Tentu saya sangat maklum dengan jawaban spontan ini, karena semua orang
memang tahu bahwa wanita haid tidak diperkenankan puasa. Lalu untuk apa
dibahas lagi? Tunggu dulu…! Dalam beramal kan kita butuh ilmu.
Karenanya, Al-Imam Al-Bukhari membuat satu bab dalam Kitab Al-Ilm dari
kitab Shahihnya; Bab Al-Ilm qablal qauli wal ‘amali (bab Ilmu itu
sebelum berucap dan beramal). Kemudian beliau membawakan dalil firman
Allah Ta’ala:
“Ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Ta’ala dan mintalah ampun atas dosamu.” (Muhammad: 19)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala memulai dengan perintah berilmu (sebelum beramal).
Nah, kita pun butuh ilmu tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa
bila diperhadapkan pada wanita haid. Jadi, tak ada salahnya bila kita
membahasnya. Semoga jadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi penyusun dan
bagi pembaca.
Hukum Puasa Ketika Haid
Ulama sepakat puasa wajib maupun sunnah haram dilakukan wanita haid.
Bila dia tetap berpuasa maka puasanya tidaklah sah. (Maratibul Ijma’,
hal. 72)
Ibnu Qudamah berkata, “Ahlul ilmi sepakat bahwa wanita haid dan nifas
tidak halal untuk berpuasa, bahkan keduanya harus berbuka di bulan
Ramadhan dan mengqadhanya. Bila keduanya tetap berpuasa maka puasa
tersebut tidak mencukupi keduanya (tidak sah)….” (Al-Mughni, kitab
Ash-Shiyam, Mas’alah wa Idza Hadhatil Mar’ah au Nafisat)
Al-Imam An-Nawawi berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak wajib shalat dan puasa dalam masa haid dan nifas tersebut.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 3/250)
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri disebutkan bahwa Rasulullah bersabda
kepada para wanita yang mempertanyakan tentang maksud kurangnya agama
mereka:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا
“Bukankah wanita itu bila haid ia tidak shalat dan tidak puasa?” Para
wanita menjawab, “Iya.” Rasulullah berkata, “Maka itulah dari kekurangan
agamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 304)
Ada dua pendapat tentang hikmah pelarangan puasa bagi wanita haid tersebut:
1. Perkaranya ta’abbudi (sudah menjadi ketentuan dalam ibadah). Karena
kalau alasannya harus thaharah (suci) ketika memulai puasa, maka ini
bukanlah syarat. Terbukti dengan sahnya puasa bagi orang yang berpagi
hari dalam keadaan junub (sudah terbit fajar dalam keadaan belum mandi
janabah).
2. Keluarnya darah akan melemahkan tubuh, maka bila ditambah puasa
tentunya lebih bermudarat bagi tubuh. (Al-Bahr Ar-Raiq, 1/204)
Apapun hikmahnya, yang jelas segala sesuatu yang telah menjadi ketetapan syariat maka kita menerimanya dengan penuh ketundukan.
Ahlul ilmi pun sepakat wajibnya wanita haid menqadha puasa Ramadhan yang
ditinggalkannya karena haidnya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam
hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha:
كاَنَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Dulunya kami ditimpa haid, maka kami diperintah mengqadha puasa dan
tidak diperintah mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 321 dan Muslim
no. 761, lafadz di atas menurut lafadz Al-Imam Muslim)
Al-Imam An-Nawawi menukilkan dalam Al-Majmu’ (6/259) maupun dalam
Al-Minhaj (3/250) adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa wanita haid
harus mengqadha puasa yang ditinggalkannya.
Ibnu Hazm juga menetapkan hal tersebut. Beliau berkata, “Wanita haid
mengqadha puasa hari-hari yang melewatinya dalam masa haidnya. Ini
merupakan nash yang disepakati. Tak ada seorang pun yang
menyelisihinya.” (Al-Muhalla, 1/394)
Ahlul ilmi berbeda pendapat tentang wanita yang semula haid kemudian
suci di siang hari Ramadhan, apakah ia harus imsak (menahan diri dari
makan dan minum) ataukah tidak? Mereka terbagi dalam dua pendapat:
1. Si wanita harus imsak di sisa harinya dan tetap mengqadha puasa hari tersebut.
Demikian pendapat dalam madzhab Hanafiyyah (Al-Mabsuth2, 3/54), satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, serta pendapat Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Hasan bin Shalih, dan Al-Anbari. (Al-Mughni kitab Ash-Shiyam, fashl Hal Yalzamul Imsak ala Man Yubahu lahu Al-Fithr)
Demikian pendapat dalam madzhab Hanafiyyah (Al-Mabsuth2, 3/54), satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, serta pendapat Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Hasan bin Shalih, dan Al-Anbari. (Al-Mughni kitab Ash-Shiyam, fashl Hal Yalzamul Imsak ala Man Yubahu lahu Al-Fithr)
Argumen mereka adalah bila si wanita tetap makan dalam keadaan tidak ada
lagi uzur padanya untuk tidak puasa, orang yang melihat akan menuduhnya
dengan tuduhan jelek (tidak puasa di bulan Ramadhan), sementara
menjauhi tempat-tempat tuduhan itu wajib. (Al-Mabsuth, 3/54)
Namun argumen ini bisa dibantah bahwa wanita haid yang makan di siang
hari Ramadhan pun bisa dituduh macam-macam oleh orang yang melihatnya
dalam keadaan tidak tahu atau bisa jadi tidak percaya bila si wanita
sedang haid. Kemudian, si wanita yang telah suci di siang hari Ramadhan
tadi toh bisa makan dan minum dengan sembunyi-sembunyi.
Argumen lainnya adalah si wanita dibolehkan tidak puasa karena adanya
penghalang (berupa haid) dan sekarang penghalangnya sudah
hilang/berakhir. Sementara al-hukmu yazulu bi zawali ‘illatihi, hukum
itu hilang dengan hilangnya penyebabnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 6/335)
Demikian pendapat dalam madzhab Malikiyyah (Al-Kafi, 1/295), Syafi’iyyah (Al-Majmu’, 6/259), satu riwayat dari Al-Imam Ahmad (Asy-Syarhul Mumti’, 6/335), dan pendapat Zhahiriyyah (Al-Muhalla).
Argumen mereka:
1. Dibolehkan bagi wanita yang semula haid untuk berbuka/tidak puasa di
awal siang secara lahir dan batin. Dihalalkan baginya di awal siang
untuk makan, minum, dan melakukan pembatal puasa yang mungkin
dikerjakannya. Maka bila dari awal siang ia tidak puasa, diperkenankan
baginya untuk tidak puasa sampai akhir siang walaupun uzurnya telah
hilang. Sementara imsak (menahan diri dari makan dan minum) tidak ada
faedahnya baginya sedikitpun. (Al-Mughni kitab Ash-Shiyam, fashl Hal
Yalzamul Imsak ala Man Yubahu lahu Al-Fithr, Asy-Syarhul Mumti’, 6/335)
2. Semua orang sepakat bahwa si wanita wajib mengqadha hari tersebut
(hari di mana ia mendapati dirinya suci di waktu siangnya), berarti
boleh baginya tidak puasa di hari tersebut. Bila statusnya sedang tidak
puasa, lalu apa maknanya ia imsak (menahan diri dari makan dan minum)?
Toh ia bukan orang yang diperintah puasa pada awal harinya, sehingga ia
tidaklah dianggap bermaksiat karena meninggalkan puasa. (Al-Muhalla)
3. Tanpa diragukan ia boleh makan di awal siang, maka boleh pula baginya
makan di tengah harinya atau di sisa harinya. (Al-Isyraf, 1/207)
4. Puasa di satu hari merupakan ibadah yang satu. Buktinya, bila di
akhir siang seseorang melakukan perbuatan yang membatalkan puasa,
seperti makan dengan sengaja, maka puasanya batal termasuk tentunya
puasanya di awal siang. Maka yang namanya puasa/menahan diri dari makan
dan minum tidak mungkin diwajibkan di akhir siang saja sementara di awal
siang tidak wajib. (Al-Isyraf, 1/207)
Diriwayatkan ucapan dari Ibnu Mas’ud, “Siapa yang makan di awal siang
maka hendaklah ia makan di akhirnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf, 3/54)
Maksud ucapan beliau, siapa yang halal untuk makan di awal siang berarti
halal pula baginya untuk makan di akhir siang. (Asy-Syarhul Mumti’,
6/335)
Ibnu Juraij berkata kepada Atha’, “Seorang wanita di pagi hari Ramadhan
masih haid kemudian suci pada sebagian siang yang tersisa. Apakah ia
harus menyempurnakan hari tersebut dengan berpuasa?”
Atha’ menjawab, “Tidak. Dia mengqadha puasa hari tersebut.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 1292)
Dari perbedaan pendapat yang ada, kata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, yang
paling kuat/rajih adalah pendapat yang kedua ini, yaitu si wanita tidak
perlu imsak. (Asy-Syarhul Mumti’, jilid 6)
http://www.asysyariah.com/sakinah/niswah/793-haid-dan-ibadah-puasa-niswah-edisi-59.html