[1] IMAN KEPADA ALLAH
Iman terhadap wujud Allah
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 15
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 15
Iman
terhadap wujud Allah ditopang oleh fitrah, akal sehat, dalil syari’at
dan juga indera. Secara fitrah setiap manusia pasti mengakui bahwa ada
yang menciptakan dirinya, hal itu dia yakini tanpa perlu berpikir
panjang atau pun belajar ilmu tertentu. Tidak ada yang menyimpang dari
keyakinan ini selain orang yang sudah terpengaruh faktor lain yang
menyimpangkannya dari fitrah tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Setiap bayi dilahirkan pasti dalam keadaan di atas
fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia beragama
Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari).
Adapun
secara akal maka sesungguhnya keberadaan makhluk yang ada sejak dahulu
hingga sekarang ini semua menunjukkan pasti ada yang menciptakan
mereka. Tidak mungkin mereka menciptakan dirinya sendiri, atau terjadi
secara tiba-tiba tanpa pencipta. Maka tidak ada kemungkinan selain alam
ini pasti diciptakan oleh Allah ta’ala. Allah berfirman (yang
artinya), “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun yang ada sebelumnya ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri?” (QS. ath-Thur : 35).
Ketika mendengar dibacakannya ayat ini maka Jubair bin Muth’im yang pada saat itu masih kafir mengatakan, “Hampir-hampir saja hatiku terbang, itulah saat pertama kali iman menyentuh dan bersemayam di dalam hatiku.” (HR. Bukhari).
Begitu
pula adanya kitab-kitab suci yang semuanya berbicara tentang Allah,
ini merupakan dalil syari’at tentang keberadaan / wujud Allah.
Sedangkan secara indera adalah kita bisa menyaksikan terkabulnya doa
yang dipanjatkan oleh orang. Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Nuh.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan Nuh, ingatlah ketika dia menyeru (Rabbnya) sebelum itu dan Kami pun mengabulkan doanya.” (QS. al-Anbiya’ : 72).
Demikian pula apa yang
disaksikan oleh umat para nabi berupa mukjizat nabi yang diutus kepada
mereka. Seperti contohnya mukjizat nabi Musa yang membelah lautan
dengan tongkatnya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka Kami
wahyukan kepada Musa pukulkanlah dengan tongkatmu ke laut itu, maka ia
pun terbelah dan setiap sisinya menjadi setinggi gunung yang tinggi.” (QS. asy-Syu’ara’ : 63).
Iman terhadap Rububiyyah Allah
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 19
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 19
Rabb
adalah Dzat yang memiliki kuasa menciptakan, mengatur urusan dan
memerintah. Kita wajib mengimani bahwa tidak ada pencipta, pengatur dan
yang berhak memerintah semua makhluk selain Allah semata. Allah
berfirman (yang artinya), “Ingatlah sesungguhnya menciptakan dan memerintah adalah hak-Nya.” (QS. al-A’raaf : 54).
Allah juga berfirman (yang artinya), “Itulah
Allah Rabb kalian. Sang pemilik kerajaan. Sedangkan sesembahan yang
kalian seru selain-Nya tidaklah menguasai apapun walaupun hanya setipis
kulit ari.” (QS. Fathir : 13).
Tidak ada orang yang mengingkari hal ini kecuali dikarenakan kesombongan dan kecongkakan seperti halnya Fir’aun.
Orang-orang
musyrik pun sudah mengakui hal ini bahwa tidak ada yang menguasai alam
ini dan menciptakan langit dan bumi selain Allah. Allah berfirman
(yang artinya), “Dan sungguh jika kalian tanyakan kepada mereka;
siapakah yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka pasti menjawab;
yang menciptakannya adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui.” (QS. az-Zukhruf : 9).
Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan sungguh jika kalian tanyakan kepada mereka; siapakah yang menciptakan mereka, maka pasti mereka akan mengatakan : Allah…” (QS. az-Zukhruf : 87).
Iman terhadap Uluhiyyah Allah
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 21
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 21
Artinya kita mengimani bahwa hanya Allah sesembahan yang benar dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesembahan kalian adalah sesembahan yang esa. Tidak ada sesembahan selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah : 163).
“Demikian itulah kuasa
Allah, Dia adalah sesembahan yang haq sedangkan segala yang diseru
selain-Nya adalah sesembahan yang batil.” (QS. al-Hajj : 62).
Maka segala sesuatu yang
disembah selain Allah adalah batil. Oleh sebab itu dakwah yang
diserukan oleh para rasul adalah sama yaitu, “Hai kaumku, sembahlah Allah. tidak ada sesembahan yang benar bagi kalian selain Dia.” (QS. al-A’raaf : 59).
Iman terhadap Asma wa Sifat Allah
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 23
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 23
Yaitu
dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang disebutkan oleh
Allah atau rasul-Nya, di dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah sesuai
dengan kemuliaan-Nya, tanpa menyimpangkan maknanya, tanpa menolak, dan
tanpa menentukan bentuk dan caranya, serta tidak disertai dengan
menyerupakannya dengan makhluk. Allah berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura : 11).
Dalam
mengimani hal ini terdapat dua kelompok besar yang menyimpang yaitu
mu’aththilah dan musyabihah. Mu’aththilah menolak nama, sifat ataupun
sebagian darinya dengan alasan bahwa apabila kita menetapkan hal itu
akan menyebabkan terjadinya penyerupaan Allah dengan makhluk. Hal ini
jelas tidak benar karena itu sama saja mengatakan bahwa di dalam
al-Qur’an terdapat pertentangan. Padahal Allah sendiri yang menetapkan
adanya nama atau sifat tersebut. Dan pertentangan ini sangat mustahil
terjadi.
Sedangkan kaum musyabbihah
menetapkan nama dan sifat akan tetapi menyerupakan hakikatnya dengan
nama dan sifat makhluk. Menurut mereka itulah yang dimaksud oleh dalil,
padahal Allah sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang serupa
dengan-Nya. Maka menyerupakan Allah dengan makhluk jelas sebuah
kebatilan, karena sama nama belum tentu hakikatnya sama.
[2] IMAN KEPADA MALAIKAT
Kandungan iman kepada malaikat
Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 27
Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 27
Malaikat
adalah makhluk ghaib yang senantiasa taat beribadah kepada Allah.
Allah menciptakan mereka dari cahaya. Allah menganugerahkan kepada
mereka ketundukan yang penuh terhadap perintah-Nya dan kekuatan yang
hebat sehingga dapat melaksanakannya. Jumlah mereka banyak, tidak ada
yang dapat menghitung semuanya kecuali Allah. Hal itu sebagaimana
diceritakan oleh Nabi dalam hadits Anas yang mengisahkan peristiwa
mi’raj Nabi ke langit bahwa di baitul ma’mur ada tujuh puluh ribu
malaikat yang mengerjakan shalat di sana; apabila mereka sudah keluar
darinya maka mereka tidak lagi kembali (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengimani malaikat mengandung :
- Keimanan terhadap wujud/keberadaan mereka
- Mengimani nama-nama mereka yang kita ketahui dan keberadaan mereka meskipun tidak kita ketahui namanya
- Mengimani sifat-sifat mereka yang diberitakan kepada kita
- Mengimani perbuatan atau tugas mereka yang kita ketahui
Buah iman kepada malaikat
Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 29
Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 29
Iman kepada malaikat akan dapat membuahkan manfaat yang agung di antaranya :
- Mengetahui kebesaran Allah ta’ala dan kemahakuasaan-Nya
- Bersyukur kepada Allah atas perhatian-Nya kepada manusia di mana Allah menciptakan malaikat yang menjaga mereka, mencatat amal-amal mereka
- Mencintai ketaatan malaikat terhadap perintah Rabbnya
[3] IMAN KEPADA KITAB-KITAB
Kandungan iman kepada Kitab
Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 32
Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 32
Yang
dimaksud dengan kitab di sini adalah kitab-kitab suci yang Allah
turunkan kepada para rasul-Nya sebagai bukti kasih sayang-Nya kepada
manusia, petunjuk bagi mereka agar mereka bisa mendapatkan kebahagiaan
di dunia dan di akhirat.
Iman kepada kitab-kitab mengandung empat hal :
- Mengimani bahwa kitab-kitab tersebut benar-benar turun dari sisi Allah
- Mengimani nama-nama kitab yang kita ketahui, adapun yang tidak kita ketahui namanya maka kita mengimaninya secara global
- Membenarkan berita yang sahih yang terdapat di dalamnya sebagaimana berita-berita yang terdapat di dalam al-Qur’an dan berita-berita di dalam kitab suci terdahulu yang tidak diubah-ubah atau diselewengkan
- Mengamalkan hukumnya yang belum dihapus oleh al-Qur’an dan merasa ridha dan pasrah kepada ketentuannya, sedangkan pemberlakuan kitab suci terdahulu telah dihapuskan semuanya oleh al-Qur’an
Buah iman kepada Kitab
Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 33
Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 33
Iman kepada kitab membuahkan :
- Menyadari perhatian Allah kepada hamba-hamba-Nya di mana Allah telah menurunkan kitab-kitab kepada masing-masing kaum sebagai petunjuk untuk mereka
- Mengetahui kebijaksanaan Allah dalam menetapkan syari’at-Nya di mana Allah menetapkan syari’at yang sesuai dengan keadaan masing-masing kaum
Iman terhadap al-Qur’an
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafits Tsani hal. 53
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafits Tsani hal. 53
al-Qur’an
adalah kalamullah, lafaz maupun maknanya. Diturunkan dari-Nya, bukan
makhluk. Didengar oleh Jibril dan disampaikan kepada Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian beliau menyampaikannya
kepada para sahabatnya. Itulah yang kita baca dengan lisan kita, yang
ditulis di dalam mushaf, dihafal di dalam dada dan kita dengar dengan
telinga kita. al-Qur’an diturunkan kepada Nabi yang terakhir dan ia
merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan kepada manusia dan
menghapus syari’at-syari’at terdahulu. al-Qur’an yang ada di
tangan-tangan kita itulah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dan ia
akan tetap ada hingga tiba waktunya diangkat di akhir zaman nanti. Dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan tugasnya untuk
menjelaskan al-Qur’an ini dengan ucapan, perbuatan dan ketetapannya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu
al-Qur’an agar kamu jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka mau berpikir.” (QS. an-Nahl : 44).
[4] IMAN KEPADA PARA RASUL
Definisi rasul
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 34
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 34
Secara
bahasa Rasul artinya orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu.
Sedangkan pengertian rasul dalam syari’at adalah orang yang mendapatkan
wahyu dengan syari’at serta diperintahkan untuk menyampaikannya. Rasul
yang pertama adalah Nuh ‘alaihis salam, sedangkan rasul yang terakhir
adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah wahyukan kepadamu al kitab sebagaimana Kami mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi sesudahnya.” (QS. an-Nisaa’ : 163).
Allah juga berfirman (yang artinya),
“Bukanlah Muhammad itu sekedar bapak dari salah seorang dari kalian
akan tetapi dia adalah seorang utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab : 40).
Perbedaan nabi dengan rasul
Kitab Tauhid li Shafits Tsani hal. 61
Kitab Tauhid li Shafits Tsani hal. 61
Nabi
secara istilah adalah seorang lelaki merdeka yang mendapatkan berita
dari Allah ta’ala dengan syari’at terdahulu untuk dia ajarkan kepada
orang-orang di sekelilingnya yang telah menganut syariat terdahulu
tersebut. Adapun rasul adalah lelaki merdeka yang mendapatkan berita
dari Allah dengan syariat serta diprintahkan untuk menyampaikannya
kepada kelompok orang yang tidak mengetahuinya atau kaum yang
menyelisihinya dari kalangan orang-orang yang menjadi sasaran
dakwahnya.
Kenabian merupakan sayrat
kerasulan, sehingga tidak bisa menjadi rasul kecuali nabi. Setiap rasul
adalah nabi dan tidak sebaliknya. Rasul diutus kepada orang yang belum
mengenal agama Allah dan syari’at-Nya atau kepada orang-orang yang
telah mengubah syariat dan agama dalam rangka mengajari dan
mengembalikan mereka kepada ajaran yang benar. Maka rasul adalah hakim
di antara mereka. Sedangkan nabi hanya diutus untuk mendakwahkan
syariat sebelumnya yang sudah ada.
Kandungan iman kepada para Rasul
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 36
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 36
Iman kepada para rasul mengandung beberapa hal :
- Mengimani bahwa risalah mereka adalah haq dari sisi Allah, maka barangsiapa yang mengingkari risalah salah satu saja di antara mereka sama saja dia telah kafir kepada mereka semua. Allah berfirman (yang artinya), “Kaum Nuh mendustakan seluruh rasul.” (QS. asy-Syu’ara’ : 105).
- Mengimani rasul yang kita ketahui namanya, dan apabila tidak kita ketahui maka kita mengimani mereka secara global
- Membenarkan berita yang benar-benar diberitakan oleh mereka
- Mengamalkan syari’at rasul yang diutus kepada kita yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Buah iman kepada para Rasul
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 38
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 38
Iman kepada rasul membuahkan berbagai faidah di antaranya :
- Mengetahui rahmat Allah ta’ala dan perhatian-Nya kepada hamba-hamba-Nya di mana Allah mengutus untuk mereka para rasul yang menunjukkan kepada mereka kepada jalan Allah dan menjelaskan kepada mereka tata cara beribadah kepada-Nya
- Bersyukur kepada Allah atas nikmat yang sangat agung ini
- Mencintai para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam dan mengagungkan mereka, memuji mereka dengan pujian yang sepantasnya karena mereka adalah para utusan Allah yang telah menunaikan dengan baik kewajiban beribadah kepada-Nya serta menyampaikan risalah kepada umat manusia.
Mencintai dan mengagungkan Rasulullah
Kitab Tauhid li Shafits Tsalits hal. 65
Kitab Tauhid li Shafits Tsalits hal. 65
- Wajib bagi setiap orang untuk mencintai Allah, bahkan hal itu tergolong ibadah yang paling agung. Dan salah satu konsekuensi kecintaan kepada Allah adalah kecintaan kepada Rasul. Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada anak dan orang tuanya, dan dari seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).
- Di samping itu kita juga dilarang melakukan perbuatan melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam memuji beliau. Beliau bersabda, “Janganlah kamu memujiku sebagaimana kaum Nashara memuji Isa putera Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah bahwa aku adalah hamba dan utusan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
- Termasuk bentuk pengagungan kepada beliau adalah dengan menjunjung tinggi sunnah-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah ia (Muhammad) berbicara dengan hawa nafsunya, namun itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm : 3-4). Dan kita juga tidak boleh sembarangan membicarakan sahih tidaknya hadits tanpa landasan ilmu.
[5] IMAN KEPADA HARI AKHIR
Kandungan iman kepada hari Akhir
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 40
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 40
Hari
akhir adalah hari tatkala umat manusia dibangkitkan dari kuburnya
untuk dihisab dan dibalas amal-amalnya. Iman kepada hari akhir
mengandung 3 hal :
- Iman akan terjadinya hari kebangkitan; yaitu dihidupkannya orang-orang yang telah mati ketika ditiupnya sangkakala untuk kedua kalinya maka bangkitlah mereka untuk menghadap Allah dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan belum berkhitan.
- Iman terhadap adanya hisab dan pembalasan amal. Setiap orang akan dibalas berdasarkan amalnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari kebijaksanaan Allah ta’ala yang telah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul serta mewajibkan umat manusia untuk menerima dan melaksanakan ajaran mereka, bahkan Allah juga memerintahkan untuk memerangi orang-orang yang menentang rasul-Nya, kalau seandainya setelah itu semua tidak ada balasan dan maka niscaya ini semua merupakan sebuah kesia-siaan yang Allah tentu saja terbebas darinya
- Iman terhadap surga dan neraka. Keduanya merupakan tempat tinggal abadi bagi manusia. Surga adalah negeri yang penuh dengan kenikmatan yang Allah persiapkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Sedangkan neraka adalah negeri yang penuh dengan siksaan yang dipersiapkan oleh Allah bagi orang-orang yang kafir dan zalim.
Fitnah kubur dan siksa kubur
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 44
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 44
Kita juga wajib mengimani segala peristiwa yang terjadi setelah kematian, seperti :
- Ujian di alam kubur. Yaitu pertanyaan kepada mayit setelah ia dikuburkan mengenai siapakah Rabbnya, apa agamanya dan siapa Nabinya. Pada saat itu Allah akan memberikan ketegaran bagi hamba-hamba-Nya yang beriman sehingga ia akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan baik.
- Siksa dan nikmat kubur. Siksa kubur diperuntukkan bagi orang-orang zalim yaitu orang munafik dan orang kafir. Adapun nikmat kubur diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dan tulus lagi jujur
Buah iman kepada hari Akhir
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 46
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 46
Iman kepada hari akhir akan membuahkan :
- Menumbuhkan semangat dalam melakukan ketaatan
- Memunculkan perasaan takut untuk berbuat maksiat
- Menghibur hati seorang mukmin yang mengalami kehilangan sebagian kenikmatan dunia
[6] IMAN KEPADA TAKDIR
Kandungan iman kepada Takdir
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 53
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 53
Iman kepada takdir mencakup empat hal :
- Mengimani bahwa Allah telah mengetahui segala sesuatu baik secara global maupun terperinci, baik yang terkait dengan perbuatan Allah sendiri ataupun perbuatan makhluk
- Mengimani bahwa Allah telah menulis ilmunya di dalam Lauhul mahfuz sejak 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi
- Mengimani bahwa segala kejadian di alam ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak Allah, baik hal itu berkaitan dengan diri-Nya ataupun makhluk
- Mengimani bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini merupakan makhluk Allah, baik itu berupa dzat, sifat maupun gerak-geriknya
Kehendak manusia
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 54
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 54
Manusia
tidak hidup dalam keadaan dipaksa, mereka memiliki pilihan dan
kemampuan. Hal ini ditunjukkan oleh dalil syari’at maupun dalil
kenyataan. Dalil dari syari’at antara lain firman Allah (yang artinya), “Maka baransgiapa yang berkehendak silakan mengambil jalan untuk kembali kepada Rabb-nya.” (QS. an-Naba’ : 39).
Allah juga berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuan kalian.” (QS. at-Taghabun : 16).
Sedangkan dalil kenyataan
menunjukkan bahwa setiap orang menyadari bahwa dirinya mempunyai
kehendak dan kemampuan yang dengan itu dia bisa melakukan sesuatu atau
meninggalkannya.
Buah iman kepada Takdir
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 58
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 58
Iman kepada takdir akan menghasilkan :
- Sikap bersandar kepada Allah dalam melakukan usaha
- Menahan munculnya sikap ujub atau kagum terhadap diri sendiri
- Tenang ketika menghadapi musibah yang menimpa
Macam-macam taqdir
Kitab Tauhid li Shafits Tsani hal. 113
Kitab Tauhid li Shafits Tsani hal. 113
Takdir ada bermacam-macam :
- Takdir umum yang mencakup segala sesuatu yaitu yang sudah Allah tetapkan sejak 50 ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi
- Takdir umri; yaitu takdir yang dituliskan ketika seoang bayi mulai mengawali kehidupannya di dalam rahim ibunya
- Takdir sanawi; yaitu takdir yang dituliskan saat Lailatul Qadar di setiap tahunnya
- Takdir yaumi; yaitu takdir yang dituliskan terjadi pada setiap harinya, baik itu terkait dengan rezeki, hidup maupun matinya seseorang
***
Sumber: http://abumushlih.com/penjelasan-ringkas-rukun-iman.html/
http://faisalchoir.blogspot.sg/2012/01/penjelasan-ringkas-rukun-iman.html