Pertanyaan.
Syaikh Dr Muhammad bin Musa alu Nashr ditanya : Apakah orang-orang kafir
(Yahudi dan Nashrani) yang sekarang menetap di Indonesia termasuk
musta’man (dilindungi) sehingga tidak boleh dibunuh?
Jawaban.
Setiap orang kafir yang tinggal di negara-negara Islam dan ia tidak
memerangi atau menjajah, masuk ke dalam negeri itu dengan visa resmi dan
ijin dari kepala negara Islam tersebut, maka ia adalah musta’man
(dilindungi) dan tidak boleh disakiti (dilanggar hak-haknya). Bahkan
sekalipun negara asalnya memerangi kaum Muslimin. Karena melanggar
hak-haknya (dengan mengganggunya, menyakitinya, atau bahkan membunuhnya,
Red), berarti menentang (atau menantang, Red) kepala negara (Islam)
tersebut, mengganggu stabilitas, keamanan dan ketertiban negara (Islam)
tersebut.
Orang kafir ini telah masuk ke dalam negara Islam dengan visa. Sedangkan
visa merupakan perjanjian keamanan. Maksudnya ialah, ia dalam
perlindungan dan keamanan. Maka, ia tidak boleh dilanggar hak-haknya,
baik terhadap hartanya, darahnya, maupun kehormatannya.
MAKNA AYAT AL MAIDAH : 44
Pertanyaan.
Syaikh Dr Muhammad bin Musa alu Nashr ditanya : Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
...وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir – QS al Maidah 44.
Bagaimana maksud ayat ini?
Jawaban.
Ada tiga ayat di dalam al Qur`an yang berkaitan dengan (hukum) orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah.
Pertama : Adalah ayat yang baru dibacakan tadi.
Kedua : Ayat :
...وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ.
Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim. [al Maidah : 45]
Dan ayat ketiga,
... وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.
Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq. [al Maidah : 47].
Seorang hakim (pemimpin, Red) yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah (berada dalam dua kondisi).
Keadaan Pertama : Ia menentang dan mengingkari untuk berhukum dengan apa
yang diturunkan Allah. Misalnya, ia tidak menganggap wajibnya berhukum
dengan hukum syari’at. Atau ia menilai bahwa hukum-hukum buatan manusia
lebih utama (dan lebih baik, Red) daripada hukum syari’at. Atau ia
berpandapat bahwa hukum syari’at tidak lagi relevan pada zaman ini. Atau
ia berkeyakinan, bahwa hukum syari’at dan hukum-hukum buatan manusia
adalah sama derajatnya. Maka, orang ini adalah kafir murtad (keluar dari
keislamannya, Red).
Keadaan Kedua : (Yaitu) jika ia tidak berhukum dengan hukum Allah
disebabkan kelemahan, rasa takut, dan hal-hal semisal lainnya yang
menghalanginya dari berhukum dengan hukum Allah, sedangkan ia masih
berkeyakinan bahwa hukum syari’at adalah yang benar dan tetap relevan
pada semua tempat dan zaman. Namun, karena ia terpaksa dan terkalahkan,
seperti seorang qadhi (hakim) yang terpaksa mendapat suap, atau seorang
qadhi (hakim) yang cenderung mendukung salah satu dari kedua belah
pihak, dan akhirnya ia menghukumi dan membela orang yang ia pilih karena
hawa nafsunya, maka orang semacam ini tidak kafir dengan kekufuran yang
besar (yang mengeluarkannya dari Islam, Red), akan tetapi ini adalah
dosa besar.
Berhukum dengan selain hukum Allah adalah dosa besar dan musibah. Ini
salah satu sebab kehinaan (umat Islam), kerendahan, dan sebab
berkuasanya musuh-musuh (Islam).
Jadi, maksud ke tiga ayat di atas, yaitu “barangsiapa yang tidak
memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir… orang-orang yang zhalim… orang-orang yang
fasiq” adalah, kekafiran di bawah kekafiran (tidak mengeluarkan
pelakunya dari Islam-red). Jika ia menganggap halal untuk tidak berhukum
dengan hukum Allah, atau ia mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum
syari’at ini, seperti yang saya sebutkan tadi, maka ia kafir murtad. Dan
hal ini, mewajibkan kaum Muslimin untuk menggulingkannya dari tampuk
kepemimpinan, jika mereka mampu untuk melakukannya.
Namun jika ia tidak mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum syari’at
ini, dan tidak menganggap halal untuk berhukum dengan hukum-hukum buatan
manusia, maka ia adalah fasiq, bermaksiat, dan berdosa. Kekafirannya
(adalah) kekafiran kecil, kufrun ‘amali, bukan kekafiran yang
mengeluarkannya dari Islam, (bukan kekafiran) yang mewajibkan kaum
Muslimin untuk menggulingkannya dari kekuasaan dan memeranginya dengan
pedang.
Demikianlah perincian (dari jawaban di atas) yang telah diterangkan oleh
para ulama. Dan inilah yang telah ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu 'anhu terhadap ayat-ayat di atas.
[Syaikh Dr. Muhammad bin Musa alu an Nashr -hafizhahulllah- dalam
muhadharah di Masjid al Karim, Pabelan, Sukoharjo, Surakarta, Ahad, 19
Februari 2006]
http://almanhaj.or.id/content/1749/slash/0/status-orang-kafir-di-negeri-muslim-hukum-menjadi-pegawai-negeri/
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.