Senin, 01 September 2014

Menjadi Musyrik Gara-Gara Taklid

Allah ta’ala berfirman,

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلٰهًا وَاحِدًا لَّا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka -ahli kitab- menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai sesembahan selain Allah, demikian juga al-Masih putra Maryam. Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali agar beribadah kepada sesembahan yang satu, tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Dia. Maha suci Dia dari perbuatan syirik yang mereka lakukan.” (QS. at-Taubah: 31)

Ayat yang mulia ini mengandung banyak pelajaran berharga, di antaranya:

1. Ayat ini menunjukkan bahwa taklid bisa menyeret pelakunya ke jurang kemusyrikan

2. Ketaatan adalah ibadah. Syahadat la ilaha illallah mengharuskan seorang muslim untuk mengesakan Allah dalam hal ketaatan serta menjadikan Rasul sebagai satu-satunya panutan, orang yang menaati Rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah (lihat al-Jadid, hal. 75). 

Oleh sebab itu menaati makhluk dalam bermaksiat kepada Allah merupakan bentuk ibadah kepada makhluk tersebut (lihat al-Jadid, hal. 337)

3. Ayat ini menunjukkan bahwa makna ibadah itu luas, tidak hanya sujud dan semacamnya. Namun ibadah itu juga bisa berbentuk ketaatan (al-Mulakhash, hal. 246). 

Karena yang dimaksud menjadikan pendeta dan rahib sebagai sesembahan di dalam ayat ini adalah menaati mereka dalam memutarbalikkan hukum Allah, sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat Tirmidzi dan dihasankannya dari Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu bahwa ketika itu dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini, maka Adi bin Hatim -yang dulunya Nasrani- berkata, “Sesungguhnya dahulu kami tidak menyembah mereka.” Maka Nabi menjawab, “Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah kemudian kalian pun ikut mengharamkannya dan mereka juga menghalalkan apa yang diharamkan Allah kemudian kalian ikut menghalalkannya?”. Adi menjawab, “Benar.” Nabi bersabda, “Itulah bentuk ibadah kepada mereka.” (lihat al-Jadid, hal. 336)

4. Ayat ini dengan hadits yang menafsirkannya menunjukkan bahwa menetapkan halal dan haram adalah hak Allah ta’ala, bukan wewenang manusia. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan saja. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- berbicara dengan hawa nafsunya akan tetapi apa yang diucapkannya adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS, an-Najm: 3-4). Sehingga ayat ini mengandung bantahan bagi orang-orang yang  mengangkat sekutu bagi Allah dalam hal penetapan hukum/pembuatan syari’at. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mengatur bagi mereka sesuatu dalam urusan agama yang tidak diijinkan oleh Allah.” (QS. asy-Syura: 21) (lihat Kitab at-Tauhid li Shaffil Awwal, hal. 53-54)

5. Ayat ini menunjukkan bahwa syirik itu bisa berupa syirik dalam hal ketaatan  (al-Mulakhash, hal. 246)

6. Menaati ulama dan ahli ibadah untuk bermaksiat dan melakukan kedurhakaan kepada Allah merupakan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah, oleh sebab itulah Allah menyebut mereka ‘telah menjadikan ulama dan ahli ibadah itu sebagai sesembahan selain Allah’. Hal ini tidak hanya menimpa ahli kitab, namun juga menimpa umat ini, sebagaimana realita yang ada di tengah-tengah kita. Perbuatan ini tergolong dosa syirik akbar yang bertolak belakang dengan ajaran tauhid yang terkandung dalam syahadat la ilaha illallah (lihat Fath al-Majid, hal. 96-97 dan 378 cet. Dar al-Hadits). 

Orang yang melakukannya dihukumi musyrik jika dia benar-benar mengetahui bahwa apa yang dia ikuti itu menyelisihi syari’at Allah namun dia tetap nekat mengikutinya (lihat al-Mulakhash, hal. 246)

7. Mengikuti pendapat ulama tanpa memperhatikan landasan hukum/dalil yang digunakannya bisa menjerumuskan orang ke dalam kebinasaan. 

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Aku heran dengan suatu kaum yang mengerti seluk beluk isnad dan kesahihannya namun mereka justru cenderung mengikuti pendapat Sufyan -dan meninggalkan hadits- sementara Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan Rasul karena mereka akan ditimpa fitnah atau siksaan yang amat pedih.’ (QS. an-Nuur: 63). Tahukah kalian apa itu fitnah? Fitnah itu adalah syirik. Bisa jadi ketika dia membantah sebagai sabda Nabi maka muncullah penyimpangan di dalam hatinya sehingga menyeretnya dalam kebinasaan.” (lihat al-Jadid, hal. 334). 

Dari ucapan Imam Ahmad ini bisa diambil pemahaman bahwa barangsiapa yang taklid kepada ulama sebelum sampainya hujjah/dalil kepadanya maka dia tidak dicela. Yang dicela adalah apabila telah sampai kepadanya dalil namun dia meninggalkannya gara-gara berbeda dengan ucapan salah seorang imam (lihat Fath al-Majid, hal. 376)

8. Tidak boleh menentang sesuatu yang telah ditetapkan oleh al-Kitab maupun as-Sunnah dengan perkataan siapapun. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, “Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit kepada kalian. Aku katakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, namun kalian justru mengatakan; Abu Bakar dan Umar mengatakan demikian.” (lihat al-Jadid, hal. 333). 

Dari ucapan Ibnu Abbas ini bisa kita petik pelajaran: Wajibnya mengingkari dengan keras kepada orang yang telah sampai kepadanya dalil namun dia tidak mau mengikutinya semata-mata karena taklid kepada imamnya. Oleh sebab itu wajib mengingkari orang-orang yang meninggalkan dalil hanya karena bertentangan dengan perkataan salah seorang ulama, siapa pun dia, kecuali apabila hal itu terjadi dalam lingkup ijtihad yang memang tidak ada rujukan tegasnya di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah. Adapun barangsiapa yang jelas-jelas menyelisihi al-Kitab atau as-Sunnah maka wajib membantahnya, dan hal ini merupakan perkara yang disepakati oleh seluruh ulama (lihat Fath al-Majid, hal. 373, 374). 

Sehingga taklid dalam perkara yang jelas-jelas bertentangan dengan dalil-dalil syari’at atau kesepakatan ulama adalah tindakan yang tidak diperbolehkan dalam agama (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 497). 

Hal ini mengisyaratkan bahwa perkara yang seseorang dibolehkan taklid padanya adalah dalam perkara-perkara ijtihadiyah, sehingga perkara yang padanya diharamkan ijtihad maka tidak boleh taklid di dalamnya (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 496).

9. Tercelanya taklid kepada ulama yaitu bagi orang-orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan memahami dalil (lihat al-Jadid, hal. 337)

10. Pada asalnya orang yang bisa memahami dalil dan mengetahui tata cara penarikan kesimpulan hukum/istidlal diharamkan untuk taklid (lihat al-Mulakhash, hal. 245). 

Orang yang mampu berijtihad diperbolehkan untuk taklid -menurut pendapat yang lebih kuat- apabila dia menjumpai keadaan tertentu, misalnya; karena dalil-dalil yang ada tampak bertentangan satu sama lain, atau karena waktu yang sempit sehingga tidak memungkinkan baginya untuk berijtihad, atau karena belum ada dalil yang sampai kepadanya, atau sebab lainnya yang membuatnya tidak mampu berijtihad pada saat itu juga maka gugurlah kewajibannya untuk berijtihad sehingga berpindah kepada penggantinya yaitu taklid (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 497)

11. Ketaatan kepada ulama tanpa melihat landasan dalil mereka dan meninggalkan pelaksanaan al-Kitab maupun as-Sunnah merupakan syirik dalam bentuk ketaatan (al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 244)

12. Tidak boleh taat kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah (al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 74)

13. Barangsiapa mengangkat sosok tertentu selain Allah untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal maka dia telah menjadikannya sebagai sesembahan. Dia menjadi musyrik karena telah mengangkat pembuat syari’at selain Allah ta’ala. Padahal penetapan syari’at hanyalah dimiliki oleh Allah ta’ala (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 57, al-Jadid hal 74)

14. Ulama adalah manusia, bisa terjerumus dalam kesalahan, bukan sosok yang ma’shum (al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75). 

Oleh sebab itu wajib meninggalkan semua pendapat ulama yang jelas-jelas terbukti bertentangan dengan al-Kitab maupun as-Sunnah. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila kalian temukan di dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ambillah Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah apa yang kukatakan.” (lihat Fath al-Majid, hal. 377). 

Maka semestinya bagi siapa pun yang menekuni karya-karya ulama madzhab yang dianutnya untuk berusaha mengkaji pendapat ulama lain yang berbeda dengan pendapat imamnya serta dalil yang mereka gunakan, hal itu harus dia lakukan dalam rangka mengikuti dalil yang ada melalui siapapun datangnya (lihat catatan kaki Fath al-Majid, hal. 377). 

Apabila seseorang mengikuti pendapat orang lain setelah mengkaji dalil-dalilnya dan mengetahui kebenarannya maka hal itu tidak lagi disebut sebagai taklid tetapi tarjih dan ikhtiyar, sehingga dia tidak layak disebut sebagai muqallid. Adapun orang yang sengaja mengambil pendapat orang lain tanpa memperhatikan dalil-dalilnya -padahal dia mampu untuk melakukannya- maka dia adalah seorang muqallid, dan hal itu tidak diijinkan baginya dalam kondisi dia bisa melakukan hal itu (lihat Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 496). 

Maka dari sini kita bisa mengambil pelajaran betapa tipisnya batas antara seorang yang taklid dengan orang yang ittiba’ kepada Sunnah dengan jalan tarjih (menguatkan pendapat ulama), sebagaimana tipisnya batas antara orang yang mengikuti pendapat ulama karena kekuatan dalilnya dengan orang yang mengikuti pendapat ulama karena bersesuaian dengan hawa nafsunya, la haula wa la quwwata illa billah!

15. Ayat ini menunjukkan betapa besar bahaya yang ditimbulkan oleh ulama yang sesat bagi umat (al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75)

16. Ayat ini juga menunjukkan bahwa ketergelinciran seorang ulama bisa menyebabkan manusia terjerumus dalam kehancuran agamanya. Ziyad bin Hudair mengatakan: Umar berkata kepadaku, “Tahukah kamu apa yang menghancurkan Islam?”. Kujawab, “Tidak.” Dia berkata, “Yang menghancurkannya adalah ketergelinciran seorang alim/ulama, orang munafik yang mendebat dengan membawa-bawa ayat al-Qur’an, dan ketetapan para imam yang menyesatkan.” (HR. ad-Darimi, lihat Fath al-Majid, hal. 379)

17. Ayat ini juga mengisyaratkan untuk memberikan pengajaran kepada orang yang tidak mengerti agama/jahil agar dia beragama di atas dalil, bukan semata-mata taklid kepada ulama

18. Ayat ini mengandung bantahan bagi kaum Nasrani yang mengangkat Nabi Isa ‘alaihis salam sebagai sesembahan. Ayat ini juga menegaskan bahwa beliau adalah hamba Allah, bukan sesembahan (lihat al-Mulakhash, hal. 57)

19. Ayat ini menunjukkan bahwa sesuatu yang pada asalnya diperintahkan di dalam agama bisa berubah menjadi dilarang dalam kondisi tertentu. Bertanya dan mengikuti ulama merupakan perkara yang diperintahkan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul serta ulil amri (ulama dan umara) di antara kalian…” (QS. an-Nisaa’: 59). Allah juga berfirman (yang artinya), “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl: 43). 

Namun apabila hal itu diterapkan tanpa memperhatikan batasan-batasannya akan dapat menjerumuskan pelakunya dalam kedurhakaan kepada Allah, bahkan kemusyrikan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad di atas, “Aku heran dengan suatu kaum yang mengerti seluk beluk isnad dan kesahihannya namun mereka justru cenderung mengikuti pendapat Sufyan -dan meninggalkan hadits- sementara Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan Rasul karena mereka akan ditimpa fitnah atau siksaan yang amat pedih.’ (QS. an-Nuur: 63). Tahukah kalian apa itu fitnah? Fitnah itu adalah syirik. Bisa jadi ketika dia membantah sebagai sabda Nabi maka muncullah penyimpangan di dalam hatinya sehingga menyeretnya dalam kebinasaan.” (lihat al-Jadid, hal. 334).

20. Ayat ini juga mengisyaratkan tentang bahaya fitnah kedudukan, dimana kedudukan sebagai ahli ibadah dan ahli ilmu -yang di dalam pandangan orang dinilai sebagai sosok yang dekat dengan Allah dan mengenal agama- dapat menyebabkan pemiliknya terseret dalam tindakan kezaliman, yaitu menetapkan halal dan haram tanpa ada hujjah yang nyata. Oleh sebab itulah kita dapati generasi terbaik umat ini -yaitu para sahabat- adalah orang-orang yang paling berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah terlontar suatu ucapan melainkan di sisinya ada malaikat yang dekat dan senantiasa mencatat.” (QS. Qaaf: 18).

21. Tauhid yang murni menuntut seorang hamba untuk memurnikan ittiba’nya hanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dia tidak akan mengangkat sosok manapun untuk harus diikuti ucapan dan perbuatannya selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menaati Rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Betapa pun besar kekagumannya kepada seorang ulama atau ahli ibadah maka tidak boleh membuatnya meninggalkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya gara-gara menyelisihi ulama atau tokoh yang dikaguminya itu. 

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, “Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit kepada kalian. Aku katakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, namun kalian justru mengatakan; Abu Bakar dan Umar mengatakan demikian.” (al-Jadid, hal. 333). Kalau Abu Bakar dan Umar saja -seandainya perkataannya menyelisihi Nabi- harus disikapi demikian, maka bagaimanakah lagi pendapat anda tentang orang yang lebih mengutamakan ucapan Syaikh dan pendiri pergerakannya di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?! Lalu bagaimana lagi jika yang dieluk-elukkan itu adalah perkataan orang-orang kafir semacam Karl Marx, atau yang lainnya?
_____________________________________________________
Sumber: http://abumushlih.com/menjadi-musyrik-gara-gara-taklid.html/
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/menjadi-musyrik-gara-gara-taklid.html

Kesyirikan Dalam Shalawat Nariyah

                                                      Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: 
“Shalawat Nariyah cukup populer di banyak kalangan dan ada yang meyakini bahwa orang yang bisa membacanya sebanyak 4444 kali dengan niat menghilangkan kesulitan-kesulitan atau demi menunaikan hajat maka kebutuhannya pasti akan terpenuhi. Ini merupakan persangkaan yang keliru dan tidak ada dalilnya sama sekali. Terlebih lagi apabila anda mengetahui isinya dan menyaksikan adanya kesyirikan secara terang-terangan di dalamnya. Berikut ini adalah bunyi shalawat tersebut:”
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوائج وتنال به الرغائب وحسن الخواتيم ويستسقى الغمام بوجهه الكريم وعلى آله وصحبه عدد كل معلوم لك
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghomaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka
Artinya:
“Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan sepenuhnya, Kepada pemimpin kami Muhammad, Yang dengan sebab beliau ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, Berkat beliau berbagai kesulitan menjadi lenyap, Berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, Dan dengan sebab pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, Begitu pula akhir hidup yang baik didapatkan, Berbagai gundah gulana akan dimintakan pertolongan dan jalan keluar dengan perantara wajahnya yang mulia, Semoga keselamatan juga tercurah kepada keluarganya, dan semua sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui jumlahnya.”
Syaikh berkata:
“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang di serunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah). Al-Qur’an ini telah mengingkari perbuatan berdoa kepada selain Allah baik kepada para rasul ataupun para wali. Allah berfirman yang artinya:
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Bahkan sesembahan yang mereka seru (selain Allah) itu justru mencari kedekatan diri kepada Rabb mereka dengan menempuh ketaatan supaya mereka semakin bertambah dekat kepada-Nya dan mereka pun berharap kepada rahmat-Nya serta merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.” (QS. Al-Israa’: 57). 
Para ulama tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang berdoa kepada Isa Al-Masih atau memuja malaikat atau jin-jin yang saleh (sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir).”
Beliau melanjutkan penjelasannya:
“Bagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa merasa ridha kalau beliau dikatakan sebagai orang yang bisa melepaskan ikatan-ikatan hati dan bisa melenyapkan berbagai kesusahan padahal Al-Qur’an saja telah memerintahkan beliau untuk berkata tentang dirinya:
قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: Aku tidak berkuasa atas manfaat dan madharat bagi diriku sendiri kecuali sebatas apa yang dikehendaki Allah. Seandainya aku memang mengetahui perkara ghaib maka aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku. Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raaf)
Pada suatu saat ada seseorang yag datang menemui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan: “Atas kehendak Allah dan kehendakmu wahai Rasul”, Maka beliau menghardiknya dengan mengatakan, “Apakah kamu ingin menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah? Katakan: Atas kehendak Allah semata.” Nidd atau sekutu artinya: matsiil wa syariik (yang serupa dan sejawat) (HR. Nasa’i dengan sanad hasan)
Beliau melanjutkan lagi penjelasannya:
“Seandainya kita ganti kata bihi (به) (dengan sebab beliau) dengan bihaa (بها) (dengan sebab shalawat) maka tentulah maknanya akan benar tanpa perlu memberikan batasan bilangan sebagaimana yang disebutkan tadi. Sehingga bacaannya menjadi seperti ini:
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد التي تحل بها العقد
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taamman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Allati tuhillu bihal ‘uqadu (artinya ikatan hati menjadi terlepas karena shalawat)
Hal itu karena membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah yang bisa dijadikan sarana untuk bertawassul memohon dilepaskan dari kesedihan dan kesusahan. Mengapa kita membaca bacaan shalawat bid’ah ini yang hanya berasal dari ucapan makhluk biasa sebagaimana kita dan justru meninggalkan kebiasaan membaca shalawat Ibrahimiyah (yaitu yang biasa kita baca dalam shalat, pent) yang berasal dari ucapan Rasul yang Ma’shum?”
***
Penulis: Muhammad Jamil Zainu
Diterjemahkan oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
 
http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/11/shalawat-nariyah.html

Tidak Boleh Bersumpah Dengan Selain Nama Allah

Dari Abdullah bin Umar -radhiallahu anhuma- dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَدْرَكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ وَهُوَ يَسِيرُ فِي رَكْبٍ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ فَقَالَ أَلَا إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
 
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- menjumpai Umar bin Al-Khaththab yang sedang menaiki hewan tunggangannya, seraya dia bersumpah dengan nama ayahnya. Maka beliau -Shallallahu alaihi wasallam- menegur, “Ketahuilah sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nama ayah-ayah kalian. Karenanya barangsiapa yang mau bersumpah, hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah atau lebih baik dia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5643, 6155, 6156 dan Muslim no. 3104)

Dari Buraidah -radhiallahu anhuma- dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِالْأَمَانَةِ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang bersumpah dengan amanah, maka bukan dari golongan kami.” (HR. Abu Daud no. 3253 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6203)

Dari Sa’ad bin Ubaidah bahwa Ibnu Umar mendengar seorang laki-laki mengucapkan, “Tidak, demi Ka’bah.” Ibnu Umar lalu berkata, “Tidak boleh bersumpah dengan selain Allah. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka dia telah kafir atau berbuat syirik.” (HR. Abu Daud no. 2829, At-Tirmizi no. 1535, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6204) 

Penjelasan ringkas:

Di antara bentuk ibadah adalah pengagungan kepada Allah Ta’ala, karenanya barangsiapa yang mengagungkan selain Allah Ta’ala dengan pengagungan ibadah maka dia telah terjatuh ke dalam kesyirikan. Di antara bentuk mengagungkan Allah adalah bersumpah dengan menggunakan nama-Nya, karena sumpah biasanya diucapkan untuk menguatkan dan membenarkan ucapannya, bahwa dia tidak berdusta dan tidak salah dalam pengabarannya. Dalam keadaan seperti ini tentunya seseorang akan bersumpah dengan menggunakan siapa yang dia merasa segan dan hormat kepadanya, dan zat yang paling pantas untuk disegani, dihormati, dan diagungkan adalah Allah Ta’ala. Karenanya bersumpah dengan menggunakan nama Allah adalah ibadah, dan sebaliknya bersumpah dengan menggunakan selain nama-Nya adalah kesyirikan -sebagaimana hadits Ibnu Umar di atas- karena mengandung pengagungan kepada selain Allah Ta’ala walaupun hanya berupa lafazh.
Kesyirikan yang kami maksudkan di sini adalah syirik asghar (kecil), karena definisi dari syirik asghar adalah semua amalan yang menjadi wasilah atau bisa mengantarkan kepada syirik akbar (besar). Orang yang bersumpah dengan selain nama Allah, walaupun dia tidak berniat mengagungkan selai Allah tersebut, akan tetapi sumpahnya dia ini bisa mengantarkan dia untuk mengagungkan selain Allah tersebut dengan pengagungan yang berlebihan, dan jika dia sampai seperti itu maka dia telah terjatuh ke dalam syirik akbar. Karenanya walaupun kita katakan hukum asal bersumpah dengan selain nama Allah adalah syirik asghar, akan tetapi hukumnya bisa menjadi syirik akbar yang mengeluarkan dari agama, yaitu jika orang yang bersumpah ini mengagungkan selain Allah itu dengan pengagungan yang sama dengan Allah atau bahkan lebih.
Di antara contoh sumpah selain Allah yang tersebar adalah: Bersumpah dengan menggunakan orang tua, bersumpah dengan amanah, bersumpah dengan ka’bah, bersumpah dengan nama Nabi Muhammad -alaihishshalatu wassalam-, bersumpah dengan tanah air, dan seterusnya.

Bolehkah bersumpah dengan menggunakan sifat-sifat Allah?

Ia boleh, berdasarkan nash ayat, Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Shad: 82) Maka di sini Iblis bersumpah dengan sifat izzah (keperkasaan) Allah dan Allah Ta’ala tidak mengingkarinya.

Maka dari sini kita bisa dengan mudah menjawab pertanyaan yang lain:
Apa hukum bersumpah dengan menggunakan mushaf?

Kita katakan dalam hal ini ada rincian:
Jika yang dia maksudkan dengan mushaf adalah lembaran-lembaran kertas yang tertulis di dalamnya Al-Qur`an, maka tidak boleh bersumpah dengan mushaf dalam makna ini. Karena kertas dan tinta yang ada di dalamnya adalah makhluk.

Tapi jika yang dia maksudkan dengan mushaf adalah Al-Qur`an (firman Allah ) yang tertulis di dalam mushaf tersebut, maka boleh bersumpah dengannya. Karena Al-Qur`an termasuk dari sifat kalam Allah, dan telah berlalu penjelasan bolehnya bersumpah dengan menggunakan sifat Allah.

Jadi, bersumpah dengan Al-Qur`an boleh secara mutlak, sementara bersumpah dengan mushaf, butuh dirinci dengan rincian di atas, wallahu a’lam. Hanya saja perlu diingat bahwa bersumpah dengan Al-Qur`an pada perkara dusta merupakan dosa yang sangat besar. Ibnu Mas’ud -radhiallahu anhu- berkata, “Barangsiapa yang bersumpah dengan menggunakan satu surah dari Al-Qur`an (untuk kedustaan) maka dia akan menjumpai Allah dalam keadaan memikul dosa sebanyak jumlah ayat dari surah tersebut.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah no. 206 dengan sanad yang shahih)

Faidah dari dalil-dalil di atas:
  1. Wajib mengingkari kesyirikan dan kekafiran dengan segera. Berbeda halnya dengan maksiat biasa yang dibawah dari kesyirikan dan kekafiran, terkadang nahi mungkarnya bisa diundurkan jika ada maslahat yang lebih besar.
  2. Tidak boleh mengundurkan penjelasan dari waktu dibutuhkannya. Dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak mengundurkan penyebutan sebab dari larangan beliau karena penjelasannya dibutuhkan saat itu tatkala bersumpah dengan selain nama Allah ini tersebar di kalangan kaum musyrikin dahulu.
  3. Hendaknya bagi orang yang melarang sesuatu, dia memberikan solusi atau jalan lain untuk mendapatkan apa yang dituju tanpa menempuh jalan yang terlarang tersebut. Tatkala Umar ingin menguatkan ucapannya dengan bersumpah dengan selain nama Allah, Nabi -alaihishshalatu wassalam- melarangnya tapi kemudian memberikan solusi agar dia bisa tetap menguatkan ucapannya dengan cara yang tidak terlarang, yaitu bersumpah dengan nama Allah. Dan metode seperti ini merupakan sifat umum dari syariat Islam.
  4. Orang yang mengucapkan kesyirikan dalam keadaan dia tidak tahu itu syirik, lalu ada orang yang menegurnya sehingga dia berhenti dari ucapannya, maka dia tidak dihukumi terjatuh ke dalam syirik. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Umar -radhiallahu anhu- di sini, juga pada kisah sahabat dalam kisah ‘dzatu anwath’ tatkala mereka meminta pohon kepada Nabi sebagai pendatang berkah dari Allah, dan juga pada ucapan Bani Israil tatkala mereka meminta sembahan selain Allah kepada Musa. Mereka semua mengucapkan kesyirikan tapi tidak dihukumi terjatuh dalam syirik, karena mereka semua berhenti ketika dilarang. Tapi tidak diragukan bahwa seandainya Bani Israil dan para sahabat melanjutkan permintaan mereka setelah dilarang, maka mereka dipastikan terjatuh ke dalam kesyirikan. Hal ini sebagaimana yang diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Kasyf Asy-Syubuhat.
  5. Makna ‘maka bukan dari golongan kami’ adalah tidak berada di atas petunjuk kami. Para ulama menyatakan bahwa kapan hukuman seperti ini disebutkan pada sebuah dosa maka menunjukkan larangan itu merupakan dosa besar, bukan dosa kecil.
  6. Di antara kesyirikan/kekafiran ada yang bersifat lafzhi (pengucapan), sehingga kapan dia telah diucapkan maka pelakunya sudah dihukumi berbuat syirik walaupun dia tidak meniatkan dan tidak mengamalkannya.
Tambahan:
Barangsiapa yang  bersumpah dengan nama Allah tapi dia dusta dalam sumpahnya maka dia wajib untuk membayar kaffarah, yaitu kaffarah yang tersebut dalam surah Al-Maidah ayat 89:
1.    Mengandung 3 perkara yang boleh dipilih salah satunya:
  • Memberi makan 10 orang miskin dengan makanan yang dimakan dalam keluarganya.
  • Memberi pakaian 10 orang miskin.
  • Membebaskan seorang budak, yakni budak yang beriman
2.    Jika dia tidak bisa menjalankan ketiga perkara di atas, maka kaffarahnya adalah berpuasa 3 hari, dan dalam qiraah Ibnu Abbas harus 3 hari berturut-turut, wallahu a’lam.

Kedua kaffarah ini berurut, karenanya tidak syah membayar kaffarah ke-2 jika dia masih bisa menjalankan salah satu dari 3 kaffarah yang pertama.

Adapun bagi siapa yang bersumpah dengan selain nama Allah walaupun dia benar (apalagi jika dusta), maka tidak ada kaffarah atasnya karena itu merupakan kesyirikan dan sumpahnya tidak syah. Karena dia terjatuh ke dalam kesyirikan, maka dia disyariatkan untuk memperbaharui keislamannya dengan mengucapkan: لا إله إلا الله


Walhamdulillahi Rabbil alamin.
Sumber: http://al-atsariyyah.com/

Hukum Sumpah Pocong

Tanya: Assalamu ‘alaikum wr. wb. Ada yang ingin ana tanyakan, apakah Islam membolehkan umatnya untuk melakukan sumpah pocong? Karena ada sebagian orang Islam yang melakukannya. (08197890***)

Jawab: Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh.

Pertama, Islam tidak mengenal adanya sumpah pocong, hal ini menunjukkan bahwa sumpah pocong bukan berasal dari Islam.

Kedua, didapatinya sebagian orang Islam yang melakukannya ini bukanlah dalil / ukuran dalam menilai suatu kebenaran, barometer kebenaran itu hanyalah Al Kitab dan As Sunnah.

Ketiga, masalah sumpah itu sendiri sebenarnya ada dalam Islam, dimana kita tidak boleh bersumpah kecuali atas nama Allah.

Rosulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka ia telah kufur atau syirik.” (HR Tirmidzi dari Umar ibnu Khattab).

Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang-orang Yahudi mendatangi Nabi, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya kalian telah berbuat syirik, kalian mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakku’ dan kalian mengatakan, ‘Demi Ka’bah’ …” (HR Nasa`i dari Qutailah).

Anda perhatikan dari hadits-hadits ini adanya larangan bersumpah dengan selain Allah, meskipun dengan Ka’bah yang padahal ia sebagai baitullah, apalagi kalau selain Ka’bah. Selanjutnya Anda bisa lihat kembali di Al Wala` Wal Bara` edisi 7 tahun ke-1 kolom Fatwa. Wal ‘ilmu ‘indallah. Edisi ke-7

Ditulis oleh Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsary.

Sumber : Bulletin Al Wala’ Wal Bara’ Tahun ke-2 / 09 Januari 2004 M / 17 Dzul Qo’dah 1424 H

http://faisalchoir.blogspot.sg/2012/05/tidak-boleh-bersumpah-dengan-selain.html

Tujuan Utama Dakwah Setan


Di antara bentuk dosa yang dilalaikan dan dipandang remeh oleh kaum muslimin adalah dosa kesyirikan. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis akan menjelaskan sedikit tentang bahaya syirik. Semoga dengan pembahasan ini dapat mengubah pandangan kita selama ini tentang bahaya kesyirikan yang mungkin belum kita ketahui.

Syirik Merupakan Salah Satu Pembatal Islam
Di antara sebab terbesar batalnya Islam seseorang adalah berbuat syirik kepada Allah Ta’ala. Yaitu dengan beribadah kepada selain Allah Ta’ala, di samping juga beribadah kepada Allah, seperti bernadzar kepada selain Allah, bersujud kepada selain Allah, atau meminta pertolongan kepada selain Allah dalam hal-hal yang tidak ada yang bisa memenuhinya kecuali Allah Ta’ala saja. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. (QS. Al-Maidah [5]: 72)

Allah Ta’ala berfirman yang artinya,“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48)

Oleh karena itu, kesyirikan adalah dosa yang paling berbahaya, namun banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai muslim dan mengucapkan “laa ilaaha illallah”. Mereka memang melaksanakan shalat dan puasa. Akan tetapi mereka mencampur amal ibadah mereka dengan syirik akbar, sehingga mereka pun keluar dari Islam.

Syirik Merupakan Tujuan Utama “Dakwah” Setan
Tauhid merupakan fitrah yang Allah Ta’ala ciptakan untuk manusia. Setiap manusia yang ada di dunia ini terlahir di atas fitrah tauhid, meskipun dia dilahirkan oleh orangtua yang musyrik. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari tulang punggung mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),’Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab,’Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’” (QS. Al-A’raf [7]: 172)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tidak ada satu pun anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan di atas fitrah. Orangtuanya-lah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti seekor hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat (sama persis dengan induknya), apakah Engkau merasakan adanya cacat padanya?“ (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 6926)

Karena manusia dilahirkan di atas fitrah tauhid, maka setan akan berusaha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyesatkan manusia agar mereka menyimpang dari fitrah tauhid tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya Rabb-ku memerintahkanku untuk mengajari kalian apa-apa yang belum kalian ketahui. Di antara hal-hal yang diajarkan kepadaku hari ini adalah, setiap harta yang Aku berikan kepada hamba-Ku, maka (menjadi) halal baginya. Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-Ku seluruhnya dalam keadaan hanif (menjadi seorang muslim, pen.). Kemudian datanglah setan kepada-Nya yang menjadikan mereka keluar dari agama mereka. Serta mengharamkan hal-hal yang Aku halalkan untuk mereka. Dan juga menyuruh mereka untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan keterangan tentang itu … ” (HR. Muslim no. 7386)

Setan sendiri telah berjanji di hadapan Allah Ta’ala bahwa dia akan berusaha untuk mengubah fitrah yang telah Allah Ta’ala ciptakan untuk manusia. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,“Yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan,’Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya). Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya. Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar mereka mengubahnya’. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa’ [4]: 118-119)

Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud ayat,”Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah)”. Adapun pendapat yang paling tepat sebagaimana yang dipilih oleh Abu Ja’far Ath-Thabary rahimahullah adalah,”Mengubah agama Allah.” (Lihat Tafsir Ath-Thabary, 9/222)

Syaikh Muhammad Asy-Syinqithi rahimahullah menjelaskan,”Sebagian ulama mengatakan bahwa makna ayat ini adalah setan menyuruh mereka untuk kafir dan mengubah fitrah agama Islam yang telah Allah Ta’ala ciptakan untuk mereka. Perkataan ini dijelaskan dan ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus’ (QS. Ar-Ruum [30] : 30).

Maksudnya adalah, janganlah mengubah fitrah yang telah diciptakan atas kalian dengan (mengerjakan) kekafiran”. (Tafsir Adhwa’ul Bayan, 1/341)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,”Sesungguhnya setiap orang dilahirkan di atas fitrah (yaitu tauhid, pent.). Akan tetapi orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi, Nasrani, Majusi, atau yang semisalnya dari fitrah yang telah Allah tetapkan kepada hamba-Nya. Fitrah itu adalah mentauhidkan Allah, mencintai-Nya, dan mengenal-Nya. Setan akan memburu mereka dalam masalah ini sebagaimana binatang buas yang memburu seekor kambing yang terpisah dari kawanannya”. (Tafsir Taisir Karimir Rahman, hal.204)

Dari sini jelaslah bahwa tujuan utama “dakwah” setan adalah menjerumuskan manusia ke dalam kesyirikan. Karena ketika manusia sudah terjerumus ke dalamnya, maka batal-lah tauhidnya. Dan ketika tauhidnya sudah batal, maka sebanyak apa pun amal shalih yang diperbuatnya, semuanya akan menjadi sia-sia belaka. Sehingga setan pun tidak mempunyai kepentingan lagi untuk mengganggunya.

Oleh karena itu, kita kadang melihat orang-orang yang berbuat syirik dengan beribadah di makam orang-orang shalih, mereka beribadah dengan melaksanakan shalat, berdzikir, atau membaca Al Qur’an dengan penuh kekhusyu’an. Bahkan bisa jadi mereka beribadah di sisi makam tersebut semalam suntuk tanpa merasa lelah dan mengantuk. Sesuatu yang mungkin sangat sulit dilakukan oleh orang-orang selain mereka. Demikianlah, kekhusyu’an mereka itu tidak lain karena memang setan tidak lagi mempunyai kepentingan untuk mengganggu ibadahnya tersebut. Karena setan sudah mengetahui, bahwa sebanyak apa pun amal ibadah yang mereka lakukan semuanya akan sia-sia belaka dan tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala.
 
Syirik Merupakan Dosa yang Tidak Akan Diampuni Jika Tidak Mau Bertaubat

Allah Ta’ala berfirman,”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya lebih rendah dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48)

Ayat ini menunjukkan betapa berbahayanya dosa syirik karena Allah Ta’ala tidak akan mengampuninya kecuali jika pelakunya bertaubat darinya. Padahal, ampunan dan rahmat Allah Ta’ala sangatlah luas dan meliputi segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Hajj [22]: 60)

Hal ini diperkuat oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sedang menggendong anaknya sambil memberi makan, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya,“Menurut kalian, apakah ibu ini tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Para sahabat menjawab,”Tidak, demi Allah! Dia tidak akan tega, selama dia mampu untuk tidak melemparkan anaknya”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Sungguh Allah lebih mengasihi para hamba-Nya dibandingkan kasih sayang ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari no. 5999 dan Muslim no. 7154)

Ayat dan hadits di atas menunjukkan betapa besar kasih sayang dan ampunan Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya, melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Akan tetapi, orang-orang musyrik tidak ikut tercakup di dalamnya. Hal ini menunjukkan begitu besarnya kejahatan dan kedzaliman yang ditimbulkan oleh kesyirikan.

Maka barangsiapa yang meninggal di atas kesyirikan, maka dia tidak akan diampuni. Sehingga hal ini menunjukkan betapa bahayanya kesyirikan. Kita wajib menghindarinya sejauh-jauhnya. Setiap dosa masih mungkin dan masih ada harapan untuk diampuni jika pelakunya tidak bertaubat, kecuali dosa syirik. Sedangkan kesyirikan tidak mungkin untuk dihindari kecuali dengan mempelajarinya dan mengetahui bahayanya. (Lihat I’anatul Mustafiid, 1/95)

Apabila seseorang berbuat syirik kemudian bertaubat dan meninggal di atas tauhid, maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya, termasuk dosa syirik. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah,’Hai hamba-hambaKu yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar [39]: 53)

Inilah sebagian kecil di antara bahaya-bahaya kesyirikan. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila seseorang sangat takut untuk terjerumus ke dalam perbuatan syirik. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam telah memberikan teladan kepada kita ketika beliau berdoa kepada Allah Ta’ala, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata,’Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman. Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Wahai Rabb-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan mayoritas manusia’”. (QS. Ibrahim [14]: 35-36)

Ibrahim ‘alaihis salaam berdoa seperti itu, padahal beliau telah memiliki kedudukan yang sangat tinggi sebagai kekasih Allah (khalilullah). Meskipun demikian itu keadaan Ibrahim ‘alaihis salaam, beliau tetap mengkhawatirkan apabila dirinya jatuh terjerumus ke dalam perbuatan syirik, karena hati manusia berada di antara jari-jemari Ar-Rahman. Oleh karena itulah, sebagian ulama mengatakan,”Dan siapakah yang merasa aman dari ujian setelah Ibrahim ‘alaihis salaam (tidak merasa aman)?” Karena Ibrahim ‘alaihis salaam mengkhawatirkan dirinya kalau terjerus ke dalam perbuatan syirik ketika beliau melihat banyak manusia yang terjerumus ke dalamnya. Wallahu a’lamu. 

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim
Artikel www.muslim.or.id

Faisal -yang selalu mengharap ampunan-Nya- berkata: Saudaraku mari kita pelajari terus ilmu tauhid... ini yang utama.. Bisa kita bayangkan sebuah gedung tinggi nan megah namun pondasi yang tidak kuat, apa yang akan terjadi bagi bangunan tersebut? begitulah gambaran bagi seorang muslim yang rajin ibadah namun ia tidak memperhatikan masalah akidah ini.. Bagaimana bisa dikatakan "Saya bersih dari syirik" sedang kita tidak berilmu tentangnya? Allahul musta'an.. 

Allah Ta'ala berfirman: "Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Az Zumar:65).


http://faisalchoir.blogspot.com/2011/10/tujuan-utama-dakwah-setan.html


Syirik yang Sering Diucapkan


”Janganlah engkau menjadikan si fulan (sebagai sekutu bagi Allah, pen)  dalam ucapan-ucapan tersebut. Semua ucapan ini adalah perbuatan SYIRIK.” (HR. Ibnu Abi Hatim)

Kaum muslimin yang semoga selalu mendapatkan taufiq Allah Ta’ala. Kita semua telah mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb (Tuhan) alam semesta, Yang menciptakan kita dan orang-orang sebelum kita, Yang menjadikan bumi sebagai hamparan untuk kita mencari nafkah, dan Yang menurunkan hujan untuk menyuburkan tanaman sebagai rizki bagi kita. Setelah kita mengetahui demikian, hendaklah kita hanya beribadah kepada Allah semata dan tidak menjadikan bagi-Nya tandingan/sekutu dalam beribadah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.(Al Baqarah [2]: 22)

Lebih samar dari jejak semut di atas batu hitam di tengah kegelapan malam

Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma –yang sangat luas dan mendalam ilmunya- menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan,
”Yang dimaksud membuat sekutu bagi Allah (dalam ayat di atas, pen) adalah berbuat syirik. Syirik adalah suatu perbuatan dosa yang lebih sulit (sangat samar) untuk dikenali  daripada jejak semut yang merayap di atas batu hitam di tengah kegelapan malam.”

Kemudian Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mencontohkan perbuatan syirik yang samar tersebut seperti, ‘Demi Allah dan demi hidupmu wahai fulan’, ‘Demi hidupku’ atau ‘Kalau bukan karena anjing kecil orang ini, tentu kita didatangi pencuri-pencuri itu’ atau ‘Kalau bukan karena angsa yang ada di rumah ini tentu datanglah pencuri-pencuri itu’, dan ucapan seseorang kepada kawannya ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’, juga ucapan seseorang ‘Kalau bukan karena Allah dan karena fulan’. Akhirnya beliau radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
”Janganlah engkau menjadikan si fulan (sebagai sekutu bagi Allah, pen)  dalam ucapan-ucapan tersebut. Semua ucapan ini adalah perbuatan SYIRIK.” (HR. Ibnu Abi Hatim) (Lihat Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad At Tamimi)
Itulah syirik. Ada sebagian yang telah diketahui dengan jelas seperti menyembelih, bernadzar, berdo’a, meminta dihilangkan musibah (istighotsah) kepada selain Allah. Dan terdapat pula bentuk syirik (seperti dikatakan Ibnu Abbas di atas) yang sangat sulit dikenali (sangat samar). Syirik seperti ini ada 2 macam:
Pertama, syirik dalam niat dan tujuan.
Ini termasuk perbuatan yang samar karena niat terdapat dalam hati dan yang mengetahuinya hanya Allah Ta’ala. Seperti seseorang yang shalat dalam keadaan ingin dilihat (riya’) atau didengar (sum’ah) orang lain. Tidak ada yang mengetahui perbuatan seperti ini kecuali Allah Ta’ala.

Kedua, syirik yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia.
Syirik seperti ini adalah seperti syirik dalam ucapan (selain perkara i’tiqod/keyakinan). Syirik semacam inilah yang akan dibahas pada kesempatan kali ini. Karena kesamarannya lebih dari jejak semut yang merayap di atas batu hitam di tengah kegelapan malam. Oleh karena itu, sedikit sekali yang mengetahui syirik seperti ini secara jelas. (Lihat I’anatul Mustafid bisyarh Kitabut Tauhid, hal. 158, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan).

Berikut ini akan disebutkan beberapa contoh syirik yang masih samar, dianggap remeh, dan sering diucapkan dengan lisan oleh manusia saat ini.

Mencela Makhluk yang Tidak Dapat Berbuat Apa-apa
Perbuatan seperti ini banyak dilakukan oleh kebanyakan manusia saat ini –barangkali juga kita-. Lidah ini begitu mudahnya mencela makhluk yang tidak mampu berbuat sedikit pun, seperti di antara kita sering mencela waktu, angin, atau pun hujan. Misalnya dengan mengatakan, ‘Bencana ini bisa terjadi karena bulan ini adalah bulan Suro’ atau mengatakan ‘Sialan! Gara-gara angin ribut ini, kita gagal panen’ atau dengan mengatakan pula, ‘Aduh!! hujan lagi, hujan lagi’.

Lidah ini begitu mudah mengucapkan perkataan seperti itu. Padahal makhluk yang kita cela tersebut tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas kehendak Allah. Mencaci mereka pada dasarnya telah mencaci, mengganggu dan menyakiti yang telah menciptakan dan mengatur mereka yaitu Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  
"Allah Ta'ala berfirman,Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ”Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih)

Dari dalil-dalil ini terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu), angin dan makhluk lain yang tidak dapat berbuat apa-apa adalah terlarang. Larangan ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari sesuatu yang jelek yang terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk dan ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain Allah.

Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka seperti ini termasuk keharaman, tidak sampai derajat syirik. Dan apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan,’Hari ini sangat panas sekali, sehingga kita menjadi capek’-, tanpa tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa.

Bersumpah dengan menyebut Nama selain Allah
Bersumpah dengan nama selain Allah juga sering diucapkan oleh orang-orang saat ini, seperti ucapan, ‘Demi Nyi Roro Kidul’ atau ‘Aku bersumpah dengan nama ...’. Semua perkataan seperti ini diharamkan bahkan termasuk syirik. Karena hal tersebut menunjukkan bahwa dalam hatinya mengagungkan selain Allah kemudian digunakan untuk bersumpah. Padahal pengagungan seperti ini hanya boleh diperuntukkan kepada Allah Ta’ala semata.

Barangsiapa mengagungkan selain Allah Ta’ala dengan suatu pengagungan yang hanya layak diperuntukkan kepada Allah Ta’ala, maka dia telah terjatuh dalam syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam).

Namun, apabila orang yang bersumpah tersebut tidak meyakini keagungan sesuatu yang dijadikan sumpahnya tersebut sebagaimana keagungan Allah Ta’ala, maka dia telah terjatuh dalam syirik ashgor (syirik kecil yang lebih besar dari dosa besar). Berhati-hatilah dengan bersumpah seperti ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda yang artinya, 
”Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kekafiran atau kesyirikan.” (HR. Tirmidzi dan Hakim dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jaami’)

Menyandarkan nikmat kepada selain Allah
Perbuatan ini juga dianggap sepele oleh kebanyakan orang saat ini. Padahal menyandarkan nikmat kepada selain Allah termasuk syirik dan kekufuran kepada-Nya. Allah Ta’ala mengatakan tentang orang yang mengingkari nikmat Allah dalam firman-Nya yang artinya, 
”Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (An Nahl: 83)

Menurut salah satu penafsiran ayat ini : ‘Mereka mengenal berbagai nikmat Allah (yaitu semua nikmat yang disebutkan dalam surat An Nahl) dengan hati mereka, namun lisan mereka menyandarkan berbagai nikmat tersebut kepada selain Allah. Atau mereka mengatakan nikmat tersebut berasal dari Allah, akan tetapi hati mereka menyandarkannya kepada selain Allah’.

Menyandarkan nikmat kepada selain Allah termasuk syirik karena orang yang menyadarkan nikmat kepada selain Allah berarti telah menyatakan bahwa selain Allah-lah yang telah memberikan nikmat (ini termasuk syirik dalam tauhid rububiyah). Dan ini juga berarti dia telah meninggalkan ibadah syukur. Meninggalkan syukur berarti telah menafikan (meniadakan) tauhid. Setiap hamba mempunyai kewajiban untuk bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Contoh dari hal ini adalah mengatakan ‘Rumah ini adalah warisan dari ayahku’.

Jika memang cuma sekedar berita tanpa melupakan Sang Pemberi Nikmat yaitu Allah, maka perkataan ini tidaklah mengapa. Namun, yang dimaksudkan termasuk syirik di sini adalah jika dia mengatakan demikian dan melupakan Sang Pemberi Nikmat yaitu Allah Ta’ala.

Marilah kita berusaha tatkala mendapatkan nikmat, selalu bersyukur pada Allah dengan memenuhi 3 rukun syukur, yaitu:
[1] Mensykuri nikmat tersebut dengan lisan,
[2] Mengakui nikmat tersebut berasal dari Allah dengan hati, dan
[3] Berusaha menggunakan nikmat tersebut dengan melakukan ketaatan kepada Allah.
(Lihat I’anatul Mustafid, hal. 148-149 dan Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, II/93)

Perbaikilah Diri
Jarang sekali manusia mengetahui bahwa hal-hal di atas termasuk kesyirikan dan kebanyakan orang selalu menyepelekan hal ini dengan sering mengucapkannya . Padahal Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya, 
”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni dosa yang berada di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An Nisa [4]: 116). 
Oleh karena itu, sangat penting sekali bagi kita untuk mempelajari aqidah di mana perkara ini sering dilalaikan dan jarang dipelajari oleh kebanyakan manusia. Aqidah adalah poros dari seluruh perkara agama. Jika aqidah telah benar, maka perkara lainnya juga akan benar. Jika aqidah rusak, maka perkara lainnya juga akan rusak.

Hendaknya pula kita memperbaiki diri dengan selalu memikirkan terlebih dahulu apa yang kita hendak ucapkan. Ingatlah sabda Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
”Boleh jadi seseorang mengucapkan suatu kata yang diridhai Allah namun tidak ia sadari, sehingga karena ucapannya ini Allah mengangkat derajatnya. Namun boleh jadi seseorang mengucapkan suatu kata yang dimurkai Allah dan tidak ia sadari, sehingga karena ucapannya ini Allah memasukkannya dalam neraka.” (HR. Bukhari)

Jika kita sudah terlanjur melakukan syirik yang samar ini, maka leburlah dengan do’a yang pernah diucapkan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
’Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika sya’an wa ana a’lamu wa astaghfiruka minadz dzanbilladzi laa a’lamu’
(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyukutakan-Mu dengan sesuatu padahal aku mengetahuinya. Aku juga memohon ampunan kepada-Mu dari kesyirikan yang tidak aku sadari) (HR. Ahmad).
Dalam Riwayat lain:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ.
Ya Allah! Sesungguhnya aku ber-lindung kepadaMu, agar tidak menyekutukan kepadaMu, sedang aku mengetahuinya dan minta ampun terhadap apa yang tidak aku ketahui.”
((HR. Ahmad dan imam yang lain 4/403, lihat Shahihul Jami’ 3/233, dan Shahihut Targhrib wat Tarhib oleh Al-Albani 1/19.))

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2640-syirik-yang-sering-diucapkan.html dengan sedikit penambahan tanpa mengurangi isi kandungan didalamnya.

http://faisalchoir.blogspot.com/2011/06/syirik-yang-sering-diucapkan.html