Oleh:Ustadz Kholid Syamhudi
Ketika kekhilafahan Islam dan hukum Islam ditinggalkan, maka banyak
sekali hak dan kewajiban yang terlantar dan disalahartikan. Sikap dan
tindakan yang melanggar syariat dianggap bagian dari syariat, terutama
yang berhubungan dengan orang kafir. Ada yang beranggapan, orang kafir
seluruhnya sama, wajib diperangi, tidak boleh diberi perlindungan dan
keamanan. Sebaliknya, ada juga yang menganggap semua orang kafir itu
memiliki hak-hak yang sama dengan kaum Muslimin. Kedua anggapan ini
tidak bisa dibenarkan. Anggapan pertama akan menyeret kepada perbuatan
zhalim, padahal Islam mengajarkan keadilan dan mengharamkan perbuatan
zhalim kepada siapapun juga. Sedangkan pandangan kedua akan melunturkan
dan mengikis sifat wala’ (loyalitas dan kesetiaan kepada kaum Muslimin)
dan bara’ (berlepas diri dari semua orang kafir) dari hati kaum
Muslimin.
Lalu bagaimanakah seharusnya kita berhubungan dengan orang-orang kafir itu ? Apakah mereka disikapi sama ?
KEINDAHAN DAN KEADILAN ISLAM
Islam melarang umatnya melakukan pembunuhan tanpa alasan yang haq (dibenarkan). Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
"Sesungguhnya barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di
muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya".[al-Mâidah/5:32]
Juga firman-Nya:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan suatu (sebab) yang benar" [al-‘An’âm/6:151]
Kata "jiwa" dalam ayat di atas bersifat umum mencakup jiwa Muslim dan
non muslim. Semuanya haram dibunuh kecuali dengan alasan yang dibenarkan
syariat, misalnya tindak pembunuhan yang dilakukannya. Jika alasan yang
dibenarkan ini ada pada seseorang, maka syariat memperbolehkan
membunuhnya sebagai hukuman atas perbuatan yang dilakukannya. Syariat
tidak pernah memberikan izin, apalagi memerintahkan membunuh satu jiwa
dengan sebab kejahatan yang dilakukan orang lain. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ
"Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain" [al-Isrậ'/17:15]
Inilah Islam, sebuah dîn (ajaran agama) yang dibangun di atas dasar
keadilan dan memerintahkan umatnya untuk senantiasa berbuat adil.
ORANG KAFIR DAN HAK MEREKA.
Para ulama membagi orang kafir menjadi tiga kategori:
1. Orang kafir harbi (al-muhâribîn)
2. Orang kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslimin (ahlu al-‘ahd)
3. Orang kafir ahlu dzimmah (adz-dzimmi)
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan : "Setelah surat Barâ`ah
(at-Taubah) turun, masalah orang kafir terbagi menjadi tiga golongan :
kafir harbi (al-muhâribîn), ahlu al-‘ahd dan ahlu adz-dzimmah.[1]
KAFIR HARBI.
Orang kafir harbi adalah seluruh orang musyrik dan Ahli kitab yang boleh
diperangi atau semua orang kafir yang menampakkan permusuhan dan
menyerang kaum Muslimin.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimîn rahimahullah menyatakan : "Kafir
harbi tidak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan
pemeliharaan dari kaum Muslimin." [2]
Mereka adalah orang kafir asli yang diperangi Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي
دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ
عَلَى اللَّهِ
"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga bersaksi bahwa tidak
ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka
telah melakukannya, berarti mereka telah menjaga jiwa dan harta mereka
dariku (Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) kecuali dengan
(alasan-red) hak Islam serta hisab mereka diserahkan kepada Allah" [HR
al-Bukhâri]
Golongan ini diperangi, apabila ia atau negaranya telah menampakkan atau
menyatakan perang terhadap kaum Muslimin atau kaum Muslimin terlebih
dahulu mengumumkan perang terhadap mereka setelah orang-orang kafir ini
menolak ajakan kepada Islam.
Perlu diketahui, tidak semua kafir harbi diperangi. Dalam banyak hadits,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang membunuh orang yang
tidak ikut perang seperti anak-anak, wanita, orang-orang jompo, lumpuh,
banci, pendeta dan orang buta. Kemudian Syaikh Muhammad bin Shâlih
al-‘Utsaimîn rahimahullah menjelaskan bahwa tujuh golongan ini tidak
boleh dibunuh kecuali dengan salah satu dari tiga sebab berikut :
a. Mereka memiliki peran pemikiran dan pengaturan strategi
b. Apabila mereka ikut berperang
c. Memberikan dorongan semangat kepada para tentara musuh untuk berperang.[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: "Apabila hukum
asal dari peperangan yang disyariatkan itu adalah jihad dan tujuannya
adalah menjadikan agama ini seluruhnya untuk Allah Azza wa Jalla dan
meninggikan kalimat Allah Azza wa Jalla sehingga menjadi yang tertinggi,
maka orang yang menghalang-halangi harus diperangi. Sementara orang
yang tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi atau berperang, seperti
wanita, anak-anak, pendeta (rahib), orang jompo, buta dan lumpuh serta
sejenisnya, mereka ini tidak boleh dibunuh menurut jumhur Ulama, kecuali
jika mereka ikut andil dalam peperangan, baik dengan perkataan atau
perbuatannya. Walaupun sebagian Ulama ada yang memandang boleh membunuh
secara keseluruhan disebabkan kekufuran mereka semata kecuali wanita dan
anak-anak karena mereka adalah harta (ghanimah) bagi kaum Muslimin.
(Tapi) pendapat yang benar adalah pendapat pertama.[5]
ORANG KAFIR HARBI YANG MENDAPATKAN JAMINAN KEAMANAN
Golongan ini terbagi menjadi dua yaitu yang minta suaka atau
perlindungan keamanan (al-musta`min) dan yang memiliki perjanjian damai
yang disepakati (al-mu’âhad).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah menyatakan: "al-musta’minûn memiliki
hak mendapat perlindungan dari kaum Muslimin dalam waktu dan tempat yang
telah ditentukan, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ
"Dan jika salah seorang kaum musyirikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah,
kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya" [at-Taubah/9:6]
Sedangkan al-mu’âhad, mereka berhak mendapatkan pelaksanaan perjanjian
dari kita dalam waktu yang sudah disepakati, selama mereka tetap
berpegang pada janji mereka tanpa menyalahinya sedikitpun, tidak
membantu musuh yang menyerang kita serta tidak mencela agama kita. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ
يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا
إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَّقِينَ
"Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan
mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu
dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka
terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa" [at-Taubah/9:4]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي
دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ ۙ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ
"Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan
mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang
kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak
dapat dipegang janjinya" [at-Taubah/9:12] [6]
Tentang pemberian keamanan ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَذِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ
"Perlindungan kaum Muslimin (terhadap orang kafir) adalah sama walaupun
jaminan itu diberikan oleh kaum Muslimin yang paling rendah" [7]
Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa hak perlindungan kepada non
Muslim boleh diberikan oleh seorang Muslim. Apabila syarat-syarat
pemberian perlindungan telah terpenuhi, maka perlindungan yang diberikan
oleh seorang Muslim memiliki kekuatan yang sama dengan perlindungan
yang diberikan penguasa muslim. Atas dasar ini, maka pemberian
perlindungan seorang Muslim secara pribadi atau penguasa Muslim kepada
orang kafir baik Kristen ataupun Yahudi adalah sah. Sehingga seluruh
kaum Muslimin dari penduduk negara tersebut tertuntut untuk menaatinya.
Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
kepada utusan musuh Islam. Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan : "Dua
utusan Musailamah al-Kadzdzâb datang membawa surat Musailamah
al-Kadzdzâb kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka
adalah ‘Abdullah bin an-Nawâhah dan ibnu Atsâl. Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam berkata kepada keduanya: “Seandainya bukan karena utusan itu
tidak dibunuh, maka tentulah aku akan memenggal leher kalian berdua!”
[8]
Ibnul Qayyim rahimahullah menambahkan lagi, “Di antara petunjuk
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tidak menahan utusan
apabila ia sudah memilih Islam. Penguasa kaum Muslimin tidak boleh
menghalangi utusan tersebut untuk kembali ke kaumnya, bahkan penguasa
kaum Muslimin harus mengembalikannya kepada kaum yang mengutusnya.
Sebagaimana dijelaskan Abu Râfi’ dalam pernyataan beliau Radhiyallahu
'anhu : "Kaum Quraisy mengutusku menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Ketika aku telah menemui beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam, Islam masuk ke hatiku. Lalu aku berkata : Wahai Rasulullah, saya
tidak ingin kembali kepada mereka." Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam menanggapi : "Aku tidak pernah melanggar janji dan menahan
utusan. Kembalilah kepada mereka! Apabila yang ada di hatimu sekarang
ini masih terus ada, maka kembalilah (kepada kami-red)”! .[9,10]
Oleh karena itu, dilarang membunuh dan mengganggu orang kafir yang masuk
negara Islam dengan perlindungan dan perjanjian, seperti wisatawan
asing, utusan dan duta besar yang ditempatkan di negara Islam. Karena,
mereka masuk dengan visa dan perjanjian antar negara. Syaikh Shâlih bin
Fauzân Ali Fauzân hafizhahullâh – salah seorang anggota Dewan Ulama
Besar Saudi Arabia - menyatakan : "Apabila kita mengundang mereka untuk
datang atau kita berikan perlindungan (al-amân), maka kita tidak boleh
mencelakakan atau merugikan mereka. Kita wajib berlaku adil hingga
mereka pergi dan menyelesaikan perjanjian mereka serta pulang ke negara
mereka. Karena mereka masuk dengan perlindungan dan kita yang meminta
dia untuk datang. Karena itulah, kita wajib memperlakukan mereka dengan
adil, tidak menzhalimi mereka serta wajib memberikan hak-hak mereka.
Sedangkan dalam masalah cinta, kita tidak boleh mencintai mereka. Namun
kebencian kita kepada mereka tidak boleh menyeret kita untuk menzhalimi
mereka atau mengurangi sedikit pun hak mereka atau mengganggu mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada taqwa" [al-Mâidah/5:8]
Namun di masa-masa yang akan datang, kita tidak mendatangkan mereka dan
menggantikannya dengan para pekerja dari saudara-saudara kita kaum
Muslimin. [11]
AHLI DZIMMAH
Golongan ketiga yaitu ahli dzimmah. Golongan inilah yang paling banyak
memiliki hak atas kaum Muslimin dibandingkan dengan golongan sebelumnya.
Karena mereka hidup di negara Islam dan di bawah perlindungan dan
penjagaan kaum Muslimin dengan sebab upeti (jiz-yah) yang mereka
bayarkan.
Dzimmah dalam pengertian para ulama syariat adalah membiarkan sebagian
orang kafir berada dalam kekufurannya dengan syarat membayar jizyah
(upeti) dan komitmen dengan hukum-hukum agama.[12]
Akad dzimmah ini diperbolehkan untuk Ahli kitab dan orang Majusi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا
يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ
يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
pada hari Kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk".[at-Taubah/9:29]
Dalam ayat di atas, jelaslah bahwa jizyah diambil dari ahli kitab yaitu
Yahudi dan Nashrâni. Sedangakan orang Majusi juga ditariki jizyah,
dengan dasar hadits ‘Abdurahman bin ‘Auf Radhiyallahu 'anhu yang
menyatakan :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَهَا مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengambil jizyah dari Majusi Hajar".[13]
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan : "Para Ulama ahli fikih telah
berijma’ bahwa jizyah (upeti) diambil dari Ahli kitab dan orang dari
Majusi.[14]
HUKUM SEPUTAR AHLI DZIMMAH
Akad ini hanya boleh dilakukan oleh pemerintah atau wakilnya, seperti
para panglima perang atau orang yang memang ditugaskan menangani hal
tersebut. Karena akad dzimmah banyak memiliki konsekwensi hukum, berbeda
dengan pemberian jaminan keamanan (al-amân). Disamping juga, akad
dzimmah ini bersifat terus menerus dan tidak terbatas oleh waktu
tertentu.
Akad ini diwujudkan oleh pemerintah Islam apabila memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Ahli Dzimmah komitmen dan terus membayar upeti (jizyah) setiap tahun.
b. Mereka tidak boleh menjelek-jelekkan Islam sedikit pun
c. Tidak melakukan sesuatu yang merugikan dan membahayakan kaum Muslimin.
d. Mereka tunduk dengan semua aturan dan hukum Islam [15]
Diantara konsekwensi akad dzimmah ini adalah: [16]
1. Dilarang membunuh, menyakiti dan mengambil harta mereka dengan semena-mena.
2. Wajib bagi pemerintah kaum Muslimin untuk menjaga dan melindungi mereka serta tidak mengganggu mereka.
3. Wajib bagi pemerintah kaum Muslimin untuk menerapkan hukum Islam pada jiwa, harta dan kehormatan mereka.
4. Wajib bagi pemerintah Islam untuk menegakkan had (hukuman) atas mereka dalam semua yang mereka yakini haram.
5. Wajib bagi ahli dzimmah untuk tampil beda dengan kaum Muslimin dalam
berpakaian dan tidak boleh menampakkan sesuatu yang dianggap sebagai
kemungkaran dalam Islam, meskipun sedikit atau menampakkan sesuatu yang
menjadi syiar agama mereka seperti salib dan sebagainya.
6. Kaum Muslimin dilarang menyerupai mereka (at-tasyabbuh) dan tidak
boleh berdiri menyambut mereka serta mendahulukan mereka untuk berbicara
di depan majelis kaum Muslimin.
7. Kaum Muslimin dilarang mengucapkan salam terlebih dahulu kepada
mereka, mengucapkan selamat kepada hari raya mereka dan bertakziyah
kepada mereka
8. Kaum Muslimin diperbolehkan menjenguk ahli dzimmah yang sakit untuk satu kemaslahatan. (al-mashlahat ar-râjihah)
Demikian sekilas tentang pengelompokan orang-orang kafir dan hak-hak
mereka dalam pemerintahan Islam. Mudah-mudahan bermanfaat. Wabillahi
taufiq.
Referensi:
1. Ahkâm Ahli Dzimmah, Ibnul Qayyim, Tahqîq Yusuf ahmad al-Bakri dan Syakir Taufiq, cetakan pertama 1418 H, penerbit Ramâdi
2. as-Siyâsah asy-Syar’iyah Fi Ishlâh ar-Râ’i wa ar-Râ’iyah, Ibnu
Taimiyah. Tahqîq Abdullah bin Muhammad al-Maghribi, cetakan pertama
tahun 1406 H, Dâr al-Arqâm
3. Syarhu al-Mumti’ ‘alâ Zâd al-Mustaqni’ , Syaikh Muhammad bin Shâlih
al-Utsaimîn. Tahqîq Khâlid bin Ali al-Musyaiqih, cetakan pertama tahun
1417 H , Muassasah Aasâm.
4. Huqûqun Da’at Ilaihâ al-Fithrah Wa Qarrarahâ asy-Syari’ah, Syaikh
Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, cetakan : Pertama, tahun 1427 H ,
Madâr al-Wathan
5. Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, Dirâsât Mu’asharah Fi al-Aqîdah wa
al-Ahkâm wa al-Adâb, Abdurrahman bin Abdilkarim al-‘Ubaid, Jum’iyah Ihyâ
at-Turâts
6. Zâd al-Ma’âd Fi Hadyi Khairil ‘Ibâd, Ibnul Qayyim, Tahqîq Syu’aib
al-Arnauth dan Abdil Qadir al-Arna`uth. Cetakan ke 2 tahun 1421 H ,
Muassasah ar-Risâlah.
7. Dan lain-lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/Shafar 1430H/2009.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Zâd al-Ma’âd (3/145)
[2]. Huqûq Da’at Ilaihâ al-Fithrah Wa Qarrarahâ asy-Syari’at, Ibnu ‘Utsaimîn hal 16
[3]. Lihat matan Zâd al-Mustaqni’ dalam kitab Syarhu al-Mumti’ 8/27.
[4]. Lihat Syarhu al-Mumti’ 8/27 secara ringkas.
[5]. as-Siyâsah asy-Syar’iyyah Fî Islâhi ar-Râ’i wa ar-Râ’iyah, Ibnu Taimiyah hlm. 165-166
[6]. Huqûqun Da’at Ilaihâ al-Fithrah, hlm. 26
[7]. HR Muslim no. 2344
[8]. HR Abu Daud no. 2761 dan dinilai hasan lighairihi oleh Syaikh Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqîq Zâd al-Ma’âd (3/126)
[9]. HR Imam Muslim no. 1787
[10]. Zâd al-Ma’âd (3/127)
[11]. al-Muntaqâ` min Fatâwâ Syaikh Shâlih al-Fauzân (1/252)
[12]. Raudh al-Murbi’ (4/303)
[13]. HR al-Bukhâri no. 3157
[14]. Ahkâm Ahli adz-Dzimmah, Ibnu al-Qayyim (1/79)
[15]. Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, hlm. 449
[16]. Diambil dari Huqûqun Da’at Ilaihâ al-Fithrah, hlm. 26 dan Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, hlm. 449-450
http://almanhaj.or.id/content/2569/slash/0/apakah-semua-orang-kafir-sama/