Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang
mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah
seperti perumpamaan orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam mengatakan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan.
Lantas apakah yang akan terjadi pada seekor ikan apabila dia dipisahkan
dari air?” (Lihat Al Wabil Ash Shayyib oleh Ibnul Qayyim)
Kaitan Syukur dengan Tauhid
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan dalam mukadimah Al Qawa’id
Al Arba’, “Aku memohon kepada Allah yang Maha mulia Rabb pemilik arsy
yang agung, semoga Dia senantiasa menolongmu dalam kehidupan dunia
dan akhirat. Semoga Dia menjadikanmu senantiasa diberkahi di manapun
engkau berada dan menjadikanmu bersyukur apabila diberi karunia,
bersabar apabila mendapat coba, dan memohon ampun apabila terjatuh
dalam dosa, karena sesungguhnya ketiga hal itulah lambang
kebahagiaan.”
Syaikh Shalih Alusy Syaikh mengatakan,”Syukur memiliki kaitan erat
dengan tauhid. Tatkala sang imam (Syaikh Muhammad bin abdul Wahhab)
rahimahullah menyebutkan do’a untuk kita supaya bersyukur atas karunia,
bersabar atas musibah dan istighfar ketika berbuat dosa, seolah-olah
beliau sedang mengarahkan pandangan matanya kepada kondisi yang
dialami kaum yang bertauhid. Beliau berbicara dengan mereka tentang
suatu kewajiban yang harus senantiasa mereka tunaikan. Sebab seorang
yang telah bertauhid mendapatkan karunia yang sangat besar, tidak ada
lagi nikmat lain yang menandinginya. Nikmat itu adalah keberadaannya
di atas ajaran Islam yang lurus. Nikmat itulah yang membuatnya bisa
tegak di atas prinsip tauhid yang murni. Tauhid itulah yang menjadi
sebab Allah menjanjikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi
orang-orang yang merealisasikannya.” (Syarh Qawa’id Arba’)
Syaikh Shalih melengkapi keterangannya, “Apabila berdosa maka diapun
beristighfar”. Dalam diri seorang muwahhid juga terdapat unsur
ketidaktaatan. Dia tidaklah terlepas dari perbuatan dosa, yang kecil
maupun yang besar. Sedangkan salah satu Asma’ Allah adalah Al Ghafuur
(Maha Pengampun) maka pengaruh hukum dari Asma itu pasti terwujud
pada alam serta kerajaan-Nya. Karena itulah Allah mencintai hamba-Nya
yang bertauhid lagi ikhlash untuk senantiasa meminta ampunan.
Seorang muwahhid pasti mengalami hal itu.”
“Apabila seorang hamba meninggalkan keagungan istighfar ini, niscaya
dia akan tertimpa kesombongan. Padahal kesombongan akan menghapuskan
banyak pahala amal perbuatan. Karena latar belakang itulah beliau
(Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah) mengatakan di
sini,”Apabila berdosa maka diapun beristighfar. Karena sesungguhnya
ketiga hal itu adalah simbol kebahagiaan sejati”. Maka ini artinya
hal itu pasti terjadi terhadap setiap muwahhid. Hal itu mencakup
bersyukur ketika mendapat karunia, bersabar ketika tertimpa coba dan
beristighfar ketika berbuat dosa dan maksiat. Semakin besar pengenalan
seorang hamba terhadap Tuhannya niscaya ketiga hal inipun akan
semakin kuat tertancap di dalam jiwanya. Dan semakin besar ruang
tauhid dalam hati seorang hamba niscaya ketiga hal ini pun turut
membesar. Dengan sikap demikian niscaya akan melahirkan seorang hamba
yang tidak lagi memandang selain keridhaan Allah jalla wa ‘ala dalam
melaksanakan amal maupun aktifitas hidupnya, dia tidak mau
mempersembahkan sedikitpun amalnya untuk selain-Nya. Apabila dia telah
lalai dari hal itu maka istighfar yang diucapkannya bukanlah
istighfar yang sebenarnya.” (Syarh Qawa’id Arba’)
Berdzikir dan Bersyukur
Allah ta’ala berfirman,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan
bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (Qs. Al Baqarah [2]:
152)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Dzikir kepada Allah ta’ala
yang paling utama adalah dengan menyesuaikan isi hati dengan dzikir
yang diucapkan oleh lisan. Itulah dzikir yang dapat membuahkan
pengenalan kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, dan pahala yang
melimpah dari-Nya. Dzikir adalah bagian terpenting dari syukur.
Oleh sebab itu Allah memerintahkannya secara khusus, kemudian
sesudahnya Allah memerintahkan untuk bersyukur secara umum. Allah
berfirman yang artinya, “Maka bersyukurlah kepada-Ku.”
Yaitu bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat ini yang telah Aku
karuniakan kepada kalian dan atas berbagai macam bencana yang telah
Aku singkirkan sehingga tidak menimpa kalian….”
“Disebutkannya perintah untuk bersyukur setelah penyebutan berbagai
macam nikmat diniyah yang berupa ilmu, penyucian akhlak, dan taufik
untuk beramal, maka itu menjelaskan bahwa sesungguhnya nikmat diniyah
adalah nikmat yang paling agung. Bahkan, itulah nikmat yang
sesungguhnya. Apabila nikmat yang lain lenyap, nikmat tersebut masih
tetap ada.
Sudah selayaknya setiap orang yang telah mendapatkan taufik (dari
Allah) untuk berilmu atau beramal untuk bersyukur kepada Allah atas
nikmat itu. Hal itu supaya Allah menambahkan karunia-Nya kepada
mereka. Dan juga, supaya lenyap perasaan ujub (kagum diri) dari diri
mereka. Dengan demikian, mereka akan terus disibukkan dengan
bersyukur.”
“Karena lawan dari syukur adalah ingkar/kufur, Allah pun melarang
melakukannya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian
kufur”. Yang dimaksud dengan kata ‘kufur’ di sini adalah yang menjadi
lawan dari kata syukur. Maka, itu berarti kufur di sini bermakna
tindakan mengingkari nikmat dan menentangnya, tidak menggunakannya
dengan baik. Dan bisa jadi maknanya lebih luas daripada itu, sehingga
ia mencakup banyak bentuk pengingkaran. Pengingkaran yang paling
besar adalah kekafiran kepada Allah, kemudian diikuti oleh berbagai
macam perbuatan kemaksiatan yang beraneka ragam jenisnya dari yang
berupa kemusyrikan sampai yang ada di bawah-bawahnya.” (Taisir
Karimir Rahman, hal. 74)
Adh Dhahak bin Qais mengatakan, “Ingatlah kepada Allah di saat senang,
niscaya Dia akan mengingat kalian di saat sulit.” (Jami’ul ‘Ulum,
hal. 248) Ada lelaki berkata kepada Abud Darda’, “Berilah saya
wasiat.” Beliau menjawab, “Ingatlah Allah di waktu senang, niscaya
Allah ‘azza wa jalla akan mengingatmu di waktu susah.” (Jami’ul ‘Ulum,
hal. 248)
Penopang Tegaknya Agama
Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan di dalam sebuah
kitabnya yang penuh faedah yaitu Al Fawa’id, “Bangunan agama ini
ditopang oleh dua kaidah: Dzikir dan syukur. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada
kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (QS. Al
Baqarah [2] : 152).”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz, “Demi
Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah kamu lupa untuk
membaca doa di setiap akhir shalat: ‘Allahumma a’innii ‘ala dzikrika wa
syukrika, wa husni ‘ibaadatik.’ (Ya Allah, bantulah aku untuk
mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu, serta agar bisa beribadah dengan
baik kepada-Mu).” (HR. An Nasa’i [1303] dalam pembahasan Sujud
Sahwi, Abu Dawud [1522] dalam pembahasan Shalat, dan Ahmad [21614]
dari jalan Abdurrahman Al Hubla dari Ash Shonabihi dari Mu’adz bin
Jabal, disahihkan Al Albani dalam Sahih Sunan Abu Dawud. (Tahqiq Al
Fawa’id))
“Bukanlah yang dimaksud dengan dzikir di sini sekedar berdzikir dengan
lisan. Namun, dzikir dengan hati sekaligus dengan lisan.
Berdzikir/mengingat Allah mencakup mengingat nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, mengingat perintah dan larangan-Nya, mengingat-Nya
dengan membaca firman-firman-Nya.
Itu semua tentunya akan melahirkan ma’rifatullah (pengenalan terhadap
Allah), keimanan kepada-Nya, serta keimanan kepada kesempurnaan dan
keagungan sifat-sifat-Nya.
Selain itu, ia akan membuahkan berbagai macam sanjungan yang tertuju
kepada-Nya. Sementara itu semua tidak akan sempurna apabila tidak
dilandasi dengan ketauhidan kepada-Nya. Maka dzikir yang hakiki pasti
akan melahirkan itu semuanya. Dan ia juga akan melahirkan kesadaran
mengingat berbagai macam kenikmatan, anugerah, serta perbuatan
baik-Nya kepada makhluk-Nya.”
“Adapun syukur adalah mengabdi kepada Allah dengan menaati-Nya,
mendekatkan diri kepada-Nya dengan hal-hal yang dicintai-Nya, baik
yang bersifat lahir ataupun batin. Dua perkara inilah simpul ajaran
agama. Mengingat-Nya akan melahirkan pengenalan (hamba) kepada-Nya.
Dan dalam bersyukur kepada-Nya terkandung ketaatan kepada-Nya. Kedua
perkara inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia, langit dan bumi
serta segala sesuatu yang berada di antara keduanya. Lawan dari tujuan
ini adalah berupa kebatilan (kesia-siaan) dan main-main belaka. Allah
Maha tinggi dan Maha suci dari perbuatan semacam itu. Seperti itulah
anggapan buruk yang ada pada diri musuh-musuh-Nya.”
Allah ta’ala berfirman yang artinya,“Dan tidaklah Kami menciptakan
langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya sia-sia,
itulah yang disangka oleh orang-orang kafir itu.” (Qs. Shad [38]: 27)
Allah ta’ala berfirman yang artinya,“Dan tidaklah Kami menciptakan
langit dan bumi serta apa yang berada di antara keduanya sekedar
bermain-main saja. Tidaklah Kami menciptakan keduanya kecuali dengan
tujuan yang benar.” (Qs. Ad Dukhan [44]: 38-39)
Allah juga berfirman yang artinya,“Dan tidaklah Kami menciptakan
langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya kecuali dengan
tujuan yang benar, dan sesungguhnya hari kiamat itu pasti datang.”
(Qs. Al Hijr [15]: 85)
Allah berfirman setelah menyebutkan tanda-tanda kebesaran-Nya di awal
surat Yunus yang artinya,“Tidaklah Allah menciptakan hal itu semua
kecuali dengan maksud yang benar.” (Qs. Yunus [10]: 5)
Allah berfirman yang artinya,“Apakah manusia mengira dia ditinggalkan begitu saja.” (Qs. Al Qiyamah [75]: 36).
Allah berfirman pula yang artinya,“Apakah kalian mengira kalau Kami
menciptakan kalian hanya sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan
kepada Kami?” (Qs. Al Mu’minun [23]: 115)
Allah berfirman yang artinya,“Dan tidaklah Kami menciptkan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Qs. Adz Dzariyat
[51]: 56)
Dalam ayat lainnya, "Allah lah yang menciptakan tujuh lapis langit
dan bumi seperti itu pula. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu
dan Allah ilmunya meliputi segala sesuatu.” (Qs. Ath Thalaq [65]: 12)
Allah berfirman yang artinya, “Allah menjadikan ka’bah yaitu baitul
haram sebagai kiblat sholat bagi umat manusia, demikian pula bulan
haram, hadyu dan qalaa’id. Itu semua agar kalian mengetahui allah
mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan segala yang ada di
bumi, dan bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al
Maa-idah [5]: 97).”
“Maka dengan disebutkannya ayat-ayat tersebut telah terbukti
bahwasanya tujuan penciptaan dan perintah ialah agar Allah diingat dan
disyukuri. Sehingga Dia akan selalu diingat dan tidak dilupakan. Akan
selalu disyukuri dan tidak diingkari. Allah Yang Maha suci akan
mengingat siapa saja yang mengingat diri-Nya. Dan Allah juga akan
berterima kasih (membalas kebaikan) kepada siapa saja yang bersyukur
kepada-Nya.
Mengingat Allah adalah sebab Allah mengingat hamba. Dan bersyukur
kepada-Nya adalah sebab Allah menambahkan nikmat-Nya. Maka dzikir lebih
terfokus untuk kebaikan hati dan lisan. Syukur dari hati dalam
bentuk rasa cinta dan taubat yang disertai ketaatan. Adapun di lisan,
syukur itu akan tampak dalam bentuk pujian dan sanjungan. Dan syukur
juga akan muncul dalam bentuk ketaatan dan pengabdian oleh segenap
anggota badan.” (Al Fawa’id, hal. 124-125)
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.
Yogyakarta, 9/1/1429. Abu Mushlih Al Jukjakarti
Semoga Allah mengampuninya, Kedua orang tuanya dan segenap kaum muslimin
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi Al Jukjakarti
Atikel www.muslim.or.id
Dzikir Ibadah yang Sangat Agung
Segala puji bagi Allah, Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, Yang Maha
Mulia lagi Maha Pengampun. Dzat yang menetapkan takdir dan mengatur
segala urusan. Dzat yang mempergilirkan malam dan siang sebagai
pelajaran bagi orang-orang yang memiliki hati dan pemahaman. Dzat yang
menyadarkan sebagian makhluk dan memilihnya di antara orang
pilihan-Nya dan kemudian Allah memasukkan dia ke dalam golongan
orang-orang yang terbaik. Dzat yang memberikan taufik kepada orang
yang Dia pilih di antara hamba-hamba-Nya kemudian Allah jadikan dia
termasuk golongan al-Muqarrabin al-Abrar. Segala puji bagi-Nya yang
telah memberikan pencerahan kepada orang yang dicintai-Nya sehingga
membuat mereka untuk bersikap zuhud di alam kehidupan dunia ini,
sehingga mereka bersungguh-sungguh untuk meraih ridha-Nya serta
bersiap-siap untuk menyambut negeri yang kekal. Oleh sebab itu, mereka
pun menjauhi perkara yang membuat-Nya murka dan menjauhkan diri dari
ancaman siksa neraka. Mereka menundukkan dirinya dengan penuh
kesungguhan dalam ketaatan kepada-Nya serta senantiasa berdzikir
kepada-Nya pada waktu petang maupun pagi. Dzikir itu senantiasa mereka
lakukan walaupun terjadi perubahan keadaan dan di setiap kesempatan;
malam maupun siang hari. Oleh sebab itu, bersinarlah hati mereka
dengan pancaran cahaya keimanan (lihat Mukadimah Al Adzkar, dalam
Shahih Al Adzkar, hal. 11)
Saudaraku -semoga Allah menyinari hati kita dengan keimanan-, dzikir
merupakan ibadah yang sangat agung. Allah ta’ala berfirman, “Maka
ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku juga akan mengingat kalian.” (QS.
al-Baqarah: 152)
Orang-orang yang hadir dalam majelis dzikir adalah orang-orang yang
berbahagia. Bagaimana tidak, sedangkan di dalam majelis itu dibacakan
ayat-ayat Allah ta’ala dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang itu merupakan sumber ketenangan hati dan kebahagiaan
sejati. Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
itu hanyalah orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat mereka
maka bertambahlah keimanan mereka…” (QS. al-Anfal: 2)
Di saat peperangan berkecamuk, Allah pun tetap memerintahkan ibadah
yang mulia ini agar mereka menjadi orang-orang yang mendapatkan
keberhasilan. Allah ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kalian bertemu dengan pasukan musuh maka tegarlah kalian dan
ingatlah kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya, mudah-mudahan kalian
beruntung.” (QS. al-Anfal: 45)
Allah ta’ala juga berfirman, “Ingatlah, dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’d: 28)
Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar
menjumpai sebuah halaqah yang terdiri dari para sahabat beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bertanya, “Apa yang membuat
kalian duduk di sini?” Mereka menjawab, “Kami duduk untuk mengingat
Allah ta’ala dan memuji-Nya atas petunjuk yang Allah berikan kepada
kami sehingga kami bisa memeluk Islam dan nikmat-nikmat yang telah
dilimpahkan-Nya kepada kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
mengatakan, “Demi Allah, apakah tidak ada alasan lain bagi kalian
sehingga membuat kalian duduk di sini melaikan itu?” Mereka menjawab,
“Demi Allah, tidak ada niat kami selain itu.” Beliau pun bersabda,
“Adapun aku, sesungguhnya aku sama sekali tidak memiliki persangkaan
buruk kepada kalian dengan pertanyaanku. Akan tetapi, Jibril datang
kepadaku kemudian dia mengabarkan kepadaku bahwa Allah ‘azza wa jalla
membanggakan kalian di hadapan para malaikat.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada suatu
kaum yang duduk untuk berdzikir kepada Allah ta’ala melainkan malaikat
akan meliputi mereka dan rahmat akan menyelimuti mereka, dan akan
turun kepada mereka ketenangan, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka
di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian
melewati taman-taman surga maka singgahlah.” Maka para sahabat
bertanya, “Apa yang dimaksud taman-taman surga itu wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah dzikir, karena sesungguhnya Allah
ta’ala memiliki malaikat yang berkeliling untuk mencari halaqah-halaqah
dzikir. Apabila mereka datang kepada orang-orang itu, maka mereka pun
meliputinya.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah dan dihasankan oleh
Syaikh Salim dalam Shahih Al Adzkar, hal. 16)
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya keutamaan
dzikir itu tidak terbatas kepada tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan
semacamnya. Akan tetapi, setiap orang yang beramal ikhlas karena Allah
ta’ala dengan melakukan ketaatan maka dia adalah orang yang berdzikir
kepada Allah ta’ala. Demikianlah, yang dikatakan oleh Sa’id bin
Jubair radhiyallahu’anhu dan para ulama yang lain. Atha’ rahimahullah
mengatakan, ‘Majelis dzikir adalah majelis halal dan haram, yang
membicarakan bagaimana menjual dan membeli, bagaimana shalat, menikah,
thalaq, haji, … dan sebagainya.’” (Shahih Al Adzkar, hal. 18)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sebagian dari
kalangan ahli hikmah yang terdahulu dari Syam -dugaan saya adalah
Sulaiman Al Khawwash rahimahullah mengatakan, ‘Dzikir bagi hati laksana
makanan bagi tubuh. Maka sebagaimana tubuh tidak akan merasakan
kelezatan makanan ketika menderita sakit. Demikian pula hati tidak akan
dapat merasakan kemanisan dzikir apabila hatinya masih jatuh cinta
kepada dunia’. Apabila hati seseorang telah disibukkan dengan mengingat
Allah, senantiasa memikirkan kebenaran, dan merenungkan ilmu, maka
dia telah diposisikan sebagaimana mestinya…” (Majmu’ Fatawa, 2/344)
Oleh sebab itu, menjadi orang yang banyak mengingat Allah merupakan
cita-cita setiap mukmin. Allah ta’ala berfirman, “Dan kaum lelaki yang
banyak mengingat Allah demikian pula kaum perempuan, maka Allah
persiapkan untuk mereka ampunan dan pahala yang sangat besar.” (QS. Al
Ahzab: 35)
Mujahid rahimahullah mengatakan, “Tidaklah tergolong lelaki dan
perempuan yang banyak mengingat Allah kecuali apabila dia membiasakan
diri senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, maupun
berbaring.” (Shahih al-Adzkar, hal. 19)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang
suami membangunkan isterinya, kemudian mereka berdua shalat bersama
sebanyak dua raka’at, maka mereka berdua akan dicatat termasuk dalam
golongan lelaki dan perempuan yang banyak mengingat Allah.” (HR. Abu
Dawud, An Nasa’i dalam Sunan Al Kubra, dan Ibnu Majah, disahihkan oleh
Syaikh Salim dalam Shahih Al Adzkar, hal. 19)
Mu’adz bin Jabal -radhiyallahu’anhu- menceritakan bahwa suatu ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangannya seraya
mengucapkan, “Hai Mu’adz, demi Allah sesungguhnya aku benar-benar
mencintaimu. Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu.” Lalu beliau
bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu hai Mu’adz, jangan kamu tinggalkan
bacaan setiap kali di akhir shalat hendaknya kamu berdoa, ‘Allahumma
a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik’ (Ya Allah,
bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah
dengan baik kepada-Mu).” (HR. Abu Dawud, disahihkan Al Albani dalam
Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud no. 1522)
Itulah sebagian keutamaan dzikir yang bisa kami kemukakan di sini,
semoga Allah memberikan kepada kita taufik untuk berdzikir kepada-Nya,
bersyukur kepada-Nya, dan beribadah dengan baik kepada-Nya. Wa
shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahibihi wa
sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Hamba yang fakir kepada ampunan Rabbnya
Semoga Allah mengampuninya
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Dzikir Lisan Ada Dua Macam
1. Dzikir secara mutlak, yaitu dzikir yang diperintahkan tanpa ada
ikatan waktu, tempat, atau jumlah tertentu, maka dzikir semacam ini
tidak boleh dilakukan dengan menentukan jumlah-jumlah yang
dikhususkan seperti seribu kali dan semisalnya. [Lihat Ilmu Ushul
Bida’ bab/pasal Hadyus Salaf wal Amal bin Nushushil Ammah.]
Dzikir semacam ini sebagaimana dalam firman-Nya: "Hai orang-orang yang
beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang
sebanyak-banyaknya". (QS. al-Ahzab [33]: 41)
Membatasi suatu ibadah yang tidak dibatasi oleh Allah adalah menambah
syari’at Allah. Allah tidak mengikat dengan jumlah tertentu dalam
dzikir jenis ini merupakan kemurahan dan kemudahan dari Allah. Setiap
hamba-Nya bebas berdzikir sesuai dengan kemampuannya tidak terikat
dengan jumlah dzikir tertentu [Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha
hlm. 102-103.].
2. Dzikir muqoyyad, yaitu dzikir-dzikir yang dianjurkan supaya
dilakukan dengan hitungan tertentu seperti ucapan Subhanalloh 33 kali,
Alhamdulillah 33 kali, dan Allohu Akbar 33 kali, dan hitungan paling
banyak yang pernah dianjurkan oleh Nabi adalah 100 kali, sebagaimana
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barang siapa mengucapkan
Subhanallohi wabihamdihi setiap hari seratus kali, maka dihapus
dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. al-Bukhori: 6042
dan Muslim: 2691)
Adapun yang disyari’atkan dalam dzikir muqoyyad adalah dengan
menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya, sebagaimana perintah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para istri dan kaum
wanita dari kalangan sahabatnya. Beliau bersabda:
وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.
“Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya
(ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara
(pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan oleh al-Hakim
dan adz-Dzahabi, dihasankan oleh an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani
dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)
Adapun tentang maknaالأَنَامِلُ Qotadah berkata bahwa maksudnya adalah
ujung-ujung jari. Sedangkan Ibnu Mas’ud, as-Suddiy, dan Robi’ bin
Anas berkata, الأَنَامِلُ adalah jari-jemari itu sendiri (Tafsir
al-Qur‘anil Azhim kar. Ibnu Katsir 2/108).
Ibnu Manzhur (Lisanul Arab 14/295) mengatakan bahwaالأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari yang paling atas yang ada kukunya.
Dalam al-Qomush al-Muhith: 2/955 disebutkan bahwa الأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari atau sendi-sendinya.
Dari keterangan di atas jelas bahwa berdzikir disyari’atkan dengan
ujung-ujung jari atau ruas-ruas jari. Dan inilah cara yang paling
mudah sesuai dengan Islam yang penuh dengan kemudahan, sehingga kaum
muslimin dari semua kalangan dapat melakukannya tanpa menggunakan
alat bantu seperti kerikil, biji-bijian, butiran-butiran tanah liat,
atau alat penghitung modern, dan semisalnya.
"Berdzikir hanya dengan tangan kanan saja, tidak selayaknya dengan
tangan kiri, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibnu Baz (Fatawa
Islamiyyah hlm. 320), beliau berkata: “Sungguh telah sah dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau menghitung
tasbihnya (dzikirnya) dengan tangan kanannya, dan barang siapa
berdzikir dengan kedua tangannya maka tidak berdosa, lantaran riwayat
kebanyakan hadits yang mutlak (mencakup tangan kedua tangan), tetapi
berdzikir dengan tangan kanan saja lebih afdhol karena mengamalkan
sunnah yang sah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam suka mendahulukan bagian kanan baik dalam bersandal,
bersisir, bersuci, dan setiap urusannya.” (HR. al-Bukhori 1866 dan
Muslim 268)
_____________
http://www.abuayaz.co.cc/2010/06/berzikir-dengan-biji-bijian-tasbih.htmlhttp://faisalchoir.blogspot.com/2011/10/melestarikan-tauhid-dengan-dzikir-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar