Kelezatan mengikuti rasa cinta. Ia akan menguat mengikuti menguatnya
cinta dan melemah pula seiring dengan melemahnya cinta.
Setiap kali keinginan terhadap al-mahbub (sosok yang dicintai) serta
kerinduan kepadanya menguat maka semakin sempurna pula kelezatan yang
akan dirasakan tatkala sampai kepada tujuannya tersebut.
Sementara rasa cinta dan kerinduan itu sangat tergantung kepada ma’rifah/pengenalan dan ilmu tentang sosok yang dicintai.
Setiap kali ilmu yang dimiliki tentangnya bertambah sempurna maka niscaya kecintaan kepadanya pun semakin sempurna.
Apabila kenikmatan yang sempurna di akherat serta kelezatan yang
sempurna berporos kepada ilmu dan kecintaan, maka itu artinya
barangsiapa yang lebih dalam pengenalannya dalam beriman kepada Allah,
nama-nama, sifat-sifat-Nya serta -betul-betul meyakini- agama-Nya
niscaya kelezatan yang akan dia rasakan tatkala berjumpa,
bercengkerama, memandang wajah-Nya dan mendengar ucapan-ucapan-Nya juga
semakin sempurna.
Adapun segala kelezatan, kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan
-duniawi yang dirasakan oleh manusia- apabila dibandingkan dengan itu
semua laksana setetes air di tengah-tengah samudera.
Oleh sebab itu, bagaimana mungkin orang yang berakal lebih
mengutamakan kelezatan yang amat sedikit dan sebentar bahkan tercampur
dengan berbagai rasa sakit di atas kelezatan yang maha agung,
terus-menerus dan abadi.
Kesempurnaan seorang hamba sangat tergantung pada dua buah kekuatan
ini; kekuatan ilmu dan rasa cinta. Ilmu yang paling utama adalah ilmu
tentang Allah, sedangkan kecintaan yang paling tinggi adalah
kecintaan kepada-Nya.
Sementara itu kelezatan yang paling sempurna akan bisa digapai
berbanding lurus dengan dua hal ini [ilmu dan cinta], Allahul
musta’aan.
(al-Fawa’id, hal. 52)
http://abumushlih.com/laksana-setetes-air-di-tengah-samudera.html/
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/06/setetes-air-di-tengah-samudera_04.html