Kamis, 02 Januari 2014

Etika Terhadap Diri Sendiri


Orang muslim meyakini bahwa kebahagiaannya di dunia dan akhirat sangatlah ditentukan oleh sejauh mana pembinaan, perbaikan dan penyucian terhadap dirinya. Selain itu, ia meyakini bahwa celakanya dirinya sangatlah ditentukan oleh sejauh mana kerusakan dirinya, pengotorannya dan keburukan perbuatannya. Allah Ta’ala berfirman:


 قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

 “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)

Orang muslim meyakini bahwa sesuatu yang bisa membersihkan dirinya dan menyucikannya ialah iman yang benar dan amal shalih. Ia juga meyakini bahwa sesuatu yang dapat mengotori dirinya dan merusaknya ialah kekafiran, keburukan dan kemaksiatan.

Firman Allah Ta’ala:

كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

 “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya jika seorang mukmin melakukan dosa, maka ada noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, berhenti (dari dosa tersebut) dan beristighfar, maka hatinya bersih. Jika dosanya bertambah, maka bertambah pula noda hitamnya sehingga menutupi hatinya.” (Diriwayatkan An-Nasai dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan shahih).
Noda hitam tersebut tidak lain adalah tutupan hati yang disebutkan Allah Ta’ala dalam surat Al-Muthaffifin di atas.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan tindaklanjutilah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan tersebut, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (Diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim)
Oleh karena itulah maka orang muslim tidak henti-hentinya membina dirinya, menyucikannya, dan membersihkannya. Ia menjauhkan diri dari apa saja yang dapat mengotorinya dan merusaknya, seperti keyakinan-keyakinan yang bathil, ucapan-ucapan yang buruk, dan amal perbuatan yang rusak. Ia melawan dirinya siang malam, mengevaluasinya setiap saat, membawanya kepada perbuatan-perbuatan yang baik, mendorong dirinya kepada ketaatan, dan menjauhkan dirinya dari segala keburukan dan kerusakan.

Dalam upayanya memperbaiki diri, membina, dan menyucikan dirinya, orang muslim menempuh jalan-jalan berikut:

1. Taubat
Yang dimaksud dengan taubat di sini ialah melepaskan diri dari semua dosa dan perbuatan maksiat, menyesali semua dosa-dosa di masa lalunya, dan bertekad tidak kembali lagi kepada dosa-dosa tersebut di sisa umurnya.

Allah Ta’ala berfirman:"Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.." (At-Tahrim: 8)

"Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (An-Nuur: 31)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Hai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, karena aku bertaubat dalam sehari sebanyak seratus kali.” (HR. Muslim)

2. Muraqabah
Maksudnya, orang muslim mengkondisikan dirinya merasa senantiasa diawasi Allah Ta’ala di setiap waktu kehidupannya, bahwa Allah Ta’ala melihatnya, mengetahui rahasia-rahasianya, memperhatikan semua perbuatannya, dan mengamati apa saja yang ada di dalam hatinya. Dengan cara seperti itu, maka orang muslim akan senantiasa merasakan keagungan Allah Ta’ala dan kesempurnaan-Nya, tentram ketika ingat nama-Nya, dapat merasakan kenikmatan ketika taat kepada-Nya, selalu ingin dekat dengan-Nya, ingin segera datang menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya.

Inilah yang dimaksudkan dengan Islamisasi wajah dalam firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلا
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya." (An-Nisaa’: 125)

"Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh." (Luqman: 22)

Itulah intisari seruan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:"Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya." (Al-Baqarah: 235)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sembahlah Allah seperti engkau melihatnya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Muhasabah
Karena orang muslim bekerja siang malam untuk kebahagiaannya di akhirat, maka ia harus melihat ibadah-ibadah wajib seperti penglihatan seorang pedagang kepada modal bisnisnya, ia melihat ibadah-ibadah sunnah seperti penglihatan seorang pedagang terhadap keuntungan bisnisnya, dan melihat kemaksiatan atau dosa sebagai kerugian daalm bisnisnya.

Kemudian ia berduaan dengan dirinya sendiri sesaaat di akhir harinya untuk melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya atas amal perbuatannya sepanjang siang harinya. Jika ia melihat dirinya kurang mengerjakan ibadah-ibadah wajib, maka ia mencela dirinya dan memarahinya, kemudian memaksa dirinya untuk melaksanakan ibadah-ibadah wajib tersebut saat itu juga apabila ibadah-ibadah wajib tersebut termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga, dan jika ibadah-ibadah wajib tersebut tidak termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga maka ia memperbanyak mengerjakan ibadah-ibadah sunnah. Jika ia melihat dirinya kurang dalam mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, maka ia mengganti kekurangannya dan mendorong dirinya untuk melakukannya. Jika ia melihat kerugian karena ia melakukan dosa, maka ia beristighfar, menyesalinya, bertaubat, dan mengerjakan amal shalih yang bisa memperbaiki apa yang telah dirusaknya.

Inilah yang dimaksud dengan muhasabah terhadap diri sendiri. Inilah salah satu cara perbaikan diri (jiwa), pembinaannya, penyuciannya, dan pembersihannya. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al-Hasyr: 18)

Firman Allah Ta’ala, “Hendaklah setiap diri memperhatikan”, maksudnya adalah perintah untuk melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap diri sendiri atas apa yang diperbuatnya untuk menyongsong hari esok.

Adalah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, jika waktu malam telah tiba, ia memukul kedua kakinya dengan berkata kepada dirinya, “Apakah yang telah engkau kerjakan siang tadi?”

Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga berkata, “Evaluasilah diri kalian, sebelum kalian dievaluasi.”

Yang semakna dengannya ialah apa yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Orang cerdas adalah orang yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedang orang lemah adalah orang yang menyerahkan dirinya kepada hawa nafsunya dan berkhayal kosong kepada Allah.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan sanad hasan).

Adalah Thalhah radhiyallahu ‘anhu jika disibukkan oleh perkebunannya hingga ia tidak bisa menghadiri shalat jama’ah, maka ia mengeluarkan sedekah untuk Allah Ta’ala dari perkebunannya. Ini tidak lain adalah muhasabah darinya terhadap dirinya, dan kemarahannya terhadap dirinya.

Begitulah para salafush shalih mengevaluasi diri mereka, dengan memarahi dirinya atas kelalaiannya, mewajibkan dirinya untuk senantiasa bertakwa, dan melarang dirinya mengikuti hawa nafsunya, karena mengikuti firman Allah Ta’ala:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)." (An-Nazi’at: 40-41)

4. Mujahadah
Orang muslim mengetahui bahwa musuh besarnya ialah hawa nafsu yang ada dalam dirinya, bahwa sifat hawa nafsu adalah condong kepada keburukan, lari dari kebaikan, dan senantiasa menyeru kepada keburukan, sebagaimana dikatakan Zulaikha dalam Al-Qur’an:

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Yusuf: 53)

Selain itu, di antara sifat hawa nafsu adalah senang bermalas-malasan, santai dan menganggur, serta larut dalam syahwat, kendati di dalamnya terdapat kecelakaan dan kebinasaan bagi dirinya.

Jika orang muslim telah mengetahui itu semua, maka ia memobilisasi diri untuk berjuang melawan hawa nafsunya, mengumumkan perang, mengangkat senjata untuk melawannya, dan bertekad mengatasi seluruh perjuangannya melawan hawa nafsu dan menantang syahwatnya. Jika hawa nafsunya menyukai kehidupan santai, maka ia membuatnya lelah. Jika hawa nafsunya menginginkan syahwat, maka ia melarangnya. Jika dirinya tidak serius dalam ketaatan dan kebaikan, maka ia menghukumnya dan memarahinya, kemudian mewajibkan dirinya mengerjakan apa yang tidak ia kerjakan dengan serius, dan mengganti apa yang ia sia-siakan dan apa yang ia tinggalkan. Ia bawa dirinya ke dalam pembinaan seperti itu hingga dirinya menjadi tentram, bersih, dan menjadi baik. Itulah tujuan utama mujahadah (perjuangan) terhadap hawa nafsu. Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (Al-Ankabut: 69)

Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata tentang sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan mereka. Pada pagi hari, rambut mereka kusut, berdebu, dan pucat, karena tidak tidur semalam suntuk untuk sujud, dan berdiri shalat membaca Kitabullah, dan istirahat di antara kaki mereka dengan kening mereka. Jika mereka dzikir kepada Allah, mereka bergoyang sebagaimana pohon bergoyang ketika tertiup angin. Mata mereka bercucuran dengan air mata hingga pakaian mereka basah kuyup.”

Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tanpa tiga hal, aku tidak tertarik hidup, meskipun sehari saja, yaitu haus untuk Allah di siang hari yang panas, sujud untuk-Nya di pertengahan malam, dan duduk dengan orang-orang yang memilih ucapan-ucapan yang bagus, sebagaimana buah-buahan yang bagus dipilih.”

Tsabit Al-Bunani rahimahullah berkata, “Aku pernah bertemu dengan orang-orang dimana salah seorang dari mereka shalat, kemudian ia tidak bisa pergi ke tempat tidurnya kecuali dengan merangkak. Salah seorang dari mereka qiyamul lail (shalat tahajud) hingga kedua kakinya bengkak karena terlalu lama berdiri. Keseriusan mereka dalam ibadah sampai pada taraf jika dikatakan kepada mereka bahwa kiamat akan terjadi besok, maka mereka tidak akan menambah ibadahnya. Jika musim dingin tiba, ia berdiri di atap rumah agar diterpa hawa dingin sehingga tidak bisa tidur. Jika musim panas tiba, maka ia berdiri di bawah atap rumah, agar panas matahari membuatnya tidak bisa tidur. Salah seorang dari mereka meninggal dunia dalam keadaan sujud.”

Istri Masruq rahimahullah berkata, “Masruq tidak ditemui, kecuali kedua betisnya bengkak karena saking lamanya qiyamul lail. Demi Allah, pada suatu kesempatan, saya berdiri di belakangnya ketika ia berdiri qiyamul lail, kemudian aku menangis karena iba terhadapnya.”

Dikisahkan bahwa salah seorang istri dari para salafush shalih yang bernama Ajrah yang telah buta berdo’a dengan suara yang memilukan jika waktu sahur telah tiba, “Ya Allah, kepada-Mu orang-orang ahli ibadah mengarungi kegelapan malam untuk berlomba kepada rahmat-Mu dan karunia ampunan-Mu. Ya Allah, dengan-Mu, aku meminta kepada-Mu, dan tidak kepada selain-Mu, agar Engkau menjadikanku orang terdepan di rombongan orang-orang as-Sabiqun (orang-orang yang cepat kepada kebaikan), mengangkatku di sisi-Mu di Illiyyin pada derajat makhluk-makhluk yang didekatkan kepada-Mu, dan menyusulkanku kepada hamba-hamba-Mu yang shalih. Engkau Dzat yang paling penyayang, Dzat yang paling agung, dan Dzat yang paling mulia, wahai Dzat yang paling mulia.” Usai berdo’a seperti itu, ia sujud. Ia tidak henti-hentinya berdo’a dan menangis hingga waktu shalat shubuh tiba.

Semoga bermanfaat...

(Dikutip dengan sedikit diringkas, dari kitab Minhajul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, ahli tafsir dan penasehat di Masjid Nabawi Madinah yang mengajarkan tafsir Al-Qur’an di Masjid Nabawi Madinah)

Artikel facebook al-Akh Abu Muhammad Herman
http://www.facebook.com/notes/abu-muhammad-herman/etika-terhadap-diri-sendiri/10150162058020175