Orang muslim meyakini bahwa kebahagiaannya di dunia dan
akhirat sangatlah ditentukan oleh sejauh mana pembinaan, perbaikan dan
penyucian terhadap dirinya. Selain itu, ia meyakini bahwa celakanya dirinya
sangatlah ditentukan oleh sejauh mana kerusakan dirinya, pengotorannya dan
keburukan perbuatannya. Allah Ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)
Orang muslim
meyakini bahwa sesuatu yang bisa membersihkan dirinya dan menyucikannya ialah
iman yang benar dan amal shalih. Ia juga meyakini bahwa sesuatu yang dapat
mengotori dirinya dan merusaknya ialah kekafiran, keburukan dan kemaksiatan.
Firman Allah Ta’ala:
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali
tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati
mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya jika seorang mukmin
melakukan dosa, maka ada noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, berhenti
(dari dosa tersebut) dan beristighfar, maka hatinya bersih. Jika dosanya
bertambah, maka bertambah pula noda hitamnya sehingga menutupi hatinya.”
(Diriwayatkan An-Nasai dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini
hasan shahih).
Noda hitam tersebut
tidak lain adalah tutupan hati yang disebutkan Allah Ta’ala dalam surat Al-Muthaffifin di
atas.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Bertakwalah kepada Allah di mana saja
engkau berada dan tindaklanjutilah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan
tersebut menghapus kesalahan tersebut, dan bergaullah dengan manusia dengan
akhlak yang baik.” (Diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim)
Oleh karena itulah
maka orang muslim tidak henti-hentinya membina dirinya, menyucikannya, dan
membersihkannya. Ia menjauhkan diri dari apa saja yang dapat mengotorinya dan
merusaknya, seperti keyakinan-keyakinan yang bathil, ucapan-ucapan yang buruk,
dan amal perbuatan yang rusak. Ia melawan dirinya siang malam, mengevaluasinya
setiap saat, membawanya kepada perbuatan-perbuatan yang baik, mendorong dirinya
kepada ketaatan, dan menjauhkan dirinya dari segala keburukan dan kerusakan.
Dalam upayanya
memperbaiki diri, membina, dan menyucikan dirinya, orang muslim menempuh
jalan-jalan berikut:
1. Taubat
Yang dimaksud dengan
taubat di sini ialah melepaskan diri dari semua dosa dan perbuatan maksiat,
menyesali semua dosa-dosa di masa lalunya, dan bertekad tidak kembali lagi
kepada dosa-dosa tersebut di sisa umurnya.
Allah Ta’ala
berfirman:"Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan
taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai.." (At-Tahrim: 8)
"Dan
bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung." (An-Nuur: 31)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Hai manusia, bertaubatlah kalian kepada
Allah, karena aku bertaubat dalam sehari sebanyak seratus kali.” (HR. Muslim)
2. Muraqabah
Maksudnya, orang
muslim mengkondisikan dirinya merasa senantiasa diawasi Allah Ta’ala di setiap
waktu kehidupannya, bahwa Allah Ta’ala melihatnya, mengetahui
rahasia-rahasianya, memperhatikan semua perbuatannya, dan mengamati apa saja
yang ada di dalam hatinya. Dengan cara seperti itu, maka orang muslim akan
senantiasa merasakan keagungan Allah Ta’ala dan kesempurnaan-Nya, tentram
ketika ingat nama-Nya, dapat merasakan kenikmatan ketika taat kepada-Nya,
selalu ingin dekat dengan-Nya, ingin segera datang menghadap kepada-Nya, dan
berpaling dari selain-Nya.
Inilah yang
dimaksudkan dengan Islamisasi wajah dalam firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ
حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلا
"Dan siapakah
yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya." (An-Nisaa’:
125)
"Dan barang
siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat
kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
kokoh." (Luqman: 22)
Itulah intisari
seruan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:"Dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya."
(Al-Baqarah: 235)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sembahlah Allah seperti engkau
melihatnya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Muhasabah
Karena orang muslim
bekerja siang malam untuk kebahagiaannya di akhirat, maka ia harus melihat
ibadah-ibadah wajib seperti penglihatan seorang pedagang kepada modal
bisnisnya, ia melihat ibadah-ibadah sunnah seperti penglihatan seorang pedagang
terhadap keuntungan bisnisnya, dan melihat kemaksiatan atau dosa sebagai
kerugian daalm bisnisnya.
Kemudian ia berduaan
dengan dirinya sendiri sesaaat di akhir harinya untuk melakukan muhasabah
(evaluasi) terhadap dirinya atas amal perbuatannya sepanjang siang harinya.
Jika ia melihat dirinya kurang mengerjakan ibadah-ibadah wajib, maka ia mencela
dirinya dan memarahinya, kemudian memaksa dirinya untuk melaksanakan
ibadah-ibadah wajib tersebut saat itu juga apabila ibadah-ibadah wajib tersebut
termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga, dan jika ibadah-ibadah wajib
tersebut tidak termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga maka ia
memperbanyak mengerjakan ibadah-ibadah sunnah. Jika ia melihat dirinya kurang
dalam mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, maka ia mengganti kekurangannya dan
mendorong dirinya untuk melakukannya. Jika ia melihat kerugian karena ia
melakukan dosa, maka ia beristighfar, menyesalinya, bertaubat, dan mengerjakan
amal shalih yang bisa memperbaiki apa yang telah dirusaknya.
Inilah yang dimaksud
dengan muhasabah terhadap diri sendiri. Inilah salah satu cara perbaikan diri
(jiwa), pembinaannya, penyuciannya, dan pembersihannya. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan." (Al-Hasyr: 18)
Firman Allah Ta’ala,
“Hendaklah setiap diri memperhatikan”, maksudnya adalah perintah untuk
melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap diri sendiri atas apa yang diperbuatnya
untuk menyongsong hari esok.
Adalah Umar bin
Khaththab radhiyallahu ‘anhu, jika waktu malam telah tiba, ia memukul kedua
kakinya dengan berkata kepada dirinya, “Apakah yang telah engkau kerjakan siang
tadi?”
Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu juga berkata, “Evaluasilah diri kalian, sebelum kalian
dievaluasi.”
Yang semakna
dengannya ialah apa yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Orang cerdas adalah
orang yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedang
orang lemah adalah orang yang menyerahkan dirinya kepada hawa nafsunya dan
berkhayal kosong kepada Allah.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan sanad
hasan).
Adalah Thalhah
radhiyallahu ‘anhu jika disibukkan oleh perkebunannya hingga ia tidak bisa
menghadiri shalat jama’ah, maka ia mengeluarkan sedekah untuk Allah Ta’ala dari
perkebunannya. Ini tidak lain adalah muhasabah darinya terhadap dirinya, dan
kemarahannya terhadap dirinya.
Begitulah para
salafush shalih mengevaluasi diri mereka, dengan memarahi dirinya atas
kelalaiannya, mewajibkan dirinya untuk senantiasa bertakwa, dan melarang
dirinya mengikuti hawa nafsunya, karena mengikuti firman Allah Ta’ala:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
"Dan adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)."
(An-Nazi’at: 40-41)
4. Mujahadah
Orang muslim mengetahui
bahwa musuh besarnya ialah hawa nafsu yang ada dalam dirinya, bahwa sifat hawa
nafsu adalah condong kepada keburukan, lari dari kebaikan, dan senantiasa
menyeru kepada keburukan, sebagaimana dikatakan Zulaikha dalam Al-Qur’an:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Yusuf: 53)
Selain itu, di
antara sifat hawa nafsu adalah senang bermalas-malasan, santai dan menganggur,
serta larut dalam syahwat, kendati di dalamnya terdapat kecelakaan dan
kebinasaan bagi dirinya.
Jika orang muslim
telah mengetahui itu semua, maka ia memobilisasi diri untuk berjuang melawan
hawa nafsunya, mengumumkan perang, mengangkat senjata untuk melawannya, dan
bertekad mengatasi seluruh perjuangannya melawan hawa nafsu dan menantang
syahwatnya. Jika hawa nafsunya menyukai kehidupan santai, maka ia membuatnya
lelah. Jika hawa nafsunya menginginkan syahwat, maka ia melarangnya. Jika
dirinya tidak serius dalam ketaatan dan kebaikan, maka ia menghukumnya dan
memarahinya, kemudian mewajibkan dirinya mengerjakan apa yang tidak ia kerjakan
dengan serius, dan mengganti apa yang ia sia-siakan dan apa yang ia tinggalkan.
Ia bawa dirinya ke dalam pembinaan seperti itu hingga dirinya menjadi tentram,
bersih, dan menjadi baik. Itulah tujuan utama mujahadah (perjuangan) terhadap
hawa nafsu. Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
"Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik." (Al-Ankabut: 69)
Ali bin Abu Thalib
radhiyallahu ‘anhu berkata tentang sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Demi Allah, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan mereka. Pada pagi hari,
rambut mereka kusut, berdebu, dan pucat, karena tidak tidur semalam suntuk
untuk sujud, dan berdiri shalat membaca Kitabullah, dan istirahat di antara
kaki mereka dengan kening mereka. Jika mereka dzikir kepada Allah, mereka
bergoyang sebagaimana pohon bergoyang ketika tertiup angin. Mata mereka
bercucuran dengan air mata hingga pakaian mereka basah kuyup.”
Abu Ad-Darda’
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tanpa tiga hal, aku tidak tertarik hidup, meskipun
sehari saja, yaitu haus untuk Allah di siang hari yang panas, sujud untuk-Nya
di pertengahan malam, dan duduk dengan orang-orang yang memilih ucapan-ucapan
yang bagus, sebagaimana buah-buahan yang bagus dipilih.”
Tsabit Al-Bunani
rahimahullah berkata, “Aku pernah bertemu dengan orang-orang dimana salah
seorang dari mereka shalat, kemudian ia tidak bisa pergi ke tempat tidurnya
kecuali dengan merangkak. Salah seorang dari mereka qiyamul lail (shalat
tahajud) hingga kedua kakinya bengkak karena terlalu lama berdiri. Keseriusan
mereka dalam ibadah sampai pada taraf jika dikatakan kepada mereka bahwa kiamat
akan terjadi besok, maka mereka tidak akan menambah ibadahnya. Jika musim
dingin tiba, ia berdiri di atap rumah agar diterpa hawa dingin sehingga tidak
bisa tidur. Jika musim panas tiba, maka ia berdiri di bawah atap rumah, agar
panas matahari membuatnya tidak bisa tidur. Salah seorang dari mereka meninggal
dunia dalam keadaan sujud.”
Istri Masruq
rahimahullah berkata, “Masruq tidak ditemui, kecuali kedua betisnya bengkak
karena saking lamanya qiyamul lail. Demi Allah, pada suatu kesempatan, saya
berdiri di belakangnya ketika ia berdiri qiyamul lail, kemudian aku menangis
karena iba terhadapnya.”
Dikisahkan bahwa salah
seorang istri dari para salafush shalih yang bernama Ajrah yang telah buta
berdo’a dengan suara yang memilukan jika waktu sahur telah tiba, “Ya Allah,
kepada-Mu orang-orang ahli ibadah mengarungi kegelapan malam untuk berlomba
kepada rahmat-Mu dan karunia ampunan-Mu. Ya Allah, dengan-Mu, aku meminta
kepada-Mu, dan tidak kepada selain-Mu, agar Engkau menjadikanku orang terdepan
di rombongan orang-orang as-Sabiqun (orang-orang yang cepat kepada kebaikan),
mengangkatku di sisi-Mu di Illiyyin pada derajat makhluk-makhluk yang
didekatkan kepada-Mu, dan menyusulkanku kepada hamba-hamba-Mu yang shalih.
Engkau Dzat yang paling penyayang, Dzat yang paling agung, dan Dzat yang paling
mulia, wahai Dzat yang paling mulia.” Usai berdo’a seperti itu, ia sujud. Ia tidak
henti-hentinya berdo’a dan menangis hingga waktu shalat shubuh tiba.
Semoga bermanfaat...
(Dikutip dengan
sedikit diringkas, dari kitab Minhajul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar Jabir
Al-Jazairi, ahli tafsir dan penasehat di Masjid Nabawi Madinah yang mengajarkan
tafsir Al-Qur’an di Masjid Nabawi Madinah)
Artikel facebook
al-Akh Abu Muhammad Herman
http://www.facebook.com/notes/abu-muhammad-herman/etika-terhadap-diri-sendiri/10150162058020175