Senin, 10 Maret 2014

Hukum Aqiqah Ketika Sudah Dewasa

Assalamu’alaykum ustadz. Ana mau tanya, ada seorang anak yang sudah baligh, yang dulunya anak tersebut oleh orang tuanya belum diaqiqahi, kemudian setelah baligh orang tuanya ingin mengaqiqahi. Apakah hal ini diperbolehkan dalam syariat Islam? Kemudian apakah hukumnya wajib bagi orang tua untuk mengaqiqahi anaknya? Jazaakallahu khairan ustadz…


Wachid M.A.I
Alamat: Cangkringan, Sleman, DIY
Email: gusxxxx@yahoo.co.id

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal menjawab:
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Mengenai permasalahan ini, kita bisa mengambil pelajaran dari dua fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berikut dalam Liqo-at Al Bab Al Maftuh. Semoga bermanfaat.

[Pertama]

Soal:
Ada seorang ayah yang memiliki sepuluh anak perempuan dan mereka semua belum diaqiqohi, namun sekarang mereka sudah berkeluarga. Apa yang mesti dilakukan oleh anak-anaknya? Apa sebenarnya hukum aqiqah? Apakah betul apabila seorang anak tidak diaqiqohi, maka ia tidak akan memberi syafaat pada orang tuanya?

Jawab:
Hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad. Aqiqah bagi anak laki-laki dengan dua ekor kambing, sedangkan bagi wanita dengan seekor kambing. Apabila mencukupkan diri dengan seekor kambing bagi anak laki-laki, itu juga diperbolehkan.[1] Anjuran aqiqah ini menjadi kewajiban ayah (yang menanggung nafkah anak, pen). Apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah (misalnya tujuh hari kelahiran, pen), orang tua dalam keadaan faqir (tidak mampu), maka ia tidak diperintahkan untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16). Namun apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah, orang tua dalam keadaan berkecukupan, maka aqiqah masih tetap jadi kewajiban ayah, bukan ibu dan bukan pula anaknya.
[Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 214, no. 6]

[Kedua]

Soal:
Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia tetap dianjurkan untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih dibolehkannya aqiqah?

Jawab:
Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah (yaitu pada hari ke-7, 14, atau 21 kelahiran, pen), maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya. Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.

Sedangkan jika orang tuanya mampu ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.

Adapun waktu utama aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran, kemudian hari keempatbelas kelahiran, kemudian hari keduapuluh satu kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat kelipatan tujuh hari.

Aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing. Namun anak laki-laki boleh juga dengan satu ekor kambing. Sedangkan aqiqah untuk anak perempuan dengan satu ekor kambing dan lebih utama tidak menambahnya dari jumlah ini.

[Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 234, no. 6]

Pelajaran Penting Seputar Aqiqah

Hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad dan seharusnya tidak ditinggalkan oleh orang yang mampu melakukannya.

Aqiqah bagi anak laki-laki afdholnya dengan dua ekor kambing, namun dengan seekor kambing juga dibolehkan. Sedangkan aqiqah bagi anak perempuan adalah dengan seekor kambing.

Waktu utama aqiqah adalah hari ke-7 kelahiran, kemudian hari ke-14 kelahiran, kemudian hari ke-21 kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat hari kelipatan tujuh. Pendapat ini adalah pendapat ulama Hambali, namun dinilai lemah oleh ulama Malikiyah. Jadi, jika aqiqah dilaksanakan sebelum atau setelah waktu tadi sebenarnya diperbolehkan. Karena yg penting adalah aqiqahnya dilaksanakan. (LihatShahih Fiqih Sunnah, 2/383)

Aqiqah asalnya menjadi beban ayah selaku pemberi nafkah. Aqiqah ditunaikan dari harta ayah, bukan dari harta anak. Orang lain tidak boleh melaksanakan aqiqah selain melalui izin ayah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)

Imam Asy Syafi’i mensyaratkan bahwa yang dianjurkan aqiqah adalah orang yang mampu. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)

Apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan tidak mampu, maka aqiqah menjadi gugur, walaupun nanti beberapa waktu kemudian orang tua menjadi kaya. Sebaliknya apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan kaya, maka orang tua tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah dewasa.

Imam Asy Syafi’i memiliki pendapat bahwa aqiqah tetap dianjurkan walaupun diakhirkan. Namun disarankan agar tidak diakhirkan hingga usia baligh. Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, maka kewajiban orang tua menjadi gugur. Akan tetapi ketika itu, anak punya pilihan, boleh mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)

Perhitungan hari ke-7 kelahiran, hari pertamanya dihitung mulai dari hari kelahiran. Misalnya si bayi lahir pada hari Senin, maka hari ke-7 kelahiran adalah hari Ahad. Berarti hari Ahad adalah hari pelaksanaan aqiqah. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]

Pendapat yang menyatakan, “Jika seseorang anak tidak diaqiqahi, maka ia tidak akan memberi syafaat kepada orang tuanya pada hari kiamat nanti”, ini adalah pendapat yang lemah sebagaimana dilemahkan oleh Ibnul Qayyim. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]

Demikian pembahasan ringkas mengenai aqiqah. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel UstadzKholid.Com, juga dipublikasikan di Rumaysho.Com

http://faisalchoir.blogspot.com/2011/12/hukum-aqiqah-ketika-sudah-dewasa.html



Hukum Akikah Ketika Sudah Dewasa

Bismillah, Assalamau’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Ustadz, saya mau bertanya mengenai Akikah.
Apabila sewaktu kecil belum diakikahi, apakah setelah besar harus diakikahkan juga? Bagaimana hukumnya jika akikah tersebut dilakukan ketika telah dewasa??
Terimakasih atas jawabanya.
Nafeesa 

Wa ‘alaikumussalam

Akikah Untuk Diri Sendiri Setelah Dewasa

Bismillah
Pertama, akikah hukumnya sunah muakkad (ditekankan) menurut pendapat yang lebih kuat. Dan yang mendapatkan perintah adalah bapak. Karena itu, tidak wajib bagi ibunya atau anak yang diakikahi untuk menunaikannya.
Jika Akikah belum ditunaikan, sunah akikah tidak gugur, meskipun si anak sudah balig. Apabila seorang bapak sudah mampu untuk melaksanakan akikah, maka dia dianjurkan untuk memberikan akikah bagi anaknya yang belum diakikahi tersebut.
Kedua, jika ada anak yang belum diakikahi bapaknya, apakah si anak dibolehkan untuk mengakikahi diri sendiri?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang lebih kuat, dia dianjurkan untuk melakukan akikah.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Jika dia belum diakikahi sama sekali, kemudian balig dan telah bekerja, maka dia tidak wajib untuk mengakikahi dirinya sendiri.”
Imam Ahmad ditanya tentang masalah ini, ia menjawab, “Itu adalah kewajiban orang tua, artinya tidak wajib mengakikahi diri sendiri. Karena yang lebih sesuai sunah adalah dibebankan kepada orang lain (bapak). Sementara Imam Atha dan Hasan Al-Bashri mengatakan, “Dia boleh mengakikahi diri sendiri, karena akikah itu dianjurkan baginya, dan dia tergadaikan dengan akikahnya. Karena itu, dia dianjurkan untuk membebaskan dirinya.”
Sementara menurut pendapat kami, akikah disyariatkan untuk dilakukan bapak. Oleh karena itu, orang lain tidak perlu menggantikannya….” (Al-Mughni, 9:364).
Ibnul Qayim mengatakan, “Bab, hukum untuk orang yang belum diakikahi bapaknya, apakah dia boleh mengakikahi diri sendiri setelah balig?” Al-Khalal mengatakan, “Anjuran bagi orang yang belum diakikahi di waktu kecil, agar mengakikahi diri sendiri setelah dewasa.” Kemudian ia menyebutkan kumpulan tanya jawab dengan Imam Ahmad dari Ismail bin Sa’id Al-Syalinji, ia mengatakan, “Saya betranya kepada Ahmad tentang orang yang diberi tahu bapaknya bahwa dia belum diakikahi. Bolehkah mengakikahi diri sendiri?” Imam Ahmad menjawab, “Itu adalah kewajiban bapak.” Dalam kitab Al-Masail karya Al-Maimuni, ia bertanya kepada Imam Ahmad, “Jika orang belum diakikahi, apakah boleh dia akikah untuk diri sendiri ketika dewasa?” Kemudian ia menyebutkan riwayat akikah untuk orang dewasa dan ia dhaifkan. Saya melihat bahwasanya Imam Ahmad menganggap baik, jika belum diakikahi waktu kecil agar melakukan akikah setelah dewasa. Imam Ahmad mengatakan, “Jika ada orang yang melaksanakannya, saya tidak membencinya.”
Abdul Malik pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “Bolehkah dia berakikah ketika dewasa?” Ia menjawab, “Saya belum pernah mendengar hadis tentang akikah ketika dewasa sama sekali.” Abdul Malik bertanya lagi, “Dulu bapaknya tidak punya, kemudian setelah kaya, dia tidak ingin membiarkan anaknya sampai dia akikahi?” Imam Ahmad menjawab, “Saya tidak tahu. Saya belum mendengar hadis tentang akikah ketika dewasa sama sekali.” kemudian Imam Ahmad mengatakan, “Siapa yang melakukannya maka itu baik, dan ada sebagian ulama yang mewajibkannya.” (Tuhfatul maudud, Hal. 87 – 88)
Setelah membawakan keterangan di atas, Syekh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan, “Pendapat pertama yang lebih utama, yaitu dianjurkan untuk melakukan akikah untuk diri sendiri. Karena akikah sunah yang sangat ditekankan. Bilamana orang tua anak tidak melaksanakannya, disyariatkan untuk melaksanakan akikah tersebut jika telah mampu. Ini berdasarkan keumuman banyak hadis, diantaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى
“Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelih pada hari ketujuh, dicukur, dan diberi nama.”
Diriwayatkan Imam Ahamd, Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Majah, dari Samurah bin Jundub radliallahu ‘anhu dengan sanad yang shahih.
Termasuk juga hadis Ummu Kurzin, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan untuk memberikan akikah bagi anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan dengan satu kambing. Hadis ini diriwayatkan Imam Ahamd, Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Majah. Demikian pula Tirmudzi meriwayatkan yang semisal dari Aisyah. Dan ini tidak hanya ditujukan kepada bapak, sehingga mencakup anak, ibu, atau yang lainnya, yang masih kerabat bayi tersebut.”
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 26:266)
Referensi: http://www.islamqa.com/ar/ref/96462
http://www.konsultasisyariah.com/hukum-akikah-ketika-sudah-dewasa/#