] Hasan; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 347 dan Ibnu Khuzaimah no. 1810.
[17] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6167, Ibnul-Mundzir no. 1807, dan Ibnu Khuzaimah no. 1796.
[18] Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1029.
[19] Shahih; telah lalu takhrij hadits ini.
[20] Hasan; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1118, An-Nasa’iy (3/103), dan Ahmad (4/188).
[21] Hasan; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 347 dan Ibnu Khuzaimah no. 1810.
[22] Shahih; telah berlalu takhrij-nya.
[23] Shahih; diriwayatkan oleh Muslim no. 2177 dan Ahmad (3/295). Dan
yang semisal dengannya terdapat dalam Shahihain dari hadits Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhuma.
[24] Hasan dengan keseluruhan jalannya;
diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1119, At-Tirmidzi no. 526, Ahmad (2/22),
dan yang lainnya.
[25] Nailul-Authaar (3/298).
[26] Dla’if; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1110, At-Tirmidzi no. 514, dan Ahmad (3/439).
[27] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 597 dan Muslim no. 684.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/yang-seharusnya-dilakukan-makmum-dari.html?m=1