Setiap yang hidup pasti merasakan mati. Tidak terkecuali bagi pasangan kita, suami tercinta. Ketika Allah Al-Hayyu mengambil jiwa kekasih tercinta, apakah yang harus kita lakukan?
- Ikhlas dan sabar Tidak seorang pun terlepas dari nyeri yang berdenyut dalam jiwa, penyakit yang menginap dalam badan, hilangnya kekasih hati dan lenyapnya harta benda. Semua kalangan tidak akan terluput darinya, baik dia seorang yang baik atau pun jahat, demikian pula orang mukmin dan orang kafir. Akan tetapi, bedanya adalah orang mukmin senantiasa menghadapi musibah dengan ridha dan ketenangan yang memenuhi hatinya, kemudian membawanya kepada Allah Ta’ala, Yang mengatur hati juga pandangan, karena dia memahami bahwa apa yang menimpanya tidak akan pernah meleset, dan apa yang Allah Ta’ala jauhkan darinya tidak akan pernah menimpanya. [Lihat Meniru Sabarnya Nabi (hal. 53)]
- Tidak meratapi kematiannya Bersedih dan menangis atas sebuah musibah adalah sesuatu hal yang wajar, tetapi janganlah sampai berlebihan. An-Niyahah maksudnya adalah teriakan keras yang disertai dengan tangisan secara berlebihan. Tindakan ini biasa dilakukan oleh kaum wanita Jahiliyyah, di mana mereka berdiri berhadapan sambil berteriak-teriak dan menabur-naburkan tanah di atas kepala mereka sambil memukuli wajah mereka. [Lihat Syarh Shahih Muslim (II/598)]
- Berkabung atas kematian suami (ihdaad) Kata al-ihdaad dan al-hidaad diambil dari lafazh al-haddu, yang artinya menahan atau melarang. Secara istilah, ihdad berarti keadaan dimana seorang wanita dilarang untuk berhias dan melakukan semua hal yang dapat menarik hasrat lelaki lain untuk melamarnya, dalam rangka berkabung atas meninggalnya suaminya. [Lihat Al-'Idad wal Hidad (hal. 18), Al-Mughni (VII/518), Al-Muwaththa' (II/599), Ahkaamul Janaaiz (hal. 23-24), dan Zaadul Ma'aad (V/705)]
- Istri boleh menziarahi makam suami Ziarah kubur disyari’atkan bagi seorang wanita, karena di dalamnya terkandung pelajaran bagi yang hidup, dapat melembutkan hati dan meneteskan air mata serta mengingatkan kita akan kehidupan akhirat, dengan syarat wanita tersebut tidak melakukan hal-hal yang dapat membuat Allah murka kepadanya. [Lihat Ahkaamul Janaaiz (hal. 179-181), Terj. Al-Wajiz (hal. 376-377), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (I/401)]
Ketika ajal sang kekasih hati -yang telah sekian lama menemani ayun langkah kita dalam mengarungi bahtera rumah tangga- telah sampai pada waktunya, maka ketika itu pulalah kita selaku istri diharuskan untuk menggenggam kesabaran atas takdir-Nya. Salah satu wujud ikhlas dan sabar ketika menghadapi musibah adalah dengan ber-istirja’ (mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un). Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَلَنَبْـلُوَنَّـكُمْ
بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَ نَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ
وَالْاَنْفُـسِ وَالثَّمَـرَاتِ ۗ وَبَـشِّـرِ الصَّبِرِيْنَ الَّذِيْنَ
اِذَآ اَصَابِتْهُـمْ مُّصِيْبَـةٌ ۗ قَالُوْآ اِنَّا لِلهِ وَاِنَّا
اِلَيْهِ رَاجِعُـوْنَ ۗ اُولَئِـكَ عَلَيْهِـمْ صَلَوَتٌ مِّنْ
رَّبِّهِـمْ وَرَحْمَـةٌ ۗ وَاُلَـئِـكَ هُـمُ الْمُهْـتَـدُوْنَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya).’ Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqarah: 155-157)
Ketahuilah pula olehmu wahai saudariku, bahwa sesungguhnya kesabaran yang terpuji adalah kesabaran yang engkau hunus ketika musibah itu datang secara tiba-tiba. Sedangkan kesabaran yang hadir sesudah musibah itu terjadi akan berbeda nilainya dengan kesabaran yang dilakukan pada saat musibah itu terjadi. Karena kesabaran yang terjadi ketika musibah sedang berada di puncaknya lebih besar dan lebih bermanfaat ketimbang kesabaran yang terjadi setelah musibah itu berlalu. [Lihat Fat-hul Baari (III/149) dan Meniru Sabarnya Nabi (hal. 47)]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْ مَةِ الْأُوْلَى
“Sesungguhnya kesabaran itu terjadi pada saat awal benturan (musibah).” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 1283) dan Muslim (no. 926), dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu]
Disunnahkan pula berdo’a untuk mendapatkan kebaikan dari musibah yang menimpanya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
عَنْ
أُم سَلَمَة رضي الله عنها قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُول الله صلى الله عليه
وسلم يَقُـول: مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُولَ مَا
أَمَرَهُ اللهُ (إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ)
اَلـلَّهُمَّ أْجِرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
إِلاَ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا. قَالَتْ: فَلَمَّا مَاتَ
أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ: أَيُّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرٌمِنْ أَبِي سَلَمَةَ,
أَوَّلَ بَيْتٍ هَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ؟ ثُمَّ
إِنِّي قُلْتُهَا فَأَخْلَفَ اللهُ لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم .
“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Setiap Muslim yang tertimpa musibah, lalu mengucapkan sebagaimana yang diperintahkan Allah “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Allahumma aajirni fii mushiibatii wa akhliflii khairan minhaa” (Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nyalah kami akan kembali, Yaa Allah, limpahkanlah kepadaku pahala dalam musibahku ini dan berilah ganti yang lebih baik darinya), melainkan pasti Allah memberi pahala kepadanya dalam musibahnya tersebut dan memberi ganti yang lebih baik darinya.’
Kemudian tatkala Abu Salamah meninggal dunia, aku berkata: ‘Siapakah di antara orang-orang Muslim yang lebih baik daripada Abu Salamah, ia beserta keluarganya yang pertama kali hijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Kemudian aku mengucapkan istirja’ ini, lalu Allah memberi ganti kepadaku yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (III/37 no. 918), Ahmad (VI/309), Al-Baihaqi (IV/65) dan Abu Dawud (no. 926). Lihat juga Silsilah Ash-Shahiihah (no. 734)]
Banyak kita temui para wanita yang menangisi kematian orang yang dicintainya dengan berlebihan, sambil menjerit-jerit, merobek-robek pakaiannya, menampar-nampar pipinya, menjambak rambutnya, dan sebagainya. Ketahuilah saudariku, perbuatan semacam ini adalah perilaku wanita-wanita jahiliyah, yang kita dilarang untuk mengikuti dan menyerupai perilaku mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ, وَدَعَى بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang memukuli pipi, merobek-robek pakaian, dan berteriak dengan teriakan Jahiliyah (ketika ditimpa musibah).” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari dalam Fat-hul Baari (III/127-128 no.1294), Muslim (I/70 no. 103), Tirmidzi (no. 1004), An-Nasa'i (IV/19), Ibnul Jarud (hal. 257), dan Al-Baihaqi (IV/63-64) dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu]
Perbuatan semacam ini diharamkan oleh syari’at karena dapat membangkitkan kesedihan dan menghilangkan kesabaran, juga bertentangan dengan sikap tawakkal (berserah diri) terhadap takdir Allah dan tunduk atas ketetapan-Nya. [Lihat Syarh Shahih Muslim (II/598)]
Ketahuilah pula olehmu wahai saudariku, seorang wanita yang meratapi mayat jika dia tidak bertaubat sebelum datang kematiannya, maka kelak dia akan dibangkitkan pada hari Kiamat dengan mengenakan pakaian yang terbuat dari cairan tembaga dan baju dari besi karatan.
النَّائِحَةُ
إِذّا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا ، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَـطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرْبٍ
“Wanita yang meratap jika tidak bertaubat sebelum kematiannya, maka dia akan dibangkitkan kelak pada hari Kiamat dengan mengenakan pakaian yang terbuat dari cairan tembaga dan memakai baju besi karatan.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (III/45 no. 934), Ahmad (V/432), Al-Hakim (I/383) dan Al-Baihaqi (IV/63), dari Abu Malik Al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu]
Catatan:
Di kalangan masyarakat terdapat sebuah amalan yang biasa dilakukan pasca kematian seseorang, yaitu tahlilan. Ketahuilah olehmu wahai saudariku muslimah, bahwa dalam masalah ini, tidak ada satu pun dalil shahih yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mensyari’atkan tahlilan atau berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit di mana pihak keluarga membuat makanan untuk mereka agar mereka mendo’akan mayit tersebut. Kebiasaan ini tidak ada manfaatnya sama sekali, baik bagi mayit maupun bagi keluarga mayit. Ini adalah salah satu dari sekian banyak amalan bid’ah yang sering di anggap hasan (baik) oleh sebagian besar masyarakat yang belum benar-benar memahami makna ittiba’us sunnah (mengikuti sunnah). Dan para ‘ulama menganggap amalan ini sebagai salah satu bentuk ratapan untuk mayit yang kita telah dilarang untuk melakukannya. Allahul musta’an.
Lamanya masa berkabung seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِيْنَ يَتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ أَزْوَجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُـسِـهِـنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah selama) empat bulan sepuluh hari.” (Qs. Al-Baqarah: 234)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda tentang hal serupa, beliau berkata,
لاَيَحِلُّ
لاِمْرَأَةٍ تَؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَومِ الْآخِرِ (أَنْ) تَحِدَّ عَلَى
مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُـرٍ
وَعَـشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (III/114 dan IX/400-401), dari Zainab binti Abi Salamah radhiyallahu 'anhuma]
Catatan:
Masa berkabung (ihdaad) seorang wanita bisa lebih panjang dari masa ‘iddahnya. Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya hanya sampai dia melahirkan kandungannya, meskipun suaminya baru meninggal dalam hitungan menit. Namun, dibolehkan baginya untuk berkabung atas kematian suaminya hingga empat bulan sepuluh hari.
Seorang wanita yang ingin menziarahi makam suaminya, hendaknya dilakukan setelah masa ‘iddahnya selesai dan ditemani oleh mahramnya. Ketika dia memasuki area pemakaman, maka hendaklah dia mengucapkan salam (dengan syarat pemakaman tersebut khusus kaum muslimin). Lafazhnya adalah,
اَلسَّلاَمُ
عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيِنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ
وَيَرْحَـمُ اللهُ الْمُـسْـتَـقْـدِمِيْنَ مِنَّا
وَالْمُـسْـتَأْخِرِيْنَ
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَ حِقُونَ .“Assalaamu ‘alaa ahlid diyaar minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul mustaqdimiina minnaa wal musta’khiriin, wa inna in-syaa Allahu bikum lalaahiquun.”
Artinya, “Keselamatan bagimu wahai penghuni kubur dari kalangan mukminin dan muslimin, semoga Allah menyayangi orang yang terdahulu dan terakhir di antara kita, dan sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (III/114 no. 974), Ahmad (VI/221), 'Abdurrazzaq (III/570-571 no. 6712), Al-Baihaqi (IV/79), dan An-Nasa'i (I/286, II/160 dan 160-161), dari jalur 'Aisyah radhiyallahu 'anha]
Catatan:
a. Ketika berziarah kubur, tidak disyari’atkan untuk melakukan berbagai macam bentuk peribadatan, seperti shalat, membaca Al-Qur’an, berkurban, dan lain sebagainya, karena kuburan bukanlah tempat yang disyari’atkan untuk beribadah. [Lihat Ahkaamul Janaaiz mengenai masalah bid'ah ketika ziarah kubur (hal. 203)]
b. Hendaknya seorang wanita tidak terlalu sering melakukan ziarah kubur karena dikhawatirkan akan jatuh dalam kemaksiatan seperti, tabarruj, ikhtilath, dan lain sebagainya.
***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
- Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh
- Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-Sunnah, Jakarta
- Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
- Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
- Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus Sunnah, Jakarta
- Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
- Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
- Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
- Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
- Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
- Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka Darul Haq, Jakarta
- Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
- Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo
- Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet. Darus Sunnah, Jakarta
- Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
- Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-Wathaan, Riyadh
- Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor
- ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh