Dosen Pasca Sarjana Fakultas Hadits, Universitas Islam Madinah.
Mengkaji Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar setelah mengkaji al-Qur’an
adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, karena seorang muslim tidak bisa melepaskan diri dari Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan sumber hukum
kedua dalam agama Islam di samping al-Qur’an.
Dan seseorang tidak akan pernah
sampai kepada pemahaman Islam yang benar bila dia mengesampingkan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Sunnah yang
shahih adalah wahyu dari Allah seperti halnya al-Qur’an. Allah Ta’ala
berfirman:
“Dan tidaklah yang
diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya.” (An-Najm:
3-4)
Untuk anda yang bersemangat
dalam menghidupkan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaklah
anda mengkaji Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
mengetahui kaidah-kaidah dalam rangka memahaminya, agar semangat yang
ada dituntun dengan praktek amalan yang benar berdasarkan kaidah-kaidah
yang diterangkan para ulama, karena bisa saja terjadi anda mengamalkan hadits shahih yang anda tidak dibebankan untuk mengamalkannya, misalnya anda mengamalkan hadits yang mansukh (telah dihapus).
Setiap hadits yang diutarakan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu ada maksudnya. Orang
yang serampangan mengamalkan hadits tanpa memahami maksudnya akan
terjebak pada kesalahan dalam pengamalan ibadahnya.
Contoh:
Kasus
yang dialami oleh 'Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu ketika turun firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala, "Dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ...." (Al-Baqarah: 187).
Dia ('Adi bin Hatim
radhiyallahu ‘anhu) mengambil dua helai benang: yang satu berwarna
putih, dan yang satu lagi berwarna hitam. Kemudian, diletakkannya di
bawah bantalnya. Setelah itu, dia mulai melihat (mengamati) kedua
benang itu dan tidak tampak sesuatu. Ketika dia memberitahukan hal itu
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Yang dimaksud dengan dua benang tersebut adalah gelapnya malam dan cerahnya waktu siang." (HR. Bukhari, II/328 dan Muslim, II/766).
Di antara kaidah-kaidah penting
yang sepantasnya dipelajari oleh seorang muslim agar pemahaman dan
pengambilannya (untuk diamalkan) terhadap Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dapat benar, adalah sebagai berikut:
1. Memahami Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur'an
As-Sunnah
an-Nababiyyah adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an dalam
syariat Islam. As-Sunnah menerangkan dan merinci apa yang ada dalam
Al-Qur'an. Tidak ada pertentangan antara As-Sunnah dengan Al-Qur'an.
Jika terdapat pertentangan, hal itu mungkin terjadi karena haditsnya
tidak shahih atau kita sendiri yang tidak bisa memahaminya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan:
"Kalau
kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa': 82).
Contoh yang paling jelas bahwa
sunnah yang shahih tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, justru yang
bertentangan dengan Al-Qur'an adalah hadits-hadits dha'if (lemah) dan
maudhu (palsu), yaitu kisah gharaniq (sembahan atau tuhan-tuhan) kaum
musyrikin.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
"Maka
apakah patut (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-'Uzza
dan Manat yang ketiga..." (An-Najm: 19-20). "Mereka itu adalah
gharaniq yang tinggi dan sungguh syafaatnya (pertolongannya) sangat
diharapkan."
Maha Tinggi Allah dari apa yang
mereka sifatkan dengan ketinggian-Nya yang agung. Kisah yang bathil
ini mustahil akan benar karena bertentangan dengan ayat itu sendiri
(yang disebutkan). Apakah masuk akal, jika Imam Tauhid dan pembawa
bendera agama yang lurus setelah Ibrahim ‘alaihissalam (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam) memuji tuhan-tuhan orang-orang musyrik?
Maka, jelas hadits ini bathil sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam
Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullah dimana beliau berkata:
"Ini (termasuk hadits) yang dipalsukan oleh orang-orang zindiq."
(Nashbul Majaaniiq, hlm. 25).
2. Mengumpulkan Hadits-Hadits yang Satu Tema dan Pembahasan pada Satu Tempat
Imam Ahmad berkata, "Suatu hadits, kalau tidak engkau kumpulkan jalan-jalannya (sanad-sanadnya), engkau tidak akan paham karena sebagian hadits menafsirkan sebagian yang lainnya." (Al-Jaami' (I/270).
Merupakan suatu keharusan untuk
memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu mengumpulkan
hadits-hadits shahih yang satu pembahasan supaya hadits yang mutasyabih
(yang memiliki banyak penafsiran) bisa dikembalikan ke yang muhkam
(maknanya jelas), yang muthlaq (tidak terikat) di bawa ke yang muqayyad
(terikat), dan yang 'amm (maknanya umum) ditafsirkan oleh yang khashsh
(maknanya khusus).
Dengan cara ini, akan jelas maksud hadits tersebut, maka jangan mempertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lainnya.
Apabila sanad-sanad suatu
hadits yang satu pembahasan tidak dikumpulkan pada suatu tempat, maka
itu bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memahami hadits
tersebut. Padahal, orang itu berdalil dengan hadits shahih, akan tetapi
dia tidak mengumpulkan hadits yang semisal dengannya sehingga
menyebabkan pemahamannya terhadap hadits tersebut tidak sempurna.
Bahkan, pemahaman dan gambarannya menyimpang tentang masalah yang dia
bahas itu.
Contoh:
Hadits
Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu ketika melihat alat pertanian, beliau
berkata, "Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah
(alat) ini masuk ke rumah suatu kaum, kecuali Allah akan memasukkan
padanya kehinaan'." (HR. Bukhari, Fathul Baari, V/4)).
Zhahir (lahiriah) hadits ini
memberikan faedah tentang bencinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam terhadap pertanian, padahal kalau seseorang mengumpulkan
hadits-hadits yang lain tentang pertanian, maka dia akan mendapatkan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru menganjurkan
untuk bertani dan menerangkan tentang bolehnya bertani, seperti sabda
beliau berikut:
"Tidaklah seorang muslim
menanam tanaman atau menabur benih, lalu burung memakan dari tanaman
itu, atau binatang ternak, melainkan yang demikian itu sebagai sedekah
(bagi yang menanam)." (HR. Bukhari, Fathul Baari X/438 dan Muslim,
VII/4241).
"Jika kiamat telah mendatangi
salah seorang di antara kalian dan di tangannya (masih) ada bibit
kurma, maka hendaklah dia menanamnya." (HR Ahmad, III/183, 184).
Dari tiga hadits yang telah
disebutkan ini ada satu hadits yang seolah-olah bertentangan, yaitu
hadits yang disebutkan pertama. Lalu, bagaimanakah cara para ulama
menyatukan antara hadits-hadits yang tampaknya bertentangan ini?
Bagaimana pula pemahaman yang benar setelah menyatukan hadits-hadits
yang berkaitan dengan masalah ini (bertani)?
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“Dan
Imam Bukhari telah memberikan isyarat dengan cara menjama’
(menyatukan) antara hadits Abu Umamah dan hadits sebelumnya tentang
keutamaan bertani dan bercocok tanam, dan itu (dijama’) dengan salah
satu dari dua cara, yaitu dengan membawa apa yang bermakna celaan
kepada akibat (buruk) dari pertanian, atau dibawa kepada pemahaman jika
bertani tidak melalaikannya, akan tetapi dia melampaui batas dalam
bertani…” (Fathul Baari, V/5)
Ada hadits yang mendukung
pemahaman bahwa maksud larangan tersebut ditujukan apabila seseorang
disibukkan dengan bertani dari kewajiban-kewajiban, seperti jihad di
jalan Allah, apalagi bagi yang dekat tempatnya dengan musuh-musuh Allah.
Hadits tersebut adalah hadits marfu' dari Ibnu 'Umar radhiyallahu
‘anhu:
"Jika kalian berjual-beli
dengan (cara) 'inah (salah satu bentuk riba), kalian dilalaikan oleh
ternak kalian, dan kalian suka (disibukkan) dengan bertani sehingga
kalian meninggalkan (kewajiban) jihad, niscaya Allah akan menimpakan
atas kalian kehinaan yang Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian
kembali kepada agama kalian." (Hadits shahih riwayat Ahmad, XXII/84 dan
Abu Dawud, II/246. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, Syaikh
al-Albani, I/15 no. 11).
3. Menyatukan Hadits-Hadits yang Tampak Bertentangan
Pada
dasarnya tidak ada pertentangan antara nash-nash Al-Qur'an dan
As-Sunnah yang shahih. Seandainya terjadi suatu pertentangan, maka itu
anggapan kita semata, bukan hakikat dari nash-nash tersebut. Inilah
keyakinan seorang mukmin pada hadits-hadits yang dapat dipercaya
(hadits-hadits yang shahih atau hasan).
Firman Allah berikut harus selalu menjadi pedoman:
"Kalau
kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa': 82).
Contoh hadits-hadits yang
tampaknya bertentangan adalah hadits-hadits yang melarang seseorang
menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kecil, sementara ada
hadits-hadits lain yang membolehkan hal tersebut. Cara jama' yang
dipakai para ulama untuk menyatukan hadits-hadits yang tampak
bertentangan tersebut adalah dengan menyatakan bahwa hadits-hadits
larangan dimaksudkan bila dilakukan di tempat terbuka, sedangkan
hadits-hadits yang membolehkan dimaksudkan bila dilakukan di dalam
suatu tempat yang ada pembatasnya (seperti seseorang melakukannya di
WC). (Ta-wiil Mukhtalafil Hadiits hlm. 90 dan Nailul Authaar, I/98).
Kitab yang paling bermanfaat
(dan bagus) yang bisa dijadikan rujukan untuk mendapatkan mukhtalaful
hadits (hadits yang tampaknya bertentangan dengan hadits yang lain
tetapi memungkinkan untuk dijamak/disatukan) adalah Musykilul Aatsaar
karya Ath-Thahawi dan Ta'wiil Mukhtalaf al-Hadiits karya Ibnu Qutaibah.
4. Mengetahui Nasikh dan Mansukh Suatu Hadits
(Nasakh = Hadits yang Menghapus Hadits yang Lain; Mansukh = Hadits yang Dihapus)
Nasakh (hukum yang lama diganti
hukum yang baru) dalam hadits memang terjadi. Seorang muslim yang
mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kalau hadits itu mansukh,
berarti dia telah terjatuh ke dalam ilmu yang tidak diperintahkan
syara' untuk mengamalkannya. Sebab, kita tidak diperintahkan untuk
mengamalkan hadits-hadits yang mansukh. Sementara nasakh adalah suatu
'illat (penyebab) dilarangnya beramal dengan satu hadits (yang mansukh,
ed.).
Al-Hafizh as-Suyuthi
rahimahullah berkata, "Dan nasakh telah dimasukkan oleh Imam
at-Tirmidzi dalam kategori al-'ilal (cacat hadits). Namun, beliau hanya
mengkhususkannya dalam masalah pengalamannya saja (bukan status
haditsnya)." (Al-Alfiyah, hlm. 22).
Seseorang tidak boleh
tergesa-gesa dalam masalah ini sehingga mengatakan hadits ini mansukh,
kecuali setelah mengetahui dalil-dalil dan qara-in (tanda-tanda) yang
menunjukkan adanya nasakh.
Kitab-kitab yang bisa membantu untuk mengetahui yang mansukh dari hadits-hadits adalah:
- Ittihaaf Dzawiir Rusuukh karya Al-Ju'buri.
- An-Naasikh wal-Mansuukh karya Ibnul Jauzi.
- Al-I'tibaar fin Naasikh wal-Mansuukh minal Akbaar karya Al-Hazimi.
5. Mengetahui Asbabul Wuruud Hadits
Asbabul Wuruud = Sebab-Sebab Diriwayatkanya/Datangnya Suatu Hadits.
Mengetahui asbabul wurud suatu
hadits sangat membantu dalam memahami maksud hadits. Termasuk cara yang
baik dalam memahami sunnah Nabi adalah meneliti (melihat) sebab-sebab
tertentu disabdakannya suatu hadits, atau kaitannya dengan 'illat
(alasan atau sebab) tertentu yang ditegaskan langsung dari nash (teks)
hadits itu, atau dari istinbath/kesimpulan (maknanya), atau yang
dipahami (langsung) dari kondisi ketika hadits tersebut diucapkan (oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam).
Untuk memahami suatu hadits
dengan pemahaman yang benar dan mendalam, tidak boleh tidak, kita harus
mengetahui situasi dan kondisi yang menyebabkan hadits itu diucapkan
oleh Nabi. Biasanya, hadits datang sebagai penjelas terhadap
kejadian-kejadian tertentu dan sebagai terapi terhadap situasi dan
kondisi kejadian tersebut. Dengan begitu, maksud dari hadits itu dapat
ditentukan dengan jelas dan rinci. Tujuannya tidak lain agar hadits itu
tidak menjadi sasaran bagi dangkalnya perkiraan, atau kita mengikuti
zhahir (lahiriah dari hadits tersebut) yang tidak dimaksudkan (oleh
maknanya). (Kaifa Nata'aamal ma'as-Sunnah [hlm. 125]).
Contoh:
Ada sebuah hadits yang berbunyi (artinya), "Kalian lebih tahu urusan dunia kalian." (HR Muslim, Kitab Al-Manaaqib, no. 2363).
Sebagian orang menjadikan
hadits ini sebagai alasan untuk lari dari hukum-hukum syara' (agama)
yang berkaitan dengan masalah ekonomi, perdata, politik, dan yang
semisalnya dengan alasan--seperti anggapan mereka yang salah--bahwa itu
adalah urusan duniawi, dan kami lebih mengetahui tentang dunia, dan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyerahkannya kepada
kami.
Apakah betul ini yang dimaksud
oleh hadits tersebut? Sama sekali tidak! Karena, di dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah terdapat hal-hal yang mengatur urusan muamalah: jual-beli,
serikat dagang, pegadaian, sewa-menyewa, utang-piutang, dan sebagainya.
Bahkan, ayat terpanjang di dalam Al-Qur'an turun untuk membahas aturan
penulisan utang-piutang. "Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya dengan benar ...." (Al-Baqarah: 282).
Dengan demikian, hadits
tersebut di atas ditafsirkan oleh sebab diucapkannya hadits tersebut,
yaitu kisah penyerbukan pohon kurma atas anjuran Rasulullah berdasarkan
pendapat beliau yang merupakan dugaan belaka dalam masalah penyerbukan
pohon kurma. Setelah itu para sahabat menjalankan saran Nabi tersebut
dengan penuh ketaatan, padahal ketika itu mereka tidak melakukan
penyerbukan, kemudian Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda
dengan hadits tersebut.
Contoh yang lain:
Hadits: "Barang siapa melakukan sunnah yang baik dalam agama Islam ...." (HR Muslim).
Sebagian orang memahami hadits
ini dengan pemahaman yang salah. Sehingga, mereka membuat bid'ah-bid'ah
(amal yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya) dalam agama dengan
beranggapan bahwa mereka sedang mendekatkan diri kepada Allah dan
beramal dengan sunnah yang baik, yang masuk dalam kandungan makna
hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di atas.
Akan tetapi, kalau kita merujuk
kepada sebab disabdakannya hadits ini, akan kita dapatkan sebabnya,
yaitu bahwa Nabi pada suatu hari menyuruh para sahabat untuk
bersedekah. Kemudian, datanglah seorang pria dengan membawa bungkusan
besar yang kedua tangannya hampir tidak mampu untuk membawanya, lalu ia
meletakkannya di tengah masjid. Setelah itu, orang-orang pun ikut
berinfaq sampai muka Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam
berseri-seri (karena senang), seakan-akan wajah beliau seperti sesuatu
yang disepuh dengan emas, lalu beliau mengucapkan hadits tersebut.
Maka dari itu, mengartikan
hadits tersebut kepada perbuatan bid'ah jelas-jelas secara meyakinkan
bukan yang dimaksud. Bahkan, itu merupakan kesesatan yang nyata. Dan,
sebab-sebab disabdakannya hadits tersebut menjadi bukti terkuat akan
kesalahan cara pengambilan dalil yang ditempuh oleh mereka.
Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi
mempunyai kitab berjudul Al-Bayaan wa at-Ta'riif fii Ashaab Wuruud
al-Hadiits asy-Syariif yang dicetak dalam tiga jilid. Kitab itu
termasuk yang paling lengkap dalam bidang ilmu ini (asbaabul wuruud
hadits).
6. Mengetahui Ghariibul Hadiits
(Ghariibul Hadiits = Kata-Kata yang Sulit Dipahami pada Teks Hadits)
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan "dhaadd"
bahasa Arab dan beliau berbicara kepada para sahabat dengan bahasa Arab
yang jelas dan dikenal oleh mereka. Mereka tidak mengalami kesulitan
dalam memahami apa yang diinginkan dari lafazh yang diucapkan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam karena mereka adalah orang
Arab asli, yang tidak pernah dimasuki (dipengaruhi) oleh bahasa orang
'Ajam (orang non-Arab).
Tetapi, dengan berlalunya waktu
dan berbaurnya sebagian orang dengan yang lain, baik yang Arab maupun
yang 'Ajam, bahasa yang dipakai sebagian besar orang Arab menjadi
lemah. Selain itu, bahasa mereka bercampur dengan bahasa orang 'Ajam,
serta mereka menjadi semakin jauh dari bahasa Arab yang fasih.
Sehingga, banyak orang yang menemukan kesulitan dalam memahami
hadits-hadits Nabi karena mereka tidak mengetahui arti kata-kata dalam
hadits-hadits tersebut.
Oleh sebab itulah, para ulama
bangkit menyusun karangan semacam ini, yaitu kitab-kitab ghaariibul
hadiits. Mereka menyusun sebuah kitab untuk menerangkan kata-kata yang
sulit dipahami dalam suatu hadits beserta penjelasannya. Jika seorang
ulama, penuntut ilmu, dan seorang muslim secara umum ingin memahami
hadits yang baik, hendaklah dia merujuk kepada kitab-kitab ghariibul
hadiits, yang paling penting di antaranya adalah:
- Ghariibul Hadiits karya Al-Harawi.
- Ghariibul Hadiits karya Abu Ishaq al-Harbi.
- Ghariib ash-Shahiihain karya Al-Humaidi.
- An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits karya Ibnul Atsir.
Kitab yang terakhir (An-Nihaayah) adalah kitab terlengkap dan paling bermanfaat daripada kitab-kitab ghariib lainnya.
7. Memahami Sunnah seperti yang Dipahami Sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
Kaidah
ini termasuk yang paling penting supaya seorang muslim berpegang
dengan sunnah, seperti berpegangnya salafush shaleh, serta agar selamat
dari penambahan dan pengurangan.
Maka, yang paling utama dalam
menerangkan As-Sunnah adalah hadits-hadits Nabi sendiri, kemudian
perkataan dan perbuatan para sahabat (al-aatsaar as-salafiyah), karena
para sahabat telah menyaksikan turunnya Al-Qur'an dan wahyu turun di
hadapan mereka. Maka, jika terjadi pemahaman yang salah dari salah
seorang mereka terhadap Sunnah Nabi, niscaya Jibril akan turun kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meluruskan dan mengoreksi
pemahaman yang salah itu.
Oleh karena itu, para ulama
hadits menggolongkan perkataan seorang sahabat: "Kami berpendapat begini
pada zaman Rasulullah," sebagai perkataan yang memiliki hukum marfu'
(yang bisa disandarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam).
Apabila orang-orang berselisih tentang pemahaman suatu hadits, maka
pemahaman yang paling utama didahulukan adalah pemahaman sahabat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Contoh:
Hadits
tentang menghadap ke kiblat atau membelakanginya ketika buang air
besar atau kecil. Ada atsar (perkataan sahabat) dari Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
"Sesungguhnya
yang demikian itu (buang hajat) terlarang jika di tempat yang terbuka,
namun jika di antara kamu dan kiblat ada sesuatu yang menutupi
(menghalangi), maka tidak mengapa (hukumnya boleh)." (HR Abu Dawud,
Kitab Ath-Thaharah Bab "Karaahiyah Istiqbaali Qiblati 'inda Qadhaa-il
Haajah" [I/3]).
Kitab-kitab yang penyusunnya
banyak menukil atsar-atsar salafiyyah (orang-orang shalih terdahulu)
dari sahabat dan tabi'in adalah:
- Mushannaf 'Abdirrazzaq.
- Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
- Sunan Sa'id bin Manshur.
- Sunan ad-Darimi.
- As-Sunan al-Kubraa dan As-Sughaa karya Imam Al-Baihaqi.
8. Merujuk Kitab-Kitab Syarah Hadits
Yaitu kitab-kitab yang berisi penjelasan dan keterangan dari matan (teks hadits).
Termasuk hal-hal yang penting
dalam memahami hadits-hadits Nabi adalah merujuk kitab-kitab syarah.
Sebab, di dalamnya terdapat penjelasan tentang gharib, nasikh-mansukh,
fiqhul hadits, dan riwayat-riwayat yang tampaknya bertentangan sehingga
seseorang tidak mungkin meninggalkan kitab-kitab seperti ini.
Para ulama hadits telah
meninggalkan kitab-kitab syarah untuk kita yang menjelaskan
hadits-hadits Nabi shallallahu'alaihi wa sallam Para ulama adalah
penerjemah hadits-hadits Nabi untuk seluruh umat. Setiap seorang ulama
yang lebih dahulu (lebih dekat masa hidupnya dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam) maka penjelasannya akan lebih dekat
kepada kebenaran dan lebih layak untuk diterima, biasanya.
Kitab syarah yang paling utama
didahulukan setelah memperhatikan yang lebih dahulu zaman penyusunnya
adalah kitab yang penyusunnya memiliki perhatian terhadap dalil-dalil
dengan menerangkan makhaarijul ahaadiits (jalan periwayatan hadits) yang
bermacam-macam, serta menerangkan shahih dan dha'ifnya dalil tersebut.
Demikian pula harus didahulukan
kitab yang penyusunnya paling jauh dari fanatik madzhab, yang mana
suatu hadits bisa saja dipalingkan olehnya dari makna yang sesungguhnya
yang diinginkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa
disertai dalil yang rajih (kuat).
Di antara contoh kitab syarah
hadits yang sesuai dengan pemahaman para sahabat dan mu'tamad (yang
bisa dipertanggungjawabkan) yaitu sebagai berikut.
- Syarhus Sunnah karya Imam Al-Baghawi.
- Fathul Baari karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
- Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani.
Sumber: Diringkas dari 8 Kaidah
Memahami Sunnah, Pustaka Imam Asy-Syafi'i; judul asli: Dhawaabith
Muhimmah li Husni Fahmis Sunnah, Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir, Dosen
Pasca Sarjana Fakultas Hadits, Universitas Islam Madinah).
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/8-kaidah-memahami-sunnah.html