Di musim panas di bagian bumi utara akan terasa waktu siang teramat
lama. Waktu untuk berpuasa pun akan terasa lama, begitu pula waktu
antara shalat lima waktu. Nah, sekarang bagaimana jika kita tinggal di
negeri yang waktu siangnya sangat panjang atau di negeri yang bahkan
tidak pernah mendapati waktu siang atau sepanjang hari adalah malam?
Berikut ringkasan fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Kerajaan Saudi Arabia.
Pertama: Bagi yang bermukim di negeri yang malam dan siangnya
bisa dibedakan dengan terbitnya fajar dan tenggelamnya matahari, walau
waktu siang lebih lama di musim panas dan singkat di musim dingin, maka
wajib baginya mengerjakan shalat lima waktu di waktunya masing-masing.
Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan
(oleh malaikat).” (QS. Al Isra’: 78).
Begitu pula dengan firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 103).
Ini berkenaan dengan waktu shalat. Adapun berkenaan dengan waktu
puasa di bulan Ramadhan, maka tetap seorang muslim yang dikenai
kewajiban puasa untuk menahan diri dari makan dan minum serta dari
segala pembatal setiap harinya dimulai dari terbitnya fajar hingga
tenggelamnya matahari di negerinya.
Hal ini berlaku selama waktu siang dan waktu malam bisa dibedakan di
negerinya, dan total malam dan siang tetap 24 jam. Dan halal bagi mereka
untuk makan, minum, berhubungan intim di malam harinya walau waktu
malamnya begitu singkat. Karena seperti dipahami bahwa syari’at Islam
itu umum untuk seluruh manusia di berbagai negeri. Dan Allah Ta’ala
berfirman,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ
مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ
إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Siapa yang tidak kuat berpuasa karena waktu siang begitu panjang
atau berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah atau info dari dokter yang
amanat, atau jika ia puasa biasa binasa atau mendapati sakit yang parah,
atau sakitnya bertambah riskan, atau kesembuhannya jadi bertampah lama,
maka ia boleh tidak berpuasa, namun tetap mengqodho’ (mengganti)
puasanya di hari lainnya di saat ia mampu di bulan mana saja. Allah
Ta’ala berfirman,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain.” (QS. Al Baqarah: 185).
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah: 286).
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al Hajj: 78)
Kedua: Adapun bagi yang bermukim di daerah yang matahari
tetap terus ada di musim panas atau tidak terbit di musim dingin, atau
waktu siang berlangsung terus hingga enam bulan, begitu pula waktu
malamnya terus berlangsung selama enam bulan misalnya, maka wajib
baginya melaksanakan shalat lima waktu setiap 24 jam. Nantinya
diperkirakan batasan waktu masing-masing dengan berpatokan pada negeri
yang dekat dengan negerinya di mana negeri yang dekat tersebut telah
terbedakan waktu shalat lima waktu satu dan lainnya.
Di antara dalilnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menceritakan pada para sahabatnya mengenai Dajjal. Lalu mereka bertanya
pada beliau, berapa lama Dajjal berada di muka bumi. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Empat puluh hari. Satu harinya terasa
setahun, satu harinya lagi terasa sebulan, satu harinya lagi terasa satu
Jum’at dan hari-hari lainnya seperti hari-hari kalian.” Mereka
bertanya, “Apakah untuk satu hari yang terasa setahun cukup bagi kami
shalat sehari?” Beliau menjawab, “Tidak, kalian harus memperkirakan waktu-waktu shalat tersebut.” (HR. Muslim no. 2937).
Hadits ini menunjukkan bahwa satu hari yang terasa setahun tidaklah
dianggap cukup shalat satu hari, namun tetap diwajibkan shalat lima
waktu setiap 24 jam dan diperintahkan bagi mereka untuk memperkirakan waktu shalat seperti waktu biasa yang mereka jalani di negeri mereka.
Jadi, wajib bagi kaum muslimin yang berada di negeri yang waktu
siangnya seperti disebutkan di atas untuk menetapkan waktu shalat dengan
berpatokan pada negeri yang lebih dekat dengan negeri mereka yang
memiliki waktu malam dan waktu siang bisa terbedakan dalam waktu 24 jam.
Begitu pula dalam hal puasa, wajib bagi mereka berpuasa Ramadhan
dengan memperkirakan waktu mulainya puasa dan berakhirnya puasa, juga
waktu menahan diri untuk berpuasa dan berbuka setiap harinya dengan
memperhatikan terbit fajar dan tenggelamnya matahari pada negeri yang
dekat dengan negeri mereka yang waktu malam dan siangnya bisa terbedakan
dan total waktu siang dan malamnya adalah 24 jam. Hal ini sebagaimana
terdapat dalam hadits tentang Dajjal tadi, tidak ada beda antara puasa
dan shalat dalam hal ini.
[Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 6: 130-136. Fatwa ini ditandatangani
oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi
selaku wakil ketua dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota].
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Hotel Manaroh Al Ashil, Makkah Al Mukarromah, 16 Sya’ban 1433 H
www.rumaysho.com