Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan dikurangi.
Kewajiban umat Islam adalah ittiba’. Allah Azza wa Jalla berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“ … Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agama-mu, dan telah Aku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama
bagimu …” [Al-Maa’idah: 3]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini
merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla terbesar yang diberikan kepada
umat ini, tatkala Allah menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka
tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka,
yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu,
Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan
mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang
halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang
diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua
yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta
tidak ada pertentangan sama sekali.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا
“Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur’an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil …” [Al-An’aam: 115]
Maksudnya benar dalam kabar yang disampaikan, dan adil dalam seluruh
perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka
sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, Allah
Azza wa Jalla berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“ … Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama
bagimu …” [Al-Maa’idah: 3]
Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia merupakan agama yang
dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla. Karena-nya Allah mengutus
Rasul yang paling utama dan karenanya pula Allah menurunkan Kitab yang
paling mulia (Al-Qur-an).
Mengenai firman-Nya: “al-yauma akmaltu lakum diinakum” Pada hari
ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu.” ‘Ali bin Abi Thalhah
berkata, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Maksudnya adalah Islam.
Allah telah mengabarkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
orang-orang yang beriman bahwa Allah telah menyempurnakan keimanan
kepada mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama
sekali. Dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga
Allah tidak akan pernah menguranginya, bahkan Allah telah meridhainya,
sehingga Allah tidak akan memurkainya, selamanya.”
Asbath mengatakan, dari as-Suddi, “Ayat ini turun pada hari ‘Arafah,
dan setelah itu tidak ada lagi ayat yang turun, yang menyangkut halal
dan haram. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dan
setelah itu beliau wafat.”
Ibnu Jarir dan beberapa ulama lainnya mengatakan, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia setelah hari ‘Arafah,
yaitu setelah 81 hari.” Keduanya telah diriwayatkan Ibnu Jarir.
Selanjutnya ia menceritakan, Sufyan bin Waki’ menceritakan kepada kami,
Ibnu Fudhail menceritakan kepada kami, dari Harun bin Antarah, dari
ayahnya, ia berkata, “Ketika turun ayat: “al-yauma akmaltu lakum diinakumú" Pada
hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” Yaitu pada haji akbar
(besar), maka ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu menangis, lalu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis?”
‘Umar Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku menangis disebabkan selama ini
kita berada dalam penambahan agama kita. Tetapi jika telah sempurna,
maka tidak ada sesuatu yang sempurna melainkan akan berkurang.”
Kemudian beliau Shallallahu ‘allahi wa sallam bersabda, “Engkau benar.”
Pengertian tersebut diperkuat oleh sebuah hadits yang menegaskan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Artinya : Sesungguhnya Islam
bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing sebagaimana
permulaannya, maka berbahagialah orang-orang yang asing.”[1]
Dari Thariq bin Syihab, ia berkata, “Ada seorang Yahudi yang datang
kepada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, lalu berkata, ‘Wahai
Amirul Mukminin, sesungguhnya kalian membaca sebuah ayat dalam kitab
kalian. Jika ayat tersebut diturunkan kepada kami, orang-orang Yahudi,
niscaya kami akan menjadikan hari itu (hari turunnya ayat itu) sebagai
Hari Raya.’ ‘Ayat yang mana?’ tanya ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu. Orang
Yahudi itu berkata, ‘Yaitu firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“ … Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agama-mu, dan telah Aku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama
bagimu …’ [Al-Maa’idah: 3]
Maka ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya aku telah
mengetahui hari dan tempat ketika ayat itu turun kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diturunkannya ayat itu kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu di ‘Arafah pada hari Jum’at.”[2]
Demikianlah akhir dari penjelasan Imam Ibnu Katsir.[3]
ALLAH AZZA WA JALLA TELAH MENJELASKAN USHUL DAN FURU’ AGAMA DALAM AL-QUR’AN[4]
Anda tentu tahu bahwa Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam
Al-Qur’an tentang ushul (pokok-pokok) dan furu’ (cabang-cabang) agama
Islam. Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang tauhid dengan
segala macam-macamnya, sampai tentang bergaul dengan sesama manusia
seperti adab (tata krama) pertemuan, tata cara minta izin dan lain
sebagainya. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu,
‘Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu…” [Al-Mujaadilah: 11]
Dan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا
وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلا تَدْخُلُوهَا
حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ
أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Dan
jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu
masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu,
‘’Kembalilah !’ Maka (hendaklah) kamu kembali. Itu lebih suci bagimu,
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [An-Nuur: 27-28]
Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan pula kepada kita dalam Al-Qur’an
tentang kewajiban wanita muslimah untuk memakai jilbab (busana
muslimah) yang sesuai dengan syari’at. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ
جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu,
dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu agar mereka lebih mudah
untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Ahzaab: 59]
Juga firman-Nya:
وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
“ … Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan …” [An-Nuur : 31]
Allah juga telah menjelaskan kepada kita tentang adab masuk rumah, sebagaimana firman-Nya:
وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا
الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا
الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
“ … Dan bukanlah suatu kebajikan itu memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang
bertakwa, dan masukilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya …”
[Al-Baqarah: 189]
Dan masih banyak lagi ayat seperti ini. Dengan demikian jelaslah bahwa
Islam adalah agama yang sempurna, mencakup segala aspek kehidupan,
tidak boleh ditambahi dan tidak boleh dikurangi. Sebagaimana firman
Allah Azza wa Jalla tentang al-Qur’an:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“ … Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu …” [An-Nahl: 89]
Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia baik
yang menyangkut masalah kehidupan di akhirat maupun masalah kehidupan di
dunia, kecuali telah dijelaskan Allah Azza wa Jalla di dalam Al-Qur’an
secara tegas atau dengan isyarat, secara tersurat maupun tersirat.
Adapun firman Allah Azza wa Jalla:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا
طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا
فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
“Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan
umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan
di dalam Al-Kitab. Kemudian kepada Rabb-lah mereka dikumpulkan."
[Al-An’aam: 38]
Ada yang menafsirkan “Al-Kitab” di sini adalah Al-Qur’an, padahal
sebenarnya yang dimaksud yaitu “Lauh Mahfuzh”. Karena apa yang
dinyatakan oleh Allah Azza wa Jalla tentang al-Qur’an dalam firman-Nya:
“Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu,” lebih tegas daripada yang dinyatakan dalam firman-Nya:
“Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab”.
Mungkin ada orang yang bertanya: “Adakah ayat di dalam Al-Qur’an yang
menjelaskan jumlah shalat lima waktu berikut bilangan raka’at tiap-tiap
shalat? Bagaimanakah dengan firman Allah Azza wa Jalla yang menjelaskan
bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan segala sesuatu, padahal
kita tidak menemukan ayat yang menjelaskan bilangan raka’at tiap-tiap
shalat ?”
Jawabnya: Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan di dalam Al-Qur’an
bahwasanya kita diwajibkan mengambil dan mengikuti segala apa yang telah
disabdakan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hal ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul (Muhammad) maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah…” [An-Nisaa’: 80]
Juga firman-Nya:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“ … Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah …” [Al-Hasyr: 7]
Maka segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya al-Qur’an telah
menunjukkannya pula. Karena Sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan
dan diajarkan oleh Allah Azza wa Jalla kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“… Dan (juga karena) Allah telah menurunkan al-Kitab (Al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) kepadamu …” [An-Nisaa’: 113]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya
aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan yang sepertinya (yaitu As-Sunnah)
bersamanya.” [5]
Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam Sunnah, maka sebenarnya telah disebutkan pula dalam Al-Qur’an
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
__________
Foote Note
[1]. HR. Muslim dalam Kitabul Iman (no. 145 (232)) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 45, 4407, 4606, 7268) dan Muslim (no. 3017 (5)), dari Thariq bin Shihab Radhiyallahu ‘anhu
[3]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (II/15-16), cet I, Maktabah Daarus Salam th. 1413 H.
[4]. Sub bahasan ini dinukil dari kutaib al-Ibdaa’ fi Kamaalisy Syar’i
wa Khatharil Ibtidaa’ oleh Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin rahimahullahu
[5]. HR. Abu Dawud (no. 4604) dan Ahmad (IV/131), dari Shahabat al-Miqdam bin Ma’dikarib.
DEFENISI BID’AH
Bid’ah sama dengan kata al-ikhtira’ yaitu yang baru yang diciptakan
tanpa ada contoh sebelumnya. [1] Imam asy-Syathibi berkata ketika
mendefinisikan bid’ah, “Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat
menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah.”[2]
Ungkapan ‘cara baru dalam agama’ itu maksudnya, bahwa cara yang
dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi
sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya dalam
syari’at. Sebab dalam agama terdapat banyak cara, di antaranya ada
cara yang berdasarkan pedoman asal dalam syari’at, tetapi juga ada cara
yang tidak mempunyai pedoman asal dalam syari’at. Maka, cara dalam
agama yang termasuk dalam kategori bid’ah adalah apabila cara itu baru
dan tidak ada dasarnya dalam syari’at.
Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari
syari’at. Sebab bid’ah adalah sesuatu yang ke luar dari apa yang telah
ditetapkan dalam syari’at.
Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu
yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam
syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi,
seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam
syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at
tidak ada ketentuannya.
Ungkapan ‘untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah’,
adalah pelengkap dari makna bid’ah. Sebab demikian itulah tujuan para
pelaku bid’ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia
diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepada-Nya seperti disebutkan
dalam firman-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyaat: 56). Seakan-akan
orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah
adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut, dan dia merasa
bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang
dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia melebih-lebihkan dan
menambahkannya.
Perbuatan bid’ah dalam agama sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan bid’ah sangat dicintai oleh iblis.
SETIAP BID’AH ADALAH KESESATAN
Siapa pun yang berbuat bid’ah dalam agama, walaupun dengan tujuan baik,
maka bid’ahnya itu, selain merupakan kesesatan, adalah suatu tindakan
menghujat agama dan mendustakan firman Allah Azza wa Jalla : “Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
[Al-Maa’idah: 3]. Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan
mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya
dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla belum
terdapat di dalamnya.
Sangat mengherankan, orang yang melakukan bid’ah berkenaan dengan Dzat,
Asma’ dan Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang tidak pernah dilakukan
oleh ulama Salaf, ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk
mengagungkan dan mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta untuk
menuruti firman Allah Azza wa Jalla, “Artinya : … Karena itu janganlah
kamu mengadakan sekutu-sekutu (tandingan) bagi Allah padahal kamu
mengetahui.” [Al-Baqarah: 22]
Orang tersebut juga mengatakan bahwa barangsiapa yang menyalahinya, maka dia adalah mumatsil musyabbih (orang yang menyerupakan Allah Ta'ala dengan makhluk-Nya), atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya.
Ada lagi, orang-orang yang melakukan bid’ah dalam agama Allah Azza wa
Jalla berkenaan dengan pribadi Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka menganggap dengan perbuatannya itu bahwa dirinyalah orang yang
paling mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan yang
mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, barangsiapa yang
tidak berbuat sama seperti mereka maka dia adalah orang yang membenci
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, atau menuduhnya dengan
sebutan-sebutan jelek lainnya yang biasa mereka pergunakan terhadap
orang yang menolak bid’ah mereka. Mereka juga mengatakan: “Kamilah yang
mengagungkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya” Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Padahal dengan bid’ah yang mereka lakukan itu, mereka
sebenarnya telah bertindak lancang terhadap Allah Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Mahamengetahui.” [Al-Hujuraat: 1]
Pembaca yang budiman,
Penulis ingin bertanya, dan mohon agar jawaban yang Anda berikan berasal
dari hati nurani bukan secara emosional, jawaban yang sesuai dengan
tuntunan agama Anda, bukan karena taklid (ikut-ikutan).
Apa pendapat Anda terhadap mereka yang melakukan bid’ah dalam agama
Allah Azza wa Jalla, baik yang berkenaan dengan Dzat, Sifat dan Asma’
Allah Subhanahu wa Ta'ala atau yang berkenaan dengan pribadi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mengatakan, “Kamilah yang
mengagungkan Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” ???
Apakah mereka ini (golongan pertama) lebih berhak disebut sebagai
pengagung Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ataukah orang-orang (golongan kedua) yang mereka itu tidak
menyimpang seujung jari pun dari syari’at Allah Azza wa Jalla, yang
berkata, “Kami beriman kepada syari’at Allah Azza wa Jalla yang dibawa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mempercayai apa yang
diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah dan larangan, kami
menolak apa yang tidak ada dalam syari’at, tidak patut bagi kami
berbuat lancang terhadap Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam atau mengatakan dalam agama Allah Azza wa Jalla apa
yang tidak termasuk ajarannya ?”
Siapakah menurut Anda, yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang
yang mencintai serta mengagungkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?
Jelas golongan yang kedua, yaitu mereka yang berkata, “Kami mengimani
dan mempercayai apa yang diberitakan kepada kami, patuh dan tunduk
terhadap apa yang diperintahkan, kami menolak apa yang tidak
diperintahkan, dan tidak patut bagi kami mengada-adakan dalam syari’at
Allah Azza wa Jalla atau melakukan bid’ah dalam agama Allah Azza wa
Jalla. ”
Tidak ragu lagi bahwa mereka inilah orang-orang yang tahu diri dan tahu
kedudukan Khaliqnya. Merekalah yang mengagungkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan merekalah yang
menunjukkan kebenaran tentang kecintaan mereka kepada Allah Azza wa
Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bukan golongan pertama, yang melakukan bid’ah dalam agama Allah Azza wa
Jalla, dalam hal ‘aqidah, ucapan, atau perbuatan. Padahal, sebenarnya
mereka mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Artinya :…Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru
adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” [3]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka” [4]
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bid’ah”
bersifat umum dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan maklumat umum ini,
tahu akan konotasi apa yang disampaikannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah manusia yang paling fasih, paling tulus terhadap
umatnya, tidak akan mengatakan kecuali apa yang dipahami maknanya. Maka
ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dan setiap bid’ah adalah kesesatan”,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyadari apa yang diucapkan,
mengerti betul akan maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam benar-benar tulus terhadap umatnya.
Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu diucapkan
dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan dan penuh pengertian, maka
perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang
dikandungnya.
Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid’ah dapat kita bagi
menjadi tiga bagian, atau lima bagian? Sama sekali tidak benar. Adapun
pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ada bid’ah hasanah, maka
pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal:
Pertama: Kemungkinan tidak termasuk bid’ah tapi dianggapnya sebagai bid’ah.
Kedua: Kemungkinan termasuk bid’ah, yang tentu saja buruk, tetapi ia tidak mengetahui keburukannya.
Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid’ah hasanah maka jawabannya adalah demikian tadi.
Dengan demikian, tak ada jalan lagi bagi ahli bid’ah untuk menjadikan
suatu bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah, karena kita telah mempunyai
senjata ampuh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu: “Dan setiap bid’ah adalah kesesatan”.
Senjata ini bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan datang dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dibuat sedemikian sempurna.
Maka, barangsiapa yang memegang senjata ini tidak akan dapat dilawan
oleh siapa pun dengan bid’ah yang dikatakannya sebagai hasanah,
sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan
bahwa, “Setiap bid’ah adalah kesesatan.”
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun manusia memandang baik.”[5]
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
__________
Foote Note
[1]. Menurut Imam ath-Thurthusyi dalam al-Hawadits wal Bida’ (hal. 40)
tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-
Atsary. Lihat ‘llmu Ushul Bida’ oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali
‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 23), cet. Daarul Raayah th. 1417 H
[2]. Lihat ‘llmu Ushul Bida’ oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 24).
[3]. HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no.
2676), dari Shahabat al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu.
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Irwa-ul Ghaliil, no. 2455.
[4]. HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang shahih.
[5]. Riwayat al-Laalika-iy dalam Syarah Ushuul I’tiqad Ahlis Sunnah wal
Jamaa’ah (no. 126), Ibnu Baththah al-‘Ukbary dalam al-Ibaanah (no.
205). Lihat ‘Ilmu Ushulil Bida’ (hal. 92).
HADITS-HADITS TENTANG KESEMPURNAAN ISLAM
Hadits Pertama:
Dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan
tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya
di udara melainkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah
tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari
Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian” [1]
Hadits Kedua:
Dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat) dan
tidaklah seekor burung pun yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan
kami memiliki ilmunya”[2]
Perkataan Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu di atas diriwayatkan juga oleh
Imam Ahmad (Musnad Imam Ahmad V/153, 162). Kemudian ada syahidnya dari
perkataan Abud Darda’Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh
ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir sebagaimana dikatakan Imam
al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa’id (VIII/264).
Hadits Ketiga:
Dari Abud Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sungguh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat) dan
tidaklah seekor burung yang terbang di langit melainkan beliau telah
menerangkan kepada kami ilmunya”[3]
Hadits Keempat:
Dari Muththalib bin Hanthab, seorang Tabi’in terpercaya, “Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah aku
tinggalkan sesuatu pun dari perintah-perintah Allah kepada kalian,
melainkan telah aku perintahkan kepada kalian. Begitu pula tidaklah aku
tinggalkan sesuatu pun dari larangan-larangan Allah kepada kalian
melainkan telah aku larang kalian darinya.”[4]
Hadits Kelima:
Dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Orang-orang musyrik
telah bertanya kepada kami, ‘Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan
kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air besar!’
Maka, Salman Radhiyallahu ‘anhu menjawab, ‘Ya!’”[5]
Hadits Keenam:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya kedudukanku
terhadap kalian seperti kedudukan seorang ayah, aku mengajari kalian
semua….’”[6]
Hadits Ketujuh:
Dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di hadapan kami
(berkhutbah), tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggalkan
sesuatu pun juga di tempatnya itu (tentang peristiwa-peristiwa) yang
akan terjadi sampai hari Kiamat melainkan beliau menceritakannya kepada
kami. Akan hafal orang yang hafal dan akan lupa orang yang lupa…”[7]
Hadits Kedelapan:
Dari Abu Zaid (yaitu ‘Amr bin Akhthab Radhiyallahu ‘anhu), “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Shubuh berjama’ah (mengimami) kami,
lalu (setelah shalat) beliau naik ke mimbar dan berkhutbah kepada kami
sampai tiba waktu shalat Zhuhur. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam turun dari mimbar dan shalat berjama’ah (mengimami) kami.
(Setelah shalat) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik (lagi)
ke mimbar dan berkhutbah kepada kami sampai tiba waktu shalat ‘Ashar,
maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar dan shalat
berjama’ah (mengimami) kami. (Setelah shalat) kemudian Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam naik ke mimbar lagi dan berkhutbah kepada kami
sampai saat matahari terbenam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengkhabarkan kami tentang apa-apa saja yang sudah terjadi dan yang
akan terjadi. (Abu Zaid) berkata, ‘Orang yang paling mengetahui adalah
orang yang paling hafal di antara kami”[8]
Hadits Kesembilan:
Umar Radhiyallhu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaijhi wa
sallam pernah berdiri (khutbah) di hadapan kami, lalu menceritakan
kepada kami tentang awal penciptaan makhluk sampai penghuni Surga
memasuki tempatnya dan penghuni Neraka memasuki tempatnya. Telah hafal
orang yang menghafalnya dan telah lupa orang yang melupakannya”[9]
Hadits Kesepuluh:
Dari Mughirahzbahwa dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdiri di antara kami pada suatu tempat, kemudian menceritakan
tentang apa yang terjadi pada umatnya sampai hari Kiamat. Telah hafal
orang yang meng-hafalnya dan telah lupa orang yang melupakannya.”[10]
Hadits Kesebelas:
Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah kepada kami,
menjelaskan sunnah-sunnah kepada kami dan mengajarkan (cara) shalat
kepada kami.” (Dalam suatu hadits yang panjang).[11]
Hadits Kedua belas:
Dari ‘Iyadh bin Himar al-Mujasyi’iy Radhiyallahu ‘anhu , bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda pada suatu hari
dalam khutbahnya, ‘Ketahuilah sesungguhnya Rabb-ku telah menyuruhku
untuk mengajarkan kalian hal-hal yang kalian tidak mengetahuinya, dari
apa-apa yang Dia telah mengajarkannya kepadaku hari ini ….” [12]
Imam Malik bin Anas [13] rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
mengadakan suatu bid’ah dalam Islam yang ia pandang hal itu baik (bid’ah
hasanah), maka sungguh dia telah menuduh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah agama ini. Karena sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla telah berfirman: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan
agama-mu untukmu…” [Al-Maa-idah:[3]. (Imam Malik rahimahullah
selanjutnya berkata), “Maka sesuatu yang pada hari itu bukanlah ajaran
agama, maka hari ini pun sesuatu itu bukanlah ajaran agama”[14]
Risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang secara
sempurna untuk seluruh umat manusia dan segenap bangsa jin, orang-orang
Arab dan non Arab, cocok untuk setiap tempat dan waktu, setiap generasi
dan kondisi. Tidak ada suatu kebaikan melainkan telah ditunjukkan oleh
Islam dan tidak ada keburukan melainkan telah diperingatkan oleh
Islam. Allah Azza wa Jalla tidak akan menerima suatu agama dari siapa
pun selain agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Saya
berpesan kepada mereka yang terjerat dalam perbuatan bid’ah, yang
mungkin ia mempunyai tujuan baik dan menghendaki kebaikan. Apabila Anda
memang menghendaki kebaikan, maka demi Allah, tidak ada jalan yang
terbaik melainkan jalan yang telah ditempuh oleh Salafush Shalih.
Wahai saudara-saudaraku, berpegang teguhlah kepada Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ikutilah jejak Salafush Shalih dan
laksanakanlah apa yang mereka amalkan dan perhatikanlah apakah hal itu merugikan Anda?!!” [15]
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
__________
Foote Note
[1]. HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no.
2676), dari Shahabat al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu.
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Irwa-ul Ghaliil, no. 2455.
[2]. HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang shahih.
[3]. Riwayat al-Laalika-iy dalam Syarah Ushuul I’tiqad Ahlis Sunnah wal
Jamaa’ah (no. 126), Ibnu Baththah al-‘Ukbary dalam al-Ibaanah (no.
205). Lihat ‘Ilmu Ushulil Bida’ (hal. 92).
[4]. Riwayat Imam asy-Syafi’i dalam kitab ar-Risalah (hal. 87-93 no.
289), tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullahu, al-Baihaqi
(VII/76). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahihah (no. 1803).
[5]. Riwayat Muslim (no. 262 (57)), Abu Dawud (no. 7), at-Tirmidzi (no. 16) dan Ibnu Majah (no. 316), dari Salman al-Farisiz.
[6]. HR. Abu Dawud (no. 8) dan lainnya.
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 6604), Muslim (no. 2891 (23)), Abu Dawud (no.
4240) dan al-Hakim (IV/487), lafazh ini milik Muslim dari Shahabat
Hudzaifah z.
[8]. HR. Muslim (no. 2892), al-Hakim (IV/487) dan Ahmad (V/341) dari Shahabat ‘Amr bin Akhthab Radhiyallahu ‘anhu
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 3192) secara mu’allaq, dengan lafazh jazm (bersifat pasti).
[10]. Riwayat Ahmad (IV/254) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir
(XX/441 no. 1077) dan pada sanad hadits ini terdapat periwayat yang
lemah, ‘Amr bin Ibrahim bin Muhammad, akan tetapi hadits ini memiliki
beberapa penguat, yaitu hadits-hadits yang sebelumnya, sehingga derajat
hadits ini naik menjadi hasan. Lihat Majma’uz Zawaa-id (VIII/264).
[11]. HR. Muslim (no. 404 (62)), Abu Dawud (no. 972), an-Nasa-i
(II/241), Ibnu Majah (no. 901), Ahmad (IV/401, 405) dan al-Baihaqi
(II/140-141), dari Shahabat Abu Musa al-‘Asy’ari z.
[12]. HR. Muslim (no. 2865 (63)) dan Ahmad (IV/162, 266 ).
[13]. Beliau adalah gurunya Imam asy-Syafi’i, dan wafat tahun 179 H.
[14]. Al-I’tisham (I/ 64-65) tahqiq: Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly cet. I, th. 1412 H, Daar Ibni Affan
[15]. Al-Ibdaa’ fii Kamaalisy Syar’i wa Khatharil Ibtidaa’ (hal. 23)
oleh Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
http://abuzuhriy.com/?p=277
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/09/islam-adalah-agama-yang-sempurna.html