Dewasa ini marak pengakuan dari berbagai pihak yang
mengklaim dirinya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sehingga menyebabkan adanya
kerancuan dan kebingungan dalam persepsi banyak orang tentang Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah, siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu ?
Jawab :
Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah
perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap
muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia
berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah Allah
Subhaanahu wa Ta’aala sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa
oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam empat belas abad yang lalu.
Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka
:
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ
فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً
وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي
النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh
satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh
puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah ”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany
dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih
Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.
Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran
sabda beliau telah kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut
merupakan suatu ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah Subhaanahu wa
Ta’aala Yang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan
Allah Subhaanahu wa Ta’aala Maha Mempunyai Hikmah dibelakang hal tersebut.
Syaikh Sh oleh bin Fauzan Al-Fauzan -hafidzahullahu-
menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun
‘Anil Firaq cet. D arus Salaf hal.23-24 beliau berkata : “(Perpecahan
dan perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala guna
menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa
yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : "Kami telah beriman",
sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang
yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar
dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankab ut : 29 / 1-3).
Dan Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan
manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan
mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku
akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya ” . (QS. H ud : 10 / 118-119)
" Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah
menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali
termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. Al-‘An’ am
: 6 / 35).”
Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan
Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan
sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam :
قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ
لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas
petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang
darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul
Jannah.
Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu
‘anhu- :
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ
خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى
كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ] وَأَنَّ هَذَا
صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [
“Pada suatu hari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam menggaris di depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah
jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya
lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada
syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya
ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti
jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”. (QS. Al ‘An’am : 6 / 153 )” .
Diriwayatkan oleh : Abu Daud Ath-Thoy alisy
dalam Musnadnya no. 244, Ath-Thobary dalam Tafsirnya
8/88, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam As-Sunnah no.11, Sa’id
bin Manshur dalam Tafsirnya 5/113 no 935, Ahmad 1/435, Ad
Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalam Al-Kubro
5/94 no.8364 dan 6/343 no.11174, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan
1/180-181 no.6-7 dan dalam Al-Mawarid no 1741, Al-Hakim
dalam Mustadraknya 2/348, Asy-Syasyi dalam Musnadya
2/48-51 no.535-537, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/263 dan Al-Lalaka’i
dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah
1/80-81. Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh
Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.
Adapun penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini akan
diuraikan dari beberapa sisi :
Pertama : Definisi Sunnah.
Sunnah secara lughoh (bahasa) : berarti jalan,
baik maupun jelek, lurus maupun sesat, demikianlah dijelaskan oleh Ibnu Manzhur
dalam Lisanul ‘Arab 17/89 dan Ibnu An-Nahhas.
Makna secara lughoh itu terlihat dalam hadits Jarir
bin ‘Abdullah. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ سْنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً حَسَنَةً فَلَهُ
أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ
سُنُّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ
بَعْدَهُ
“Siapa yang membuat sunnah yang baik maka baginya
pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya dan siapa yang
membuat sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa orang yang melakukannya
setelahnya”. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohih nya
no.1017.
Lihat Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Bid’ah Wal
Ahwa`i 1/29-33 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jam a’ah Wa
Manhajul Asya’irah Fi Tauhidillah I/19.
Adapun secara istilah : Sunnah mempunyai makna khusus
dan makna umum. Dan yang diinginkan di sini tentunya adalah makna umum.
Adapun makna sunnah secara khusus yaitu makna menurut
istilah para ulama dalam suatu bidang ilmu yang mereka tekuni :
- Para ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak.
- Para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.
- Para ulama fiqh memberikan definisi sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam di bawah hukum wajib.
Adapun makna umum sunnah adalah Islam itu sendiri
secara sempurna yang meliputi aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat.
Berkata Imam Al-Barbahary : “Ketahuilah
sesungguhnya Islam itu adalah sunnah dan sunnah adalah Islam dan tidaklah tegak
salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya” (lihat : Syarh As-Sunnah
hal.65 point 1).
Berkata Imam Asy-Sy athiby dalam Al-Muwafaq
ot 4/4 : “(Kata sunnah) digunakan sebagai kebalikan/lawan dari bid’ah
maka dikatakan : “Si fulan di atas sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan
tuntunan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang sebelumnya hal tersebut
mempunyai nash dari Al-Qur’an, dan dikatakan “Si Fulan di atas bid’ah” apabila
ia beramal menyelisihi hal tersebut (sunnah)”.
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fat aw a
4/180 menukil dari Imam Abul Hasan Muhammad bin ‘Abdul Malik Al-Karkhy beliau
berkata : “Ketahuilah… bahwa sunnah adalah jalan Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam dan mengupayakan untuk menempuh jalannya dan ia (sunnah) ada 3
bagian : perkataan, perbuatan dan aqidah”.
Berkata Imam Ibnu Rajab -rahimahullahu ta’ala-
dalam Jami’ Al-‘Ulum Wal Hikam hal. 249 : “Sunnah
adalah jalan yang ditempuh, maka hal itu akan meliputi berpegang teguh terhadap
apa-apa yang beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam berada di atasnya dan para
khalifahnya yang mendapat petunjuk berupa keyakinan, amalan dan perkataan. Dan
inilah sunnah yang sempurna, karena itulah para ulama salaf dahulu tidak
menggunakan kalimat sunnah kecuali apa-apa yang meliputi seluruh hal yang
tersebut di atas”. Hal ini diriwayatkan dari Hasan, Al-Auza’iy dan Fudhail bin
‘Iyadh”.
Demikianlah makna sunnah secara umum dalam istilah
para ‘ulama -rahimahumullah- dan hal itu adalah jelas bagi siapa yang
melihat karya-karya para ulama yang menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah
dimana akan terlihat bahwa mereka menginginkan makna sunnah secara umum
seperti :
- Kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim.
- Kitab As-Sunnah karya Imam Ahmad.
- Kitab As-Sunnah karya Ibnu Nashr Al-Marwazy.
- Kitab As-Sunnah karya Al-Khallal.
- Kitab As-Sunnah karya Abu Ja’far At-Thobary.
- Kitab Syarh As-Sunnah karya Imam Al-Barbahary.
- Kitab Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawy.
- dan lain-lainnya.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah 1/29-35, Haqiqatul
Bid’ah 1/63-66 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa
Manhajul Asya’irah 1/19-23.
Kedua : Makna Ahlus Sunnah.
Penjelasan makna sunnah di atas secara umum akan
memberikan gambaran tentang makna Ahlus Sunnah (pengikut sunnah-ed.).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
Fatawa jilid 3 hal.375 ketika memberikan defenisi tentang
Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan apa-apa yang disepakati
oleh orang-orang terdahulu yang pertama dari kalangan sahabat Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
Berkata Ibnu Hazm dalam Al-Fishal jilid
2 hal. 281 : “Dan Ahlus Sunnah -yang kami sebutkan- adalah ahlul haq (pengikut
kebenaran) dan selain mereka adalah ahlul bid’ah (pengikut perkara-perkara baru
dalam agama), maka mereka (ahlus sunnah) adalah para sahabat -radhiyallahu
‘anhum- dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang pilihan
di kalangan tabi’in kemudian Ashhabul Hadits dan siapa yang mengikuti
mereka dari para ahli fiqh zaman demi zaman sampai hari kita ini dan
orang-orang yang mengikuti mereka dari orang awam di Timur maupun di Barat bumi
-rahmatullahi ’alaihim- ”.
Dan Ibnul Jauzy berkata dalam Talb is Iblis
hal.21 : “Tidak ada keraguan bahwa ahli riwayat dan hadits yang mengikuti jejak
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan jejak para sahabatnya mereka
itulah Ahlus Sunnah karena mereka di atas jalan yang belum terjadi perkara baru
padanya. Perkara baru dan bid’ah hanyalah terjadi setelah Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam dan para sahabatnya”.
Berkata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fataw
a 3/157 :” Termasuk jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengikuti
jejak-jejak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam secara zhohir dan batin
dan mengikuti jalan orang-orang terdahulu yang pertama dari para (sahabat)
Muhajirin dan Anshar dan mengikuti wasiat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam tatkala berkata : “Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para
khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah setelahku berpeganglah kalian
dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian dan berhati-hatilah kalian
dari perkara yang baru karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah sesat’.”
Dan beliau berkata dalam Majmu’ Fataw
a 3/375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka
adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan kitab Allah dan sunnah
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan apa-apa yang disepakati oleh
generasi dahulu yang pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti
mereka dengan baik”.
Dan di dalam Majmu’ Fatawa
3/346 beliau berkata : “Siapa yang berkata dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan
Ijma’ maka ia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah“.
Berkata Abu Nashr As-Sijzy : “Ahlus Sunnah adalah mereka
yang kokoh di atas keyakinan yang dinukil kepada mereka oleh para ulama Salafus
Sholeh -mudah-mudahan Allah Subhaanahu wa Ta’aala merahmati mereka –
dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam atau dari para sahabatnya -radhiyallahu
‘anhum- pada apa-apa yang tidak ada nash dari Al-Qur’an dan dari Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam , karena mereka itu -radhiyallahu ‘anhum-
para Imam dan kita telah diperintahkan mengikuti jejak-jejak mereka dan sunnah
mereka, dan ini sangat jelas sehingga tidak butuh ditegakkannya keterangan
tentangnya”. (Lihat : Ar-Raddu ‘ Ala Man Ankaral Harf
hal.99)
Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas dari
para Imam tentang makna penamaan Ahlus Sunnah bahwa Ahlus Sunnah adalah
orang-orang yang menerapkan Islam secara keseluruhan sesuai dengan petunjuk
Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya berdasarkan pemahaman para ulama
salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik .
Dan tentunya merupakan suatu hal yang sangat jelas
bagi orang yang memperhatikan hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam akan disyariatkannya penamaan Ahlus Sunnah terhadap orang-orang yang
memenuhi kriteria-kriteria di atas.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan
dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah -radhiyallahu ’anhu- :
صَلَّى لَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ
أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ
وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا
مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُ مُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rasulullah sholat bersama kami sholat Shubuh,
kemudian beliau menghadap kepada kami kemudian menasehati kami dengan suatu
nasehat yang hati bergetar karenanya dan air mata bercucuran, maka kami berkata
: “Yaa Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berwasiatlah
kepada kami”. Maka beliau bersabda : “Saya wasiatkan kepada kalian untuk
bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi pemimpin
atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethopia) karena sesungguhnya
siapa yang hidup di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan yang sangat
banyak maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan kepada sunnah para
Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham
dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang
baru adalah bid’ah .”. Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya.
Dan masih banyak lagi dalil yang menunjukkan hal di
atas. Wallahu a’lam.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah
1/36-37, 47-49, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66, 268-269 dan Manhaj
Ahlus Sunnah 1/19-20, 24-27.
Ketiga : Definisi Jama’ah.
Jama’ah secara lughoh : Dari kata Al-Jama’
bermakna menyatukan sesuatu yang terpecah, maka jama’ah adalah lawan kata dari
perpecahan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
Fatawa 2/157 : “Dan mereka dinamakan Ahlul Jama’ah karena
Al-Jama’ah adalah persatuan dan lawannya adalah perpecahan.”
Adapun secara istilah para ulama berbeda penafsiran
tentang makna jama’ah yang tersebut di dalam hadits-hadits Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam , di antara hadits-hadits itu adalah :
Satu : Hadits
perpecahan ummat yang telah disebutkan di atas
Dua : Wasiat Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah dalam hadits riwayat Bukhory-Muslim
, beliau berkata :
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ
“Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan
Imamnya .”
Tiga : Hadits Ibnu
‘Abbas riwayat Bukhory-Muslim Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ
فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شَيْئًا فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Karena sesungguhnya siapa yang berpisah dengan
Al-Jama’ah sedikitpun kemudian ia mati maka matinya adalah mati jahiliyah” .
Empat : Hadits Ibnu
‘Abbas Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allah di atas Al-Jama’ah” .
Dari hadits-hadits di atas dan yang semisalnya para
ulama berbeda di dalam menafsirkan kalimat Al-Jama’ah yang terdapat di dalam
hadits-hadits tersebut sehingga ditemukan ada enam penafsiran :
Pertama : Jama’ah
adalah Assawadul A’zhom (kelompok yang paling besar dari umat
Islam). Ini adalah pendapat Abu Mas’ud Al-Anshory, ‘Abdullah bin Mas’ud
dan Abu Ghalib.
Kedua : Al-Jama’ah
adalah jama’ah ulama ahli ijtihad atau para ulama hadits, dikatakan bahwa mereka
ini adalah jama’ah karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala menjadikan mereka hujjah
terhadap makhluk dan manusia ikut pada mereka pada perkara agama.
Berkata Imam Al-Bukhory menafsirkan jama’ah :
”Mereka adalah ahlul ‘ilmi (para ulama)”.
Dan Imam Ahmad berkata tentang jama’ah : ”Apabila
mereka bukan Ashhabul Hadits (ulama hadits) maka saya tidak tahu lagi
siapa mereka”.
Dan Imam Tirmidzi berkata : ”Dan penafsiran jama’ah di
kalangan para ulama bahwa mereka adalah ahli fiqh, (ahli) ilmu dan (ahli) hadits”.
Dan ini merupakan pendapat ‘Abdullah bin Mubarak, Ishaq
bin Rahaway, ‘Ali bin Al-Madiny, ‘Amr bin Qais dan sekelompok dari para ulama
salaf dan juga merupakan pendapat ulama ushul fiqh.
Ketiga : Al-Jama’ah
adalah para sahabat. Hal ini berdasarkan hadits perpecahan umat yang di
sebahagian jalannya disebutkan bahwa yang selamat adalah Al-Jama’ah dan dalam
riwayat yang lain : “Apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”.
Dan ini adalah pendapat “Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan Imam Al-Barbahary.
Keempat : Al-Jama’ah
adalah jama’ah umat Islam apabila mereka bersepakat atas satu perkara dari
perkara-perkara agama. Pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syathiby.
Kelima : Al-Jama’ah
adalah jama’ah kaum muslimin apabila mereka bersepakat di bawah seorang
pemimpin. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary dan Ibnul Atsir.
Keenam : Al-Jama’ah
adalah jama’ah kebenaran dan pengikutnya. Ini adalah pendapat Imam Al Barbahary
dan Ibnu Katsir.
Demikianlah penafsiran-penafsiran para ulama tentang
makna Al-Jama’ah, yang semuanya itu akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan
sebagai berikut :
- Penafsiran-penafsiran tersebut walaupun saling berbeda lafadz dan konteksnya akan tetapi tidak saling bertentangan bahkan saling melengkapi makna maupun kriteria Al-Jama’ah.
- Maka jelaslah bahwa makna Al-Jama’ah yang dikatakan sebagai golongan yang selamat dan pengikut kebenaran adalah Islam yang hakiki yang belum dihinggapi oleh noda yang mengotorinya.
- Mungkin bisa disimpulkan dari penafsiran-penafsiran Al-Jama’ah di atas bahwa makna Al-Jama’ah kembali kepada dua perkara :
Satu : Jama’ah yang
berarti bersatu di bawah kepemimpinan seorang pemerintah sesuai dengan
ketentuan syariat maka wajib untuk komitmen terhadap jama’ah ini dan diharamkan
untuk keluar darinya dan mengadakan kudeta terhadap pemimpinnya .
Dua : Jama’ah yang
berarti mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam kemudian diikuti oleh para sahabatnya, para ulama ahli ijtihad dan
ahlul hadits yang mereka itulah Assawadul A’zhom dan pengikut
kebenaran.
Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud tentang Al-Jama’ah
:
الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ
وَحْدَك
“Al-Jama’ah adalah apa yang mencocoki kebenaran
walaupun engkau sendiri”.
Berkata Abu Sy amah dalam Al-Ba’its hal.22
: “Dan apabila datang perintah untuk komitmen terhadap Al-Jama’ah, maka yang
diinginkan adalah komitmen terhadap kebenaran dan pengikut kebenaran tersebut
walaupun yang komitmen terhadapnya sedikit dan yang menyelisihinya banyak
orang. Karena kebenaran adalah apa-apa yang jama’ah pertama Shallallaahu
‘alaihi wasallam dan para sahabatnya berada di atasnya dan tidaklah dilihat
kepada banyaknya ahlul bathil setelah mereka.”
Lihat : Al-I’tishom 2/767-776 tahqiq
Salim Al-Hilaly, Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhaj Al-Asy’ariyah
Fi Tauhidillah 1/20-23, Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah
1/49-54, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah 1/26-32.
Kesimpulan :
Bisa disimpulkan dari seluruh penjelasan di atas bahwa
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik dari para ulama Ahli Ijtihad dan Ahli Hadits yang
berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa saja yang mengikuti mereka
dalam hal tersebut sampai hari kiamat. Wal Ilmu ‘Indallah .
________________
Sumber: http://an-nashihah.com/?p=9
http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/12/siapakah-ahlussunnah.html