Kata tawakal
memiliki asal makna i’timad atau bersandar. Sehingga apabila dikatakan :
“Tawakkaltu ‘alallaahi tawakkulan” artinya “i’tamadtu ‘alaihi” (aku bersandar
kepadanya).
Hakikat
tawakal adalah apabila seorang hamba menyandarkan diri kepada Allah subhanahu
wa ta’ala dengan sepenuh hati dalam berbagai kemaslahatan agama dan dunianya
dengan disertai melakukan sebab-sebab yang mengantarkan kepada tujuan selama
cara itu diperbolehkan oleh syari’at. Dengan demikian tawakal itu meliputi keyakinan
hati, penyandaran diri serta melakukan amal perbuatan.
Yang
dimaksud dengan i’tiqad di sini adalah meyakini bahwa segala urusan ada di
tangan Allah. Segala sesuatu yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Dan
segala yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak terjadi. Allah semata pemberi
manfaat, madharat, pemberi karunia dan yang berhak mencegah pemberiannya.
Setelah dia meyakini hal itu maka hendaknya dia menyandarkan hatinya kepada
Allah Rabbnya subhanahu wa ta’ala serta mempercayakan urusan sepenuhnya
kepada-Nya. Kemudian setelah itu dia melaksanakan bagian yang ketiga yaitu
melakukan cara-cara yang diperbolehkan agama (lihat Hushul al-Ma’mul, hal.
83-84)
Perintah
untuk bertawakal
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya),
“Dan
bertawakallah hanya kepada Allah jika engkau beriman” (QS. al-Maa’idah : 23).
Tawakal
adalah bersandar kepada Allah subhaanahu wa ta’ala dalam rangka meraih apa yang
diinginkan dan menolak hal-hal yang tidak disukai dengan dilandasi rasa
percaya sepenuhnya kepada Allah, serta dengan menempuh cara-cara yang
diperbolehkan oleh syari’at dalam rangka mewujudkannya.
Rukun
tawakal
Untuk bisa
mewujudkannya diperlukan dua hal, yaitu :
- Bersandar kepada Allah dengan sungguh-sungguh
- Menempuh cara-cara yang diperbolehkan untuk mewujudkan keinginannya
Barangsiapa
yang terlalu bersandar kepada cara/sarana yang ditempuh maka tawakalnya kepada
Allah semakin berkurang. Sehingga hal ini membuatnya secara tidak langsung
mencela kekuasaan Allah untuk bisa mengatasi segala problema. Yaitu tatkala
seorang hamba menjadikan seolah-olah hanya cara itulah yang menjadi inti
keberhasilan, agar apa yang diinginkan tercapai dan apa yang tidak disukai
hilang.
Barangsiapa
yang membuat tawakalnya kepada Allah menyebabkan dirinya melalaikan cara/usaha
maka sesungguhnya ia telah mencela hikmah Allah. Karena Allah menciptakan
segala sesuatu memiliki sebab musabab. Sehingga orang yang semata-mata
bersandar kepada Allah tanpa mau menjalani sebab maka tindakan tersebut merupakan
bentuk celaan terhadap hikmah yang Allah tetapkan. Padahal Allah itu Maha
bijaksana (Hakiim) yang mempertautkan sebab-sebab dengan akibat-akibatnya.
Seperti contohnya orang yang menyandarkan dirinya kepada Allah demi mendapatkan
anak tapi tidak mau menikah.
Kaidah
Sebab-Akibat
Allah telah
menciptakan hukum sebab akibat yang berlaku di alam semesta ini dengan amat
sempurna. Apabila seseorang lapar maka hendaknya dia makan supaya kenyang.
Apabila seseorang ingin berharta maka hendaknya dia bekerja. Apabila seseorang
ingin memiliki anak maka hendaknya dia menikah. Demikianlah diantara
hukum-hukum sebab akibat yang sama-sama sudah kita mengerti.
Dalam
perkara lain pun berlaku hal itu, maka tidak boleh kita menempuh sebab-sebab
sebagai jalan keluar dari masalah kecuali apabila memenuhi tiga syarat berikut
ini :
- Hanya mencari sebab yang diizinkan oleh agama, tidak boleh memakai sebab yang haram dan tidak masuk akal.
- Hanya menggantungkan hati kepada Allah
- Meyakini bahwa berhasil atau tidaknya hanya Allah yang menentukan
(lihat
al-Qaul as-Sadid karya Syaikh as-Sa’di rahimahullah, hal. 34-35)
Nabi
teladan dalam bertawakal
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling hebat tawakalnya.
Meskipun demikian beliau juga tetap menjalani sebab. Beliau membawa perbekalan
apabila hendak bepergian. Begitu pula tatkala berangkat ke peperangan Uhud
beliau mengenakan dua lapis baju perang (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Demikian
juga ketika berangkat untuk berhijrah beliau juga memilih orang sebagai
penunjuk jalan (HR. Bukhari) dan beliau tidaklah mengucapkan, “Saya mau
berangkat berhijrah dan akan bersandar kepada Allah, tanpa mencari teman untuk
menunjukkan jalan bersamaku”. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
melindungi tubuhnya dari sengatan panas dan dinginnya cuaca. Dan tidaklah itu
semua mengurangi tawakal yang ada pada diri beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Tawakal
palsu
Ada sebuah
kisah yang menceritakan bahwa di masa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah ada
sekelompok orang Yaman yang berangkat haji tanpa membawa perbekalan. Maka
mereka pun dipanggil untuk menghadap ‘Umar. Kemudian ‘Umar menanyai mereka.
Mereka mengatakan, “Kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah”.
‘Umar menimpali, “Kalian bukan termasuk orang yang bertawakal. Tetapi kalian
adalah orang yang pura-pura bertawakal”.
Tawakal
separuh agama
Tawakal
merupakan setengah dari agama Islam. Oleh sebab itulah kita senantiasa
mengucapkan do’a di dalam shalat kita, ”Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”.
Hanya kepada Engkau lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau lah kami meminta
pertolongan. Kita meminta pertolongan kepada Allah karena kita bersandar
kepada-Nya, karena kita yakin hanya Dia lah yang mampu membantu kita dalam
upaya beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala juga memerintahkan (yang artinya),
“Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya” (QS. Huud : 123). Allah juga
membawakan perkataan salah seorang Nabi-Nya, “Hanya kepada-Nya lah aku
bertawakal dan kembali taat” (QS. Huud : 88). Dan tidak mungkin ibadah terwujud
tanpa adanya tawakal. Karena apabila seorang manusia dibiarkan untuk mengurusi
dirinya sendiri dan ditelantarkan maka sesungguhnya dia telah disandarkan
kepada sifat lemah dan ketidakmampuan. Sehingga pada akhirnya dia tidak akan
bisa tegar dalam melaksanakan ibadah.
Dua
macam tawakal kepada Allah
Tawakal
kepada Allah ada dua macam :
1.
Bertawakal kepada-Nya dalam rangka meraih kepentingan pribadi hamba berupa
rezki, kesehatan dan lain sebagainya
2.
Bertawakal kepada-Nya dalam rangka meraih keridhaan-Nya
Tawakal
jenis yang pertama memiliki tujuan yang baik meskipun bukan dinilai ibadah
karena ia murni terkait dengan kepentingan pribadi (duniawi) seorang hamba.
Maka bertawakal kepada Allah untuk meraih tujuan itu dinilai sebagai ibadah dan
hal itu merupakan sumber berkembangnya kemaslahatan agama dan dunianya.
Adapun jenis
yang kedua maka tujuan yang hendak digapai adalah ibadah maka tidak ada cela
sedikitpun padanya karena ia merupakan permintaan tolong kepada Allah untuk
menggapai sesuatu yang diridhai-Nya. Oleh sebab itu pelaku tawakal jenis kedua
ini adalah orang yang benar-benar merealisasikan makna Iyyaaka na’budu wa
iyyaaka nasta’iin (lihat Hushul al-Ma’mul, hal. 84)
Minimnya
tawakal di dalam hati
Apabila
seorang hamba beribadah kepada Allah dengan disertai perasaan sedang bersandar
dan bertawakal kepada Allah maka sesungguhnya dia akan mendapatkan pahala atas
ibadahnya tersebut dan pahala atas tawakalnya. Akan tetapi fenomena yang banyak
menimpa kita adalah terlalu lemahnya tawakal. Sehingga apabila beribadah atau
menjalani kebiasaan kita tidak merasa sedang bersandar dan bergantung kepada
Allah sehingga perbuatan kita itu bisa terlaksana.
Bahkan
sebagian besar dari kita biasanya terlalu mengandalkan cara/sebab lahiriyah, dan
lupa terhadap apa yang ada dibalik itu semua. Maka hilanglah pahala yang sangat
besar dari kita, yaitu pahala bertawakal. Demikian pula halnya tatkala kita
tidak mendapatkan taufik untuk bisa meraih keinginan dan menghindar dari
sesuatu yang tidak kita inginkan. Baik hal itu terjadi karena adanya penghalang
yang membuat keinginan kita itu tidak terwujud sama sekali atau berkurang
nilainya. Maka kitapun lupa untuk kembali menyandarkannya kepada Allah ta’ala.
Macam-macam
tawakal
Tawakal itu
ada tiga macam : Tawakal ibadah dan ketundukan, Bergantung kepada orang dalam
hal rezeki dan urusan keduniaan lainnya, Menyerahkan urusan kepada seseorang
yang dia percayai.
[1]
Tawakal ibadah dan ketundukan
Yaitu
bergantung sepenuhnya kepada sesuatu yang disandari. Sehingga di dalam hatinya
terdapat keyakinan bahwasanya di tangan sesuatu itulah kekuasaan untuk
mendatangkan kemanfaatan dan menolak madharat. Keyakinan inilah yang
mendorongnya untuk bertawakal kepadanya dengan sepenuh hati. Maka tawakal yang
seperti ini hanya diperbolehkan ditujukan kepada Allah ta’ala. Barangsiapa yang
memalingkannya kepada selain Allah maka dia adalah musyrik dengan kategori
syirik akbar. Sebagaimana yang terjadi pada orang-orang yang bergantung kepada
orang-orang shalih yang sudah mati atau yang tidak hadir (tidak bisa
berkomunikasi dengannya).
Hal semacam
ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya keyakinan bahwa mereka itu memiliki
kemampuan tersembunyi untuk turut campur dalam mengatur perjalanan kejadian di
alam semesta, sehingga adanya keyakinan itu membuat mereka bergantung dan
bersandar kepada mereka (orang-orang shalih atau wali) demi mencapai manfaat
dan menolak bahaya. Kesimpulannya tawakal jenis pertama ini syirik akbar
jika ditujukan kepada selain Allah.
[2]
Bergantung kepada orang lain dalam urusan duniawi
Yang semacam
ini tergolong perbuatan syirik ashghar (syirik kecil). Ada pula ulama yang
mengatakan bahwa ia termasuk jenis syirik khafi (syirik yang samar-samar).
Seperti contohnya kebanyakan orang yang terlalu menyandarkan hatinya terhadap
mata pencaharian yang digelutinya dalam rangka mendapatkan rezki. Sehingga anda
akan bisa menemukan keadaan orang semacam ini merasa bahwasanya dirinya sangat
bersandar dan begitu membutuhkan bos, direktur, majikan atau juragan yang
mempekerjakannya dan dia meyakini bahwasanya mereka itu bukan sekedar sebagai
sebab datangnya rezki saja, akan tetapi lebih dari itu. Kesimpulannya tawakal
jenis kedua ini adalah syirik ashghar. Dan dosa syirik ashghar itu lebih berat
jenisnya daripada dosa maksiat.
[3]
Menyerahkan urusan kepada orang lain
Seperti
meminta orang lain untuk membelikan suatu barang, maka yang seperti ini tidak
mengapa. Karena pada hakikatnya dia hanya sekedar menyerahkan urusan kepada
orang lain dalam keadaan dia berada di posisi yang lebih tinggi dari orang yang
dimintai tolong, sehingga ia pun menjadikan orang lain itu sebagai wakil
darinya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tatkala menunjuk Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu untuk menyembelih
sisa hewan kurban beliau (HR. Muslim), begitu pula ketika beliau mewakilkan
pengurusan shadaqah/zakat kepada Abu Hurairah (HR. Bukhari secara mu’allaq) dan
contoh yang lainnya. Sehingga kesimpulannya tawakal semacam ini yang disebut
juga dengan taukil (tindakan mewakilkan) adalah perbuatan yang boleh-boleh saja
dilakukan.
Di dalam
ayat terdahulu (QS. al-Maa’idah : 23) Allah mewajibkan kita untuk bertawakal
hanya kepada-Nya. Yaitu pada tawakal jenis yang pertama dan jenis yang kedua.
Ayat tersebut juga menunjukkan bahwasanya tawakal merupakan salah satu
konsekuensi atau syarat keimanan. Karena di dalam ayat tersebut Allah berfirman
yang artinya, “..bertawakallah kepada Allah jika kalian benar-benar beriman.”
Bahaya
bergantung kepada selain Allah
Dengan
demikian orang yang bertawakal kepada selain Allah maka dia berada dalam salah
satu di antara dua keadaan [baca: keburukan] :
Keadaan
Pertama : Kehilangan kesempurnaan iman yang hukumnya wajib ada, karena ia
terjerumus dalam syirik ashghar.
Keadaan
Kedua : Kehilangan seluruh keimanan, karena ia terjerumus dalam syirik akbar.
Wallahul
musta’aan.
________
(Disadur
dari al-Qaul al-Mufid, 2/28-30 dengan sedikit perubahan dan penambahan)
Tawakal yang Sebenarnya
Sebagian
orang menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama
sekali. Contohnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya
akan melaksanakan ujian. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk
untuk menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan
main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka
mengatakan, “Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban.”
Apakah
semacam ini benar-benar disebut tawakal?! Semoga pembahasan kali ini dapat
menjelaskan pada pembaca sekalian mengenai tawakal yang sebenarnya dan apa saja
faedah dari tawakal tersebut.
Tawakal
yang Sebenarnya
Ibnu Rajab
rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49
mengatakan,
“Tawakal
adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla untuk meraih
berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun
akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan
sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan
bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata‘.”
Tawakal
Bukan Hanya Pasrah
Perlu
diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah
semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha.
Ibnu Rajab
mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus
meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan.
Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga
memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota
badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan
hati merupakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala telah
berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap
waspada.” (QS. An Nisa [4]: 71). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal [8]: 60). Juga
firman-Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10). Dalam
ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.
Sahl At
Tusturi mengatakan,“Barang siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia
telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan -pen). Barang siapa
mencela tawakal (tidak mau bersandar pada Allah, pen) maka dia telah
meninggalkan keimanan. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam)
Burung
Saja Melakukan Usaha untuk Bisa Kenyang
Dari Umar
bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh
Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki.
Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore
harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan
shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)
Imam Ahmad
pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di
masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku
datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu
(bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah menjadikan
rezekiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini
bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam
rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69,
Maktabah Syamilah)
Al Munawi
juga mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan
kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah
yang memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah ta’ala. Hal ini
menunjukkan bahwa tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan
melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena
burung saja mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada
kita untuk mencari rezeki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi,
7/7-8, Maktabah Syamilah)
Tawakal
yang Termasuk Syirik
Setelah kita
mengetahui pentingnya melakukan usaha, hendaknya setiap hamba tidak bergantung
pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan rezeki,
mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi
Allah ta’ala semata.
Imam Ahmad
mengatakan bahwa tawakal adalah amalan hati yaitu ibadah hati semata (Madarijus
Salikin, Ibnul Qayyim, 2/96). Sedangkan setiap ibadah wajib ditujukan kepada
Allah semata. Barang siapa yang menujukan satu ibadah saja kepada
selain Allah maka berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu juga
apabila seseorang bertawakal dengan menyandarkan hati kepada selain Allah
-yaitu sebab yang dilakukan-, maka hal ini juga termasuk kesyirikan.
Tawakal
semacam ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang dapat mengeluarkan
seseorang dari Islam), apabila dia bertawakal (bersandar) pada makhluk pada
suatu perkara yang tidak mampu untuk melakukannya kecuali Allah ta’ala. Seperti
bersandar pada makhluk agar dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh
kebaikan di akhirat, atau untuk segera memperoleh anak sebagaimana yang
dilakukan oleh para penyembah kubur dan wali. Mereka menyandarkan hal semacam
ini dengan hati mereka, padahal tidak ada siapapun yang mampu mengabulkan hajat
mereka kecuali Allah ta’ala. Apa yang mereka lakukan termasuk tawakal kepada
selain Allah dalam hal yang tidak ada seorang makhluk pun memenuhinya.
Perbuatan semacam ini termasuk syirik akbar. Na’udzu billah min dzalik.
Sedangkan
apabila seseorang bersandar pada sebab yang sudah ditakdirkan (ditentukan) oleh
Allah, namun dia menganggap bahwa sebab itu bukan hanya sekedar sebab (lebih
dari sebab semata), seperti seseorang yang sangat bergantung pada majikannya
dalam keberlangsungan hidupnya atau masalah rezekinya, semacam ini termasuk syirik
ashgor (syirik kecil) karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab
tersebut.
Tetapi apabila
dia bersandar pada sebab dan dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata
sedangkan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, hal ini tidaklah
mengapa. (Lihat At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh
Tsalatsatil Ushul, 38; Al Qoulul Mufid, 2/29)
Penutup
Ingatlah
bahwa tawakal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja. Tawakal bukan
hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam urusan dunia.
Namun hendaknya seseorang juga bertawakal dalam urusan akhiratnya, untuk meraih
apa yang Allah ridhai dan cintai. Maka hendaknya seseorang juga bertawakal agar
bagaimana bisa teguh dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii sabilillah.
Ibnul Qayyim
dalam Al Fawa’id mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal
untuk mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap teguh dalam
mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berjihad melawan
ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa inilah
tawakal para rasul dan pengikut rasul yang utama.
Kami tutup
pembahasan kali ini dengan menyampaikan salah satu faedah tawakal.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala (yang artinya),“Barang siapa bertakwa kepada
Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah
yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3).
Al Qurtubi
dalam Al Jami’ Liahkamil Qur’an mengatakan, “Barang siapa menyerahkan
urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.”
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar. Lalu
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Seandainya semua
manusia mengambil nasihat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka.”
Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakal, maka sungguh
Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka. (Jami’ul Ulum wal Hikam,
penjelasan hadits no. 49).
Hanya
Allah-lah yang mencukupi segala urusan kami, tidak ada ilah yang berhak
disembah dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakal dan Dia-lah
Rabb ‘Arsy yang agung.
***
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah:
Ustadz Aris Munandar
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/tawakal.html