Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (semua keperluan) nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Allah Ta’ala berfirman:
وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Dan hanya kepada Allah, hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal.” (QS. Ath-Thaghabun: 13)
Hushain bin Abdurrahman -rahimahullah- berkata:
كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ
جُبَيْرٍ فَقَالَ أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي انْقَضَّ
الْبَارِحَةَ قُلْتُ أَنَا ثُمَّ قُلْتُ أَمَا إِنِّي لَمْ أَكُنْ فِي
صَلَاةٍ وَلَكِنِّي لُدِغْتُ قَالَ فَمَاذَا صَنَعْتَ قُلْتُ
اسْتَرْقَيْتُ قَالَ فَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ قُلْتُ حَدِيثٌ
حَدَّثَنَاهُ الشَّعْبِيُّ فَقَالَ وَمَا حَدَّثَكُمْ الشَّعْبِيُّ قُلْتُ
حَدَّثَنَا عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ حُصَيْبٍ الْأَسْلَمِيِّ أَنَّهُ قَالَ
لَا رُقْيَةَ إِلَّا مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ فَقَالَ قَدْ أَحْسَنَ مَنْ
انْتَهَى إِلَى مَا سَمِعَ وَلَكِنْ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُرِضَتْ عَلَيَّ
الْأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ
وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ
رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي فَقِيلَ لِي
هَذَا مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ وَلَكِنْ
انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي
انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي
هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ
بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ
النَّاسُ فِي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ
حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ
صَحِبُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ
بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ وُلِدُوا فِي الْإِسْلَامِ وَلَمْ
يُشْرِكُوا بِاللَّهِ وَذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي
تَخُوضُونَ فِيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمْ الَّذِينَ لَا يَرْقُونَ
وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ
أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ
آخَرُ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ
بِهَا عُكَّاشَةُ
“Saya pernah bersama Said bin
Jubair lalu dia berkata, ‘Siapa di antara kalian yang melihat bintang
jatuh tadi malam? ‘ Aku menjawab, ‘Aku’. Kemudian aku berkata, ‘Tapi
aku tidak sedang mengerjakan shalat, akan tetapi aku terbangun karena
aku disengat (binatang).’ Sa’id lalu berkata, “Lantas apa yang kamu
perbuat? ‘ Aku menjawab, ‘Aku meminta untuk diruqyah.’ Sa’id
bertanya, ‘Apa yang membuatmu melakukan hal tersebut? ‘ Aku menjawab,
‘Sebuah hadits yang Asy-Sya’bi ceritakan kepadaku.’ Sa’id bertanya
lagi, ‘Apa yang diceritakan asy-Sya’bi kepada kalian.’ Aku menjawab,
‘Dia telah menceritakan kepada kami dari Buraidah bin Hushaib
al-Aslami, bahwa dia berkata, “Tidak ada ruqyah kecuali disebabkan oleh
penyakit ain dan racun (sengatan binatang berbisa).” Maka Sa’id pun
menjawab, “Telah berbuat baik orang melaksanakan sesuai dengan apa
(dalil) yang dia dengar.
Hanya saja Ibnu Abbas telah
menceritakan kepada kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: “Telah diperlihatkan kepadaku semua umat. Lalu aku melihat
seorang nabi yang bersamanya 3 sampai 9 orang, ada juga nabi yang
bersama dengannya hanya satu atau dua orang lelaki saja, bahkan ada
seorang nabi dan tidak ada seorangpun yang bersamanya. Tiba-tiba
diperlihatkan kepadaku sekumpulan orang, maka aku menyangka mereka
adalah umatku. Tetapi dikatakan kepadaku, ‘Mereka adalah Nabi Musa
alaihissalam dan kaumnya. Tetapi lihatlah ke ufuk’. Lalu aku pun
melihatnya, ternyata ada kumpulan besar yang berwarna hitam (yakni
saking banyaknya orang kelihatan dari jauh). Lalu dikatakan lagi
kepadaku, ‘Lihatlah ke ufuk yang lain.’ Ternyata di sana juga terdapat
kumpulan besar yang berarna hitam. Dikatakan kepadaku, ‘Ini adalah
umatmu dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang akan memasuki
surga tanpa dihisab dan azab.”
Setelah menceritakan itu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bangkit lalu masuk ke
dalam rumahnya. Orang-orang lalu memperbincangkan mengenai mereka yang
akan dimasukkan ke dalam Surga tanpa dihisab dan azab. Sebagian dari
mereka berkata, “Mungkin mereka adalah orang-orang yang selalu bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ada pula yang mengatakan,
“Mungkin mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam Islam dan tidak
pernah melakukan perbuatan syirik terhadap Allah.” Mereka mengemukakan
pendapat masing-masing. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
keluar menemui mereka, lalu beliau bertanya: “Apa yang telah kalian
perbincangkan?” Mereka pun menerangkannya kepada beliau. Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah orang-orang yang
tidak meruqyah, tidak meminta untuk diruqyah, tidak meyakini thiyarah (pamali) dan hanya kepada Allah mereka bertawakal.”
Ukkasyah bin Mihshan berdiri lalu berkata, “Berdoalah kepada Allah
agar aku termasuk dari kalangan mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Kamu termasuk dari kalangan mereka.” Kemudian
seorang lelaki lain berdiri dan berkata, “Berdoalah kepada Allah agar
aku termasuk dari kalangan mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Ukkasyah telah mendahuluimu.” (HR. Al-Bukhari no.
5270 dan Muslim no. 323)
Kalimat yang ditebalkan
di atas telah dikritisi oleh sebagian ulama, di antaranya Imam
Ad-Daraquthni dan selainnya. Karena kandungannya bertentangan dengan
dalil-dalil lain yang membolehkan bahkan menganjurkan seseorang yang
mampu untuk meruqyah saudaranya, tanpa perlu dia diminta.
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan:
هُمْ الَّذِينَ لَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka
itu adalah orang-orang yang tidak meyakini thiyarah (pamali), tidak
meminta untuk diruqyah, dan tidak menggunakan kay (pengobatan dengan
besi panas), dan hanya kepada Rabb merekalah mereka bertawakkal.”
Penjelasan ringkas:
Definisi
tawakkal adalah penyandaran hati dan penyerahan semua urusan kepada
Allah Ta’ala dalam meraih kebaikan atau menghindar dari mudharat,
disertai dengan usaha dengan menempuh sebab yang syar’i (dibenarkan
syariat) dan kauni (terbukti punya hubungan sebab akibat). Karenanya
bukan tawakkal kalau hanya pasrah kepada takdir tanpa ada usaha, dan
sebaliknya termasuk kesyirikan jika hanya bersandar pada usaha tanpa
menyandarkan seluruhnya kepada Allah Ta’ala.
Tawakkal termasuk dari ibadah
qalbiah (hati) yang paling mulia dan paling urgen, sampai-sampai Allah
Ta’ala menggandengkan tawakkal dengan tauhid kepada-Nya dalam
firman-Nya,
“(Dia-lah) Allah
tidak ada sembahan yang hak selain Dia. Dan hanya kepada Allah,
hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal.” (QS. Ath-Thaghabun:
13).
Karenanya balasannyapun
merupakan balasan yang paling mulia di dunia dan di akhirat, di dunia
berupa kecukupan dari Allah dalam semua hal yang dia butuhkan dan di
akhirat berupa masuk surga pertama kali, tanpa didahului oleh hisab dan
azab (dibersihkan dalam neraka).
Dalam hadits di atas disebutkan
4 kriteria dari ke-70.000 orang yang akan masuk surga tanpa hisab dan
azab, hanya saja 3 yang pertama merupakan sifat detail dan yang keempat
merupakan sifat umum untuk ketiganya. Yakni karena orang yang minta
diruqyah, meyakini pamali, dan berobat dengan kay adalah orang-orang yang rendah tawakkalnya kepada Allah.
Orang yang pertama karena minta
diruqyah padahal bisa saja dia meruqyah dirinya sendiri, maka tatkala
dia meminta bantuan diruqyah maka menunjukkan kepercayaan dan
ketergantungan dia kepada Allah rendah. Orang yang meyakini pamali
rendah tawakkalnya karena meyakini sesuatu yang bukan sebab syar’i dan
kauni sebagai sebab, padahal dalam tawakkal seseorang hanya boleh
menempuh dan meyakini sebab yang syar’i dan kauni. Orang yang ketiga
juga rela menyakiti tubuhnya untuk sembuh padahal masih ada pengobatan
lainnya, ini tentunya dia lakukan karena rendahnya tawakkal dan
kesabaran dia kepada Allah.
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dalam Syarah Tsalatsah Al-Ushul hal. 58-59 menyebutkan 4 bentuk tawakkal, yang kesimpulannya:
- Tawakkal kepada Allah Ta’ala. Ini adalah ibadah yang besar bahkan merupakan tanda sempurnanya keimanan.
- Tawakkal sirr (terselubung), yaitu seseorang bertawakkal kepada orang yang telah meninggal (sesoleh apapun dia, apalagi kalau dia adalah thaghut), dalam usaha meraih maslahat dan menghindar dari mudharat. Hukum amalan ini adalah syirik akbar dan mengeluarkan pelakunya dari Islam. Hal itu karena tidak mungkin dia bertawakkal kepada orang yang sudah meninggal kecuali dia meyakini orang itu juga mampu mengatur para makhluk.
- Tawakkal kepada makhluk (yang masih hidup) pada perkara yang makhluk itu sanggup melaksanakannya, tapi disertai perasaan tingginya kedudukan orang itu dan rendahnya kedudukan dia di hadapan orang itu. Misalnya seseorang yang hatinya bergantung pada pimpinannya dalam mendapatkan penghasilan, dan semacamnya. Hukum amalan ini adalah syirik asghar. Tapi jika dia meyakini pimpinannya hanya sebagai sebab dan hanya Allah yang memberikan rezeki maka yang seperti ini tidak mengapa.
- Mewakilkan sebuah amalan kepada orang lain, pada amalan yang bisa diwakilkan dan orang lain itu bisa menggantikannya. Sebagaimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- mewakilkan penjagaan sedekah kepada sebagian sahabat dan sebagaimana beliau mewakilkan penyembelihan 37 ekor ontanya kepada Ali setelah beliau sendiri menyembelih 63 ekor. Hukum amalan ini adalah boleh berdasarkan ijma’ ulama.
Beberapa pelajaran dari hadits di atas:
- Di antara kebiasaan para ulama salaf adalah senantiasa bermajelsi ilmu kapanpun mereka bertemu.
- Tingginya keikhlasan dan wara` para ulama salaf, tatkala mereka tidak ingin dipuji pada amalan yang tidak mereka lakukan. Tatkala Hushain bangun di malam hari maka mungkin akan ada yang mengira kalau dia bangun untuk shalat lail, maka beliaupun membantah sebelum muncul perkiraan seperti itu.
- Seseorang yang keliru, sebelum dia dinasehati hendaknya ditanyakan dahulu alasan dia melakukan kekeliruan tersebut, mungkin saja dia mempunyai dalil atas amalannya. Karenanya Said bin Jubair bertanya terlebih dahulu kepada Hushain mengenai alasannya minta diruqyah, karena sepengetahuan dia itu adalah amalan yang makruh.
- Maksud kalimat, “Tidak ada ruqyah kecuali disebabkan oleh penyakit ain dan racun (sengatan binatang berbisa),” adalah bahwa ruqyah pada kedua jenis penyakit ini sangat cepat berkhasiat, walaupun ruqyah juga bisa dilakukan pada selain kedua penyakit ini.
- Orang yang beramal dengan dalil yang dia ketahui tidaklah tercela walaupun dia keliru, bahkan tindakannya itu adalah tindakan yang benar. Inilah maksud dari ucapan ulama, “Setiap pihak yang berbeda pendapat itu benar,” yakni jika keduanya berlandaskan pada dalil yang shahih.
- Para nabi juga diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah, karena buktinya mereka juga mempunyai pengikut.
- Tidak boleh tertipu dengan banyaknya pengikut, banyaknya murid, dan banyaknya orang yang hadir ketika dia membawakan materi, sehingga mengira dirinya di atas kebenaran. Hal itu karena mayoritas bukanlah tolak ukur kebenaran, karena para nabi dalam hadits tersebut jelas berada di atas kebenaran tapi ternyata pengikutnya hanya sedikit bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut. Bahkan nash-nash dalam kedua wahyu menunjukkan bahwa kebanyakan golongan mayoritas adalah orang-orang yang tersesat. Ini sebagai bantahan bagi semua metode mencari kebenaran dan kemenangan dengan menjadikan suara terbanyak sebagai patokan.
- Walaupun seseorang tidak boleh tertipu dengan banyaknya pengikut, tapi tidak menunjukkan dia tidak perlu bersemangat dalam berdakwah. Karena pada hadits di atas juga disebutkan bahwa pengikut Nabi -alaihishshalatu wassalam- sangatlah banyak. Jadi hendaknya seorang dai berada di sikap pertengahan, tidak bangga dengan banyaknya murid dan juga tidak merasa cukup dengan sedikitnya orang yang mengikuti sunnah.
- Umat Bani Israil merupakan umat yang terbanyak setelah umat Islam, dan sekaligus menunjukkan keutamaan Nabi Musa -alaihishshalatu wassalam- selaku nabi mereka.
- Keutamaan Allah atas umat ini yang Dia tidak berikan kepada umat lainnya, yaitu ada 70.000 orang di antara mereka yang masuk surga tanpa hisab dan azab.
- Jumlah orang yang masuk surga tanpa hisab dan azab yang tersebut dalam hadits ini adalah 70.000 orang. Dan disebutkan dalam hadits Abu Umamah Al-Bahili riwayat At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, dan dihasankan oleh sebagian ulama, “Setiap seribunya ditambahkan tujuhpuluh ribu orang lagi.” Jadi total seluruhnya adalah 4.900.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan azab.
- Keutamaan mereka yang bersahabat dan senantiasa bersama Nabi -alaihishshalatu wassalam-, karena para sahabat mengira merekalah orangnya. Dan besarnya pahala menunjukkan besarnya nilai amalan itu.
- Juga menunjukkan keutamaan anak-anak yang lahir dan meninggal dalam keluarga yang islami sehingga mereka tidak pernah berbuat kesyirikan walaupun sekali di dalam hidupnya.
- Makruhnya minta diruqyah dan berobat dengan kay. Adapun meyakini thiyarah maka hukum asalnya adalah syirik asghar.
- Semangat para sahabat untuk mendapatkan kebaikan. Terbukti dari permintaan Ukkasyah yang langsung dia ucapkan segera setelah beliau menyebutkan keutamaan tersebut.
- Termasuk tawassul yang dibolehkan adalah minta didoakan oleh orang saleh, dan hal ini tidak terkhusus bagi Nabi -alaihishshalatu wassalam- saja.
- Di antara 4.900.000 orang itu adalah Ukkasyah bin Mihshan. Sisanya tidak boleh ditetapkan siapa orangnya kecuali dengan dalil. Kepastian seseorang masuk ke dalam surga tidak menunjukkan mereka memasukinya tanpa hisab dan azab, wallahu a’lam. Jadi ini menunjukkan keutamaan Ukkasyah bin Mihshan -radhiallahu anhu-.
- Sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Ukkasyah telah mendahuluimu,” termasuk di antara baiknya muamalah beliau kepada para sahabatnya. Beliau tidak mengatakan, “Kamu tidak terpenuhi syarat,” atau “kamu tidak pantas,” dan semacamnya. Hanya saja beliau mengucapkan hal ini untuk mencegah yang lainnya dari meminta. Karena kalau ini dibiarkan maka tentu saja semua orang yang ada di situ dan selainnya akan meminta, sehingga menyebabkan Nabi -alaihishshalatu wassalam- terpaksa harus menolak karena di antara mereka mungkin ada yang tidak memenuhi syarat tapi beliau tidak enak mengatakannya.
Masuk Surga Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
At Tauhid edisi VI/03.
Oleh: Hanif Nur Fauzi
Pembaca yang dimuliakan oleh
Allah ta’ala, kebahagiaan yang hakiki dalam hidup ini adalah ketika
seorang hamba dijauhkan oleh Allah ta’ala dari siksa api neraka dan
ketika Allah memasukkannya ke dalam surga-Nya. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya),
“Barangsiapa yang
dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh
dia telah memperoleh kemenangan, dan bukanlah kehidupan dunia melainkan
kehidupan yang menipu.” (QS. ‘Ali Imran: 185)
Syaikh As Sa’diy rahimahullah
mengatakan, “Orang yang memperoleh kemenangan adalah mereka yang
selamat dari adzab yang pedih, dia bisa menikmati berbagai macam
kenikmatan di surga. Kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata
manusia sebelumnya, belum pernah didengar oleh telinga manusia, dan
belum pernah terlintas di dalam hati manusia.”[1] Demikianlah
seharusnya orientasi kehidupan seorang muslim, menjadikan kebahagiaan
akhirat sebagai puncak cita dan harapannya.
Tauhid, Kunci Kebahagiaan Manusia
Setelah
kita mengetahui bahwa kabahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan
akhirat, yaitu ketika manusia menikmati kenikmatan surga, sudah
selayaknya kita memahami apa sarana yang dapat menghantarkan seseorang
menuju surga dengan berbagai kenikmatan yang ada di dalamnya.
Saudaraku, ketahuilah bahwa
kunci kebahagiaan tersebut adalah tauhid, menyerahkan segala bentuk
ibadah hanya kepada Allah ta’ala semata. Barangsiapa yang dapat
merealisasikan tauhid dalam seluruh perjalanan hidupnya, dan menjauhi
kesyirikan maka sungguh dia adalah orang yang memperoleh kemenangan
yang besar.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Yaitu
orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan dengan
kedzoliman (kesyirikan[2]), mereka lah orang-orang yang mendapat rasa
aman dan mendapatkan petunjuk” (Al An’am:82)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ketika beliau menerangkan hakikat hak Allah kepada
shahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,
“Sesungguhnya
hak Allah yang wajib dipenuhi hambanya adalah hendaklah mereka
beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat kesyirikan sedikit pun,
dan hak hamba yang akan dipenuhi oleh Allah, adalah Allah tidak akan
mengadzab orang-orang yang tidak berbuat kesyirikan”[3]
Syaikh As Sa’diy rahimahullah
menjelaskan bahwa diantara keutamaan orang yang merealisasikan tauhid
adalah terbebasnya ahli tauhid dari kekekalan siksa neraka, bisa jadi
orang tersebut disiksa di neraka untuk menghapus dosa-dosanya, namun
tidak selama-lamanya. Tetapi jika ahli tauhid mampu merealisasikan
tauhid dengan sebenar-benarnya, maka niscaya Allah ta’ala akan menjaga
dirinya dari siksa api neraka secara sempurna.[4]
Kesempurnaan tauhid yang
terpateri dalam hati seorang ahli tauhid akan memerdekakannya dari
penghambaan diri dan ketergantungan hati kepada makhluk, akan
membebaskan diri dari rasa takut dan berharap kepada makhluk. Inilah
hakikat dari kemuliaan seorang manusia.[5]
Hanyalah kepada Allah, seorang ahli tauhid akan menghambakan diri dan menggantungkan hatinya.
Hakikat Merealisasikan Tauhid
Seorang
hamba yang merealisasikan tauhid maknanya adalah mensucikan diri dari
segala cabang-cabang kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan.[6]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan secara ringkas bahwa makna
‘merealisasikan tauhid’ adalah membersihkan diri dari noda-noda
kesyirikan. Ini tidak akan pernah terwujud dalam diri hamba melaikan
terpenuhi tiga perkara:
Al Ilmu (mengetahui makna tauhid),
Al I’tiqod (meyakini kandungan tauhid) dan
Al Inqiyad (tunduk terhadap konsekuensi-konsekuensi tauhid).[7]
Jika
ketiga hal tadi telah terwujud dan terbukti secara nyata pada
seseorang (secara umum) maka masuk surga tanpa hisab menjadi jaminan
bagi dirinya.
Lihatlah Balasan bagi Sang Perealisasi Tauhid
Saudaraku,
diantara balasan orang yang merealisasikan tauhid adalah masuk surga
tanpa hisab dan tanpa adzab. Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-
mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, dalam
hadits yang panjang:
“Telah diperlihatkan kepada
diriku umat-umat manusia. Aku melihat seorang Nabi yang bersamanya
beberapa orang dan bersamanya satu dan dua orang, serta seorang Nabi
yang tidak ada seorang pun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepada
diriku sekelompok manusia yang berjumlah banyak, dan aku pun mengira
bahwa mereka adalah umatku. Tetapi dikatakan kepadaku, ‘Ini adalah Musa
bersama kaumnya’. Lalu tiba-tiba aku melihat sekelompok manusia yang
banyak pula. Kemudian dikatakan kepadaku ini adalah umatmu, dan bersama
mereka ada tujuh puluh ribu orang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab”.
Kemudian beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bangkit dan bergegas masuk ke dalam rumahnya. Maka
para shahabat mulai membicarakan siapakah mereka itu. Di antara mereka
ada yang mengatakan, ‘Mungkin mereka adalah orang-orang yang menjadi
shahabat Rasulullah’. Ada lagi yang mengatakan, ‘Mungkin mereka adalah
orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga mereka
tidak pernah berbuat kesyirikan’. Dan ada di antara mereka yang
menyebutkan kemungkinan lainnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam keluar dan menemui mereka dan menjelaskan, “Mereka adalah
orang-orang tidak meminta diruqyah, tidak meminta diobati dengan cara
kai (menempel luka dengan besi panas), tidak melakukan tathayur,dan
mereka adalah orang-orang yang bertawakal kepada Rabb mereka”. (HR. Bukhari 5705, 6541 dan Muslim 220)
Makna Istirqa’ (Meminta untuk Diruqyah oleh Orang Lain)
Ruqyah
adalah bacaan-bacaan tertentu untuk perlindungan yang dibacakan kepada
seseorang yang menderita penyakit, semisal penyakit demam, penyakit
ayan dan penyakit yang lainnya.[8] Pada asalnya, ruqyah adalah
sebagaimana cara pengobatan pada umumnya. Ada beberapa syarat yang
harus ada agar ruqyah tersebut tergolong ruqyah yang disyariatkan.
Diantara syarat-syarat ruqyah yang disyari’atkan adalah:
(1) Tidak meyakini bahwa ruqyah tersebut mampu menyembuhkan dengan sendirinya, tanpa izin dari Allah ta’ala.
(2)
Tidak mengandung kata-kata yang menyelisihi syariat, semisal
lafadz-lafadz doa kepada selain Allah, meminta bantuan kepada jin dan
yang semisalnya.
(3) Lafadz-lafadz ruqyah hendaklah dapat dipahami maknanya.[9]
Adapun ruqyah yang tidak
memenuhi syarat di atas, maka merupakan ruqyah yang terlarang, bisa
menjadi sarana kesyirikan atau bahkan bisa termasuk ke dalam syirik
besar.
Ibnul Qayyim, menukil perkataan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallahu, menjelaskan bahwa yang
terlarang adalah meminta untuk diruqyah oleh orang lain. Karena pada
diri orang yang meminta diruqyah, terdapat kecondongan dan penyandaran
hati kepada selain Allah ta’ala. Adapun jika kita meruqyah orang lain,
maka hal ini tidak termasuk dalam larangan makruh ini.[10] Sebagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meruqyah[11] diri beliau
sendiri, demikian pula Malaikat Jibril pernah meruqyah beliau[12],
demikian pula para shahabat juga pernah meruqyah.[13]
Makna Pengobatan Kai
Pengobatan
kai adalah pengobatan dengan cara menempelkan besi panas pada luka
dengan tujuan agar darah yang keluar dari luka cepat mengering dan
berhenti.
Ibnul Atsir rahimahullahu
membawakan pendapat bahwa hukum pengobatan kai adalah terlarang jika
digunakan sebagai media pencegahan penyakit, namun hukumnya mubah
ketika ada kebutuhan.[14] Hanya saja, seseorang yang tidak meminta
diobati dengan cara kai, menunjukkan adanya kesempurnaan tawakal kepada
Allah ta’ala.
Makna Tathayur
Ibnu Atsir rahimahullahu dalam kitabnya An Nihayah menjelaskan, tathayur adalah merasa sial terhadap sesuatu,
yang karenanya dia membatalkan niat untuk melakukan aktivitasnya.[15]
Tathayur diambil dari kata ‘thairun’ (Indonesia: burung), karena orang
arab biasa beranggapan sial atau merasa beruntung dengan mengaitkannya
dengan burung. Ketika hendak safar, dalam rangka ‘penunjuk jalan’,
mereka menggertak burung, jika burung terbang ke arah kanan maka mereka
meneruskan perjalanannya, tetapi jika burung ke arah kiri, maka mereka
membatalkan perjalanan mereka.[16]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Thiyarah
adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, tidak
ada seorang pun di antara kita melainkan (dalam hatinya terdapat hal
ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakalnya”[17]
(Thiyarah -dalam bahasa arab- adalah bentuk jamak dari tathayur)
Tathayur adalah perkara yang
terlarang dalam agama Islam, karena tathayur menyebabkan berkurangnya
kemurnian tauhid seseorang. Seseorang yang melakukan tathayur maka dia
telah bertawakal dan menyandarkan hatinya kepada selain Allah ta’ala,
dan dia telah melakukan sebab yang pada hakikatnya tidak ada kaitan dan
hubungannya sama sekali dengan keinginannya.[18]
Tawakal hanya kepada Allah ta’ala Semata
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sifat yang terakhir
dari orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azdab adalah
bertawakal kepada Allah ta’ala. Inilah pangkal dari segalanya. Tawakal
adalah penyandaran hati dengan sebenarnya kepada Allah ta’ala dalam
mewujudkan kebaikan dan dalam menangkal bahaya, dengan diiringi
usaha-usha yang diijinkan dalam syari’at Islam.
Sebab utama yang menghantarkan
seseorang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, adalah adanya
kesempurnaan tauhid pada dirinya. Karena kesempurnaan tauhid dan
penyandaran hati kepada Allah itulah, mereka enggan untuk meminta
ruqyah, meminta di-kay kepada orang lain, karena pada hakikatnya
perbuatan semacam itu sangat besar kemungkinan hilangnya tawakal kepada
Allah ta’ala dalam dirinya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya):
“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (Ath-Tholaq:3).
Tawakal pun Membutuhkan Usaha
Bukanlah
maksud hadits di atas, seseorang tidak perlu berusaha dalam mewujudkan
keinginannya, hanya berpangku tangan menunggu pertolongan Allah
datang. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan[19] bahwa,
tawakal harus memenuhi dua hal, yaitu
(1) Penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah ta’ala,
(2) Melakukan sebab-sebab yang diijinkan dalam syari’at.
Kedua hal tersebut harus
beriringan, tidak boleh seseorang bersandar kepada Allah tanpa ada
usaha sedikit pun, atau melakukan usaha tanpa menyandarkan hati kepada
Allah ta’ala. Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan, ”Barang siapa yang
meniadakan sebab dalam usahanya, maka hal ini menunjukkan kecacatan
tawakalnya, barang siapa yang tidak berusaha maka hanya akan menjadikan
harapannya sebatas angan-angan semata.”[20]
Semoga Allah ta’ala menjadikan
kita sebagai bagian dari barisan muwahhidin (ahli tauhid), yang
mendapatkan janji dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk
surga tanpa adzab dan tanpa hisab. Amiin.
[Hanif Nur Fauzi]
_______________
[1] Taisir Karimirrahman, hal. 159, Cetakan Maktabah Ar Rusyd
[2] Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, riwayat Bukhari no. 3360 dan Muslim no.124
[3] HR. Bukhori, no.2856
[4] Al Qoulul Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy, hal.57
[5] Al Qoulul Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy, hal.60
[6] Fathul Majiid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, hal. 75
[7] Al Qoulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, hal. 91.
[8] An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah
[9] Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 187
[10] Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, Maktabah Syamilah
[11] HR. Bukhari, Kitab At Thibi, Bab Ruqyatun Nabiy, no. 5744
[12] HR. Muslim, Kitab As Salam, Bab At Thibi wal Marodhi war Ruqa, no. 5828
[13] HR. Bukhari, no. 2276, 5007
[14] An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah
[15] An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah
[16] Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, jilid 1, hal. 559
[17] HR. Abu Dawud, no 3912, di shahihkan oleh Syaikh Al Albani
[18] Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,jilid 1, hal. 560
[19] Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, jilid 2, hal. 8
[20] Al Fawa’id, Hakikat At Tawakul wa Darajatuhu, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, cetakan Maktabah Ar Rusyd, hal. 139.